Putaran pertama: di Makkah
a. Pendahuluan
Setelah perang Mu’tah,
Rasulullah Saw. tinggal di Madinah pada bulan Jumadil Akhir dan Rajab, tahun
kedelapan Hijriyah. Tidak lama setelah itu, kabilah Bani Bakr bin Abdu Manat
bin Kinanah menyerang kabilah Bani Khuza’ah. Sedang pemicu terjadinya perang antara
kabilah Bani Bakr dengan kabilah Khuza'ah adalah bahwa orang dari Bani
al-Hadhrami bernama Malik bin Abbad -ketika itu Bani al-Hadhrami bersekutu
dengan Bani al-Aswad bin Razn ad-Daili dari kabilah Bani Bakr- keluar untuk
berdagang. Ketika ia berada di tengah-tengah daerah kabilah Khuza'ah,
orang-orang kabilah Khuza'ah menyerangnya hingga ia tewas dan mereka mengambil
harta bendanya. Sebagai gantinya, kabilah Bani Bakr menyerang salah seorang
dari kabilah Khuza’ah hingga tewas.
Sebelum Islam
datang, kabilah Khuza’ah menyerang tokoh-tokoh Bani al-Aswad bin Razn ad-Daili,
yaitu Salma, Kultsum, dan Dhuaib, mereka membunuhnya di perbatasan tanah haram.
Ketika kabilah Bani Bakr dan kabilah Khuza’ah dalam keadaan saling menyerang,
Islam menghentikan kedua belah pihak yang sedang berperang itu, sebab
masing-masing dari mereka lebih sibuk memikirkan Islam.
Ketika perjanjian
damai al-Hudaibiyah dibuat antara Rasulullah Saw. dengan kaum kafir Quraisy,
yang di dalamnya ada persyaratan dari kedua belah pihak, yaitu siapa saja yang
ingin bergabung ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan Rasulullah Saw.,
maka bergabunglah ke dalamnya; dan siapa saja yang ingin bergabung ke dalam
perlindungan dan jaminan keamanan kaum Quraisy, maka bergabunglah ke dalamnya.
Kemudian, kabilah Bani Bakr masuk ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan
kaum Quraisy, sedang kabilah Khuza’ah masuk ke dalam perlindungan dan jaminan
keamanan Rasulullah Saw. Informasi-informasi ini harus kami kemukakan sebelum
membicarakan tentang penaklukan Makkah (fathu Makkah).
b. Sebab Dilakukannya Penaklukan
Makkah
Sebab sebenarnya
dilakukan penaklukan Makkah adalah pelaksanaan atas program yang telah disusun
oleh Rasulullah Saw. dalam rangka membersihkan musuh-musuh Negara Islam.
Setelah pembersihan
terhadap institusi politik kaum Yahudi
dan seluruh komunitas mereka selesai, tiba periode pembersihan institusi
politik dan agama bangsa Arab penganut paganisme di Jazirah Arab. Mengingat
kaum kafir Quraisy sebagai batu pondasi bagi institusi ini, maka dengan
bersihnya institusi kaum kafir Quraisy secara otomatis orang-orang Arab yang
menganut agama kaum kafir Quraisy akan ikut menyerah. Sebab, jika
berhala-berhala itu sudah tidak mampu melindungi kaum kafir Quraisy, sedang
kaum kafir Quraisy merupakan pelayannya dan sekaligus penjaganya, maka menjaga
selain mereka tentu lebih tidak mampu lagi.
Inilah yang terjadi
secara riil. Setelah pembersihan institusi kaum kafir Quraisy, setelah itu
tidak ada lagi perlawanan terhadap Negara Islam, dan kalaupun ada, Negara Islam
mudah sekali membasminya.
Adapun sebab yang
secara langsung terkait dengan dilakukannya penaklukan Makkah, maka ketika
berlangsungnya perjanjian genjatan senjata antara Rasulullah dan kaum kafir
Quraisy, Bani ad-Dail dari Bani Bakr memanfaatkan kesempatan untuk balas dendam
atas terbunuhnya orang-orang mereka -Bani al-Aswad bin Razn- yang dibunuh
kabilah Khuza’ah di perbatasan tanah haram.
Naufal bin Muawiyah
ad-Daili -yang ketika itu ia menjadi pemimpin Bani ad-Dail- pergi bersama Bani
ad-Dail, namun tidak semua orang Bani ad-Dail mengikutinya. Mereka menyerang
orang-orang Khuza'ah pada malam hari, ketika orang-orang Khuza’ah sedang berada
di mata air mereka yang bernama al-Watir, sehingga satu orang dari orang-orang
Khuza’ah terbunuh. Akhirnya, berkobarlah perang antara mereka.
Kaum kafir Quraisy
membantu sekutunya, Bani Bakr dengan persenjataan dan beberapa orang kafir
Quraisy, sehingga orang-orang Khuza’ah terpaksa mundur ke tanah haram untuk
berlindung, namun Naufal bin Muawiyah -pemimpin Bani Bakr- memerintahkan
kelompoknya agar memasuki tanah haram dan memerangi orang-orang Khuza’ah meski
mereka berada di tanah haram. Sekelompok dari kaumnya menjalankan apa yang
diperintahkan Naufal. Di Makkah orang-orang Khuza’ah berlindung di rumah Budail
bin Warqa, al-Khuza’iy dan berlindung di rumah sekutu mereka yang lain yang
bernama Rafi’.
Setelah Bani Bakr
membunuh orang-orang Khuza’ah, dan merusak perjanjian gencatan senjata antara
mereka dan Rasulullah Saw., maka keadaan inilah yang mendorong Amru bin Salim
al-Khuza’iy pergi kepada sekutunya, Rasulullah, dan meminta bantuan kepada
beliau. Dengan cepat Amru bin Salim berangkat ke Madinah al-Munawwarah. Ketika
ia telah sampai di Madinah, ia langsung menuju masjid, di mana Rasulullah dan
para sahabatnya sedang berada.
Setelah Amru bin Salim
berada di dekat Rasulullah, maka Amru bin Salim mulai mengungkapkan apa yang
diinginkannya:
Sungguh aku memanggil
Muhammad, wahai Tuhanku
Sekutu orang tua kami
dan orang tuanya dulu
Tadinya kalian adalah
anak, sedang kami adalah ayah
Di sana kami berdamai,
dan kami tidak pernah mengubah
Tolonglah! Semoga
sekarang juga kamu diberi pertolongan
Serulah hamba-hamba
Allah datang sebagai bala bantuan
Di dalamnya ada
Rasulullah yang tidak memihakkan
Namun, wajahnya akan
berubah jika dihinakan
Dalam pasukan besar
seperti laut yang mengalir hingga buih dikeluarkan
Sesungguhnya kaum
Quraisy mengingkari janjinya denganmu
Melanggar perjanjian
yang disepakati bersamamu
Di Kada' mereka
mengincar untuk membunuhku
Mereka mengira tak
seorangpun yang bisa aku ajaknya
Sedang mereka lebih
hina dan lebih sedikit jumlahnya
Mereka meryerang kami
di al-Watir saat kami bertahajjud
Dan membunuh kami
ketika sedang ruku’ dan sujud
Rasulullah Saw.
bersabda: “Wahai Amru bin Salim, engkau akan dibantu.” Kemudian ditampakkan
kepada Rasulullah Saw. mendung di langit. Melihat itu beliau bersabda:
“Sesungguhnya mendung ini akan turun membawa pertolongan untuk Bani Ka'ab.”
Budail bin Warqa’
bersama sekelompok orang dari orang-orang Khuza’ah pergi ke Madinah untuk
bertemu dengan Rasulullah Saw. Sesampainya di Madinah, mereka memberitahu
Rasulullah apa yang sedang mereka alami dan dukungan kaum Qurasiy terhadap Bani
Bakr dalam menghadapi mereka. Setelah itu mereka kembali ke Makkah.
Rasulullah Saw.
bersabda kepada para sahabat: “Sepertinya Abu Sufyan bin Harb akan datang
kepada kalian untuk memperkuat perjanjian dan menambah masa berlakunya.” Budail
bin Warqa’ kembali ke Makkah tanpa mengetahui sesuatu yang menjadi tekad
Rasulullah Saw.
c. Kaum Quraisy Tetap
Menginginkan Perdamaian
Budail bin Warqa’
bersama anak buahnya terus berjalan hingga akhirnya mereka bertemu Abu Sufyan
bin Harb di ‘Usfan. Kaum Quraisy mengutus Abu Sufyan bin Harb kepada Rasulullah
Saw. untuk memperkuat perjanjian dan memperpanjang masa berlakunya, setelah kaum
Quraisy merasa akan mendapatkan kesulitan karena membantu sekutunya, Bani Bakr,
menyerang orang-orang Khuza’ah sekutu Rasulullah.
Kaum Quraisy tahu
betul bahwa mereka tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan Negara
Islam. Apalagi, setelah Rasulullah Saw. berhasil membersihkan semua institusi
politik yang memusuhinya termasuk institusi kaum Yahudi.
Sehingga setelah
perjanjian damai al-Hudaibiyah banyak dari kabilah-kabilah bangsa Arab yang
menganut agama beliau, dan banyak dari kabilah-kabilah yang lain mengadakan
gencatan senjata dengan beliau. Kaum Quraisy yakin bahwa sikap yang bijak
adalah mengklarifikasi masalahnya dengan Negara Islam, dan tetap memelihara
benang perdamaian.
Kaum Quraisy mengutus
Abu Sufyan untuk menjalankan tugas ini. Abu Sufyan berangkat ke Madinah
al-Munawwarah. Ketika dalam perjalanan ia bertemu dengan Budail bin Warqa’.
Abu Sufyan bertanya
kepada Budail bin Warqa’, “Wahai Budail, kamu datang dari mana?” Abu Sufyan bin
Harb yakin bahwa Budail bin Warqa’ baru saja menemui Rasulullah Saw. Budail bin
Warqa’ menjawab, “Aku bersama orang-orang Khuza’ah baru saja berjalan-jalan di
pantai ini dan di pedalaman lembah ini.” Abu Sufyan bertanya, “Apakah kamu baru
saja menemui Muhammad?” Budail bin Warqa’ menjawab, “Tidak.”
Ketika Budail bin
Warqa’ tiba di Makkah, Abu Sufyan berkata, “Jika Budail bin Warqa' baru tiba
dari Madinah, pasti untanya memakan biji kurma.” Usai berkata seperti itu, Abu
Sufyan bin Harb segera mendatangi tempat pemberhentian unta Budail bin Warqa’
dan mengambil kotorannya. Ia meremukkan kotoran unta tersebut dan ternyata ia
melihat biji kurma ada di dalamnya. Lalu ia berkata, “Aku bersumpah bahwa
Budail bin Warqa’ telah menemui Muhammad.”
Abu Sufyan bin Harb
tampak gugup dan bingung, ia sadar bahwa perang tidak mungkin dihindari lagi,
dan dalam perang kali ini kaum Quraisy akan mengalami kehancuran, sehingga
dengan segera ia pergi ke Madinah al-Munawwarah. Dan tanpa pikir panjang, ia
langsung menuju ke rumah putrinya, Ummu Habibah, istri Rasulullah Saw. agar
Ummu Habibah mau membantunya menghadap Rasulullah guna mewujudkan apa yang
diinginkannya. Namun, tidak lama ia berada di rumah Ummu Habibah, ia merasa
frustasi, karena ia melihat perlakuan kurang baik dari putrinya, sedang
putrinya lebih mengutamakan ridha Rasulullah.
Hal itu tampak
olehnya, ketika ia tiba di rumah Ummu Habibah, ia hendak duduk di atas tilam
suaminya, Rasulullah, lalu Ummu Habibah melipat dan menjauhkan tilam itu
darinya. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Wahai putriku, aku tidak tahu apakah
engkau senang dengan aku dan benci pada tilam ini, atau engkau senang dengan
tilam ini dan benci kepadaku.” Ummu Habibah menjawabnya, “Tilam ini milik
Rasulullah Saw. sedang engkau orang musyrik dan najis. Sehingga aku tidak rela
engkau duduk di atasnya.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Demi Allah, engkau
menjadi jahat setelah lama berpisah denganku.”
Setelah itu, Abu
Sufyan bin Harb pergi ke tempat Rasulullah Saw., ia berbicara dengannya, namun
beliau tidak menghiraukannya. Kemudian, ia pergi ke tempat Abu Bakar dan
menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah Saw., namun Abu Bakar berkata, “Aku
tidak mau.”
Selanjutnya, ia
mendatangi Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar bin Khaththab
malah berkata, “Apa? Aku harus menolong kalian di hadapan Rasulullah? Demi
Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, maka aku akan memerangimu
dengannya.”
Abu Sufyan keluar dari
rumah Umar, lalu pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Ketika itu, Ali sedang
bersama istrinya, Fatimah bintu Rasulullah Saw., dan di dekat Fatimah ada
putranya Hasan bin Ali yang sedang merangkak. Abu Sufyan bin Harb berkata,
“Wahai Ali, engkau orang yang paling penyayang. Aka datang kepadamu untuk suatu
keperluan. Untuk itu, jangan biarkan aku pulang hanya membawa kegagalan. Maka,
tolonglah aku menghadap Rasulullah.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah
engkau, wahai Abu Sufyan, demi Allah, Rasulullah Saw. telah bertekad kepada
sesuatu dan kita tidak lagi dapat bernegosiasi dengan beliau.”
Abu Sufyan bin Harb
menoleh ke arah Fatimah, lalu berkata, “Wahai putri Muhammad, maukah engkau
menyuruh anak kecilmu ini menyelamatkan manusia dari hukuman yang akan
dijatuhkan Rasulullah kepada mereka, kemudian ia menjadi pemimpin bangsa Arab
sepanjang zaman?” Fatimah menjawab, “Demi Allah, anakku tidak dapat
menyelamatkan manusia, dan bahkan tidak seorangpun yang bisa menyelamatkan
mereka dari hukuman yang akan dijatuhkan Rasulullah Saw.”
Dan demikian itulah
etika yang diajarkan al-Qur’an kepada kaum muslimin:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (TQS. al-Hujurat [49]: 1)
Inilah konsep politik
yang ideal, di mana selain kepala negara tidak ada yang memiliki otoritas untuk
membuat keputusan.
Abu Sufyan bin Harb
menoleh ke arah Ali bin Abi Thalib, lalu berkata, “Wahai Abu Hasan, aku melihat
permasalahan menjadi semakin sulit bagiku, untuk itu nasehatilah aku.” Ali bin
Abu Thalib berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah masih ada sesuatu yang
bermanfaat bagimu? Yang jelas, engkau adalah pemimpin Bani Kinanah, oleh karena
itu, berdirilah, dan selamatkan manusia, kemudian pulanglah ke tempat asalmu.”
Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apakah hal tersebut bermanfaat bagiku?” Ali bin
Abu Thalib berkata, “Tidak, demi Allah, aku yakin hal itu tidak akan bermanfaat
bagimu, namun aku tidak menemukan ada alternatif yang lain.”
Abu Sufyan bin Harb
melaksanakan nasehat Ali, lalu ia pergi ke masjid, ketika para sahabat sedang
berkumpul, setelah ia berdiri di depan mereka, maka ia pun berkata, “Wahai
manusia, sungguh aku telah menyelamatkan manusia.” Namun, tidak seorangpun yang
memperhatikannya. Selanjutnya, Abu Sufyan bin Harb menaiki untanya dan kembali
ke Makkah.
Setibanya di Makkah,
orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa?” Abu
Sufyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Muhammad dan berbicara dengannya,
namun ia tidak menghiraukan aku. Kemudian aku datang kepada Ibnu Abu Quhafah, namun
aku tidak melihat ada kebaikan padanya. Selanjutnya, aku datang kepada Umar bin
Khaththab dan aku mendapatinya sebagai orang yang paling keras permusuhannya.
Lalu, aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan aku mendapatinya sebagai orang
yang paling lembut. Ia menasebatiku agar melakukan sesuatu, namun demi Allah,
aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak?” Orang-orang
Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu?” Abu
Sufyan bin Harb berkata, “Ia menyuruhku menyelamatkan manusia dan akupun
melakukannya.”
Orang-orang Quraisy
berkata, “Apakah Muhammad membolehkannya?” Abu Sufyan bin Harb berkata,
“Tidak.” Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau hanya
dipermainkan Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak
bermanfaat bagimu.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Demi Allah, aku tidak
mendapatkan alternatif lain.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press