KH
Muhammad Sulthan, Pimpinan Ponpes Jabal An Nur Al Islami:
Demokrasi Bukan Bagian Dari Islam
Hizbut Tahrir itu
bagus. Alhamdulillah, saya memandang
Hizbut tahrir itu rajin bersilaturahim. Memang salah satu cara iika mau
membumikan khilafah ya harus seperti itu, menyosialisasikannya ke tengah-tengah
masyarakat, turun ke bawah dan tidak ada rasa gengsi dan saya lihat itu di
Hizbut Tahrir.
Dulu harapan kami
memang dengan partai-partai politik Islam yang ada, tetapi ketika mereka masuk
sistem bukannya mewarnai malah diwarnai. Sedangkan saya melihat Hizbut Tahrir
berada di luar sistem pemerintahan, itu lebih asyik sebenarnya. Jadi ketika dia
nanti menang tidak ada tekanan dari siapa-siapa. Jebakan-jebakan demokrasi yang
sangat luar biasa itu kan berbahaya,
bahkan tidak sedikit ulama-ulama yang mengambil demokrasi, padahal demokrasi
itu bukan bagian dari Islam. Kita tidak mengenal demokrasi. Kalau Islam mencari
yang terbaik, demokrasi mencari yang terbanyak. []
Ponpes
Modern Jabal An-Nur Al-Islami, Parendoan, Batu Putuk, Betung Barat, Bandar
Lampung
Semua bangunannya
tampak baru! Bahkan sebagiannya masih dalam tahap pembangunan sehingga tukang
yang sedang mengaduk, pasir, bata dan material lainnya menghiasi beberapa ruas
jalan kompleks Pondok Pesantren Jabal An Nur Al Islami (JNI). Pembangun secara total
dan besar-besaran tersebut dimulai 2,5 tahun lalu saat JNI pindah ke Jalan Wan
Abdurrahman Kampung Parendoan, Kelurahan Batu Putuk Kecamatan Betung Barat,
Bandar Lampung.
Tadinya, pesantren
yang berdiri sejak 25 Mei 2007 beralamat di Campang Raya, Bayur Atas, Tanjung
Karang Timur, Bandar Lampung tepatnya berada di atas gunung-yang sekarang sudah
rata dan menjadi gudang semua.
Karena pesantren ini
berdiri di atas gunung, maka diberi nama Jabal An Nur alias gunung yang
bercahaya. Nama tersebut diambil dari gunung Jabal An Nur di Mekkah. ”Sesuai
dengan namanya, kita bersama para pendirinya terinspirasi dari Jabal An Nur di
Mekkah, supaya mendapat cahaya dari Allah,” ujar KH Muhammad Sulthon, pimpinan
JNI.
Sebelum pindah ke
Parendoan, fasilitas yang ada sangat terbatas. Dindingnya belum ada yang
tembok. Batangnya dari tangkil, dindingnya triplek. Selama lima tahun tidak ada
air. "Jadi kami membeli dua tangki air setiap hari. Jika hujan turun kami
buat penadah hujan," kenang ulama yang akrab disapa Kyai Sulthon tersebut.
Bahkan enam bulan
pertama, pesantren yang didirikan oleh KH Muhammad Fathoni Syafe'i, Lc
-ayahanda Kyai Sulthon- tersebut hanya satu orang. Seiring berjalannya waktu
dan semakin meningkatnya kepercayaan warga untuk menitipkan anak-anaknya di JNI
maka santri terus bertambah hingga akhirnya harus dipindah. Sekarang jumlah
santri putra putri sekitar 280 orang, semuanya mondok (boarding).
"Alhamdulillah,
2012 tepatnya 25 Februari kami pindah ke tempat ini dan itupun atas pertolongan
Allah. Dahulu tempat ini hutan lebat, banyak binatang seperti beruang dan rusa.
Alhamdulillah, dengan ketulusan dan
keikhlasan para pengurus pondok, pengembangannya signifikan,” ujar Kyai
Sulthon.
JNI didirikan lantaran
KH Muhammad Fathoni Syafe'i saat itu melihat semakin banyaknya generasi yang
lahir tidak berakhlakul karimah dan merebaknya narkoba. ”Kita dengan para
pendiri menginginkan pondok-pondok yang didirikan memiliki pendidikan dengan
warna Islam yang harapan kami dari pondok ini akan lahir generasi-generasi yang
dapat menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya," ujar Kyai Sulthon.
Three
in One
JNI merupakan
pesantren pertama di Bandar Lampung yang menerapkan sistem pendidikan dengan
menggunakan tiga bahasa pengantar yaitu bahasa Arab, Inggris dan Indonesia;
serta mengintegrasikan sistem pondok modern, salafiyah, dan Kementerian Agama.
Sehingga JNI dikenal sebagai pesantren dengan kurikulum Three in One.
"Kurikulum 3 in 1 inilah yang
dibutuhkan oleh anak-anak kita untuk menghadapi perkembangan zaman yang serba
teknologi,” ujar Kyai Sulthon.
Selain dari Lampung,
JNI membina para santri yang berdatangan dari Kalimantan, NTT, Jakarta,
Probolinggo, Palembang dan Jambi. Semua santri menginap di pesantren yang
memiliki luas lahan 1,5 hektar dengan 15 unit bangunan permanen, 10 lokal dan 5
asrama yang semuanya dalam kondisi penuh.
”Jadi kalau tidur
malam semua penuh baik masjid, kamar di dalam dan di luar," ujarnya
sehingga JNI memutuskan untuk terus menambah bangunan di lahan yang masih luas
tersebut.
Adapun
ekstrakulikulernya antara lain, seni membaca Al-Qur’an, keorganisasian dan
kepemimpinan, pidato tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia), kursus-kursus
keterampilan, hafalan Al-Qur’an, seni beladiri dan santri pecinta alam.
Kaligrafi, beladiri,
pencak silat, shalat tahajud, dhuha, menjadi program wajib untuk di laksanakan
di sini. ”Kami memang tidak mengejar santri untuk mengikuti lomba-lomba di
luar, namun kami mengirimkan langsung ke tengah-tengah masyarakat agar berkiprah
di sana seperti mengirimkan santri untuk menjadi da'i di tengah-tengah
masyarakat seperti menjadi guru maupun khatib,” ujar pimpinan pesantren yang
membuka kelas MTs dan MA tersebut.
Alumni JNI saat ini
tersebar ke berbagai tempat. Ada yang di perguruan tinggi di Lampung seperti
IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Jogya, Kudus bahkan sampai ke Yaman untuk
menimba ilmu di sana.
”Alumni kami sudah ada
yang ke Yaman mengambil sarjana syariah Islam, dan tahun depan kami akan
mengirim lagi dua orang ke sana. Semua itu mandiri tidak ada bantuan dari
luar,” pungkasnya. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---