9.
Kudeta dan kudeta balasan telah menjerat
politik Timur Tengah ke dalam racun persaingan Barat, segera setelah PD II. AS
menempatkan Husni Zaim di Syria pada tanggal 30 Maret 1949. Miles Copeland,
yang sudah memimpin berbagai operasi CIA di wilayah Teluk, menggambarkan, ‘Jika
Anda tidak dapat mengubah permainannya, ubahlah pemainnya’ [Miles Copeland,
‘The Game of Nations’, 1969, hal. 28]. Tahun 1958, AS melakukan intervensi di
Libanon dengan mengirim angkatan laut dan pasukan marinir untuk mempertahankan
apa yang disebut sebagai ‘stabilitas’; sebuah eufemisme untuk menyebut pengaruh
AS di wilayah tersebut. AS kembali melakukan intervensi terhadap masalah
Libanon pada tahun 1983, dengan mengirim pasukan marinir ke daerah konflik yang
ditimbulkan oleh persaingan imperial. Perang Teluk tahun 1991 bisa dikatakan
sebagai aksi militer terbesar yang dilakukan AS di Timur Tengah. Hal itu bahkan
memfasilitasi pendudukan militer dalam segala hal di mana AS memperkokoh
keberadaan basis militer sambil mengamankan pendudukan baru di Arab Saudi,
Qatar, dan Kuwait. Anthony Cordesman, Ketua Strategi di Pusat Kajian Strategis
dan Internasional (Chair for Strategy at the Center for Strategic and
International Studies), mengungkapkan fundamentalisme kolonial AS, ‘Satu
dekade silam, di bawah Presiden Bush senior, kami mengangkat krisis kebijakan
luar negeri yang utama di Timur Tengah dengan posisi yang paling menguntungkan
yang pernah kami dapatkan sejak Perang Dunia II’ [Anthony H Cordesman,
‘Iraq and America’s Foreign Policy Crisis in the Middle East’, 1 Maret 2001].
Suatu keuntungan yang dinikmati oleh para pemimpin militer, seperti yang tanpa
ragu-ragu digambarkan oleh Brigadir Jenderal William Looney, ‘Mereka mengetahui bahwa kita menguasai
negara mereka… Kita mendikte cara bicara dan cara hidup mereka. Dan itulah hal
terhebat tentang AS sekarang ini. Itu hal yang bagus, khususnya ketika di sana
ada banyak sekali minyak yang kita butuhkan’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq:
the Realities of Sanctions and the Prospects for War’, October 2002].
10.
Karena itu, kekuasaan AS dan Inggris terhadap Timur Tengah bukan hanya dibentuk
oleh penaklukkan, tetapi juga dicirikan oleh kekejian, sesuatu yang sudah
teramat familiar bagi rakyat Irak. Tahun 1919, rakyat Irak dicekam ketakutan akan gas mustard
dan sekarang ini pesawat tempur AS dan Inggris melanjutkannya dari tempat
yang ditinggalkan para pendahulu mereka, menggunakan maksim Harris ‘Pembom’,
menjatuhkan ‘sebuah bom di setiap desa yang banyak omong’ [Martin Wrollacott,
‘Getting the Dosage Right’, Guardian 19 Januari 1993]. Kebiadaban seperti itu
merupakan hakikat kolonialisme Barat dan tidakkah mengherankan ketika Presiden
Bush mengadopsi cara-cara Winston Churchill, yang baru-baru ini dianggapnya
sebagai negarawan panutan. ‘Dia adalah orang yang secara aktif mendorong
penggunaan gas mustard dan memberikan sanksi kepada pilot-pilot Inggris yang
menembaki secara brutal anak-anak dan wanita Irak ketika mereka melarikan diri
dari rumah karena belum membayar pajak’ [David Omissi., ‘Baghdad and
British Bombers’ Guardian, 19 Januari 1991]. Saat itu Sunday Times menulis, ‘Kita
membunuh sekitar 10 ribu orang Arab di awal musim panas ini. Kita tidak bisa
berharap mempertahankan jumlah sebanyak itu’ [Elie Kedourie, ‘England &
the Middle East, the Destruction of the Ottoman Empire 1914-1921’].
11.
Churchill sendiri mengakui kebiadaban nafsu kolonialisme Barat di Irak dengan mengatakan, ‘Tidak
diragukan lagi bahwa kami adalah orang-orang yang sangat kejam’ [Mark
Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American Power & World Order’., 1998,
hal. 136]. Bahkan ketika mantan Menteri Luar Negeri AS, Madeline Albright,
ditanya apakah kematian setengah juta anak-anak di Irak merupakan sanksi yang
setimpal bagi Irak, dengan tenang dia menjawab, ‘Saya pikir ini merupakan
pilihan yang sangat sulit, tapi kami pikir memang setimpal’ [Wawancara
Lesley Stahl dengan Madeline Albright di televisi CBS, 1996]. Kekejaman seperti
itulah yang kemudian menyebabkan Koordinator Kemanusiaan PBB di Irak, Denis
Halliday, mengundurkan diri. Ia mengatakan, ‘Saya mengundurkan diri karena
kebijakan sanksi ekonomi itu benar-benar menyengsarakan. Kita sedang berada
dalam proses penghancuran masyarakat secara keseluruhan…. Saya diberi mandat
untuk menjalankan kebijakan yang akan termasuk ke dalam pengertian genosida;
suatu kebijakan yang secara efektif telah membunuh lebih dari satu juta anak
dan orang dewasa’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the Realities of Sanctions and
the Prospects for War’, October 2002]. Bisa jadi pembenaran moral atas
kejahatan Barat terlihat dalam pandangan para pengambil kebijakan Inggris yang
menggambarkan orang Irak sebagai orang-orang yang ‘kejam, kasar, dan suka
berkuasa’ [Louis, ‘The British Empire in the Middle East’, hal. 159]. Atau
mungkin pandangan mantan Duta Besar Inggris di Iran dapat memberikan sedikit
pencerahan, ia mengatakan, ‘orang yang berpikiran primitif lebih mudah
memeluk Islam dengan lima kewajibannya yang simpel itu’ [Ibid, hal.
60].
12.
Terlihat adanya paradoks ketika para ideolog Barat
mengaku dirinya sebagai pembebas, padahal pemerintahan mereka, bukan hanya di
Timur Tengah tetapi juga di dunia, tidak memiliki apapun kecuali kebijakan keji yang dirancang untuk
orang-orang yang dijajah. Bagaimanapun juga harus diperhatikan bahwa para
politisi Barat menjadi sangat bersungguh-sungguh terhadap ideologi mereka
karena inilah realita kapitalisme. Bahkan mereka sangat bangga akan peninggalan
yang mereka wariskan, seperti yang tanpa malu-malu diungkapkan Blair, ‘Inggris
telah menjadi kekuatan utama di dunia selama beberapa abad’ dan ‘tak ada
satupun patriotis Inggris yang rela melepaskan status itu’ [Mark Curtis.,
‘The Great Deception Anglo-American Power & World Order’., 1998, hal. 49].
Bahkan prinsip ‘membangun bangsa (nation building)’ tidak
mengalami perubahan sejak abad ke-19. Ketika Mesir mengembangkan industri
tekstilnya pada tahun 1830-an, pada saat yang sama Eropa sedang mengalami
revolusi industri. Eropa
mencoba mencegah industrialisasi di dunia Islam. Pada tahun 1817 konsul
Perancis memperingatkan, ‘Pabrik-pabrik sutera yang didirikan di Mesir akan
menghantam sutera Italia, dan bahkan sutera kita’ [Noam Chomsky., ‘World
Orders, Old and New’., 1998, hal. 117]. Inggris pun ‘tidak menghendaki
adanya sebuah negara merdeka baru di Mediterania, negara yang secara ekonomi
dan militer memiliki kekuatan yang membuatnya mampu memantau kemajuannya di
daerah itu dan Teluk Persia’ [ibid]. Oleh karena itu Inggris berkonspirasi
untuk mencegah kemajuan ekonomi dan industrialisasi di Mesir dengan mengirimkan
angkatan lautnya ‘untuk menghancurkan usaha Mesir memperjuangkan kemerdekaan
dan perkembangan ekonomi’ [ibid], sesuatu yang terus-menerus dilakukan
Barat sebagaimana terbukti di Irak. Economist mengatakan, ‘Negara
kesejahteraan Irak sampai saat ini merupakan salah satu negara yang paling
komprehensif dan murah hati di dunia Arab’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the
Realities of Sanctions and the Prospect of War’, October 2002]. Namun
sebagai bangsa yang menyombongkan diri dengan konsep negara kesejahteraannya,
Barat telah membebankan utang kepada Irak sebesar US$ 200 juta dengan bunga
berlipat ganda, yang membuat Irak berada berdampingan dengan Rwanda dalam rasio
utang terhadap ekspor. Hal itu membuat orang-orang Irak akan memiliki utang
selama beberapa generasi ke depan. Konsep ‘masyarakat bebas’ telah mengurangi
status Irak atas apa yang disampaikan PBB dalam laporan tahun 1991 sebagai, ‘hasil
yang terungkap dari infrastruktur ekonomi dari masyarakat yang, hingga Januari
1991, terkena dampak urbanisasi dan mekanisasi… Untuk beberapa lama peringkat
Irak akan seperti negara masa pra-industri’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar