Pergi ke Masjid
Siapa saja yang
mendengar iqamah di masjid, atau mengetahui adanya iqamah, maka dianjurkan
untuk pergi ke masjid dengan tenang, dan tidak tergesa-gesa ketika berjalan.
Perlu diketahui bahwa selama seseorang berangkat ke masjid maka sesungguhnya
dia dalam keadaan shalat, yakni dihukumi sebagai seorang mushalli (orang yang shalat), sehingga apa
yang dianjurkan bagi seorang mushalli
dianjurkan pula baginya. Di antaranya adalah berangkat dengan tenang, penuh
ketundukan, dan tidak tergesa-gesa. Apa yang didapatinya dari shalat jamaah,
maka hendaknya ia shalat bersama mereka, dan apa yang luput dari shalat jamaah,
maka hendaklah ia menyempurnakannya seorang diri. Dari Abu Qatadah ra. ia
berkata:
“Suatu ketika kami
shalat bersama Nabi Saw., lalu terdengarlah suara ribut orang-orang di
belakang. Usai shalat, beliau Saw. bertanya: “Ada apa dengan kalian?” Mereka
berkata: “Kami tergesa-gesa untuk shalat.” Beliau berkata: “Janganlah kalian
melakukan itu lagi. Jika kalian mendatangi shalat maka hendaklah kalian
bersikap tenang. Apa yang kalian dapatkan dalam shalat jamaah maka lakukanlah,
dan apa yang luput tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
Dari Abu Hurairah ra.,
dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Jika kalian mendengar
iqamah maka pergilah untuk shalat, dan kalian harus berangkat dengan tenang,
perlahan, dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan maka shalatlah, dan
apa yang luput tertinggal dari kalian maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika iqamah untuk
shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian mendatanginya secara
bergegas tergesa-gesa. Hendaklah kalian mendatanginya dalam keadaan tenang. Apa
yang kalian dapatkan dalam shalat jamaah maka lakukanlah, dan apa yang luput
tertinggal maka sempurnakanlah, karena sesungguhnya salah seorang dari kalian
jika berangkat menuju shalat maka ia sedang dalam shalat. ” (HR. Muslim)
Adab di Masjid
Masjid adalah rumah
Allah ‘azza wa jalla, karena itu, orang
yang mengunjunginya harus bersikap sopan di dalamnya dan memelihara sejumlah
adab yang ditetapkan syariat. Salah satu adabnya adalah berhias dalam pakaian,
bagus penampilan, memakai wewangian, dan menjauhi memakai sesuatu yang bisa menimbulkan
bau dan mengganggu orang yang shalat. Allah Swt. berfirman:
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (TQS. al-A'raf [7]:
31)
Dari Jabir bin
Abdullah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
memakan bawang putih ini.” Beliau berkata sekali lagi: “Barangsiapa yang
memakan bawang merah, bawang putih dan kucai, maka janganlah dia mendekati
masjid kami, karena sesungguhnya para malaikat merasa terganggu dengan apa yang
bisa mengganggu anak Adam.” (HR. Muslim)
Disunahkan masuk
masjid dimulai dengan kaki kanan, dan keluar darinya dimulai dengan kaki kiri.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa
beliau Saw. seringkali berkata:
“Termasuk sunah jika
engkau masuk ke dalam masjid, engkau memulainya dengan kaki kanan. Dan jika
engkau keluar dari masjid maka hendaklah engkau memulainya dengan kaki kiri.”
(HR. al-Hakim)
Ketika masuk,
hendaknya Anda mengucapkan: “Dengan menyebut nama Allah, shalawat dan salam
tercurah bagi Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”
Dan jika Anda
menambahnya dengan ucapan: “Aku berlindung kepada Allah Yang Agung, dan kepada
wajah-Nya Yang Mulia, serta kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan setan yang
terkutuk”, maka itu lebih baik lagi.
Lalu Anda ucapkan
ketika keluar: “Ya Allah, curahkanlah shalawat serta salam kepada Rasulullah.
Ya Allah, sesungguhnya aku meminta karunia dari-Mu.”
Dan jika Anda
tambahkan: “Ya Allah, lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk”, atau
“Ya Allah, selamatkanlah aku dari godaan setan yang terkutuk”, maka itu lebih
baik lagi.
Dari Abu Humaid atau
Abu Usaid, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah: Ya Allah, bukakanlah bagiku
pintu-pintu rahmat-Mu. Dan jika keluar maka ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya
aku meminta karunia dari-Mu.” (HR. Muslim)
Ad-Darimi meriwayatkan
dengan redaksi:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka bershalawatlah untuk Nabi, kemudian
ucapkanlah:…
Ibnu Majah dari jalur
Abu Hurairah meriwayatkan hal serupa, sehingga ada tambahan ucapan salam untuk
Nabi. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka bershalawatlah untuk Nabi, dan ucapkanlah: Ya
Allah, selamatkanlah aku dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. al-Hakim)
Sehingga ada tambahan
shalawat untuk Rasulullah Saw.
Abdullah bin Amr bin
Ash meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya beliau
Saw. jika memasuki masjid mengucapkan: “Sesungguhnya aku berlindung kepada
Allah Yang Agung, dan kepada wajah-Nya (Dzat-Nya) Yang Mulia serta
kekuasaan-Nya yang azali, dari godaan
setan yang terkutuk.” Ia bertanya: Apakah itu cukup? Aku menjawab: Ya. Ia
berkata: Jika ia mengucapkan itu, setan berkata: “Ia terlindung dariku
sepanjang hari.” (HR. Abu Dawud)
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian memasuki masjid maka bersalamlah untuk Nabi Saw., dan ucapkanlah:
“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” Dan jika ia keluar
(masjid) maka bersalamlah untuk Nabi Saw., dan ucapkanlah: “Ya Allah,
lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan dengan redaksi:
“Ya Allah,
selamatkanlah aku.”
sebagai pengganti:
“Ya Allah, lindungilah
aku.”
Disunahkan pula untuk
merendahkan suara di dalam masjid. Maka seorang Muslim tidak boleh meninggikan
suaranya, baik dalam ucapan, do'a, ataupun bacaan al-Qur'an, walaupun hal itu
dilakukan ketika dia sedang melaksanakan shalat secara sendirian. Hal ini tiada
lain agar tidak mengganggu orang selainnya yang sedang shalat. Dari
al-Bayyadhi:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. keluar menemui orang-orang, dan pada waktu itu mereka sedang melaksanakan
shalat, sedangkan suara-suara bacaan (al-Qur'an) mereka begitu keras. Maka
beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang yang shalat itu sedang bermunajat (bercakap-cakap)
dengan Tuhannya, maka seharusnya dia memperhatikan apa yang dipercakapkannya
itu dengan-Nya, dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaan al-Qur'an
atas sebagian yang lain.” (HR. Malik dan Ahmad)
Dari Abu Said ra., ia
berkata:
“Rasulullah Saw. beri’tikaf di dalam masjid. Beliau Saw. mendengar
orang-orang mengeraskan bacaan al-Qur'an, lalu beliau Saw. menyingkap tirai dan
berkata: “Ingatlah, sesungguhnya setiap diri kalian sedang bermunajat dengan
Tuhannya, maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain, dan janganlah
saling mengeraskan bacaan al-Qur'an sebagian kalian atas sebagian yang lain,
-atau dia berkata- bacaan shalat.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu
Khuzaimah)
Adapun jika di dalam
masjid tersebut tidak ada orang yang sedang shalat, atau orang-orang yang
sedang shalat itu jauh posisinya, maka tidak apa-apa baginya untuk mengeraskan
suaranya. Dari Ka’ab:
“Bahwasanya ia meminta
Abu Hadrad melunasi hutangnya di dalam masjid, suara keduanya begitu keras
hingga terdengar oleh Rasulullah Saw., padahal beliau Saw. berada di rumah
(yang terletak di samping masjid). Lalu beliau keluar menemui keduanya, hingga
tersingkap tirai kamarnya, kemudian beliau memanggil: “Wahai Ka'ab.” Ia
berkata: ”Ya wahai Rasulullah.” Beliau Saw. berkata: “Tangguhkanlah dari
sebagian hutangmu ini.” Beliau Saw. memberi isyarat kepadanya, yakni
setengahnya. Ka’ab berkata: “Sungguh aku telah melakukannya wahai Rasulullah.”
Beliau Saw. bersabda: “Maka berdirilah dan tunaikanlah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Suara keduanya begitu
keras di dalam masjid, dan Rasulullah Saw. tidak mengingkari perbuatan keduanya
itu.
Menjalinkan atau
menyilangkan jari-jemari pun dimakruhkan di dalam masjid, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah berkata:
“Rasulullah Saw.
menemuiku di dalam masjid, dan aku menjalinkan jari-jemariku. Lalu beliau Saw.
berkata: “Wahai Ka’ab, jika engkau di dalam masjid maka janganlah engkau
menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat selama engkau
sedang menunggu shalat.” (HR. Ahmad)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Abul Qasim Saw.
bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berwudhu di rumahnya, kemudian mendatangi masjid, maka dia dalam
keadaan shalat hingga ia pulang, maka janganlah dia melakukan begini begini.
Dan beliau menjalinkan jari-jemarinya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah)
Begitu juga
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian berada di dalam masjid, maka janganlah ia menjalinkan
jari-jemarinya, karena perbuatan seperti itu berasal dari setan. Dan
sesungguhnya salah seorang dari kalian terus-menerus dalam keadaan shalat
selama ia berada di dalam masjid hingga ia keluar darinya.” (HR. Ahmad)
Dimakruhkan menjadikan
masjid sebagai tempat jual-beli, sama dimakruhkan pula mengadakan berbagai
halqah (kumpulan melingkar) di dalam masjid
pada hari
Jum’at sebelum shalat. Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari
kakeknya:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melarang berkumpul melingkar pada hari Jumat sebelum shalat, dan melarang
jual-beli di dalam masjid.” (HR. an-Nasai)
Diharamkan membuang
dahak di lantai masjid maupun dindingnya. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
Nabi Saw. bersabda:
“Orang yang membuang
dahak di dalam masjid itu sungguh telah melakukan kesalahan, dan kaffarahnya adalah ia harus mengubur
dahaknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Abu Dawud)
Adapun selain itu,
yang tidak dianggap sebagai membuat keributan, dan yang tidak mengandung
pelecehan terhadap masjid yang bisa menyalahi kewajiban untuk menghormati
masjid dan memperhatikan adab-adabnya, maka tidak menjadi masalah.
Telah diriwayatkan
berbagai perbuatan dan perkara yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
beserta para sahabatnya di dalam masjid sebagai dalil atas kebolehannya, yang
kami ringkas sebagai berikut: tidur, makan, bersedekah kepada orang lain,
meminta pelunasan hutang, permainan yang dibolehkan, dan mengobati orang sakit
dan luka. Berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya:
a. Dari Ubadah bin
Tamim dari pamannya:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. berbaring di dalam masjid, meletakkan salah satu kaki
di atas kakinya yang lain.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Muslim)
b. Dari Sahal bin
Sa'ad, ia berkata:
“Rasulullah Saw.
datang berkunjung ke rumah Fathimah, dan beliau tidak mendapati Ali di rumah
itu, lalu beliau bertanya: “Di manakah anak pamanmu?” Fathimah menjawab:
“Antara aku dan dia terjadi pertengkaran, lalu dia marah kepadaku dan pergi
keluar, dia tidak tidur siang di sisiku.” Beliau Saw. berkata kepada seseorang:
“Carilah di mana dia.” Kemudian orang itu datang dan berkata: “Wahai
Rasulullah, ia berada di dalam masjid sedang tidur.” Lalu Rasulullah Saw.
datang ke masjid, sedangkan Ali dalam posisi berbaring, dan selendangnya jatuh
dari bahunya sehingga dia terkena debu. Rasulullah Saw. mengusapnya, seraya
berkata: “Berdirilah wahai Abu Thurab, berdirilah wahai Abu Thurab.” (HR.
Bukhari)
c. Dari Abdullah bin
al-Haris az-Zabidi, ia berkata:
“Kami suka makan roti
dan daging di dalam masjid di masa Rasululah Saw.” (HR. Ibnu Majah)
d. Dari Abdurrahman
bin Abu Bakar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Apakah di antara
kalian ada seseorang yang memberi makan orang miskin pada hari ini?” Abu Bakar
ra. berkata: “Aku memasuki masjid, dan aku mendapati seorang peminta-minta yang
sedang meminta sesuatu, lalu aku dapati sepotong roti di tangan Abdurrahman, kemudian
aku mengambil roti itu dan memberikannya kepada sang peminta-minta.” (HR. Abu
Dawud)
e. Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata:
“Orang-orang Yahudi
mendatangi Nabi Saw., dan beliau sedang duduk di masjid bersama para
sahabatnya. Lalu mereka berkata: “Wahai Abul Qasim, putuskanlah hukuman untuk
seorang laki-laki dan perempuan yang berzina untuk masing-masing mereka.” (HR.
Abu Dawud)
Sebelumnya telah
disebutkan kisah Ka'ab yang meminta pelunasan hutang dari Ibnu Abi Hadrad, dan
Rasulullah Saw. memberikan keputusan atas perkara itu.
f. Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
memasuki masjid, dan (pada waktu itu) orang-orang Habsyah sedang bermain (yaitu
mempertunjukkan keahlian bela diri, pen.),
kemudian Umar mencela mereka. Maka Nabi Saw. berkata: ”Biarkanlah mereka wahai
Umar, karena sesungguhnya mereka itu adalah keturunan arfidah.” (HR. Ahmad)
Yang dimaksud dengan
ucapan beliau: keturunan arfidah adalah,
bahwasanya permainan itu menjadi adat kebiasaan orang-orang Habsyi.
g. Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Sa'ad terkena luka
dalam Perang Ahzab pada urat tangannya, lalu beliau Saw. membuat kemah di
masjid agar beliau mudah menjenguknya dari dekat...” (HR. Bukhari)
Seandainya kita
mengetahui bahwa masjid adalah tempat tinggal orang-orang fakir dari kalangan
kaum Muslim, yakni mereka yang disebut ahlus
suffah, niscaya kita memahami bahwa berbagai aktivitas yang biasa
dilakukan di rumah-rumah yang terkait dengan kehidupan, adalah boleh hukumnya
dilakukan di masjid.
Seandainya kita ingat,
bahwa Rasulullah Saw. -dan beliau adalah pemimpin negara- telah menjadikan
masjid sebagai tempat (pusat) pemerintahan yang digunakannya untuk mengatur
urusan negaranya, baik berupa mengutus sariyah
(ekspedisi militer), pengiriman delegasi, menahan tawanan, menerima
delegasi-delegasi, membagikan harta, menginstruksikan berbagai tugas kepada
para gubernur, para amil dan para karyawannya, dan mendidik hukum-hukum agama
pada kaum Muslim, maka kita akan memahami bahwa seluruh aktivitas kaum Muslim,
baik rakyat ataupun penguasa, boleh dilakukan di dalam masjid. Oleh karena itu,
amat keliru orang yang membatasi masjid hanya untuk sekedar melaksanakan shalat
dan berbagai aktivitas yang terkait dengan ibadah ritual saja.
Apa yang ada di dalam
masjid dan apa yang dilakukan oleh kaum Muslim di masjid pada masa sekarang
ini, berupa membangun masjid dengan megah, lalu memenuhinya dengan perhiasan,
menggantung ayat-ayat al-Qur’an dan menuliskannya pada dinding, meninggikan mimbar
dan mihrab, sehingga tampak seperti istana yang megah dan auditorium yang indah
dengan berbagai hiasan dan pernak-perniknya, maka hal ini telah menyalahi
Sunnah, atau bahkan bisa sampai pada status haram, karena (jika) berbagai
perkara seperti itu telah menggangu orang-orang yang shalat, menyibukkan dan
melalaikan mereka dari shalat dan kekhusyu’an yang seharusnya ada dalam shalat.
Ibnu Abbas telah
meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Aku tidak diperintah
untuk mengokohkan masjid. Ibnu Abbas berkata: “Niscaya kalian akan
menghiasinya, sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat ibadah
mereka.” (HR. Abu Dauwd)
Dari Anas bin Malik,
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Hari Kiamat tidak
akan terjadi hingga orang-orang bermegah-megah di dalam masjid.” (HR. Ahmad dan
Darimi)
Ummu Utsman binti
Sufyan meriwayatkan, bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tidak
boleh ada sesuatu di dalam al-bait ini
yang bisa melalaikan/mengganggu orang yang shalat.” (HR. Ahmad)
Dan al-bait di sini maksudnya adalah Masjidil
Haram.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)