Banyak orang
menganggap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga tinggi yang tak punya cela
atau "dosa." Seolah-olah MK adalah pengadil yang seadil-adilnya dan
putusannya betul-betul mempertimbangkan keadilan dan kebenaran.
Tapi jangan salah.
Anggapan itu tidak berdasarkan fakta. Arief Hidayat, hakim MK, bahkan pernah
didesak mundur oleh 54 guru besar dari berbagai perguruan tinggi karena ia
sudah 2 kali dinyatakan melanggar kode etik oleh Dewan Etik MK.
Sebelumnya, Arief yang
pernah menjabat Ketua MK ini dilaporkan sebanyak 6 kali ke Dewan Etik MK
terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim. Dua di antaranya
terbukti. Kendati begitu, Arief tetap saja duduk sebagai hakim MK sampai
sekarang.
Di era terdahulu,
terbukti MK tak selamanya “suci.” Mantan hakim MK Patrialis Akbar divonis 8
tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 2019. Ia
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi. Saat
itu Patrialis diwajibkan membayar denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang
pengganti. Patrialis diwajibkan membayar uang pengganti 10.000 dollar AS dan
Rp4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang ia terima.
Uang tersebut
diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor
129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke MK.
Yang lebih dahsyat
adalah aksi yang dilakukan oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar. Ia dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta,
pada 2014.
Akil Mochtar
dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang
terkait kasus sengketa Pilkada di MK.
Tidak hanya dari satu
perkara, Akil terbukti menerima suap dari 5 sengketa pilkada dalam dakwaan
kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp3
miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp10 miliar
dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp3 miliar). Untuk
Pilkada Kota Palembang, hakim menyatakan bahwa orang dekat Akil, Muhtar Ependy,
terbukti menerima Rp19,8 miliar dari Walikota Palembang Romi Herton dan
istrinya, Masyito. Namun, majelis hakim tidak memperoleh kepastian mengenai
total uang yang diterima Akil terkait Pilkada Kota Palembang itu.
Nah![]emje (Tabloid Media Umat edisi 245, 12-25 Juli
2019)