ZAKAT BINATANG TERNAK: Unta,
Sapi (Dan Kerbau), Kambing
Banyak hadits shahih
menjelaskan tentang wajibnya zakat pada unta, sapi, dan kambing.
(Sebagaimana
dijelaskan dalam riwayat:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah bab fi
Zakaatis Saa-imah (II/224, 225, no.1568 dan II/221, no.1567)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah bab Ma
Jaa-a fi Zakaatil Ibil wal Ghanam (III/8, no.621). Beliau berkata:
“Hadits hasan. Seluruh ahli fiqh mengamalkan hadits ini.”
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah bab Shadaqatil
Ibil (I/573, no.1798)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah bab Zakaatil
Ibil (V/19 dan 21, no.2447) dan bab Zakaatil
Baqar (V/26, no.2453)
Malik dalam Muwaththa’: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatul
Masyiah (I/257-258, no.23)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ghanam (I/381) dan bab Zakaatil Ibil (I/382)
Kewajiban zakat unta,
sapi, kambing disyaratkan dengan syarat-syarat berikut ini:
1. Mencapai nishab.
2. Genap satu tahun
(sampai haulnya).
3. Unta, sapi, kambing
tersebut bersifat saa-imah, yaitu
digembalakan pada rerumputan bebas pada mayoritas tahun zakat. (Ini adalah
pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Menurut Imam asy-Syafi'i, jika unta, sapi,
kambing diberikan makanan di kandangnya, dengan ukuran yang ia bisa hidup
tanpanya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika tidak demikian, maka tidak ada
kewajiban zakat. Unta, sapi, kambing tersebut mampu bertahan untuk tidak makan
hanya dalam dua hari, tidak lebih dari itu)
Mayoritas ulama
menyetujui syarat-syarat di atas. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali Malik
dan al-Laits. Keduanya mewajibkan zakat atas unta, sapi, kambing secara umum,
baik yang saa-imah atau bukan;
dipekerjakan (untuk angkutan dan selainnya) atau tidak dipekerjakan.
Banyak hadits
membatasi kewajiban zakat untuk unta, sapi, kambing yang saa-imah.
(Dijelaskan di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis
Saa-imah (II/221, no.1567)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Ma
Jaa-a fi Zakaatil Ghanam (III/8, no.621)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil
Ibil (I/573, no.1798)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ibil (V/19, no.2447)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ghanam (I/ 381) dan bab Zakaatil Ibil (I/382)
Pengertiannya, unta,
sapi, kambing yang tidak saa-imah tidak
dikenai kewajiban zakat.
Ibnu ‘Abdil Barr
berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun dari para ahli fiqh di berbagai
negeri berpendapat seperti halnya Malik dan al-Laits.”
ZAKAT UNTA
Unta wajib dizakati
jika mencapai lima ekor. Jika sudah mencapai lima ekor unta saa-imah dan genap satu tahun, maka zakatnya
adalah seekor syaah (kambing). (Syaah
adalah domba yang usianya lebih dari satu tahun atau kambing yang usianya sudah
setahun)
Jika mencapai sepuluh
ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah dua ekor kambing. Demikianlah
seterusnya, setiap bertambah lima ekor, maka ditambah dengan satu ekor kambing.
Jika unta tersebut
mencapai dua puluh lima ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah bintu makhadh (unta betina yang usianya
setahun beranjak dua tahun), atau ibnu labun
(unta jantan yang usianya dua tahun beranjak tiga tahun).
(Unta jantan tidak
diambil dalam zakat jika dalam nishab
terdapat unta betina. Kecuali ibnu labun,
jika tidak terdapat bintu makhadh. Jika
semua unta adalah jantan, maka boleh mengambil yang jantan)
Jika jumlahnya
mencapai tiga puluh enam, maka zakat yang dikeluarkan adalah bintu labun (unta betina yang usianya dua
tahun beranjak tiga tahun).
Jika unta berjumlah
empat puluh ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah hiqqah (unta betina yang berumur tiga tahun beranjak empat
tahun).
Jika unta berjumlah
enam puluh satu ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah jadza’ah (unta betina yang berumur empat tahun
beranjak lima tahun).
Jika unta berjumlah
tujuh puluh enam ekor, maka zakat yang dikeluarkan adalah dua bintu labun.
Jika unta berjumlah
sembilan puluh satu sampai seratus dua puluh ekor, maka zakat yang dikeluarkan
adalah dua hiqqah.
Lebih dari itu, maka
untuk setiap empat puluh ekor dikeluarkan satu bintu
labun, dan untuk setiap lima puluh dikeluarkan satu hiqqah.
Jika umur unta yang
akan dikeluarkan tidak sesuai dengan yang semestinya, misalnya si pemilik wajib
mengeluarkan jadza’ah sementara ia tidak
memilikinya, dan yang ia miliki adalah hiqqah,
maka dia boleh mengeluarkan hiqqah
ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan, atau ditambah dengan dua
puluh dirham.
Jika wajib
mengeluarkan satu hiqqah, sementara ia
tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah jadza’ah,
maka ia bisa mengeluarkan jadza’ah, dan
petugas zakat memberinya dua puluh dirham atau dua ekor domba.
Jika wajib
mengeluarkan satu hiqqah, sementara ia
tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah bintu
labun, maka ia bisa mengeluarkan bintu
labun, ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan, atau ditambah
dengan dua puluh dirham.
Jika wajib
mengeluarkan satu bintu labun, sementara
ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah hiqqah,
maka ia boleh mengeluarkan hiqqah, dan
petugas zakat memberinya dua puluh dirham, atau dua ekor domba.
Jika wajib
mengeluarkan satu bintu labun, sementara
ia tidak memilikinya, dan yang ia miliki adalah bintu
makhadh, maka ia bisa mengeluarkan bintu
labun, ditambah dengan dua ekor domba, jika memungkinkan atau dua puluh
dirham.
Jika wajib
mengeluarkan satu bintu makhadh,
sementara ia tidak memilikinya dan yang ia miliki adalah ibnu labun, maka ia boleh mengeluarkan ibnu labun tanpa ada tambahan apa-apa.
(Asy-Syaukani berkata,
“Semua ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat itu terkait dengan materi yang
dizakati. Sekiranya yang diwajibkan adalah nilainya (harganya), niscaya seluruh
penyebutan ini tidak ada artinya. Sebab, sesungguhnya nilai sesuatu itu berubah-ubah
tergantung waktu dan tempat.”)
Inilah kewajiban zakat
unta yang diamalkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra. di hadapan para Sahabat,
tanpa ada seorangpun yang menyelisihinya.
Diriwayatkan dari
az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, beliau berkata:
“Rasulullah Saw.
pernah menuliskan (ketentuan) zakat, dan beliau belum sempat mengeluarkannya
kepada para petugasnya sehingga beliau wafat. Kemudian setelah itu Abu Bakar
mengeluarkan ketentuan tersebut, lalu mengamalkannya hingga wafat. Selanjutnya
‘Umar juga mengeluarkan hal itu dan mengamalkannya. Pada saat ‘Umar wafat, hal
itu disandingkan dengan wasiatnya.”
(Diriwayatkan oleh:
Ahmad: Di dalam al-Musnad (II/15)
Ad-Darimi, dengan
lafazh yang hampir sama: Kitab az-Zakaah
bab Zakaatil Ibil (I/382)
ZAKAT SAPI (Termasuk Kerbau)
Kewajiban zakat atas
sapi jika mencapai tiga puluh ekor sapi yang saa-imah.
Jika sudah mencapai tiga puluh ekor sapi yang saa-imah
dan genap satu tahun, maka pemiliknya wajib mengeluarkan tabii’ (seekor sapi jantan berusia satu tahun)
atau tabii’ah (seekor sapi betina
berusia satu tahun). Tidak ada kewajiban lain atasnya hingga mencapai empat
puluh ekor.
Jika ia telah memiliki
sapi sebanyak empat puluh ekor, maka ia wajib mengeluarkan musinnah (sapi betina yang berusia dua tahun).
(Menurut Hanafiyyah,
zakatnya boleh berupa sapi betina yang berusia dua tahun atau sapi jantan yang
berusia dua tahun. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa orang yang
memiliki empat puluh ekor sapi zakatnya wajib berupa sapi betina yang berumur
dua tahun (tidak boleh yang jantan). Kecuali jika pemiliknya hanya memiliki
sapi jantan, maka ia bisa mengeluarkan zakat dengan yang jantan, demikian
kesepakatan para ulama)
Tidak ada kewajiban
lainnya hingga ia memiliki enam puluh ekor.
Jika ia memiliki enam
puluh ekor, maka yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah dua ekor tabii’.
Bagi seseorang yang
memiliki tujuh puluh ekor, maka wajib zakatnya berupa seekor musinnah dan
seekor tabii’.
Untuk delapan puluh
ekor, zakatnya adalah dua ekor musinnah.
Untuk sembilan puluh
ekor, zakatnya adalah tiga tabii’.
Untuk seratus ekor,
zakatnya adalah musinnah dan dua ekor tabii’.
Untuk seratus sepuluh
ekor sapi, zakatnya adalah dua musinnah dan seekor tabii’.
Untuk seratus dua
puluh ekor, zakatnya adalah tiga musinnah atau empat tabii’.
Lebih dari itu, maka
untuk setiap tiga puluh ekor zakatnya adalah seekor tabii'; dan untuk setiap
empat puluh ekor, zakatnya adalah satu musinnah.
ZAKAT KAMBING (Termasuk Domba)
(Termasuk domba dan
kambing, karena keduanya sejenis, sehingga satu sama lain digabungkan menurut
ijma', sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir)
Kewajiban zakat atas
kambing jika mencapai empat puluh ekor.
Jika terdapat empat
puluh sampai seratus dua puluh ekor kambing yang saa-imah
dan genap satu tahun dimiliki, maka zakatnya adalah seekor kambing.
Jika terdapat seratus
dua puluh satu sampai dua ratus ekor, maka zakatnya adalah dua ekor kambing.
Jika terdapat dua
ratus satu sampai tiga ratus ekor, maka zakatnya adalah tiga ekor kambing.
Lebih dari tiga ratus
ekor, maka untuk setiap seratus ekor zakatnya adalah seekor kambing. Untuk
domba dan kambing, diambil yang sudah berumur satu tahun atau lebih.
Dibolehkan
mengeluarkan jenis yang jantan untuk zakat, jika kambing yang ada seluruhnya
jantan, menurut kesepakatan para ulama. Namun jika yang dimiliki adalah betina,
atau jantan campur betina, maka pemiliknya boleh membayar zakat dengan yang
jantan menurut Hanafiyyah, sementara menurut ulama yang lain, pemilik tersebut
wajib membayar zakat dengan yang betina.
Hukum Auqash:
Auqash adalah bentuk jamak dari kata waqash, yaitu bilangan yang berada antara dua
kewajiban zakat. Hal ini tidak ada zakatnya, demikian kesepakatan ulama.
Nabi Saw. bersabda
tentang zakat unta:
“Jika (unta) mencapai
dua puluh lima ekor, maka (zakatnya) adalah bintu
makhadh. Lalu jika mencapai tiga puluh enam sampai empat puluh lima,
maka (zakatnya) adalah bintu labun.”
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Abu Dawud, dengan
lafazh yang hampir sama: Kitab az-Zakaah,
bab Fii Zakaatis Saa-imah (no.1568,
II/224-225)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Jaa-a fi Zakaatil Ibil wal Ghanam (no.621, III/8)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil
Ibil (no.1798, I/573)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ibil (V/19, no.2447)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ibil (I/382)
Mengenai zakat sapi,
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika mencapai tiga
puluh ekor, maka (zakatnya) adalah seekor sapi yang berumur satu tahun, baik
jantan atau betina, sehingga mencapai empat puluh ekor. Kemudian jika mencapai
empat puluh ekor, maka (zakatnya) adalah seekor sapi betina yang berumur dua tahun.”
(HASAN SHAHIH. HR.
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatul Baqar (V/26 no.2453)
Mengenai zakat
kambing, Rasulullah Saw. bersabda:
“Untuk kambing
saa-imah, jika mencapai empat puluh sampai seratus dua puluh ekor, maka
(zakatnya) adalah seekor kambing.”
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fii
Zakaatis Saa-imah (II/221 no.1567)
At Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Jaa-a fii Zakaatil Ibil wal Ghanam (III/8, no.621)
Malik dalam al-Muwaththa’ Kitab az-Zakaah, bab Shadaqatil
Masyii-ah (I/257-258, no.23)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Fii
Zakaatil Ibil wal Ghanam (I/381)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ibil (V/21 no.2447)
Bilangan antara dua
puluh lima dengan tiga puluh enam unta adalah waqash,
tidak ada kewajiban zakatnya.
Bilangan yang antara
tiga puluh dan empat puluh sapi juga merupakan waqash.
Hal yang sama juga berlaku untuk kambing.
Sewaktu mengambil
zakat, petugas penarik zakat wajib memelihara hak-hak pemilik harta. Tidak
boleh mengambil harta pilihan dan sangat berharga kecuali jika mereka
mengizinkannya. Sebagaimana halnya menjaga hak orang fakir juga diwajibkan.
Maka tidak dibenarkan
mengambil hewan yang memiliki cacatnya, sementara cacat tersebut dianggap
sebagai suatu kekurangan di mata orang yang berpengalaman tentang hewan.
Kecuali jika semua hewan dimiliki memang memiliki aib, maka zakatnya diambil
dari tengah-tengah hewan tersebut.
Disebutkan dalam
suratnya Abu Bakar ra. (tentang zakat):
“Janganlah diambil
untuk zakat hewan yang sudah tua dan giginya telah rontok, yang buta matanya
atau hewan pejantan.”
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Laa Tu’-khadzh fish Shadaqah Harimatun…
(al-Fat-h III/376)
Diriwayatkan dari
Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, bahwa ‘Umar ra. melarang petugas zakat untuk
mengambil hewan yang mandul, hewan yang dipelihara untuk diperas susunya, hewan
yang sudah datang waktu melahirkan dan hewan yang dipersiapkan sebagai pejantan.
Diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Mu’awiyah al-Ghadhiri, bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Ada tiga perkara,
barangsiapa melakukannya, niscaya ia akan merasakan kelezatan iman: yaitu
orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah dan (bersaksi) bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allah, memberi zakat hartanya dengan penuh kerelaan hati, sehingga mendorongnya
untuk melakukan perbuatan tersebut setiap tahun. Tidak (memberikan zakat)
dengan hewan tua yang sudah rontok giginya, yang berkudis, yang sakit, yang
kecil sekaligus jelek dan yang sedikit susunya. Namun (hendaklah kalian
memberikan) pertengahan harta kalian, karena sesungguhnya Allah tidak meminta
harta terbaik yang kalian miliki. Tetapi juga tidak memerintahkan kalian (untuk
mengeluarkan zakat) dari harta kalian yang jelek.”
(SHAHIH. HR. Abu
Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis Saa-imah (II/240, no.1582)
Al-Mundziri berkata, “Beliau meriwayatkannya secara munqathi' (terputus sanadnya). Abul Qasim al-Baghawi menyebutkan
hadits ini dalam Mu'jamush Shahabah
secara musnad (bersambung sampai kepada Nabi Saw.). Abul Qasim ath-Thabrani dan
selainnya juga meriwayatkannya secara musnad.”
Tidak ada
kewajiban zakat untuk hewan ternak selain unta, sapi (termasuk kerbau), dan
kambing (termasuk domba). Oleh sebab itu, tidak ada kewajiban zakat
untuk kuda, bighal (peranakan antara kuda dan keledai), ataupun keledai,
kecuali jika terkena zakat barang dagangan usaha bisnis jual-beli (yaitu hewan tersebut merupakan barang dagangannya).
Diriwayatkan dari ‘Ali
ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Aku telah memaafkan
kalian dari kuda dan hamba sahaya maka tidak ada kewajiban zakat pada
keduanya.”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud, tanpa
lafazh: “…Maka tidak ada zakat pada keduanya.”
Kitab az-Zakaah, bab Zakaatis
Saa-imah (no.1574, II/232)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Jaa-a Fii Zakaatidz Dzahab wal Wariq (no.620, III/7). Beliau berkata:
“Aku bertanya kepada Muhammad bin Isma'il al-Bukhari tentang hadits ini, lalu
beliau menjawab, “Kedua hadits ini menurutku shahih.” Maksudnya, Abu Ishaq
telah meriwayatkannya dari Ashim dan dari al-Harits.”
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Wariq (no.1790, I/570)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Wariq (no.2477, V/37)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Fii
Zakaatil Wariq (I/383)
Ahmad, dengan
lafazhnya dan tanpa lafazh: “...Dan tidak ada zakat atas keduanya.” (I/18, 113,
121, 132, 145, 146, 148 dan 192)
ZAKAT UNTA, SAPI, KAMBING YANG
BELUM MENCAPAI SATU TAHUN
Barangsiapa memiliki
unta, sapi atau kambing yang telah mencapai nishab, lalu beranak di pertengahan
tahun, maka ia wajib mengeluarkan zakat dari semuanya, yaitu ketika hewan-hewan
yang besar sudah sampai haulnya. Ini pendapat mayoritas ulama, induk dan anak
wajib dizakati sebagai satu kesatuan harta.
Hal ini berdasarkan
riwayat Malik dan asy-Syafi’i, dari Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi, bahwa
‘Umar bin al-Khaththab berkata,
“Hendaklah kamu
memasukkan anak kambing (dalam perhitungan zakatnya) yang dibawa oleh
penggembalanya. Namun janganlah mengambilnya. Dan janganlah kamu mengambil
hewan yang mandul, hewan yang dipelihara untuk diperas susunya, hewan yang
hendak melahirkan dan kambing pejantan. Hendaklah kamu mengambil hewan yang
sudah berumur satu tahun juga yang dua tahun. Itulah pertengahan antara harta
yang kecil dan hewan pilihan.”
(Diriwayatkan dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Jaa-a fiimaa Yu’taddu bih minash Sikhaal fish Shadaqah (no.26, I/265)
Abu Hanifah,
asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hewan yang dilahirkan (pada
pertengahan haul, -ed.) tidak dimasukkan
ke dalam perhitungan zakat, kecuali jika unta, sapi atau kambing yang besar
sudah mencapai nishab.
Abu Hanifah berkata,
“Hewan yang masih kecil digabungkan ke dalam nishab, baik yang dilahirkan dari
hewan nishab atau dibeli dari luar, dan dizakati dengan haul nishab.”
Asy-Syafi’i juga
mensyaratkan bahwa hewan tersebut merupakan anak dari unta, sapi atau kambing
nishab si pemilik yang lahir sebelum datangnya haul.
Adapun tercapainya
nishab disebabkan adanya hewan-hewan yang masih kecil, maka hal ini tidak
terkena zakat, menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad, Dawud, asy-Sya’bi dan
satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil mereka adalah
apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daraquthni, dan
al-Baihaqi, dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata, “Petugas zakat Rasulullah
Saw. mendatangi kami. Lalu aku dengar ia berkata, “Pada masaku (ketika dia
masih bertugas memungut zakat, -penj.)
zakat itu tidak diambil dari hewan yang masih menyusui...”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fii
Zakaatis Saa-imah (II/236, no.1579)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab al-Jam'i
bainal Mutafarriq wat Tafriiq bainal Mujtama’ (V/29, no.2457)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/315)
Al-Baihaqi: Kitab az-Zakaah, bab Laa
Yu’khadz Karaa-im Amwaalin Naas (IV/101)
Ad-Daraquthni: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiiril
Khalithain wa Maa Jaa-a fiz Zakaah ‘alal Khalithain (II/104, no.5)
Di dalam sanadnya
terdapat Hilal bin Khabbab. Lebih dari satu ulama yang mentsiqahkannya, sedangkan sebagian ulama lainnya
mempermasalahkannya.
Menurut pendapat Malik
dan salah satu riwayat dari Ahmad, wajib hukumnya mengeluarkan zakat dari
hewan-hewan yang masih kecil, seperti halnya unta, sapi atau kambing yang sudah
besar. Alasannya, sebagaimana hewan-hewan yang masih kecil tersebut sudah diperhitungkan
ketika digabungkan dengan unta, sapi atau kambing yang besar, maka ia juga
diperhitungkan secara sendiri.
Menurut asy-Syafi'i
dan Abu Yusuf, yang wajib (dikeluarkan) atas hewan-hewan yang masih kecil
adalah seekor hewan yang masih kecil pula.
Menggabung dan memisahkan hewan
ternak
Diriwayatkan dari
Suwaid bin Ghafalah:
“Petugas zakat
Rasulullah Saw. mendatangi kami. Lalu aku dengar ia berkata, “Sesungguhnya kami
tidak mengambil (zakat) dari hewan yang masih menyusui. Tidak juga memisahkan
antara yang tercampur dan mencampurkan antara yang terpisah.” Kemudian
datanglah seseorang dengan unta yang punuknya besar (merupakan harta pilihan),
maka ia pun enggan untuk mengambilnya.”
(HASAN. Diriwayatkan
oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah bab Fi
Zakaatis Saa-imah (II/236, no.1579)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah bab al-Jam’i
bainal Mutafarriq wat Tafriiq bainal Mujtama’ (V/29, no.2457)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/315)
Anas meriwayatkan
bahwa Abu Bakar pernah menulis surat kepadanya (yang isinya): “Ini adalah
kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. kepada kaum
muslimin....” Di dalamnya disebutkan:
“Janganlah digabungkan
antara yang terpisah dan janganlah dipisahkan antara yang telah menyatu,
disebabkan takut zakat. Jika harta itu menjadi milik dua sekutu, maka zakat itu
ditanggung oleh keduanya secara sama.”
(SHAHIH. Diriwatatkan
oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah bab La
Yujma’ baina Mutafarriq wala Yufarraq baina Mujtama’ (II/145) dan bab Maa Kaana min Khalithain Fainnahuma Yataraaja’aani
bis Sawiyyah (II/145)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Zakaatil
Ghanam (V/29, no.2455)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Ya’khudzul Mushaddiq minal Ibil (I/576, no.1801) dan bab Shadaqatul Ghanam (I/577, no.1805)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab an-Nahyu
‘anil Farqi bainal Mujtama' wal Jam’u bainal Mutafarriq (I/383)
Ahmad dalam al-Musnad (II/15)
Malik berkata dalam al-Muwaththa’, “Maknanya, misalnya ada tiga
orang, masing-masing memiliki empat puluh ekor kambing yang terkena wajib zakat
(sebanyak satu ekor). Tetapi kemudian mereka menggabungkan milik mereka,
sehingga zakat yang wajib dikeluarkan atas ketiganya hanyalah satu kambing
saja. (Ini adalah contoh menggabungkan yang terpisah). Atau ada dua orang yang
berserikat memiliki kambing sebanyak dua ratus satu, maka kewajiban zakat
keduanya adalah sebanyak tiga ekor. Tetapi kemudian mereka memisahkannya,
sehingga masing-masing dari mereka hanya wajib mengeluarkan zakat sebanyak satu
ekor.” (Ini adalah contoh memisahkan yang telah menyatu)
Asy-Syafi’i berkata,
“Hadits tersebut dari satu sisi ditujukan kepada pemilik harta dan di sisi lain
ditujukan kepada orang yang bertugas mengambil zakat. Lalu keduanya
diperintahkan agar tidak melakukan hal baru, baik menggabungkan atau memisahkan
harta, disebabkan takut zakat. Pemilik harta takut zakat yang dikeluarkannya
itu banyak, sehingga dia menggabungkan atau memisahkan hartanya agar menjadi
sedikit. Sedangkan petugas zakat takut jika zakat yang diambilnya sedikit,
sehingga dia menggabungkan atau memisahkannya agar menjadi banyak. Jadi, makna
ucapan, “Disebabkan takut zakat,” adalah takut menjadi banyak atau takut
menjadi sedikit. Mengingat ucapan tersebut mengandung dua kemungkinan tersebut,
sementara kemungkinan yang satu tidak lebih utama dibandingkan kemungkinan yang
lain, maka makna ucapan tersebut dibawa kepada keduanya sekaligus.”
