10. Perkembangan nuklir saat ini dan yang
akan datang. Awal tahun 2002, AS merampungkan suatu tinjauan
terhadap strategi nuklir mereka dalam US Nuclear Posture Review (NPR). Beberapa
bagian dalam tinjauan ini dikemukakan kepada pers AS. NPR meminta agar
dibuatkan rencana darurat (contingency plan) untuk membidik Korea Utara,
Iran, Libya, Syria, Rusia, dan Cina; serta agar AS lebih fleksibel dalam
mengembangkan dan menyebarkan kekuatan nuklir yang dibutuhkan. Salah satu
bentuk kefleksibelan itu ialah dengan melanjutkan kembali pengujian nuklir.
Salah satu alasan mengenai diperlukannya pengujian ini adalah untuk
mengembangkan bom dan rudal tipe baru yang dapat menghancurkan target yang
terkubur dalam dan keras. Yaitu bangunan dan fasilitas yang dapat digunakan
sebagai pusat komando dan kontrol operasi pihak musuh, markas pimpinan atau
area penyimpanan senjata pemusnah massal. Dokumen kebijakan AS lain seperti
dari Paul Robinson, Direktur Sandia National Laboratories, menyerukan
pengembangan senjata nuklir berukuran mini. Saat ini AS tercatat sebagai
penandatangan Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) meski Senat AS belum
meratifikasinya. Dari perkembangan ini terkandung pesan AS bagi seluruh dunia
bahwa AS beritikad mengembangkan senjata nuklir yang lebih canggih dan akan
mengabaikan CTBT demi kepentingannya sendiri. AS pun telah menyatakan, dalam
NPR dan presentasi lain, niat mereka untuk mengenalkan pertahanan rudal
strategis yang mampu menghalau serangan rudal jarak jauh negara lain. Mereka
yakin bahwa sistem pertahanan rudal global akan menciptakan sebuah tameng yang
akan memberi kekebalan bagi AS untuk secara leluasa beroperasi ke seluruh
dunia. Secara militer, hal ini akan membuat AS dengan mudah menggasak setiap
negara lain yang berupaya menyerang AS dengan menggunakan senjata pemusnah
massal dan rudal jarak jauh. Pada tanggal 13 Desember 2001, AS mengumumkan akan
menarik diri dari Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM), semata-mata karena
traktat tersebut melarang pengujian sistem pertahanan rudal penjelajah
antirudal balistik antarbenua. Untuk anggaran awal, pemerintahan baru AS
meminta kenaikan anggaran sebesar 57% untuk mendanai sistem pertahanan rudal
itu, dari 5.3 milyar dolar ke 8.3 milyar dolar, 7.8 milyar di antaranya dari
Kongres. Semua ini mengindikasikan bahwa AS akan semakin ditakuti negara-negara
lain, mengingat AS tengah berupaya menjadikan dirinya kebal dari serangan rudal
nuklir sementara pada saat yang sama AS pun membuat senjata nuklir yang lebih
mumpuni. AS adalah negara yang, seperti telah kita bahas sebelumnya, tidak
mempunyai rasa sesal sedikitpun akan dampak penggunaan senjata semacam itu
terhadap warga sipil tak berdosa.
11. Senjata kimia dan
biologi. Dalam era modern, senjata kimia untuk pertama kalinya digunakan
dalam Perang Dunia I oleh Perancis, Jerman, Inggris dan AS; negara-negara yang
kini ramai-ramai menghakimi Irak. Untuk membalas serangan (gas) klorin yang
dilakukan Jerman di sekitar Ypres, Belgia, yang menewaskan lebih dari 5000
pasukan Sekutu, Inggris lantas membuat senjata kimianya sendiri. Mayor Charles
Foulkes dari Royal Engineers ditunjuk sebagai ‘penasehat gas’ pertama mereka.
Tugasnya adalah mengusahakan senjata kimia bagi Inggris dalam tempo sesingkat
mungkin dengan tanpa menghiraukan masalah etik. Segera saja setiap ahli kimia
Inggris mengerjakan proyek senjata gas tersebut. Fasilitas Porton Down dibangun
dan menjadi markas proyek senjata kimia Inggris, dengan mempekerjakan lebih
dari 1000 orang ilmuwan dan tentara.
12. Dinas Senjata Kimia AS. AS
mendirikan Chemical Warfare Service – CWS (Dinas Persenjataan Kimia) pada
pertengahan tahun 1918, dengan Jenderal Amos A. Fries sebagai direkturnya.
Edgewood Arsenal, basis militer di dekat Baltimore, Maryland, menjadi pusat
riset senjata kimia AS yang mempekerjakan lebih dari 1200 orang asisten teknisi
dan 700 orang petugas yang menguji lebih dari 4000 zat beracun. Dengan 218
bangunan pabrik dan 28 mil rel kereta, Edgewood mampu memproduksi 200.000 bom
kimia dan selongsong per hari. Pada tahun 1918, sekitar seperlima dan sepertiga
dari seluruh selongsong yang ditembakkan diisi zat kimia dari berbagai tipe. Selama
18 bulan terakhir PD I, satu dari setiap enam korban tewas karena gas mustard
yang sangat ditakuti itu. Gas mustard membakar dan melepuhkan kulit,
lalu korban mati secara perlahan atau sangat lemah karena gas mustard menguliti
selaput lendir pada rongga tenggorokan dan menghambat pernafasan. ‘Secara
resmi’, terdapat lebih dari 91.000 kasus kematian dan 1,3 juta korban akibat senjata
gas. Namun para ahli sejarah kini menganggap remeh angka-angka tersebut.
13. Penggunaan kimia selama masa vakum
perang. Penggunaan senjata kimia tidak hanya terjadi pada PD I. Dalam rangka
menunggangi pihak White Army dalam Perang Sipil Rusia pada tahun 1919, Inggris
mempersenjatai mereka dengan selongsong berisi gas mustard, dan
menggunakan ‘M’ Device untuk memproduksi gumpalan asap arsenik yang disebarkan
kepada sang lawan, Red Army. Inggris memanfaatkan setiap kesempatan untuk
menggunakan senjata mereka. Mayor Foulkes, yang dikirim ke India pada 1919,
menekan militer Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan
Afghanistan, ‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya
perlindungan terhadap sebagian wilayah Afghan dan suku-suku di sana akan
meningkatkan korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’. Departemen
Perang Inggris setuju untuk mengirimkan pasokan phosgene dan gas mustard,
juga setuju agar prajurit Inggris dilatih menggunakan seragam anti-gas di
Khyber Pass. Tetapi, hingga kini Tony Blair masih saja ingin menunjukkan bahwa
Pemerintah Inggris adalah salah satu bangsa ‘beradab’ dengan ‘catatan bersih’
dan nilai-nilai luhur ketimbang rezim Saddam di Baghdad.
14. Pembentukan Protokol Jenewa. Seusai
Perang Dunia I, kekecewaan terhadap senjata gas merebak di mana-mana. Pada
bulan Mei 1925, dengan dukungan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), diselenggarakan
konferensi internasional tentang perlombaan senjata di Jenewa, Swiss.
Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Jenewa, yang berisi larangan
penggunaan senjata kimia maupun biologi sampai kapanpun. Seorang pengamat
berkomentar bahwa ‘Penandatanganan Protokol Jenewa 1925 merupakan cerminan
prestasi tertinggi opini publik melawan senjata kimia’. Akan tetapi,
menandatangani pakta tersebut tidak otomatis terikat, karena pemerintah setiap
negara masih harus meratifikasinya. Di AS, CWS menyerang Protokol Jenewa dan
mendapat dukungan dari berbagai organisasi sejenis seperti American Chemical
Society (Masyarakat Kimia Amerika), dan menyatakan bahwa ‘pelarangan senjata
kimia berarti pengabaian metoda manusiawi untuk mengatasi pertempuran klasik
yang mengerikan’. Dihadapkan pada oposisi yang begitu kuat, Departemen Luar
Negeri AS menarik ratifikasi atas Protokol Jenewa. Sebagian besar negara Eropa
meratifikasi Protokol Jenewa, dengan menambahkan beberapa klausul yang membuat
protokol menjadi macan ompong. Salah satu klausul itu menyatakan bahwa suatu
negara tidak terikat dengan protokol tersebut kecuali negara yang dilawannya
juga meratifikasi protokol yang sama. Klausul lain memberikan hak kepada negara
penandatangan untuk balas menyerang setiap serangan kimia atau biologi dengan
senjata yang sama. Protokol Jenewa pun tidak bisa mencegah penelitian atau
penimbunan senjata biokimia; melainkan hanya melarang untuk lebih dulu
menggunakannya. Pengaruh Protokol Jenewa bukanlah untuk menghentikan
pengembangan senjata biokimia melainkan untuk lebih menjaga kerahasiaan
penelitian dan pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1925, Winston
Churchill secara tidak sengaja membeberkan semuanya ketika ia menulis tentang
wabah yang secara khusus dan disengaja disiapkan untuk manusia dan binatang.
Ada Blight untuk menghancurkan tanaman, Anthraks untuk membunuh
kuda dan hewan ternak, Plague untuk meracuni tidak saja tentara
melainkan juga seluruh warga satu distrik. Semua itu sejalan dengan pencapaian
sains militer yang tak mengenal belas kasihan. Rupanya perang penelitian
semacam ini harus tetap dirahasiakan untuk menghindari oposisi publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar