11. Membasuh Dua Kaki Hingga Dua
Mata Kaki
Ini merupakan fardhu
wudhu yang kelima. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:
“(Basuhlah) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Selain itu juga ada
Ijma Sahabat dan hadits-hadits shahih
yang jumlahnya sangat banyak yang telah kami sebutkan. Sejenak kita dalami ayat
al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Firman Allah Swt.: idzaa qumtum, maksudnya adalah jika kalian
hendak mendirikan shalat. Ini persis dengan firman Allah Swt.:
“Apabila kamu membaca
al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk.” (TQS. an-Nahl [16]: 98)
Kata idzaa qara’ta, artinya jika kalian hendak
membaca al-Qur’an.
Dari ayat al-Maidah di
atas, sebagian ahli tafsir memahami kewajiban berniat wudhu. Mereka mengatakan:
idzaa qumtum itu pengertiannya adalah idzaa nawaitum al-qiyam (jika kalian berniat
melaksanakan). Tetapi pemahaman ini lemah, di mana masalah niat sudah cukup
disandarkan pada hadits Umar: innamal a'malu
bin niyat (sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niat).
Ayat ini menyebutkan wa aidiyakum ilal maraafiqi (dan tanganmu
sampai dengan siku) dalam bentuk jamak untuk kata al-mirfaq,
dan ayat tersebut menyebutkan wa arjulakum ilal
ka’bain (basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki) dalam bentuk tatsniyah (dua) untuk kata al-ka'b.
Menurut saya, sebabnya
yang paling tepat adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Athiyyah, penyusun kitab
tafsir al-Muharrar al-Wajiz, saat
menafsirkan ayat tersebut: “Hal ini nampak jelas dari firman Allah Swt. dalam
ayat al-Maidah ketika menyebutkan kata al-aidi
(tangan-tangan) “ilal mararafiqi”
(hingga sampai ke siku), artinya setiap tangan memiliki satu siku. Seandainya
patokan yang sama digunakan untuk kaki, niscaya akan dikatakan “ilal ku'uub” (hingga mata kaki-mata kaki). Hal
ini tiada lain karena satu kaki memiliki dua mata kaki, yang secara khusus
sengaja disebutkan.”
Nafi, al-Hasan
al-Bashri dan al-A’masy membaca arjulakum
dengan nashab, sedangkan Hamzah, Ibnu
Katsir dan Abu Amr membaca arjulikum
dengan jarr. Membaca kata tersebut
secara nashab itu sama dengan meng'athaf-kan kata arjulakum
ke kata aidiikum, ketika al-aidi diperintahkan untuk dibasuh maka
begitupula dengan kaki, artinya harus dibasuh.
Penafsiran bahwa kaki
itu harus dibasuh dipegang oleh mayoritas kaum Muslim, baik dahulu ataupun
sekarang, juga dipegang oleh empat imam.
An-Nawawi berkata:
“Pendapat orang-orang terbagi menjadi beberapa kelompok: seluruh fuqaha dari
kalangan ahli fatwa yang ada di desa dan kota berpendapat wajibnya membasuh dua
kaki hingga bersama dengan dua mata kaki, tidak cukup dengan usapan, basuhan tersebut
juga tidak wajib disertai dengan usapan. Pendapat yang menyelesihi pendapat
pertama ini tidak ada yang bisa dibuktikan validitasnya, sehingga pendapat
pertama tersebut hampir dikategorikan sebagai kesepakatan (ijma).”
Ibnu Hajar berkata:
“Pendapat yang menyalahi pendapat “membasuh kaki” tidak terbukti berasal dari
seorang sahabatpun, kecuali konon berasal dari Ali, Ibnu Abbas dan Anas. Itupun
kemudian terdengar kabar bahwa mereka meninggalkan pendapatnya.”
At-Thabari berbeda
pendapatnya dalam persoalan itu. Dia menyatakan bahwa kaki itu bisa dibasuh
karena berpegang pada qira’ah yang
membacanya secara nashab (arjulakum), bisa juga diusap karena berpegang
pada qira’ah yang membacanya secaranya jarr (arjulikum),
dibaca jarr karena diathaf-kan pada kata ru'uusikum yang diperintahkan untuk diusap. Pendapat at-Thabari
ini dipandang netral, tetapi kemudian diriwayatkan pendapat berbeda dari
Ikrimah, as-Sya’biy, dan Qatadah.
Dari Ikrimah
diriwayatkan bahwasanya dia berkata: Kaki itu tidak dibasuh, ayat al-Qur'an
yang turun itu memerintahkan keduanya untuk diusap. Dari as-Sya’biy
diriwayatkan bahwasanya dia berkata: Jibril menurunkan wahyu yang memerintahkan
keduanya untuk diusap. Qatadah berkata: Allah Swt. mewajibkan dua usapan dan
dua basuhan.
Mereka bertiga tidak
berpegang pada qira'ah yang benar yang
membaca arjulakum dengan nashab, mereka malah berpegang pada qira’ah shahihah
lainnya yang membaca arjulikum dengan jarr, dan mereka bertiga keliru dalam
persoalan ini.
Orang yang terpengaruh
oleh pendapat mereka bertiga adalah Ibnu Hazm dan at-Thahawi. Keduanya berkata
bahwa pada masa awal Islam, kaki itu diwajibkan untuk diusap, kemudian perintah
tersebut dinasakh. Ini merupakan klaim
yang tidak memiliki argumentasi.
Telah diriwayatkan
bahwa Ali, Anas dan Ibnu Abbas berpendapat “harus diusap”, kemudian terbukti
bahwa mereka meninggalkan pendapatnya dan beralih pada pendapat yang menyatakan
“harus dibasuh,” karena itu, tidak ada seorang sahabat pun yang berpendapat harus
diusap.
Untuk membantah
pernyataan at-Thabari, Qatadah, Ikrimah dan as-Sya’biy, saya katakan bahwa semua hadits menunjukkan harus
membasuh kaki. Tidak ada satupun hadits shahih
yang dilalahnya jelas, yang menunjukkan
bahwa kaum Muslim mengusap kaki-kaki mereka ketika berwudhu. Telah diketahui
bahwa as-Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an: merinci keglobalannya, membatasi
kemutlakannya, mentakhsis keumumannya,
dan tidak akan ada kontradiksi dengannya. Semua hadits menyebutkan membasuh
kaki, sehingga harus dikatakan bahwa ayat ini juga mewajibkan membasuh kaki,
karena tidak akan ada kesulitan memadukan al-Qur’an dengan as-Sunnah ketika
lafadz arjulakum dibaca secara nashab, dan ini merupakan qira'ah yang shahih
dan qath'i. Qira’ah dan hadits-hadits ini menunjukkan membasuh kaki,
sehingga tidak ada kontradiksi di antara keduanya.
Qira’ah yang menjarr-kan
(arjulikum) inilah yang membingungkan
sejumlah fuqaha, sehingga qira’ah
tersebut harus dipegang dengan kaidah yang sudah ditetapkan, bahwa as-Sunnah
tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an, karena tidak mungkin Rasulullah
Saw. memberikan sebuah perintah yang berasal dari pendapatnya sendiri. Dan
selama terbukti bahwa beliau Saw. memerintahkan membasuh, maka ini menjadi
bukti paling kuat bahwa al-Qur'an itu memerintahkan membasuh juga, sehingga
ayat al-Maidah tersebut harus ditafsirkan berdasarkan hal itu, dan qira’ah yang menjarr-kan
(arjulikum) juga tidak keluar dari
pemahaman ini.
Hal ini karena menjarr-kan lafadz arjulikum
tidak berarti mengathaf-kannya pada kata
ru’uusikum, sehingga tidak berarti harus
diusap seperti kepala, jarr tersebut
hanya menunjukkan mujawarah (kedekatan
posisi) saja, tidak lebih dari itu, sehingga tetap diathaf-kan pada wajah dan dua tangan yang diperintahkan untuk
dibasuh. Dengan demikian, ayat yang dibaca dengan dua qira’ah ini tetap menunjukkan keharusan membasuh persis dengan
apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits, dan berdasarkan hal itu pula
kontradiksi bisa dihilangkan dan syubhat bisa dinegasikan.
Adapun ketika sebagian
mereka berpegang pada qira’ah yang menjarr-kan saja, seraya meninggalkan qira'ah yang menashab-kan
dengan anggapan keduanya bertentangan, maka jelas sikap seperti ini tidak
dibolehkan. Karena dua qira’ah ini
sama-sama shahih. Masing-masing qira’ah ini merupakan al-Qur’an yang tidak
boleh dibiarkan dan ditinggalkan. Selain itu, mereka juga tidak boleh
beranggapan adanya kontradiksi antara al-Qur’an dengan as-Sunnah, selama
as-Sunnah menyebutkan membasuh, maka semestinya mereka tidak menyatakan al-Qur’an
menyalahi atau berbeda dengan Sunnah dan memerintahkan mengusap.
Bahkan ayat yang menjarr-kan itu wajib dipegang, seraya dibawa
pengertiannya pada lil mujawarah (untuk
kedekatan posisi) saja, sehingga tetap diathaf-kan
pada anggota wudhu yang dibasuh, bukan anggota wudhu yang diusap.
Kekeliruan juga
menimpa mereka yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan membasuh dan mengusap
harus dilakukan bersama-sama, karena berpegang pada dhahir dua qira'ah.
Kekeliruan mereka muncul karena mereka memandang satu ayat yang memerintahkan
dua perkara berbeda dalam satu persoalan, seolah-olah mereka beranggapan bahwa
dua qira’ah ayat ini saling
bertentangan. Seandainya mereka menerapkan kaidah bahwa as-Sunnah dan al-Qur'an
itu tidak saling bertentangan, dan dalam al-Qur’an itu sendiri tidak akan ada
saling pertentangan, niscaya mereka akan bisa memahami dua qira’ah ayat ini dengan satu pemahaman, yakni
semua itu menunjukkan kewajiban membasuh kaki, bukan mengusapnya.
Bisa jadi dikatakan
bahwa mujawarah (kedekatan posisi) itu
alasan yang lemah ketika di sana ada pemisah sebagaimana yang ada dalam ayat
ini dengan adanya huruf wawu athaf, dan mujawarah
yang umum berlaku itu adalah tanpa pemisah. Pernyataan seperti ini kami bantah
bahwa al-Qur’an sungguh telah menggunakan mujawarah
seperti ini sehingga harus diterima, karena kita tidak mungkin bisa
mengkompromikan dua qira’ah ini, dan
juga tidak mungkin bisa mengkompromikan antara keduanya dengan hadits-hadits
yang ada kecuali dengan alasan mujawarah,
sebagai bentuk keimanan kita bahwa al-Qur’an tidak akan saling bertentangan dan
tidak akan bertentangan dengan as-Sunnah.
Ibnu Hisyam dalam
kitabnya Syudzurud Dzahab berpendapat
bahwa mujawarah yang disertai dengan
pemisah itu merupakan sesuatu yang ganjil bagi orang Arab, karena mujawarah itu muncul tanpa pemisah. Tetapi
Ibnu Hisyam tidak memastikan kaidah seperti ini keliru (mujawarah dengan disertai pemisah-pen.).
Kemudian dia berkata, sesungguhnya mujawarah
itu terjadi dengan adanya pemisah yang dibuang (mahdzuf)
dan sekedar diasumsikan (muqaddar)
adanya. Maka kami katakan bahwa ayat al-Qur’an ini menggunakan mujawarah yang disertai dengan adanya pemisah
yang tidak dibuang. Sering disebutkan melalui lisan pujangga:
()
Maka kata qadiir ini seharusnya dinashab-kan, karena dia di-athaf-kan oleh huruf au (atau) pada kata shafif
yang dinashabkan sebagai hal (adverb), sehingga kalimat tersebut
seharusnya dibaca shafiifa syuwaa'in au
qadiiran mu’ajjalan. Tetapi lafadz qadiiran
tersebut dijarrkan (menjadi qadiirin-pen.) karena mujawarah (berdekatan) dengan lafadz syuwaa’in yang dijarkan.
Ini merupakan contoh
bolehnya mujawarah dengan adanya pemisah
yang tidak dibuang, yang dalam contoh ini adalah huruf athaf. Kami merasa cukup dengan pernyataan Sibawaih, yang
notabene seorang pakar i’rab, dan begitu
pula al-Ahfasy, keduanya menetapkan bolehnya mujawarah
walaupun ada athaf. Dengan berpatokan
pada kaidah mujawarah ini maka kita bisa
mengamalkan seluruh dalil, sekaligus bisa menghilangkan syubhat yang melingkupi
mereka, yang menyatakan adanya kontradiksi di antara dua qira’ah.
Perihal hadits-hadits
yang dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan harus mengusap, ketahuilah,
bahwa hadits-hadits tersebut tidak akan sanggup bertahan ketika didiskusikan.
Kesimpulan mereka yang menjadi syubhat itu didasarkan pada dalil-dalil berikut:
1. Dari Abdullah bin
Amr, dia berkata:
“Nabi Saw. pernah
tertinggal dari kami dalam suatu perjalanan yang kami lakukan, lalu beliau Saw.
dapat menyusul kami. Sungguh kami hampir kehabisan waktu shalat ashar, sehingga
kami berwudhu dan mengusap kaki kami. Maka Nabi Saw. berseru dua atau tiga kali
dengan keras: “Lembah Wail Neraka diperuntukkan bagi tumit-tumit (yang tidak
terkena air wudhu).” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abdullah bin
Amr, dia berkata:
“Kami pulang bersama
Rasulullah Saw. dari Makkah menuju Madinah. Ketika kami tiba di sumber air di
perjalanan, orang-orang tergesa-gesa hendak shalat ashar, maka mereka berwudhu
dengan tergesa-gesa. Ketika kami menghampiri mereka, ternyata tumit-tumit mereka
masih kering tidak terbasuh air. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Lembah Wail
Neraka diperuntukkan bagi tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu), maka
sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim)
3. Dari Aus bin Abi
Aus at-Tsaqafi:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. mendatangi telaga (tempat berwudhu) suatu kaum, kemudian beliau
Saw. berwudhu dan mengusap dua sandal dan kedua kaki beliau Saw.” (HR. Abu
Dawud)
Ini hadits dhaif.
4. Dari Abbad bin
Tamim dari ayahnya, dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. berwudhu, beliau mengusap kedua kakinya.” (HR. at-Thabrani)
Ini hadits dhaif.
5. Dari Ibnu Abbas
ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
berwudhu, lalu beliau Saw. memasukkan tangannya ke dalam wadah. Beliau Saw. beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dan
berkumur-kumur sebanyak satu kali, kemudian beliau Saw. memasukkan kembali
tangannya lalu membasuh wajahnya sekali, membasuh dua tangannya dua kali dan
mengusap kepalanya satu kali, kemudian beliau Saw. mengambil air segenggam
tangan penuh, lalu mengucurkannya ke atas dua kakinya. Beliau Saw. saat itu
memakai sandal.” (HR. al-Baihaqi)
6. Selain adanya
bacaan ayat wudhu yang menjarkan kata arjulikum karena diathafkan pada kata ru'uusikum.
Dengan hadits pertama,
mereka mengambil kesimpulan mengusap kaki berdasarkan kalimat:
“Sehingga kami
berwudhu dengan hanya mengusap kaki kami.”
Ini merupakan
pengambilan kesimpulan yang rusak, karena mereka memutus ungkapan kalimat ini
dari kalimat sebelumnya dan sesudahnya. Mereka membatasi perhatian hanya pada
kalimat ini saja. Padahal seharusnya mereka mengkaji kalimat ini setelah
menempatkannya dalam konteks yang meliputinya agar bisa dipahami dengan mudah,
dan darinya didapatkan kesimpulan yang benar.
Ibnu Baththal berkata:
Sepertinya para sahabat mengakhirkan shalat dari awal waktunya karena berharap
Nabi Saw. bisa menyusul mereka dan shalat mengimami mereka. Ketika waktu shalat
sudah sempit, mereka terburu-buru berwudhu, sehingga karena disebabkan ketergesaan
saja mereka tidak menyempurnakan basuhan wudhunya. Lalu Nabi Saw. berhasil
menyusul mereka dalam kondisi seperti itu, lalu mengingkari perbuatan mereka
tadi.”
Inilah konteks yang
melingkupi ungkapan hadits tersebut, sehingga dengan konteks seperti ini maka
ungkapan hadits tadi mudah untuk dipahami. Pemahaman yang dihasilkan ternyata
tidak menguntungkan mereka, dan justru bertentangan dengan pernyataan mereka. Ucapan
dalam hadits tersebut:
“Lalu beliau Saw.
dapat menyusul kami. Sungguh kami hampir kehabisan waktu shalat ashar.”
jelas menggambarkan
bahwa mereka sangat tergesa-gesa, di mana seseorang yang tergesa-gesa itu tidak
akan berwudhu dengan baik.
Ibnu Umar
menggambarkan kondisi ketergesaan yang begitu jelas dalam tindakan mereka,
sehingga mereka hanya mengusap kaki dan tidak membasuhnya. Dalam kondisi
seperti ini tibalah Nabi Saw., lalu beliau melihat mereka seolah sedang
mengusap dan beliau melihat beberapa bagian dari kaki mereka tidak terkena air.
Maka Nabi Saw. berteriak marah dengan suara sangat keras dua sampai tiga kali:
“Lembah Wail Neraka
diperuntukkan bagi untuk tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) maka
sempurnakanlah wudhu.”
Dengan meneliti hadits
ini kita bisa memahami bahwa mereka itu membasuh kaki, bukan mengusap, tetapi
karena tergesa-gesa dalam membasuh, maka nampak beberapa bagian kaki tidak
terbasuh air. Lalu Rasulullah Saw. mengingkari hal itu dilakukan mereka, seandainya
mereka biasa mengusap dan seandainya mengusap itu boleh, tentunya Ibnu Amr
tidak akan menonjolkan mengusap kaki sebagai tanda ketergesa-gesaan mereka
tanpa menyebutkan perbuatan wudhu yang lain. Ucapan:
“Sehingga kami
berwudhu dan mengusap kaki kami.”
(ucapan tersebut)
jelas difokuskan pada mengusap kaki saja, dan mengusap itu menjadi tanda yang
menunjukkan ketergesaan. Persoalan ini sangat pelik sehingga membutuhkan
perenungan dan pemikiran yang dalam. Ini pertama.
Kedua, hasil usapan
biasanya tidak akan menyerap pada sesuatu yang diusapnya. Dan sesuatu yang
diperintahkan untuk diusap itu diberi keringanan dari sisi kesempurnaan dan
keterserapan airnya, sehingga ketika diinginkan airnya merata terserap maka
diperintahkan untuk dibasuh. Ini sangat jelas sekali. Seandainya yang
diperintahkan itu adalah mengusap dua kaki, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan
memungkiri mereka yang membiarkan air tidak merata menyerap di kaki. Ketika beliau Saw. mengingkari
mereka membiarkan satu bagian dari kaki tidak terbasuh air, padahal beliau Saw.
melihat mereka begitu tergesa-gesa, maka ini menunjukkan kewajiban terserapnya
air, sehingga serta-merta mengandung arti kewajiban membasuhnya, bukan
mengusapnya.
Ketiga, proses
mengusap itu dilakukan oleh sahabat, terjadi ketika Rasulullah Saw. tidak ada
bersama mereka. Saat beliau Saw. datang maka beliau Saw. mengingkari mereka dan
tidak menyetujui tindakan mereka. Beliau Saw. menggunakan kalimat pengingkaran
yang sangat tajam, di mana berkali-kali mengancam mereka dengan Neraka Wail,
sehingga bagaimana mereka (yang berpendapat kaki itu diusap bukan dibasuh)
sampai bisa mengambil kesimpulan dengan hadits ini untuk membolehkan mengusap?
Keempat, Ibnu Amr
sendiri sendiri -yang meriwayatkan hadits ini- tidak berpendapat mengusap kaki,
melainkan berpendapat membasuh kaki. Tidak mungkin beliau berpendapat membasuh
kaki lalu meriwayatkan hadits ini dengan maksud mengusap seperti itu, melainkan
maksud beliau dengan kata “mengusap” tersebut adalah basuhan ringan akibat
ketergesaan, lalu beliau menggunakan kata “mengusap” ini sebagai penggantinya.
Berikut ini bantahan
yang harus disampaikan terkait hadits riwayat Muslim:
“Maka mereka berwudhu
dengan tergesa-gesa. Ketika kami menghampiri mereka ternyata tumit-tumit mereka
masih kering tidak tersentuh air.”
Kalimat ini tidak
menunjukkan mengusap, melainkan menunjukkan membasuh yang dilakukan dengan
cepat dan tidak sempurna. Bukti yang memperjelas dan memperkuat kesimpulan ini
adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam kitab Shahih Muslim:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melihat seorang laki-laki tidak membasuh dua tumitnya, maka beliau Saw.
bersabda: “Lembah Neraka Wail diperuntukkan bagi tumit (yang tidak terbasuh
air).”
Hadits ini jelas
menyebutkan “membasuh.”
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Jarir bin Hazim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik:
“Seorang laki-laki
datang menemui Nabi Saw. dalam keadaan sudah berwudhu, tetapi dia membiarkan
satu bagian sebesar kuku (tidak terbasuh) pada kakinya. Maka Rasulullah Saw.
berkata padanya: “Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Khuzaimah)
Ahmad dan Muslim
meriwayatkan hadits serupa dari jalur Umar bin Khaththab ra.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Bujair bin Saad, dari Khalida, dari sebagian sahabat
Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melihat seorang laki-laki sedang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada
bagian sebesar dirham yang tidak terkena air. Maka Rasulullah Saw.
memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini tanpa kata was-shalat (dan
shalat).
Hadits ini telah kami
sebutkan sebelumnya.
Semua hadits ini
memberi pengertian bahwa air tersebut wajib terserap, dan terserap seperti itu
tidak akan terjadi kecuali jika dibasuh. Sebab, mengusap itu faktanya akan
melewatkan satu bagian dari yang diusap. Ketika Rasulullah Saw. dengan keras
memperingatkan tindakan membiarkan satu bagian sebesar kuku atau sebesar
dirham, atau membiarkan tumit tidak terbasuh, maka peringatan keras ini
menunjukkan bahwa yang diperintahkannya itu adalah membasuhnya, bukan
mengusapnya.
Kadangkala ada di
antara mereka yang mengatakan: mengapa kita tidak mengatakan mengusap yang bisa
menjadikan air itu terserap? Maka kami menjawabnya bahwa mengusap itu biasanya
tidak akan menjadikan air terserap. Ketika kita ingin agar air terserap, maka
yang harus kita lakukan adalah membasuh, bukan mengusap.
Mengusap yang bisa
menjadikan air terserap itu pada intinya sama dengan membasuh. Ketika ada
tuntutan agar airnya terserap, maka ini menunjukkan bahwa maksudnya adalah
membasuh, bukan mengusap. Karena jika mengusap seperti itu diperintahkan,
niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memperingatkan orang yang membiarkan satu
bagian sebesar dirham atau sebesar kuku tidak terbasuh.
Adapun hadits Aus
-nomor tiga- adalah hadits dhaif. Ibnu
al-Qaththan menetapkan sebab kedhaifannya
adalah sosok Atha yang tidak dikenal (majhul).
Di dalam sanadnya juga ada nama Husyaim dari Ya’la.
Ahmad berkata: Husyaim itu tidak mendengar hadits ini dari Ya’la, terlebih lagi
Husyaim itu tidak jujur alias suka menyembunyikan kecacatan. Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnu Abdil Barr.
Sedangkan hadits Abbad
yang diriwayatkan ad-Daruquthni telah didhaifkan
oleh Ibnu Abdil Barr. Selain itu perawi hadits ini diragukan statusnya apakah
sebagai sahabat Rasulullah Saw. atau bukan.
Adapun hadits Ibnu
Abbas pada poin lima:
“Kemudian beliau Saw.
mengambil air segenggam penuh, lalu mengucurkannya ke atas dua kakinya. Beliau
Saw. saat itu memakai sandal.”
Ini bukan dalil
mengusap, justru menunjukkan basuhan walaupun ringan, karena mengusap itu bukan
dengan kucuran air, melainkan dengan basah yang melekat di tangan. Mengucurkan
air itu menunjukkan basuhan, bukan usapan.
Ketika terbayang di
benak kita bahwa wudhu itu cukup dengan satu mud air -ukuran minimal air yang
dihabiskan seorang
Muslim
dalam wudhunya- maka semakin memahamkan kita bahwa arti mengambil air segenggam
penuh itu untuk membasuh satu atau dua kaki, bukan mengusapnya.
Selain itu, ada hadits
yang jelas menyebutkan bahwa kucuran tersebut dilakukan dalam basuhan, yakni
hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. tentang sifat wudhu Rasulullah saw. Di
dalamnya disebutkan:
“Lalu mengambil air
satu cidukan dan mengucurkannya ke atas kaki kanannya hingga membasuhnya.
Kemudian mengambil air satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu
dia berkata: Seperti inilah aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR.
Bukhari)
Ketika kita mengetahui
bahwa hadits-hadits membasuh kaki sedemikian banyak dengan derajat paling shahih, lalu kita hadapkan dengan
hadits-hadits bercacat dan dhaif ini,
maka kita bisa memahami betapa lemahnya pendapat orang yang menyatakan mengusap
kaki.
Ketika kita tambahkan
Ijma Sahabat sebagai dalil yang mewajibkan membasuh kaki, bukan mengusap kaki,
maka kita semakin yakin akan kebenaran pendapat yang kita pegang.
Dengan demikian,
hadits-hadits ini tidak membantu sama sekali mereka yang mengatakan mengusap
kaki. Karena itu kami melihat segelintir dari mereka menggunakan ayat al-Qur’an
yang dinashabkan untuk menopang
pengakuannya. Mereka mengatakan bahwa qira'ah
arjulakum (yang dinashabkan) itu tiada lain karena diathafkan ke posisi bi ru'uusikum, yakni ayat ini menyebutkan wamsahuu bi ru'uusikum, kata kerja imsahuu itu membutuhkan maf’ul (obyek), maf’ulnya
adalah bi ru’uusikum yang terdiri dari jar majrur. Frase yang terdiri dari jar majrur ini berada di posisi nashab (fi
mahalli nashbin) karena menjadi maf’ul
bih (obyek) untuk kata kerja imsahuu. Dan lafadz arjulakum diathafkan pada
posisi jar majrur (mahall jar majrur) sehingga lafadz tersebut
harus dinashabkan. Beberapa orang dari
mereka mengatakan bahwa huruf ba dalam
lafadz bi ru'uusikum itu sebagai huruf
tambahan, karena asalnya adalah imsahuu
ru'uusakum, lalu datanglah lafadz arjulakum
yang dinashabkan sebagai athaf pada lafadz ru’uusakum.
Tidak samar lagi,
mereka telah menempuh jalan yang sulit. Di dalam penjelasan bentuk-bentuk i'rab seperti ini terlalu jauh bila
dibandingkan dengan i'rab mujawarah (kedekatan posisi kata). Seandainya
kita ingin berada di tengah-tengah, maka kita katakan bahwa ayat ini muhtamal (mengandung beberapa kemungkinan),
sehingga tidak cukup digunakan sebagai dalil untuk menetapkan salah satu dari
dua pendapat ini, hingga kita harus merujuk pada hadits-hadits yang ada. Dan
ternyata hadits-hadits shahih dan juga Ijma Sahabat telah menetapkan kekeliruan
pendapat mereka.
Basuhan kaki itu harus
dilakukan dengan sempurna. Kesempurnaan basuhan kaki tidak akan terlaksana
kecuali dengan membasuh tumit, atau satu bagian dari tumit, yang persis dengan
membasuh dua siku atau satu bagian dari dua siku saat membasuh dua tangan, dengan
alasan kaidah:
“Perkara yang hanya
dengannya suatu kewajiban bisa terlaksana, maka perkara tersebut menjadi wajib
hukumnya.”
Kurang dari itu akan
menyebabkan kesempurnaan basuhan tidak terlaksana. Dua tumit itu adalah tulang
yang menonjol di bagian samping kaki. Berbeda dengan pendapat Muhammad bin
al-Hasan yang menyatakan bahwa tumit itu berada pada kura-kura kaki (instep) ketika
mengikatkan tali sepatu di kaki. Pernyataan ini keliru dan bisa menyebabkan
banyak bagian dari kaki yang tidak terbasuh. Telah diriwayatkan dari an-Nu’man
bin Basyir bahwasanya dia berkata:
“Maka aku melihat
seorang laki-laki menempelkan tumitnya dengan tumit temannya, kemudian lututnya
dengan lutut temannya, dan juga pundaknya dengan pundak temannya.” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)
Bukhari menyebutkan
hadits ini secara mu'allaq, yakni tanpa
sanad.
Ini merupakan dalil
yang menunjukkan kebenaran pendapat yang kami pegang dan kekeliruan pendapat
yang dilontarkan Muhammad bin al-Hasan. Hal ini karena menempelkan tumit tidak
bisa dilakukan kecuali jika tumit merupakan tulang menonjol di samping kaki, bukan
yang berada di telapak kaki.
Disunahkan untuk menyempurnakan
basuhan kaki dan melewati dua mata kaki hingga bagian bawah betis,
dengan bersandarkan hadits menyempurnakan basuhan, yang di dalamnya disebutkan:
“Kemudian dia membasuh
kaki kanannya hingga sampai betis, lalu mencuci kaki kirinya hingga sampai
betis... Rasulullah Saw. bersabda: “Pada Hari Kiamat kelak kalian akan
bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka siapakah di antara kalian
yang bisa maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini secara
lengkap telah kami sebutkan dalam pembahasan keutamaan wudhu.
Begitu pula disunahkan untuk
menyela-nyela jari, lebih utama lagi ketika dilakukan dengan kelingking tangan
kiri. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika engkau berwudhu,
maka sela-selalah jari-jemari kedua tanganmu dan kedua kakimu.” (HR.
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Bukhari menghasankan hadits ini.
Juga berdasarkan
hadits al-Mustaurid bin Syaddad, dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. ketika berwudhu. Beliau Saw. menggosok jari-jemari kedua
kakinya dengan jari kelingkingnya.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan
at-Tirmidzi)
Hadits ini dihasankan oleh Ibnu al-Qaththan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)