Oleh:
K.H. Hafidz Abdurrahman
Soal:
Benarkah
dalil tentang Khilafah -baik yang menyangkut kewajiban mendirikan Khilafah,
bentuk Khilafah dan lain-lainnya- merupakan dalil umum, yang tidak spesifik?
Dengan kata lain, benarkah dalil tentang Khilafah itu longgar sehingga bisa
diterjemahkan dengan sistem apapun buatan manusia, seperti negara demokrasi?
Bagaimana hukum menggunakan maqâshid syarî'ah
atau ma'alat af'âl untuk membatalkan hukum yang qath'i? Bolehkah meng-ijtihad-kan hukum yang dinyatakan oleh nas?
Jawab:
Sebelum
menjawab pertanyaan ini, penting kita merenungkan sabda Nabi saw. tentang sosok
yang lebih ditakutkan Nabi Saw. menimpa umatnya ketimbang Dajjal.
Pertama:
Mereka adalah aimmah mudhillun,
pemimpin yang menyesatkan.
(Lihat:
HR. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]. Menurut al-Manawi,
"Abu al-Biqa' berkata, maknanya adalah, “Aku lebih takutkan terhadap
umatku, selain Dajjal, lebih aku takutkan ketimbang terhadap Dajjal."
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam
an-Nawawi menyatakan, "Maknanya adalah sesuatu yang lebih aku takutkan
terhadap umatku, yang paling layak untuk ditakuti adalah para pemimpin yang
menyesatkan.” [Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, Juz XVIII/]. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka
mengatakan, “Siapa saja ulama kita yang rusak, di dalam dirinya menyerupai
Yahudi. Siapa saja ahli ibadah di antara kita yang rusak, maka di dalam dirinya
menyerupai Nasrani. Tidak hanya satu ulama' salaf yang mengatakan,
“Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah orang berilmu yang rusak, dan ahli
ibadah yang bodoh. Karena fitnah keduanya menjadi fitnah bagi semua orang yang
terkena fitnah." [Lihat: Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, Juz I/197])
Kedua:
Orang munafik yang pintar, dan berdebat dengan menggunakan al-Qur’an. (Lihat:
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan
44; ibn ‘Abdi al-Barr, Jami' Bayan
al-'Ilmi wa Fadhlih, hadits no.1420)
Karena
itu pesan Sayyidina 'Ali penting menjadi pegangan kita:
“Janganlah
kamu mengenali kebenaran melalui orangnya. Akan tetapi, kenalilah kebenaran itu
(terlebih dulu), maka kamu pasti akan mengenali orangnya (apakah dia orang
benar atau salah). (Lihat, Imam al-Ghazali, al-Munqidz
min ad-Dhalal, hal. . Hujjatu al-Islam, Imam al-Ghazali, mengutip ucapan
Sayyidina 'Ali ini dalam kitab tersebut untuk mengingatkan kaum Muslim agar
tidak termakan dengan fitnah para Filsuf Muslim, sehingga mereka tersesat)
Adapun
terkait dengan pertanyaan di atas maka jawabannya sebagai berikut:
Pertama, mengenai dalil Khilafah, mari kita bandingkan
dengan dalil tentang kewajiban shalat. Ketika Nabi saw. diperintahkan
mendirikan shalat, Nabi Saw. naik di atas Bukit Shafa, memperagakan tatacara
shalat. Setelah selesai, Nabi Saw. menyatakan kepada para Sahabat:
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian tadi melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. al-Bukhari).
Setelah
itu Nabi Saw. mempraktikkan shalat tersebut sepanjang hayatnya. Lalu hal itu
dilihat, didengar dan dipraktikkan oleh para Sahabat pada zaman Nabi Saw. Semua
tindakan, ucapan dan praktik Nabi Saw. dalam mengerjakan shalat tersebut
merupakan penjelasan detail tentang tatacara shalat yang diwajibkan oleh Allah
SWT. Apakah setelah semuanya itu kita akan mengatakan bahwa dalil-dalil tentang
shalat bersifat umum, tidak spesifik?
Sekarang
mari kita bandingkan dengan Daulah Islam dan Khilafah. Nabi Saw. diperintahkan
oleh Allah SWT:
“Hendaklah
kamu menerapkan pemerintahan di antara mereka menurut apa (wahyu) yang telah
Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
(wahyu) yang telah Allah turunkan kepadamu...” (QS. al-Maidah [5]: 49).
Di
dalam ayat ini perintah-Nya tegas, "menerapkan hukum” yang juga berarti,
"menerapkan pemerintahan." Sebab, logikanya, bagaimana mungkin Allah
SWT memerintahkan Nabi agar menerapkan hukum, tetapi tidak ada institusi yang
digunakan untuk mengeksekusi perintah tersebut.
Selain
itu, ayat ini juga merupakan ayat yang diturunkan di Madinah ketika Nabi Saw.
telah mendapatkan Baiat Aqabah kedua dan telah menjadi kepala Negara Islam di
Madinah. Nabi Saw. pun menjalankan pemerintahannya, A sampai Z. Semuanya
berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan. Semua ucapan, tindakan dan
kebijakan Nabi itu diperagakan secara live
selama 10 tahun di Madinah. Semuanya itu dilihat, didengar dan diikuti oleh
para Sahabat.
Semasa
hidupnya Nabi Saw. pun dengan tegas berpesan agar kaum Muslim memegang teguh
Sunnah beliau dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau. Bahkan beliau
mengingatkan agar keduanya digigit dengan gigi geraham, agar tidak lepas:
“Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku
dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah Sunnah
itu dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Selain
itu, bentuk dan model Khilafah juga sudah dijelaskan dengan detail. Nabi Saw. menyatakan:
“Ada
era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia
akan diangkat oleh Allah jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah
itu akan ada era Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR. Ahmad).
Nabi
Saw. telah menjelaskan praktiknya selama 10 tahun di Madinah, baik dalam
ucapan, perbuatan maupun taqrîr [pengakuan]. Setelah beliau wafat, pemerintahan
dilanjutkan oleh para Sahabat. Pemerintahan itu beliau sebut sebagai Khilafah 'ala minhâj nubuwwah karena
memang mereka hanya meng-copy paste
pemerintahan Nabi Saw. Apakah semuanya ini bukan merupakan dalil yang spesifik?
Tidak cukupkah praktik pemerintahan Nabi Saw. selama 10 tahun bersama dengan
para Sahabat?
Memang,
di dalamnya ada aspek ijtihad. Itu sudah pasti, sebagaimana furu' shalat. Namun
demikian, inti, rukun dan bentuknya sudah baku. Jadi, bagaimana mungkin
mengatakan dalil-dalil tentang Khilafah masih bersifat umum, tidak spesilik?
Padahal dalil-dalilnya sama dengan dalil shalat. Dua-duanya juga sama-sama
dipraktikkan sepanjang hidup Nabi Saw. dan para Sahabat. Kalau terkait shalat,
mereka [yang suka meragukan Khilafah] tidak mempersoalkan dalil-dalil ‘âm dan takhshîsh atau tafshîl-nya,
mengapa dalil-dalil tentang Khilafah mereka persoalkan? Di mana nalarnya?
Lagi
pula, dalil umum itu biasanya hanya satu dua. Adapun ucapan, tindakan dan taqrîr
Nabi Saw. dalam menjalankan pemerintahan, itu berlangsung selama 10 tahun.
Belum lagi pemerintahan Khilafah yang telah menjadi Ijmak Sahabat yang
berlangsung selama 30 tahun. Semuanya begitu detail. Lalu masihkah disebut
dalil umum? Di mana nalarnya? Karena itu, tidak ada ulama ushul manapun
menyatakan pendapat begitu, kecuali orang buta dan tuli. Karena itu pula, wajar ketika 'Ali Abdurraziq
menyatakan begitu, Hai'ah Kibar Ulama' al-Azhar memandang dia tidak layak lagi
disebut ulama sehingga status keulamaannya dicopot. (Lihat: Dr. Sayyid
Taqiyuddin, Radd Hai'ah Kibar Ulama' 'ala
Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li as-Syaikh 'Ali Abdurraziq, Hadiyyah
Majallah al-Azhar al-Majjaniyyah, Rabiul Awwal 1414 H, hal.46)
Pasalnya,
pendapat dia tidak bisa diterima akal sehat orang yang paham Islam, dalil,
ushul dan bahasa Arab. Jelas memalukan.
Di
antara mereka ada yang bersandar pada penjelasan as-Syathibi dalam kitabnya,
"Khilafah itu umum atau khusus, mengikuti apa yang dijelaskan oleh hadis."
Padahal Asy-Syathibi dalam penjelasannya justru menyatakan, "Tampak bahwa
hukum tersebut bersifat "kulli"
[menyeluruh] dan "âm” [umum],
tidak dibatasi. Karena itu bagian-bagian dari seluruh kekuasaannya tidak boleh
menyimpang darinya, baik secara umum maupun khusus. Jika demikian, yang
dituntut adalah siapapun yang berada di posisi orang yang menggantikannya maka
hukum-hukumnya, maqâshid dan aliran
hukumnya harus diberlakukan sama." (Lihat, as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/252)
Karena
itu, logika ini, yang sekaligus premis pertama, jelas batil.
Kedua, benarkah dalil-dalil tentang Khilafah itu
longgar, sehingga bisa diadaptasi dalam sistem pemerintahan demokrasi, yang
diklaim sebagai sistem dengan nilai-nilai Islam itu sendiri? Logika ini
sebenarnya dibangun dengan premis pertama, bahwa dalil-dalil Khilafah itu
bersifat umum, tidak spesifik. Padahal, premis ini sudah batil dan tidak bisa
diterima nalar.
Selain
itu, harus dipahami, Khilafah adalah isim
syar'i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan
manusia. Pasalnya, istilah ini pertama kali digunakan dalam nas syariah dengan
konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab
sebelumnya. Ini sebagaimana kata shalat, haji, zakat, dan sebagainya. (Lihat,
al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
Juz I/27-28)
Istilah
Khilafah dengan konotasi syariah ini digunakan dalam banyak hadis Nabi saw.
dalam banyak riwayat. (Lihat, Musnad
al-Bazzar, hadits no.1282. Musnad
Ahmad, hadits no.2091 dan 20913. Sunan
Abu Dawud, hadits no.4028. Sunan
at-Tirmidzi, hadits no.2152. Al-Mustadrak,
hadits no.4438)
Adapun
pemangkunya disebut khalîfah,
jamaknya khulafâ'. Istilah ini pun
dinyatakan dalam banyak hadis. (Lihat, Shahih
Bukhari, hadits no.6682. Shahih
Muslim, hadits no.3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no.3731 dan
3732. Musnad Ahmad, hadits no.3394,
19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103
dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits
no.2149 dan 4194)
Karena
itu istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang memang digunakan
dalam nash syariah, yang bersumber dari wahyu. Istilah ini kemudian diadopsi
para ulama ushuluddin, fikih dan tsaqâfah Islam yang lainnya dengan konotasi
sebagaimana yang dimaksud oleh banyak hadis Nabi Saw.
Konotasinya
jelas sehingga tidak ada perbedaan di kalangan ulama dan umat sepanjang 14
abad. (Majmu’ah Muallifin, Mu’jam
Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal.756)
Dengan
demikian, upaya menyerang dan mengaburkan fakta Khilafah, baik tentang dalil,
bentuk dan modelnya dengan kata-kata, "dalilnya umum, tidak spesifik",
atau “tidak mempunyai bentuk dan model baku”, jelas bertolak belakang 180
derajat dengan faktanya. Ucapan ini hanya keluar dari bekas ulama, seperti 'Ali
Abdurraziq, atau kaum munafik yang pintar bersilat lidah, atau
"Dajjal" yang menyesatkan sebagaimana dalam hadis Nabi Saw. di atas.
(Lihat, Hr. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]; Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan 44; Ibn ‘Abdi
al-Barr, Jami' Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih,
hadits no.1420. Lihat, catatan kaki no.1 dan 2)
Anehnya,
pada saat yang sama, pemerintahan demokrasi yang jelas-jelas tidak ada
dalilnya, bahkan bertentangan dengan Islam, dijustifikasi sedemikian rupa agar
bisa diterima. Demokrasi jelas sama sekali tidak ada dalilnya, jangankan dalalâh manthûq, mafhûm-nya saja tidak ada. Namun demikian, mereka tetap saja ngotot bahwa demokrasi itu identik
dengan Islam. Di mana nalarnya?
Karena
itu, upaya mengadaptasi sistem demokrasi yang jelas bertentangan dengan Islam,
dengan klaim sebagai pemerintahan Islam jelas menyalahi dalil, fakta dan nalar
sehat. (Lihat, penjelasan mendalam Kontradiksi Demokrasi dengan Islam, dalam
kitab Kaifa Hudimat al-Khilafah,
karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, hal.59-69)
Ketiga, bagaimana kedudukan maqâshid syarî'ah dan ma'alat al-af'âl dalam merekonstruksi hukum?
Maqâshid asy-Syarî'ah,
yaitu jalb al-mashâlih [mewujudkan
kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid
[mencegah kerusakan], ini dibahas oleh As-Syathibi, dalam kitabnya, al-Muwâfaqât. Hanya saja, pendapat
beliau kemudian diselewengkan, sebagai tujuan pensyariatan hukum syariah,
sehingga diklaim sebagai ‘illat
hukum, bahkan kemudian diklaim sebagai dalil syariah itu sendiri. Padahal maqâshid asy-syarî'ah itu bukan 'illat hukum, apalagi dalil syariah. Maqâshid asy-Syarî'ah ini adalah tujuan
dari pensyariatan dan penerapan hukum syariah secara kaffah. Allah SWT
berfirman:
“Kami
tidak mengutus kamu (Muhammad) -dengan membawa syariah, red.- kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS. al-Anbiya’
[29]: 107).
Rahmat[an] li al-'alamin di
sini adalah jalb al-mashâlih [mewujudkan
kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid
[mencegah kerusakan]. Jalb al-mashâlih
wa dar'u al-mafâsid ini adalah hasil dari
penerapan syariah secara kaffah sehingga tidak bisa disebut sebagai 'illat hukum, baik untuk hukum secara
keseluruhan maupun satu-persatu hukum. (Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Juz III/361-368)
Apalagi
jika dengan alasan jalb al-mashâlih wa dar'u al-mafâsid menolak hukum yang qath'i atau yang telah disepakati. Dalam
konteks ini, Imam Asy-Syathibi sendiri menyatakan:
“Jika
dia menghendaki selain apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' maka dia benar-benar
telah menjadikan apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' itu tidak lagi diakui
[diterima]… Tindakan itu jelas secara nyata bertentangan dengan syariah.” (Lihat,
as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul
as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/253)
Kewajiban
adanya Khilafah dan Khalifah, sebagaimana yang dititahkan dan dijelaskan oleh Asy-Syâri',
jelas-jelas hendak didelegitimasi oleh mereka dengan menggunakan ‘illat dan dalil maqâshid asy-syarî'ah. Beragumen dengan logika seperti ini jelas
cacat. Bahkan Asy-Syathibi sendiri menolaknya.
Menolak
Khilafah dengan menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan] juga
tertolak. Dikatakan, misalnya, kewajiban adanya Khilafah dan Khalifah saat ini
tidak wajib karena bisa menimbulkan ke-madharat-an
yang lebih besar, perpecahan, perang saudara dan sebagainya. Kesimpulan seperti
ini dihasikan dari penggunaan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan]. Sama
seperti orang yang mengatakan, memakai cadar hukumnya wajib bagi perempuan agar
terhindar dari fitnah. Kesimpulan ini juga menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan].
Hukum yang ditarik dengan cara seperti ini jelas keliru karena tidak
menggunakan dalil, tetapi hanya menggunakan akal murni.
Ma'alat
al-af'âl [dampak perbuatan], baik sebagai dalil maupun kaidah, jelas tidak bisa
digunakan; kecuali dalam perkara yang dinyatakan oleh nas dan tidak membatalkan
hukum yang ditetapkan oleh nas. Jika tidak, maka tidak boleh digunakan.
Keempat, bolehkah meng-ijtihad-kan perkara yang telah
dinyatakan oleh nas? Dalam konteks ini, ada kaidah ushul yang menyatakan:
Tidak boleh ada ijtihad
ketika [perkara] itu telah dinyatakan dalam nas.
Khilafah,
Khalifah dan sistem pemerintahan Islam ini merupakan perkara yang telah
dinyatakan dalam nas sehingga tidak boleh ada ijtihad, apalagi dengan tujuan
menegasikan kewajibannya; menolak bentuk, sistem dan modelnya. Hanya dalam
perkara yang tidak dinyatakan oleh nash, tidak ada larangan untuk dilakukan ijtihad.
WalLâhu a'lam.[]
(artikel
ini tanpa tulisan Arabnya)
Sumber:
Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018