(Misalnya,
masing-masing dari dua orang yang berserikat memiliki empat puluh ekor kambing,
sehingga jumlah hartanya menjadi delapan puluh ekor kambing, lalu petugas zakat
memisahkannya, sehingga dari masing-masing orang diambil zakatnya sebanyak satu
ekor kambing. Padahal sebelum itu keduanya hanya diwajibkan satu ekor saja.
Atau misalnya seseorang memiliki dua puluh ekor kambing dan orang lain juga
memiliki kambing dengan jumlah yang sama. Kemudian harta tersebut disatukan,
agar diambil satu kambing sebagai zakat. Padahal sebelum itu keduanya tidak
diwajibkan mengeluarkan zakat)
Menurut Hanafiyyah,
hadits ini merupakan larangan yang ditujukan kepada pemungut zakat untuk tidak
memisahkan harta milik seseorang sehingga menimbulkan banyaknya zakat yang
dikeluarkan. Misalnya seseorang memiliki kambing sebanyak seratus dua puluh
ekor, lalu semuanya dibagi menjadi tiga bagian, sehingga wajib zakatnya
sebanyak tiga ekor. Atau menggabungkan milik seseorang dengan milik orang lain,
sehingga hal itu menyebabkan banyaknya zakat yang harus dikeluarkan. Misalnya
ada seseorang memiliki seratus satu ekor kambing, dan ada orang lain yang juga
memiliki kambing dengan jumlah sama. Lalu pemungut zakat menggabungkannya, agar
bisa diambil tiga kambing sebagai zakat, padahal sebelumnya hanya dua ekor
kambing yang wajib dikeluarkan.”
Zakat Unta, Sapi, Kambing Milik
Serikat
Hanafiyyah berpendapat
zakat itu tidak wajib atas harta perserikatan (milik bersama) kecuali jika
bagian yang dimiliki oleh masing-masing anggota perserikatan telah mencapai nishab. Karena kaidah yang disepakati adalah
zakat itu tidak diperhitungkan kecuali jika dimiliki oleh perorangan.
Malikiyyah berpendapat
bahwa kedudukan sejumlah orang (serikat) yang mencampurkan binatang ternak
mereka adalah seperti halnya seorang pemilik, dari segi zakat. Zakat dihitung
atas harta milik orang per orang jika masing-masing dari dua orang yang mencampurkan
hartanya sama-sama telah memiliki harta yang telah mencapai nishab, dengan syarat sama penggembalanya,
sama hewan pejantannya, sama kandangnya, dan niat untuk mencampur, juga harta
dari masing-masing orang terbedakan dengan milik yang lainnya. Jika tidak
demikian, maka kedua orang tadi adalah serikat. Selanjutnya setiap orang yang
mencampur merupakan ahli zakat dan pencampuran ini sama sekali tidak ada
pengaruhnya kecuali dalam hewan ternak (unta, sapi, kambing).
Zakat harta yang
diambil dibebankan secara merata kepada setiap anggota serikat, sesuai
persentase harta masing-masing. Seandainya salah seorang anggota yang
berserikat itu memiliki harta yang tidak dicampurkan, maka tetap dianggap
sebagai harta campuran.
Menurut Syafi'iyyah,
harta milik dua orang atau sejumlah orang seperti harta yang satu.
Dalam hal ini mereka
mensyaratkan:
1. Orang-orang yang
berserikat adalah ahli zakat.
2. Harta yang
tercampur mencapai nishab.
3. Sudah berlalu satu
tahun penuh (sampai haulnya).
4. Harta yang dimiliki
oleh masing-masing anggota tidak terbedakan antara satu dengan lainnya, dari
segi kandang, tempat penggembalaan, tempat minum, penggembala, dan tempat
memeras susunya.
5. Hendaklah
pejantannya sama jika hewan campuran tersebut dari jenis yang sama.
Pendapat Imam Ahmad
serupa dengan pernyataan Syafi’iyyah, hanya saja beliau membatasi pengaruh
campuran hanya pada hewan ternak (unta, sapi, kambing), tidak kepada selainnya.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah
(terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir