Abdurrahman
Al-Ghafiqi (Abdurrahman bin Abdullah bin Bisyr bin Sharim Al-Ghafiqi
Al-Akki, Abu Sa’id) - Panglima Islam Penakluk Eropa
Abdurrahman
remaja merantau meninggalkan Yaman menuju Hijaz sambil membawa hati yang
menggelorakan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, membawa jiwa yang
menggerakkan vitalitas dan gairah muda, serta raga yang rindu untuk menuntut
ilmu dan berjihad.
Di Madinah
Al-Munawwarah, Allah mempersiapkan seorang guru besar untuknya yang pernah
mendampingi Rasulullah ﷺ dan meraih kemuliaan berdampingan dengan beliau. Guru
itu adalah Abdullah bin Umar bin Khathab
Sang murid
kagum kepada gurunya; kagum pada ilmu, perilaku, hafalan, dan sifat wataknya,
hingga ia selalu mendampingi gurunya laksana bayangan yang selalu mengikutinya.
Ia selalu mengikuti sang guru di pagi maupun sore hari, juga mengikuti
pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan di Masjid Nabawi, mempelajari ilmu,
menghafal, dan meneladaninya.
Sang guru
tidak pelit pada muridnya, karena ia melihat kemuliaan dan kecerdasan di dalam
diri si murid. Ia pun menuangkan seluruh ilmu, serta simpanan pemahaman dan
pengetahuan yang ia miliki ke dalam wadah akal muridnya, hingga si murid remaja
ini beranjak dewasa sebagai salah seorang tabi'in yang duduk bersila di baris
depan.
Awal Perjalanan
Setelah
sebab-sebab ilmu dan pemahaman terpenuhi, ditambah dengan semangat yang meluap,
Abdurrahman Al-Ghafiqi langsung bergerak menuju medan-medan jihad di jalan
Allah. Ia bergerak dengan membawa mushaf di hati dan pedang di tangan, seraya
menazarkan diri untuk Allah SWT dan menantikan salah satu di antara dua
kebaikan (hidup mulia atau mati syahid).
Kedatangan
pertamanya adalah ke daratan Afrika, di mana para pasukan kemenangan bergerak
menuju Andalusia. Di sana, ia menghabiskan beberapa waktu untuk meneliti dan
menganalisa. Ia tidak ubahnya seperti seorang komandan pasukan yang mempelajari
strategi sebelum berperang.
Menuju Damaskus
Abdurrahman
Al-Ghafiqi kembali ke Damaskus setelah mengetahui segala hal tentang Afrika
Utara dan Andalusia. Kemudian, ia menghubungi khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
yang melihatnya sosok panglima berpengalaman, ulama yang cerdas dan mulia,
serta seorang mukmin yang tulus.
Selanjutnya,
khalifah Sulaiman menjadikan Abdurrahman Al-Ghafiqi sebagai orang dekat dan
orang kepercayaannya, lalu mengutusnya ke Andalusia.
Dari Sulaiman
bin Abdul Malik hingga Umar bin Abdul Aziz
Umar bin
Abdul Aziz memegang kendali khilafah setelah Sulaiman bin Abdul Malik. Ia mulai
melakukan pembenahan di berbagai sektor yang ia anggap perlu.
Andalusia
saat ini tidak lagi dipimpin Musa bin Nushair dan anaknya, Abdul Aziz bin Musa.
Sebagai gantinya, Umar bin Abdul Aziz mengangkat pemimpin baru untuk Andalusia;
Samah bin Malik Al-Khaulani. Ini terjadi pada tahun 100 H.
Saat Samah
berada di negeri-negeri Andalusia, ia bermaksud mengangkat beberapa orang yang
memiliki kemampuan mumpuni di bidang kepemimpinan militer dan administrasi,
khususnya untuk menjabat tugas yang dibebankan Amirul Mukminin Umar bin Abdul
Aziz. Sebab, Amirul Mukminin memerintahkannya untuk membedakan wilayah-wilayah
Andalusia; mana yang ditaklukkan secara paksa untuk dipungut pajaknya, serta
mengirimkan penjelasan kepada Amirul Mukminin tentang seluk-beluk Andalusia
seakan ia melihatnya secara langsung.
Samah bin
Malik mulai bertanya-tanya, meminta penjelasan, meneliti, dan menguji. Di
antara sederet pertanyaan yang ia kemukakan adalah, “Apakah masih ada seorang
tabi'in?
Jawaban
pun datang, “Ada seorang tabi'in mulia yang memiliki ilmu melimpah, perilaku
lurus, dan reputasi yang baik. Ia pernah berguru kepada Abdullah bin Umar bin
Khathab ra. Ia masih ada di antara kita. Ia adalah sosok yang masyhur, dan
terkenal dengan kebaikannya. Ia adalah Abdurrahman Al-Ghafiqi Al-Ukki.”
Samah bin
Malik memanggil Abdurrahman Al-Ghafiqi, berbincang dengannya, mengukur sejauh
mana keahlian yang ia miliki, dan mengujinya. Dan ternyata, Samah melihat
dirinya jauh lebih mumpuni daripada cerita yang beredar tentangnya.
Amir Samah
bin Malik merasa senang dengan apa yang ia lihat dan dengar. Lalu, ia
menawarkan kepada Abdurrahman untuk mengurus pekerjaan besar dan penting di
antara sekian proyek di Andalusia. Namun, Abdurrahman menolak dengan halus. Ia
mengatakan di hadapan Samah bahwa ia datang ke Andalusia semata sebagai seorang
pejuang dan mujahid, mencari ridha Allah, tidak ingin mengincar jabatan ataupun
kekuasaan, dan ia berjanji akan lebih patuh dan menurut kepada Samah melebihi
bayangannya sendiri.
Salah Satu
Orang Kepercayaan Gubernur Samah
Samah bin
Malik membenarkan kata-kata Abdurrahman, dan ia ridha padanya. Namun, Samah
menjadikan Abdurrahman sebagai salah satu orang dekatnya. Samah selalu meminta
saran dan dukungan darinya, tidak menuturkan suatu perintah pun sebelum
mendengar pendapatnya, khususnya terkait medan perang. Sebab, Abdurrahman
adalah sosok pemberani, ahli dalam mengatur dan merancang strategi perang yang
sudah terbukti di sejumlah peperangan.
Samah dan
Penaklukan
Samah bin
Malik ingin mewujudkan mimpi panglima besar Musa bin Nushair yang lebih dulu
meninggal dunia sebelum berhasil mewujudkannya, yaitu menghubungkan Daulah
Islam yang ada di timur dan di barat melalui Roma, serta menaklukkan
Konstantinopel melalui benua Eropa, sehingga terwujudlah pemberitaan (nubuwah)
Rasulullah ﷺ.
Menuju Perancis
Tujuan
pertama Samah bin Malik adalah Perancis.
Samah bin
Malik membuat persiapan matang, menghimpun kekuatan, lalu berangkat dengan
berkah Allah melintasi pegunungan Pyrenia; gunung yang paling sulit dilalui dan
sangat tinggi. Di balik gunung ini -tepatnya di kaki gunung Pyrenia- terdapat
kota pertama Perancis, yaitu Narbonne. Kota ini sangat kokoh dan tangguh bagi
para ambisius yang ingin menaklukkannya, serta sulit dikalahkan oleh para
pejuang, sehingga mereka meninggalkan kota tersebut tanpa berhasil meraih
kemenangan.
Samah bin
Malik tiba di kota Narbonne, lalu mengepungnya bersama seluruh pasukan. Ia
berusaha mempersulit penduduknya, membidik benteng-bentengnya dengan manjaniq,
dan menekannya dengan serangan-serangan beruntun. Setelah empat pekan
pengepungan, akhirnya kota Narbonne takluk di tangan kaum muslimin. Mereka
memasuki kota itu sebagai pemenang seraya membaca tahlil dan takbir.
Abdurrahman
Al-Ghafiqi menunjukkan beragam keberanian dan keahlian dalam mengatur strategi
penyerangan hingga menarik perhatian. Hal ini membuat kedudukannya semakin
tinggi di mata Samah dan seluruh pasukan.
Meski Tidak Ada
Amir!
Pasukan
Islam pemenang terus melaju menuju tanah-tanah Perancis ke arah Toulouse
(Toulouse adalah sebuah kota di barat daya Perancis di tepi Sungai Garonne, di
tengah jarak antara Samudra Atlantik dan Laut Mediterania), ibu kota wilayah
Aquitaine (Aquitaine adalah sebuah region di Perancis bagian barat daya.
Aquitaine terletak di Pegunungan Pyrenia, berbatasan dengan Samudra Atlantik
dan Spanyol) di pesisir selatan Perancis. Setelah tiba di sana, mereka
mengepung kota tersebut, membidikkan “peluru-peluru” manjaniq ke arahnya yang
meruntuhkan benteng dan menara-menara kota, serta meruntuhkan para prajurit
yang ada di atasnya.
