Bukti Sejarah Khilafah Mensejahterakan
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Keberhasilan Islam dalam Mengatasi
Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi
kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang
menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum
Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu
ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam
secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah,
diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya
yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika
kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali
sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus onta”. [Abdurrahman
al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema
Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38] Beliau menerapkan politik ekonomi yang
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau membiayai pernikahan
kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan
biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga
masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada
saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup di mana mereka tidak memerlukan
bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz
menerima kelebihan uang Baitul Mal secara
berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur
tersebut: “Telitilah, barangsiapa
berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”.
Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai
tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai
hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin
Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah
setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah,
kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita
lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga
tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah [Orang
non-Muslim yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah] yang tidak mempunyai
biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat
mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai,
untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai
manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin
kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang
memenuhi seruan tersebut. [Ibid. hal. 39]
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya
diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal
ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah,
mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai
contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk
Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak
mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh
miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah;
maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya
dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal
kaum Muslim.” [Diriwayatkan dari Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj, hal. 144] Peristiwa ini
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi
tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan
kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya
kepada bendahara Baitul Mal dan
memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia,
sejumlah uang dari Baitul Mal yang
cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian
menelantarkannya kala dia sudah lajut usia. [Ibid, hal. 126]
Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim
yang memenuhi kewajiban menegakkan Khilafah yaitu satu-satunya pemerintahan
yang sah menurut hukum Allah Swt., yang menunjukkan betapa Islam dan syariatnya
yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan
kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat
non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam dan Khilafah.
Khatimah
Islam
bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah
ideologi yang shahih, tentu Islam
memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia,
termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak bagaimana kehandalan
Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan
banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena
mereka tidak hidup secara Islam.
Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka
terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja
hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ
أَعْرَضَ
عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً
ضَنْكًا
وَنَحْشُرُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَى[
Barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)
Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela
hidup tanpa syariat Islam?
Bukti Sejarah Khilafah Mensejahterakan
Diolah dari makalahnya Muhammad Anwar Iman SOLUSI ISLAM DALAM
MASALAH KEMISKINAN (Disampaikan dalam acara Diskusi Publik “Selamatkan
Indonesia dengan Syariah” Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta 4 Agustus 2002)