Partai politik
ideologi Islam harus memahami hukum-hukum syariat melalui pemahaman terhadap
dalil-dalilnya. Dari dalil-dalil itulah kemudian digali sejumlah hukum yang
berkaitan dengan penyelesaian berbagai masalah atau perbaikan realitas. Hal ini
tentu saja membutuhkan pengadopsian (tabanni)
sejumlah perangkat ilmu keislaman. Ilmu inilah yang memungkinkan partai mampu
memahami nash-nash syariat sehingga, pada gilirannya, ia mampu memahami
hukum-hukum syariat dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, partai ideologi
Islam wajib mempergunakan metode penggalian dalil (istidlâl), khususnya di hadapan para aktivisnya dan juga umat
Islam secara umum. Artinya, partai ideologi Islam mesti mengajarkan kepada
mereka, sekaligus menanamkan di dalam jiwa-jiwa mereka, metode Islam yang benar
di dalam memahami sekaligus menggali hukum-hukum syariat.
Partai politik Islam,
ketika pemikiran-pemikiran Islam yang diadopsinya ditransformasikan kepada para
aktivisnya, juga wajib memperhatikan bahwa aspek amaliahnyalah yang dijadikan
tujuan. Jadi, pemikiran kolektif partai ideologi Islam bukan sekadar untuk
dipelajari, dikembangkan sebagai pengetahuan, atau semata-mata ditujukan agar
para aktivisnya mencapai derajat ilmu yang mumpuni. Akan tetapi, lebih dari
itu, pemikiran kolektif ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi pergumulan
pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan
perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) melawan konsep-konsep kufur,
sekaligus untuk mengembannya sebagai kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyyah) di dalam diri umat dalam
upaya mendirikan sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang akan
membumikannya.
Partai politik Islam
juga wajib menerjemahkan pemikiran kolektifnya secara praktis dan mendetail.
Partai ideologi Islam tidak boleh mengatakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu
yang sebaliknya. Jika melakukan hal yang demikian, niscaya hanya kebencian yang
besar di sisi Allah terhadap partai, karena ia mengetahui yang haq tetapi
melaksanakan hal yang sebaliknya.
Memang, partai politik
Islam harus mengadopsi pemikiran (tsaqâfah)
Islam —sebagai pemikiran kolektif partai— dan demikian juga para aktivisnya.
Partai ideologi Islam harus menjadikan pemikiran kolektifnya sebagai asas bagi
mereka dan menanamkannya dalam jiwa para aktivisnya. Dari sini, partai politik
Islam dapat terjun ke tengah-tengah umat dengan membawa pemikiran-pemikiran
Islam yang pokok, yakni dengan cara yang dapat membentuk opini umum terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut.
Partai politik Islam
terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah pemikiran Islam mengenai akidah
dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam bentuk yang dapat menyatukan umat. Hal
ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yaitu menjadikan syariat Allah sebagai
satu-satunya hakim (pemutus perkara). Dengan begitu, partai ideologi Islam
telah memiliki perspektif yang benar, yang dianggap sebagai awal kembalinya
kepribadiannya yang telah lama hilang.
Pemikiran-pemikiran
asasi dan hukum-hukum syariat pokok yang dimaksud adalah seperti
pemikiran-pemikiran yang mendorong umat pada pengesaan Allah dalam hukum (tasyrî‘) dan ibadah, yang mengarahkan pada
pemahaman bahwa Rasulullah Saw. adalah satu-satunya yang boleh diikuti, yang
merangsang umat untuk selalu merindukan Surga, dan yang menimbulkan rasa ngeri
terhadap Neraka. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok ini
juga harus mengandung penjelasan bahwa: usaha untuk mendirikan Daulah Khilafah
Islamiyah adalah salah satu kewajiban paling penting di antara sejumlah
kewajiban penting lainnya dalam Islam, karena banyaknya kewajiban lain yang
bergantung padanya; umat Islam adalah umat yang satu, berbeda dengan umat yang
lain, sehingga adanya perbedaan ras atau sistem non-Islam yang berkuasa atas
mereka tidak boleh menjauhkan jarak mereka; umat Islam adalah bersaudara
sehingga bukan ikatan patriotisme atau nasionalisme/ashobiyah yang menguasai
mereka; jauhnya umat Islam dari hukum-hukum syariatlah yang mewariskan kehinaan
dan kerendahan bagi mereka; umat Islam wajib untuk terikat dengan syariat yang
berasal dari Tuhan mereka dan mereka tidak boleh melakukan satu perbuatan pun
kecuali setelah mengetahui dalilnya.
Pemikiran-pemikiran
yang seperti inilah yang akan menciptakan suatu lahan yang subur bagi tumbuhnya
pemahaman dan upaya untuk hukum-hukum Islam yang matang dan bernas.
Cita-cita kita adalah
bagaimana mewujudkan metode dakwah/perjuangan yang selamat, yang memang
diperintahkan oleh syariat, di dalam menentukan pemikiran kolektif ini. Dengan
berpedoman pada metode tersebut, proses pengadopsian pemikiran tersebut
berlangsung dengan sempurna.
Dengan demikian,
berarti telah lahir di dalam partai ideologi Islam sejumlah besar pemikiran dan
pendapat Islam serta hukum-hukum syariat yang harus dimilikinya. Semua itu
diperlukan sebagai bekal untuk menerjuni pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî),
mewujudkan pemikiran-pemikiran yang terkonsentrasikan (tsaqâfah murakkazah) dalam diri orang-orang yang bersedia
memikul tanggung jawab dakwah ideologi Islam ini di atas pundak-pundak mereka,
serta menciptakan opini umum di tengah-tengah umat sehingga mereka mau menerima
pemikiran-pemikiran yang diemban oleh partai ideologi Islam.
Jika partai ideologi
Islam tetap konsisten, ia tidak akan ditimpa malapetaka seandainya ia membuat
sejumlah kekeliruan pada sebagian hukum-hukum cabang, atau ketika partai
ideologi Islam berbeda pendapat dengan partai lainnya. Perbedaan ini merupakan
sesuatu yang wajar dan bukanlah hal yang aneh.
Keberhasilan mencapai
cita-cita akan direpresentasikan oleh adanya penerapan syariat Allah dan
tersebar luasnya dakwah ideologi Islam ke seluruh pelosok dunia.