Kota yang
terletak di Perancis ini nyaris mengalami kekalahan telak. Akan tetapi, sesuatu
yang tidak diduga terjadi, juga berdasarkan takdir Allah dalam ilmu dan
putusan-Nya.
Penguasa
kota tersebut meminta bantuan kepada para pemimpin dan penguasa seluruh
negeri-negeri Eropa, hingga mereka semua berdatangan membawa pasukan
masing-masing yang memenuhi seluruh lembah dan dataran rendah, sampai-sampai
kepulan debu di kaki mereka dan juga kaki-kaki kuda mereka membumbung tinggi ke
awan hingga menutupi cahaya matahari di seluruh wilayah Rhone.
Pasukan
yang datang bertemu pasukan muslimin di luar kota. Pasukan Allah tetap kokoh
bertahan sekokoh gunung-gunung nan tinggi menjulang berkat kesabaran, iman, dan
pengorbanan yang diilhamkan kepada mereka.
Anak panah
musuh bersarang tepat di dada Samah bin Malik, hingga ia mati syahid. Sebelum
jatuh dari kudanya, ia terus berpindah di antara kelompok-kelompok pasukan,
mendorong semangat mereka untuk berperang, dan mengawasi posisi mereka di
kanan, kiri, tengah, dan depan.
Para
pasukan melihat panglima mereka roboh, hingga putus asa merayap masuk ke dalam
hati mereka, rasa takut mendera ke dalam jiwa, melemahkan kekuatan mereka,
barisan mereka kacau, dan kekalahan tragis sudah terlihat di ufuk, tepat di
atas kepala mereka.
Andai saja
mereka tidak mendapat perhatian Allah, niscaya mereka akan mengalami
pembantaian. Perhatian Allah dengan memunculkan seorang panglima pemberani dan
berpengalaman. Ia adalah Abdurrahman Al-Ghafiqi. Ia mengeluarkan perintah untuk
siap-siap menarik diri dengan kerugian sekecil mungkin dan dengan segera, tanpa
ragu ataupun malu.
Meski tanpa amir, Abdurrahman
Al-Ghafiqi mampu menarik pasukan muslimin ke Andalusia tanpa kekalahan telak
ataupun pembantaian menyeluruh.
Seluruh
pasukan tahu betul kepribadian panglima Abdurrahman, sehingga mereka bersatu di
sekelilingnya, hati dan jiwa mereka kembali merasa sedikit tenang saat ia
menarik mereka mundur secara perlahan dari medan perang, meski harus menahan
luka mendalam karena Samah gugur dan kekalahan yang menimpa. Inilah kekalahan
pertama yang mereka alami sejak mereka menginjakkan kaki di tanah Andalusia.
Amir-Gubernur
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, Abdurrahman sama sekali tidak mengincar
kekuasaan. Namun, ternyata pasukan mengusulkannya. Begitu tiba di Andalusia,
datang surat dari khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berisi penetapan
Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk memimpin Andalusia dan wilayah-wilayah Perancis
yang berhasil dikuasai kaum muslimin. Umar bin Abdul Aziz memberikan kebebasan
kepada Abdurrahman untuk membenahi segala hal.
Direktur
Sekaligus Politikus
Pikiran
Abdurrahman Al-Ghafiqi terlebih dahulu mengarah untuk mengembalikan kepercayaan
diri para prajurit, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, bersiap
untuk menuntut balas, dan meneruskan gerakan penaklukan.
Itulah
tugas yang menjadi kesibukan utamanya karena guncangan yang menimpa pasukan
begitu menyakitkan dan berat. Belum pernah mereka mengalami hal seperti itu
sebelumnya. Sepanjang waktu tanpa henti, ia berupaya untuk menghilangkan
bekas-bekas kekalahan tersebut di hati mereka dengan mengasah iman di dalam
ruhani mereka dan selalu mengingatkan mereka pada pertolongan Allah.
Selain
itu, Abdurrahman juga memikirkan pembenahan sosial untuk membangun basis yang
benar sebagai titik tolak. Sebab, umat yang mentalitasnya jatuh, yang bangunan
jiwa dan komunikasinya runtuh, adalah umat yang tidak baik.
Untuk
pekerjaan ini, ia harus blusukan ke berbagai penjuru negeri dari ujung ke
ujung, meluruskan yang bengkok, menata yang berserakan, dan membenahi yang
rusak.
Ia
menyerukan di tengah-tengah khalayak, “Siapa yang pernah dizhalimi seorang
penguasa, hakim, atau siapa saja, silakan melapor ke amir. Dalam hal ini tidak
ada bedanya antara kaum muslimin ataupun yang lain dari kalangan ahli-dzimmah.”
Ia sendiri
yang menangani segala pengaduan dan perlakuan zhalim, membalas orang berbuat
zalim untuk pihak yang dizalimi, dan meluruskan neraca keadilan.
Di antara
pekerjaan paling menonjol yang ia lakukan adalah memeriksa kasus gereja-gereja
yang dirampas dan juga gereja-gereja yang baru dibangun. Ia kembali menerapkan
seluruh isi perjanjian kepada pihak-pihak terkait dan meruntuhkan gereja-gereja
yang dibangun melalui jalur suap.
Ia juga
menginterogasi para pemimpin seluruh wilayah, selanjutnya mempertahankan siapa
di antara mereka yang terbukti berperilaku baik pada jabatannya, dan mencopot
serta mengganti pemimpin yang lemah atau menyimpang dengan orang tepercaya dan
punya keahlian.
Selain
itu, ia mengurus pembangunan infrastruktur negara, seperti membuat
jembatan-jembatan di atas lembah dan jalan-jalan pegunungan. Hal ini berfungsi
untuk mempermudah mobilitas rakyat dalam persoalan penghidupan dan juga gerakan
pasukan. Ia juga memperkuat benteng-benteng dan tembok pertahanan, menempatkan
pasukan-pasukan penjaga di sana, terlebih yang berada di wilayah-wilayah
perbatasan agar dapat mencegah
serangan-serangan
musuh.
Penyelidikan
yang ia lakukan terkait persoalan warga negara tidak hanya sebatas di kalangan
kaum muslimin, tapi ia juga mengumpulkan para pemuka agama dan dunia dari
kalangan ahli dzimmah, karena mereka juga rakyat Daulah Islamiyah, dan mereka
punya perjanjian.
Perhatian
di bidang jaminan basis kerakyatan menjadi tujuan utamanya sebagai kesiapan
untuk perang menuntut balas, mengembalikan wibawa, memerban luka, dan gerakan
besar penaklukan. Untuk tujuan ini, ia menghabiskan waktu hampir dua tahun
lamanya.
Mata yang
Selalu Terjaga
Mata
Abdurrahman Al-Ghafiqi yang selalu terjaga untuk mengawasi segala persoalan
internal negara tidak pernah melalaikan pergerakan musuh di luar. Ia menyebar
sejumlah mata-mata untuk mengawasi segala pergerakan musuh, untuk selanjutnya
dilaporkan kepadanya secara detil dan jujur.
Suatu
ketika, Abdurrahman memanggil salah seorang tokoh mu'ahid (orang kafir yang
menjalin perjanjian damai) dari salah satu wilayah Perancis. Ia berbincang
panjang lebar dengan orang mu'ahid tersebut terkait segala hal hingga si tamu
merasa nyaman. Setelah itu, Abdurrahman tiba-tiba bertanya,
“Mengapa
raja terbesar kalian, Charles Martel, tidak memerangi kami, padahal tidak ada
gencatan senjata ataupun perjanjian di antara kami, selain itu ia sudah
menghimpun pasukan besar dari berbagai belahan negeri Eropa? Mengapa…?”
Si tamu
menjawab, “Wahai amir! Karena kau telah memenuhi tanggung jawab dan janji
kepada kami, maka kau berhak untuk mendapat jawaban yang benar dari kami untuk
semua pertanyaan yang kau ajukan. Panglima besar kalian, Musa bin Nushair,
telah berhasil menguasai Spanyol dan Portugal, lalu ia ingin melintasi
pegunungan Pyrenia yang memisahkan antara Andalusia dan Perancis untuk menjajah
negeri-negeri kami, hingga para pemimpin berbagai wilayah dan tokoh agama
menemui Charles Martel, lalu mereka berkata padanya, 'Kehinaan dan aib semacam
apa yang menimpa kita dan anak cucu kita, yang akan menjadi cela untuk
selamanya ini? Sebelumnya kita sudah mendengar tentang kaum muslimin dan kita
tidak peduli. Kita juga membendung serangan-serangan silih berganti yang mereka
lancarkan kepada kita dari timur dari arah Konstantinopel, dan kita berhasil
memukul mundur mereka. Namun, kali ini mereka datang kepada kita dari arah yang
tidak kita duga. Mereka datang dari arah barat, memperkuat posisi di Spanyol,
menguasai seluruh harta dan simpanan yang ada di sana, membangun berbagai
tembok penghalang dan benteng, serta membuka jalan penaklukan seluas-luasnya.
Bagaimana ini bisa terjadi, padahal jumlah mereka hanya sedikit, persenjataan
mereka rapuh, dan mereka adalah orang-orang rendah di mata bangsa-bangsa yang
berperadaban? Bagaimana ini? Bagaimana ini?’
Charles Martel menjawab, ‘Apa yang kalian pikirkan saat ini sudah aku
pikirkan sejak lama. Lama sekali aku memikirkan hal ini. Menurutku, kita jangan
membendung gerakan mereka untuk saat ini, karena mereka ibarat air bah yang
mengalir begitu deras, menghanyutkan apa pun yang menghadang, bahkan mencabut
hingga ke akar-akarnya, lalu melemparkannya ke mana saja seperti yang
diinginkan. Dalam keyakinan yang mereka anut, mereka lebih kuat dan lebih kokoh
dari seluruh benteng dan tembok penghalang, lebih kuat dari baju besi, tombak,
dan semua senjata. Berilah mereka waktu sampai beberapa lama hingga tangan
mereka dipenuhi rampasan perang, hingga mereka condong pada istana dan rumah,
memiliki pelayan dan pembantu, serta saling bersaing memperebutkan dunia dengan
segala harta benda dan perhiasannya. Saat mereka dalam kondisi seperti itulah
-hanya saat seperti itu- kalian bisa mengalahkan mereka’.” (Daulatul
Islam fil Andalus, Muhammad Abdullah
Annan (I/84)
Abdurrahman
Al-Ghafiqi menarik nafas panjang yang menyimpan segala rasa sakit dan
kesedihannya. Kemudian, ia berdiri sambil berkata, “Mari (kita) shalat karena
sudah tiba waktunya. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”
***
Inilah
pekerjaan dan persiapan pada masa kekuasaan kedua Abdurrahman Al-Ghafiqi,
gubernur Andalusia. Sementara masa kekuasaan pertama sudah kita ketahui
situasinya, yaitu setelah gugurnya Samah bin Malik dalam perang Toulouse.
Awalnya
Abdurrahman Al-Ghafiqi melalui masa selama sepuluh tahun di Andalusia. Selama
itu, ia hanya seorang panglima biasa (tahun 103-113 H), dan sudah ada beberapa
orang sebelumnya yang menjabat kedudukan gubernur, tapi jarang sekali
pasukan-pasukan bergerak menuju sasaran penaklukan, di samping kekacuan dan
kelemahan saat itu menyebar luas. Hingga tibalah masa khalafah Hisyam bin Abdul
Malik yang mengeluarkan dekrit untuk mengembalikan Abdurrahman ke kekuasaan
lagi.
Para ahli
sejarah menyatakan bahwa Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah seorang prajurit besar,
pemimpin yang mumpuni dan ahli dalam segala persoalan kekuasaan dan
administrasi, reformis besar yang memiliki keinginan untuk memperbaiki, bahkan
tanpa diragukan ia adalah pemimpin Andalusia terbesar dan paling kuat. (Nafhuth
Thib (I/129)
Menuju
Penaklukan
Abdurrahman
Al-Ghafiqi tidak lupa pada janjinya kepada Allah sejak ia tiba di Andalusia,
sejak kedua kakinya berjalan menginjak tanah negeri tersebut, bahwa ia akan
terus bersiaga di jalan Allah sepanjang hidupnya. Bagaimana bisa seorang mukmin
yang tulus lupa pada janjinya?!
Ia juga
tidak lupa pada janjinya terhadap Samah bin Malik untuk menuntut balas terhadap
musuh atas kematiannya.
Setelah
melengkapi seluruh persiapan, memastikan kondisi internal sudah kondusif dan
kuat, ia menyerukan kepada khalayak, “Mari (kita) berjihad...!”
Ia meminta
bantuan pasukan dari pemimpin di Afrika. Pemimpin di Afrika memberinya bantuan
pasukan. Ia juga mengirim utusan kepada pemimpin wilayah perbatasan, Utsman bin
Abu Nas'ah, berisi perintah untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan
sampai ia datang kepadanya.
Namun
masih ada cela yang potensial berbahaya, yaitu Ibnu Abi Nas’ah. Dia adalah
seorang amir yang memiliki keinginan hina dan mengidap penyakit dengki.
Ditambah lagi, ia pernah menawan putri Duke of Aquitaine (pemimpin kerajaan
Aquitaine) lalu menikahinya. Wanita tersebut sangat cantik jelita dan juga
cerdik. Hingga akhirnya ia mampu mempengaruhi Ibnu Abi Nas’ah secara penuh,
karena ia telah memperdaya akal si amir ini. Sampai-sampai, Ibnu Abi Nas'ah
bersedia mengikat perjanjian dengan ayahnya, lalu berdamai dan memberikan
jaminan aman padanya.
Ketika
perintah Amir Abdurrahman datang agar ia ikut bergerak dan berperang, ia
bingung tidak tahu harus berbuat apa. Istrinya merayu agar ia menolak perintah
tersebut. Ia pun menuruti apa kata istrinya, lalu mengirim surat kepada
Abdurrahman, mengatakan bahwa ia tidak bisa melanggar perjanjiannya dengan Duke
of Aquitaine hingga batas waktunya berakhir.
Abdurrahman
Al-Ghafiqi marah besar kepada Ibnu Abi Nas’ah, karena terlalu menganggap
enteng. Selanjutnya, Abdurrahman mengirim satuan pasukan berkuda yang paling
tangguh dan teguh. Ia memerintahkan mereka agar mendatangi si pengkhianat itu
dan membawanya dalam kondisi hidup ataupun mati. Si pengkhianat ini diketahui
telah mengirim surat kepada Duke of Aquitaine dan mengingatkan kepadanya bahwa
Abdurrahman akan datang kepadanya.
Saat
merasa bahaya mengancam, Ibnu Abi Nas'ah melarikan diri bersama Pasukan berkuda
dan istrinya. Mereka berlindung di puncak gunung. Pasukan berkuda Abdurrahman
mengejarnya hingga terjadi peperangan sengit antara kedua kubu. Namun, pada
akhirnya si pengkhianat ini terkapar tak bernyawa. Kepalanya dipenggal, lalu
dibawa ke hadapan Abdurrahman.
Istrinya
yang cantik (Mennen putri Odo) turut bersamanya. Kemudian, Abdurrahman
mengirimnya kepada khalifah Hisyam bin Abdul Malik di Damaskus dengan
pengawalan ketat.
Seperti
itulah, Abdurrahman berhasil menutup celah perbatasan tersebut dan melindungi
dirinya dari bahaya yang mengancam. Pada malam harinya, ia mempersiapkan diri
untuk perang suci. Seiring datangnya tahun 113 H, Abdurrahman bergerak bersama
pasukannya dari Andalusia menuju Perancis.
Namun,
tragedi perang Uhud kembali terulang pada perang Bilathus
Syuhada' (Battle of Tours).
Bagaimana hal itu terjadi?
Keberangkatan
Besar-Besaran
Abdurrahman
pergi bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari seratus ribu prajurit
pemberani menuju utara dengan sasaran wilayah Aquitaine tempat musuh
bebuyutannya, Eudo Duke of Aquitaine.
Odo
penguasa Aquitaine mendengar berita keberangkatan pasukan Abdurrahman
Al-Ghafiqi, ia pun mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ia khawatir jika
nasibnya akan menjadi seperti salah satu di antara keduanya. Akhirnya, ia
memperkuat pertahanan, mempersiapkan diri, dan menghimpun pasukan sebanyak
mungkin.
Abdurrahman
Al-Ghafiqi melalui wilayah Aragon dan Navarra. Ia melaju turun dengan begitu
deras laksana air bah yang turun dari atas pegunungan Pyrenia melalui jalur
Pamplona (Pamplona merupakan kota yang terletak di sebelah utara Spanyol),
hingga memasuki tanah-tanah Perancis pada musim semi tahun 114 H. Sasaran
pertamanya adalah kota Arles (Aral, Arles merupakan nama kota di Perancis yang
letaknya di bagian selatan) yang terletak di sungai Rhone, karena kota ini
berkhianat dan melanggar janji untuk membayar jizyah setelah gugurnya Samah bin
Malik di Toulouse. Abdurrahman bermaksud memberi pelajaran dan menundukkan kota
tersebut.
Saat tiba
di sana, Abdurrahman mendapati Eudo Duke of Aquitaine telah siap untuk
menghadapi dan menghadangnya, hingga pertempuran besar terjadi di antara kedua
kubu. Duke menuai kekalahan dan melarikan diri dari medan perang bersama
sisa-sisa pasukan dan kekuatannya. Abdurrahman memasuki kota Arles,
menguasainya, dan mendapatkan rampasan perang yang tak terhitung jumlahnya.
Setelah
itu, Abdurrahman bergerak ke arah Barat, menyeberangi sungai Garonne (Garonne
adalah sebuah sungai di barat daya Perancis dan utara Spanyol, dengan panjang
575 km), dan pasukan Islam pemenang ini menyebar ke berbagai wilayah Aquitaine
dan mencapai kemenangan demi kemenangan. Akhirnya, Duke of Aquitaine
mengumpulkan pasukan dan berusaha untuk kembali membendung serangan
Abdurrahman. Namun, tidak lama setelah itu ia mengalami kekalahan telak.
Izidor
Al-Baji (ahli sejarah kebangsaan Spanyol) berkata, “Hanya Allah yang tahu
berapa banyak kaum Nasrani yang terbunuh dalam peperangan itu.”
Abdurrahman
berhasil menguasai kota Bordeaux (Bordeaux adalah kota pelabuhan di Perancis
bagian barat daya. Dia adalah ibu kota region Aquitaine, dan juga prefektur
departement Gironde. Penduduknya dipanggil Bordelais) setelah pengepungan
singkat. Eudo Duke of Aquitaine melarikan diri tanpa kembali lagi, sehingga
Wilayah Aqutaine berhasil ditaklukkan secara keseluruhan.
Setelah
itu, Abdurrahman bergerak menuju sungai Rhone, lalu melintasi Bourgogne,
menguasai Lyon dan Besancon. Bahkan, pasukan-pasukan perintis Abdurrahman sudah
tiba di kota Sens yang hanya berjarak 100 mil dari Paris.
Seluruh
Wilayah ini bisa dibilang separuh Wilayah Perancis selatan. Seluruhnya berhasil
dikuasai Abdurrahman dalam waktu singkat; selama beberapa bulan saja.
Sejarawan
Edward Gibbon (sejarawan berkebangsaan Inggris) menuturkan, “Garis kemenangan
membentang sejauh 1000 mil dari bukit Gibraltar hingga tepi sungai Loire
(sungai terpanjang di Perancis). Pergerakan sejauh ini nyaris membawa
orang-orang Arab hingga ke perbatasan Bologna dan dataran tinggi Skotlandia.
Sebab, sungai Rhein tidak lebih kuat dari sungai Nil dan Eufrat, dan armada
Arab bisa saja mencapai hulu sungai Thames tanpa peperangan. Bahkan mungkin
saja hukum-hukum Al-Qur'an saat ini diajarkan di institut-institut Oxford, dan
mungkin mimbar-mimbarnya mendukung Muhammad ﷺ, memercayai wahyu dan risalah
yang beliau bawa!"
Itulah
gambaran pergerakan AbdurrahmanAl-Ghafiqi di mata orang-orang Barat dan
bayangan refleksi pada masa sejarah tersebut.
Mobilisasi
Besar-Besaran di Eropa
Mobilisasi
besar-besaran terjadi di seluruh negara-negara Eropa untuk membangkitkan
semangat semua orang guna membendung gelombang topan Islam yang tengah
bergerak. Hingga akhirnya, terhimpun banyak orang di sana-sini di bawah komando
Charl Martel. Tanda-tanda perang besar yang belum pernah disaksikan sejarah
sebelumnya, mulai tampak di ufuk.
***
Pasukan
besar Charl Martel adalah campuran dari berbagai kabilah Jerman yang liar dan
berbagai kelompok bayaran Eropa. Sebagian besar di antara mereka bukan pasukan
reguler, setengah telanjang, mengenakan kulit serigala, rambut ikal mereka
terjuntai hingga di atas pundak yang tidak tertutup pakaian.
Pertemuan
Para ahli
sejarah menuturkan tentang pertemuan antara Abdurrahman Al-Ghafiqi dan Charl
Martel. Mereka berkata, “Pasukan Islam dalam pergerakannya sampai di tanah
datar yang membentang luas di antara kota Poitiers dan Tours. Kaum muslimin
berhasil menguasai dua kota tersebut, lalu mereka mengeluarkan seluruh harta
simpanan gereja, istana, dan biara.
Charl
Martel tiba lebih dulu di sungai Loire. Pasukan muslimin tidak menyadari hingga
tiba-tiba Charl Martel berada di hadapan mereka dengan pasukan besar.
Abdurrahman memperkirakan bahaya kumpulan pasukan besar-besaran barat ini, lalu
ia mundur ke tanah luas yang terletak di antara Poitiers dan Tours, dan
berkemah di sana.
Pasukan
Islam merasa cemas dan takut, karena perpecahan melanda di antara
kabilah-kabilah Barbar yang mengisi sebagian besar komposisi pasukan.
Kabilah-kabilah
ini ingin menarik diri untuk menyelamatkan rampasan-rampasan perang yang begitu
besar dan banyak.
Pasukan
muslimin -kenyataannya- memilih kekayaan-kekayaan Perancis selatan dalam
perjalanan mereka. Mereka merebut harta-harta simpanan biara dan gereja-gereja
Perancis, hingga mereka membawa harta simpanan, rampasan perang, dan tawanan
dalam jumlah yang tak terhitung.
Barang-barang
berharga ini memicu celah di tengah-tengah barisan kaum muslimin dan
menimbulkan banyak pertikaian.
Abdurrahman
memperkirakan bahaya harta-harta rampasan itu bagi pasukan dan persiapan yang
telah ia jalani. Ia berusaha -tanpa hasil- mendorong mereka untuk meninggalkan
sebagian dari harta-harta tersebut agar sedikit ringan membawanya. Namun,
mereka begitu tamak untuk mendapatkannya.
Abdurrahman
tidak memaksa untuk meninggalkan harta-harta itu, karena khawatir mereka
membangkang. Namun demikian, Abdurrahman bertekad untuk mengarungi peperangan
dengan tekad kuat. Ia merancang strategi perang, dan bersiap-siap untuk itu.”
Dari Perang
Uhud Hingga Pertempuran Balâthu Asy-Syuhada' (Tanah Para Syuhada)
Seperti
halnya rampasan perang pasukan Quraisy saat perang Uhud menyebabkan pasukan
pemanah rneninggalkan posisi, dan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap
instruksi-instruksi Rasulullah ﷺ menjadi sebab kekalahan dan mengubah neraca
peperangan, seperti itu juga perkemahan tempat rampasan perang ketika pasukan
muslimin di bawah komando Abdurrahman Al-Ghafiqi melawan pasukan Eropa di bawah
komando Charl Martel menjadi penyebab petaka menyakitkan dan kekalahan
pahit.
Pertempuran
dimulai. Peristiwa ini terjadi pada akhir-akhir bulan Sya'ban tahun 114 H.
Peperangan di antara kedua kubu terus berlanjut selama tujuh hari tanpa satu
pihak pun yang meraih kemenangan.
Pada hari
kedelapan, serangan umum terjadi yang melibatkan seluruh kekuatan kedua kubu
pasukan. Perang kian sengit hingga malam tiba dan kedua pasukan dipisahkan oleh
kegelapan.
Seiring
fajar hari berikutnya, peperangan dilanjutkan kembali secara lebih ganas,
hingga kelelahan berat tampak pada kubu pasukan Charl Martel, tanda-tanda
kemenangan Islam mulai tampak, dan sisi timbangan pasukan Abdurrahman lebih
berat.
Tiba-tiba,
terdengar suara yang mengatakan bahwa perkemahan tempat harta rampasan perang
nyaris jatuh ke tangan musuh. Hal ini menyebabkan sebagian besar pasukan
berkuda meninggalkan inti pertempuran ke baris belakang untuk menjaga rampasan
perang. Akhirnya, terbuka celah besar di tengah barisan kaum muslimin, kekuatan
mereka melemah, dan laju serangan mereka berubah menjadi gerakan mundur.
Upaya
panglima Abdurrahman untuk mengembalikan formasi barisan kekuatan dan pasukan,
serta usaha untuk meredakan rasa takut pasukannya tidak membuahkan hasil.
Ketika ia
beralih ke sana-kemari dengan mengendarai kuda, ia terkena anak panah tepat di
dada hingga jatuh terkapar di tanah dan menghembuskan nafas terakhir sebagai
syahid di jalan Allah.
Pasukan
muslimin kembali di tengah kegelapan malam dengan meninggalkan jejak-jejak
peperangan terbesar dan paling krusial dalam sejarah penaklukan Andalusia,
meninggalkan seluruh rampasan perang dan para syuhada.
Pertempuran
ini dikenal sebagai Perang Balâtu Asy-Syuhada'
(tanah para syuhada), atau Battle of Tours and
Poitiers.
***
Semoga
Allah merahmati seorang tabi'in mulia, panglima penakluk Abdurrahman
Al-Ghafiqi, dan menempatkannya di Firdaus tertinggi; kedudukan dan tempat
tertinggi.
Bacaan: