SYARIAT ISLAM DALAM KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
Oleh: H.
Fahmy Lukman, Drs., M.Hum.
Potret Buram Pendidikan Kita
Berbagai tragedi telah mewarnai wajah dunia
pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa, sampai demontsrasi para
guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan
kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu
rapuhnya. Ini semua merupakan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang
sekularistik-materialistik.
Dampak
terhadap kondisi itu nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis
multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan,
kezaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral,
peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan
juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus
sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari
sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan
harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah
iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk
melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan,
perampokan maupun pencurian dengan pemberatan, serta pembunuhan dan perbuatan
tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi
terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan ala
reformasi telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terwujud.
Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa
semua ini terjadi?
Dalam
keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang
ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam
al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ
فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ
بِمَا
كَسَبَتْ
أَيْدِي
النَّاسِ
“Telah nyata
kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum:
41)
Muhammad Ali
As-Shabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan bi maa kasabat aydinnaas dalam ayat itu adalah “oleh karena
kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi
ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran
terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang
diwajibkan dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan dosa
berakibat turunnya azab Allah Swt. Selama ini, terbukti di tengah-tengah
masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
banyak sekali kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam
memang secara sengaja tidak digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam
pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja.
Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan
kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan,
sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah
sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari
nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik
yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan
individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan
yang materialistik.
Dalam tatanan
ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan
materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau
tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam
tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk
tegaknya nilai-nilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan
sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai
bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat
ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah -musik, mode, makanan,
film, bahkan gaya
hidup ala Barat- orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik
adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik.
Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir
tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamakan kedudukan semua agama.
Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka,
kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap
pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama,
kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3)
oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan
aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang
berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian
umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan bahkan
memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim
harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara
itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan
manusia saleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai pengetahuan, ilmu,
dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini
telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen
yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (PITEK)
adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak
tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic)
yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap
secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu
basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal
yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan
investasi yang telah ditanam oleh orangtua siswa. Pengembalian itu dapat berupa
gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi
yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual.
Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai
standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik
yang pada faktanya bernilai materi juga.
Berbagai
tragedi pun telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari
siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut
dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi,
betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. Hal seperti itu dapat kita
perhatikan dari kejadian tawuran, curas, pergaulan bebas yang terus berulang
setiap tahun. Dalam perkara tawuran, berdasarkan data Direktorat Bimbingan
Masyarakat Polda Metro Jaya dan sekitarnya bahwa tawuran antar pelajar pada
tahun 2000 terjadi 197 kasus dan tahun 2001 terjadi 123 kasus. Pelajar yang
tewas tahun 2000 tercatat 28 orang dan tahun 2001 sebanyak 23 orang. Pelajar
luka berat tahun 2000 ada 22 orang dan 2001 ada 32 orang. Yang memperihatinkan
bahwa tawuran tersebut telah turun ke tingkat siswa SLTP. Lebih mencemaskan
lagi para pelajar mulai berani melakukan aksi kekerasan, seperti penodongan
sampai pembajakan kendaraan umum (bus dan angkot), merampok penumpang, dan mereka
tidak segan untuk melukai korbannya. Kini setiap melihat pelajar bergerombol
(baik SMU atau SLTP) banyak orang menjadi cemas (Kompas, Minggu 12/5/02).
Ini semua
merupakan “prestasi” dan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang
sekularistik-materialistik.
Pengamatan
secara mendalam atas semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan:
bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri.
Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Berikut ini merupakan
simpulan permasalahan masyarakat kita akibat produk dunia pendidikan:
1. Agama dipandang sebagai sesuatu yang terpisah
dengan pengaturan kehidupan (sekularisme) sehingga agama (Islam) tidak lagi
berperan sebagai pengendali motivasi manusia (driving integrating motive) atau
faktor pendorong (unifying factor).
2. Kepribadian peserta didik mengalami keguncangan
citra diri (disturbance of self image) dan keperibadian yang pecah (split
personality) sehingga tidak memiliki kepribadian yang islami (Asy
Syakhshiyyah Al Islamiyyah).
3. Pola hidup
masyarakat bergeser dari sosial-religius ke arah masyarakat individual
materialistis dan sekuler.
4. Pola hidup
sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.
5. Struktur
keluarga yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family
bahkan menuju single parent family.
6. Hubungan
keluarga yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh.
7.
Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi
masyarakat modern bercorak sekuler dan permissive society.
8. Lembaga
perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama
tanpa nikah.
9. Ambisi karier
dan materi yang tidak terkendali mengganggu hubungan interpersonal baik dalam
keluarga maupun masyarakat.
Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi
dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan
paradigma dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan
Islam sebagai solusi terhadap kenyataan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar