Peran Barat di Irak Sepanjang Era
Saddam Hussein
18. Lima tahun
sebelum Saddam Hussein, yang kini amat terkenal, memerintahkan serangan gas
terhadap warga Kurdi, sebuah pertemuan penting telah diselenggarakan di
Baghdad. Pertemuan itu selanjutnya memainkan peran yang sangat penting dalam upaya
menutup-nutupi hubungan erat Saddam Hussein dan Washington. Itu terjadi
saat Saddam untuk kali pertama diduga menggunakan senjata Kimia. Pertemuan yang
diadakan akhir Desember 1993 itu mencoba merumuskan cara untuk memulihkan
hubungan Irak dan AS yang rusak sejak meletusnya perang Arab-Israel tahun 1967.
19. Saat konflik
Iran-Irak memanas, Presiden Ronald Reagan mengirim Utusan Timur Tengahnya,
mantan Menteri Pertahanan di masa Presiden Ford, ke Baghdad dengan membawa
sebuah surat tulisan tangan untuk Presiden Irak, Saddam Hussein, serta sebuah
pesan bahwa Washington bersedia membuka kembali hubungan diplomatiknya
dengan Irak. Sang utusan itu tidak lain adalah Donald Rumsfeld. Dengan
kunjungannya ke Baghdad pada tanggal 19-20 Desember 1983 itu, Rumsfeld menjadi
pejabat AS dengan jabatan tertinggi yang mengunjungi Irak dalam kurun waktu 6
tahun terakhir. Ia bertemu dengan Saddam Hussein dan, menurut Menteri Luar
Negeri Irak, keduanya mendiskusikan ‘topik-topik kepentingan bersama’. ‘(Saddam)
memberikan penjelasan bahwa Irak tidak tertarik untuk terlibat dalam perusakan
dunia’, tutur Ramsfeld kemudian kepada New York Times. Ia melanjutkan, ‘kami
menyadari pentingnya menjalin hubungan, karena kami benar-benar peduli pada
pemecahan masalah Timur Tengah’. Tepat dua belas hari setelah pertemuan
dimaksud, yaitu tanggal 1 Januari 1984, Washington Post memberitakan bahwa AS,
‘sebagai bagian dari perubahan kebijakan, telah memberitahu negara-negara
sahabat di Teluk Persia bahwa kekalahan Irak dalam perang tiga tahun melawan
Iran merupakan sesuatu yang ‘berlawanan dengan kepentingan AS’ dan karenanya AS
telah membuat beberapa langkah untuk mencegah hal tersebut’.
20. Pada bulan
Maret 1984, saat perang Iran-Irak semakin bertambah brutal dari hari ke hari,
Rumsfeld kembali ke Baghdad untuk mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri
Irak saat itu, Tariq Aziz. Pada tanggal 24 Maret, hari saat Rumsfeld
berkunjung, United Press International (UPI) melaporkan dari PBB: ‘Gas
mustard yang menyerang sistem syaraf digunakan oleh tentara Iran sepanjang 43
bulan Perang Teluk Persia antara Iran dan Irak, demikian kesimpulan tim ahli
PBB… Sementara itu di ibukota Irak, Baghdad, utusan presiden AS Donald Rumsfeld
mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Aziz, menyangkut
Perang Teluk sebelum meninggalkan tempat tersebut menuju tempat yang tidak
disebutkan secara pasti’. Sehari sebelumnya, kantor berita Iran menduga
bahwa Irak kembali menggunakan senjata kimia lain di daerah Selatan medan
pertempuran, melukai 600 orang tentara Iran. ‘Senjata kimia dalam bentuk
bom-bom udara telah digunakan di beberapa wilayah Iran yang diamati oleh para
ahli’, ungkap laporan PBB tersebut. ‘Jenis senjata kimia yang digunakan
Irak adalah bis-(2-chlorothyl)-sulfide yang juga dikenal sebagai gas mustard
dan ethyl N, dimethyl phosphoroamido cyanidate, jenis racun syaraf yang juga
dikenal sebagai Tabun’.
21. Sebelum
terbitnya laporan PBB, pada tanggal 5 Maret 1984 Departemen Luar Negeri AS
mengeluarkan pernyataan, ‘bukti-bukti yang ada memang mengarah kepada
penggunaan senjata kimia yang mematikan oleh Irak’. Mengomentari laporan
PBB, Duta Besar AS Jean Kirkpatrick –seperti dikutip New York Times–
mengatakan, ‘kami kira penggunaan senjata kimia adalah sesuatu yang sangat
serius. Kami telah menjelaskannya baik secara umum maupun khusus’.
Dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan retoris yang muncul dari pemerintahan
saat ini, berdasarkan spekulasi tentang apa yang mungkin Saddam miliki, reaksi
yang diucapkan Kirkpatrick jelas merupakan sebuah ajakan untuk melakukan aksi.
Bukti yang lebih jelas lagi adalah bahwa Donald Rumsfeld sedang berada di Irak
ketika laporan PBB tahun 1984 itu dikeluarkan dan Rumsfeld tidak menyinggung
masalah kepemilikan senjata kimia, meskipun Departemen Luar Negeri AS memiliki
‘bukti’ tentang hal itu. Pada tanggal 29 Maret 1984, New York Times
memberitakan dari Baghdad bahwa ‘para diplomat AS mengatakan mereka puas
dengan hubungan antara Irak dan AS dan mengungkapkan bahwa hubungan diplomatik
secara keseluruhan telah pulih’.
22. Satu setengah
bulan kemudian, pada bulan Mei 1984, Donald Rumsfeld mengundurkan diri. Di
bulan November tahun yang sama, hubungan diplomatik antara Irak dan AS telah
kembali pulih. Dua tahun kemudian, dalam sebuah artikel yang mengupas tentang
aspirasi Rumsfeld untuk menjadi nominasi Presiden 1998 dari Partai Republik,
Chicago Tribune Magazine membuat daftar prestasi Rumsfeld. Di antaranya adalah
membantu ‘membuka kembali hubungan AS dan Irak’. Namun, The Tribune
tidak mengungkapkan bahwa bantuan tersebut datang ketika Irak –menurut Deplu
AS– menggunakan senjata kimia. Selama periode Rumsfeld menjabat sebagai Utusan
pemerintahan Reagan untuk Timur Tengah, Irak secara gila-gilaan membeli
persenjataan berat dari perusahaan-perusahaan Amerika, mengingat transaksi
tersebut mendapat restu Gedung Putih. Pembelian besar-besaran dimulai saat
Irak dicoret dari daftar negara pendukung terorisme pada tahun 1982. Berdasarkan
sebuah artikel yang dimuat dalam Los Angeles Times tertanggal 13 Februari 1991,
‘urutan pertama dalam daftar belanja Saddam Hussein adalah beberapa buah
Helikopter –dia membeli sekitar 60 buah helikopter Hughes dan para pelatih
tanpa publikasi besar-besaran. Namun, pemesanan kedua untuk Helikopter Bell
‘Huey’ bermesin ganda seperti yang digunakan untuk membawa pasukan tempur di
Vietnam, ditentang oleh kalangan oposisi Kongres pada bulan Agustus 1983… Tetap
saja, transaksi itu disetujui’.
23. Pada tahun
1984, menurut LA Times, Departemen Luar Negeri dengan mengatasnamakan ‘peningkatan
penetrasi AS dalam pasar pesawat sipil yang kompetitif’, memaksakan penjualan
sekitar 45 unit helikopter Bell 214 ST ke Irak. Helikopter tersebut, yang nilai
keseluruhannya mencapai US$ 200 juta, aslinya dirancang untuk keperluan
militer. New York Times kemudian memberitakan bahwa Saddam ‘mentransfer
hampir semua (helikopter itu) kepada militer’. Pada tahun 1988, pasukan
Saddam menyerang warga sipil etnis Kurdi dengan gas beracun dari helikopter dan
pesawat Irak. Sumber intelijen AS kemudian mengatakan kepada LA Times pada
tahun 1991, bahwa mereka ‘meyakini beberapa helikopter buatan AS ada di
antara helikopter yang menjatuhkan bom-bom mematikan itu’.
24. Dalam rangka
merespon serangan gas tersebut, Senat AS menjatuhkan sanksi sweeping
dengan suara bulat sehingga tidak memungkinkan Irak untuk mengakses sebagian
besar teknologi AS. Namun Gedung Putih kemudian mengabaikan hal tersebut. Para
pejabat senior kemudian mengatakan kepada para wartawan bahwa mereka tidak
sepenuhnya mendukung sanksi tersebut untuk saat itu, karena mereka ingin
mempertahankan kemampuan Irak dalam perang melawan Iran. Penelitian lebih
lanjut memperlihatkan tidak adanya pernyataan publik oleh Donald Rumsfeld yang
secara terbuka mengekspresikan perhatian terhadap penggunaan dan penguasaan
senjata kimia oleh Irak hingga saat di mana Irak menginvasi Kuwait pada bulan
Agustus 1990, saat Rumsfeld muncul dalam acara berita khusus BBC. Delapan tahun
kemudian, Donald Rumsfeld menandatangani ‘surat terbuka’ yang ditujukan
kepada Presiden Clinton, menyerukan Clinton untuk menghentikan ‘ancaman yang
dibuat oleh Saddam’. Surat itu mendorong Clinton untuk, ‘menunjukkan
wujud kepemimpinan yang diperlukan untuk menyelamatkan diri kita dan dunia dari
bahaya yang diciptakan Saddam dan senjata pemusnah massal yang tidak ingin
dimusnahkannya’. Pada tahun 1984, Donald Rumsfeld berada dalam posisi yang
menguntungkan untuk menarik perhatian dunia terhadap ancaman senjata kimia
Saddam. Dia sedang berada di Baghdad saat PBB menyimpulkan bahwa senjata kimia
telah dipergunakan untuk memerangi Iran. Rumsfeld mendapat informasi bahwa Departemen
Luar Negeri memiliki ‘bukti kuat’ menyangkut penggunaan senjata kimia
oleh Irak., namun ketika itu, dia diam saja.
25. Kini
Washington berceloteh tentang ancaman Saddam dan konsekuensi yang terjadi jika
gagal melakukan tindakan. Terlepas dari fakta bahwa pemerintah AS gagal
memberikan sedikitpun bukti keterkaitan Irak dengan Al Qaeda atau bukti bahwa
Irak telah memproduksi senjata kimia atau biologi, Rumsfeld bersikeras, ‘tidak
ada bukti bukan berarti terbukti tidak ada’. Namun, ucapan Donald Rumsfeld
tentang ‘terbukti tidak ada’ itu justru terbukti sejak Irak dituduh
telah menjadi ancaman bagi keamanan internasional –dan dalam hal ini, ‘terbukti
tidak ada’ itu memang menjadi bukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar