Memenuhi Kewajiban Penerapan Sistem Islam
Telah ada teladan dari Rasulullah Saw. mengenai Penerimaan
Kekuasaan (Istilamil Hukmi) dan
Penerapan Sistem Islam secara utuh serta menyeluruh (Tathbiq Ahkamul Islam), lalu pengembanannya sebagai risalah ke
seluruh penjuru dunia, hingga terus dilanjutkan oleh para khalifah pengganti
Beliau sebagai kepala negara.
Setelah proses thalabun-nushrah
berhasil, tahapan selanjutnya adalah penerapan syariah Islam sebagai hukum dan
perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah. Sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah
Saw. dan para sahabat, setelah Beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II, Beliau
melanjutkan dengan hijrah ke Madinah. Di
Madinah inilah Rasulullah Saw. dapat memulai peradaban baru, menerapkan syariah
Islam secara kaffah dalam institusi
negara, yakni Daulah Islamiyah. Penerapan syariah Islam ini ditandai dengan
pemberlakuan Piagam Madinah yang wajib
ditaati oleh seluruh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sistem Negara Khilafah Islam tegak di atas empat pilar:
(1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’; (2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat; (3) Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh
kaum Muslim; (4) Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah
(An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur,
hlm 109). Jika salah satu saja dari empat pilar tersebut tiada, maka suatu
pemerintahan tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hlm 201).
1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’
Kedaulatan adalah otoritas absolut tertinggi, sebagai
satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan hukum segala sesuatu dan perbuatan
(Al-Kholidi, Qowaid Nizhom al-Hukm fi
al-Islam, hal. 24). Berdasarkan firman Allah Swt.:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik.” (QS. al-An’am [6]: 57)
Karena penetapan hukum hanya milik Allah Swt. semata, maka
peran penguasa (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam hanya sebagai
pelaksana, tanpa memiliki wewenang sedikitpun untuk membuat-buat hukum. Dan
haram hukumnya bagi penguasa untuk memberhentikan pelaksanaan hukum-hukum
Islam, untuk kemudian berhukum dengan selainnya.
Imam Ibnu Katsir berkata:
ينكر تعالى على من
خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير ، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من
الآراء والأهواء والاصطلاحات ، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله ، … فلا
يحكم بسواه في قليل ولا كثير ، قال الله تعالى : ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
﴾ أي : يبتغون ويريدون ، وعن حكم الله يعدلون . ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ أي : ومن أعدل من الله في حكمه لمن عَقل عن الله
شرعه ، وآمن به وأيقن وعلم أنه تعالى أحكم الحاكمين .
“Allah mengingkari siapa-siapa (penguasa) yang tidak
menerapkan hukum Allah Swt. yang jelas, komprehensif meliputi setiap kebaikan
dan mencegah dari setiap keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang
berupa pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa
bersandar kepada syari’at Allah Swt., … maka tidak boleh berhukum dengan selain
hukum Allah Swt., baik sedikit maupun banyak. Allah Swt. berfirman (yang
artinya): “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki,” atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau, sedangkan dari
hukum Allah Swt. mereka berpaling. “dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
atau: siapakah yang lebih adil syari’atnya daripada hukum Allah Swt. bagi
siapa-siapa yang berfikir tentang Allah Swt., mengimani-Nya, dan yakin serta
tahu bahwa Allah Swt. adalah seadil-adilnya hakim.” (Al-Marja’ As-Sabiq, juz
3 hal. 131)
2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat
Bahwa pengangkatan seorang kepala negara (khalifah) dalam
pemerintahan Islam tidak lain adalah berdasarkan pilihan umat dengan metode
bai’at. Baik dari mayoritas umat, atau yang mewakili mereka yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi; dan khalifah hanya
mengambil kekuasaan melalui bai’at umat ini (An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hal.111; dan Hizbut
Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah,
hal. 20).
Di antara yang menggambarkan bahwa khalifah dipilih oleh umat
adalah hadits shahih dari Abu Hurairah ra. berikut:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ»
“Dahulu Bani Israel, (urusan) mereka dipelihara
dan diurusi oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh
nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku. Sementara yang akan
ada adalah para khalifah, yang
jumlah mereka banyak. Mereka (para sahabat) berkata: ‘Lalu apa yang engkau
perintahkan kepada kami?’ Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah baiat yang
pertama lalu yang pertama.” (HR. Bukhari)
3) Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum
Muslim
Jumlah khalifah di setiap masa tidak boleh lebih dari satu.
Berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim berikut:
إِذَا
بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُواْ الآخِرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at
dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
(HR. Muslim no.1853, Ahmad dan Abu ‘Awanah)
Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
واتفق
العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام
أم لا
“Para ulama sepakat bahwa tidak boleh diakadkan
untuk dua Khalifah pada satu masa baik Dâr
al-Islam itu luas atau tidak.” (An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 12 hlm. 232)
Imam As-Sinqithi (w. 1393 H) menyatakan:
قول
جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا
، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما
أخرجه مسلم في صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما .
“Pendapat jumhur ‘ulama muslimin: Bahwa
berbilangnya Al-Imam al-A’zham (Khalifah) adalah tidak boleh, bahkan wajib
berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan
kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat oleh khalifah, mereka (jumhur
‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu
Sa’id Al-Khudri ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Jika dibai’at dua Khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at)
di antara keduanya.” (As-Sinqithi, Adhwa’
Al-Bayan fii Idhoh Al-Quran bi Al-Quran, juz 3 hlm. 39)
4) Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah
Satu-satunya yang berhak mengadopsi hukum syari’ah untuk
kemudian diterapkan atas kaum muslim adalah khalifah, berdasarkan ijma’ shahabat. Misalnya, saat pemerintahan
Abu Bakar, Beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak
satu. Namun, saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, Beliau menetapkan ucapan
talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Tidak ada satupun sahabat Nabi
Saw. yang mengingkari tindakan keduanya. Dengan demikian, telah terjadi Ijma’ Shahabat dalam dua perkara.
Pertama: Khalifah berhak mengadopsi dan menetapkan hukum syariah yang
diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: wajib atas rakyat
menaati Khalifah dalam hukum-hukum publik yang telah diberlakukan. (lihat:
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur,
hal. 17)
Selain penerapan syariah Islam untuk pengaturan kehidupan
masyarakat di dalam negeri, Rasulullah Saw. juga menerapkan syariah Islam untuk
politik luar negerinya.
Allah Swt. mengizinkan dan memerintahkan kaum Muslim untuk
melakukan berbagai aktivitas fisik (militer) untuk melawan kekuatan militer
kufur maupun untuk membuka daerah-daerah sistem kufur agar tunduk di bawah
kekuasaan Daulah Islamiyah (Darul Islam). Dalilnya
adalah ayat-ayat yang mewajibkan jihad (misalnya QS. At Taubah [9]: 29) yang
pengamalannya telah dicontohkan Rasulullah Saw. dengan melakukan berbagai futuhat
(penaklukan) baik ke Jazirah Arab maupun ke luar Jazirah Arab semata-mata untuk
menyebarluaskan Islam. (lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 155)
Firman Allah Swt:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu.” (TQS. Al-Hajj [22]: 39)
Ayat ini diturunkan selepas Beliau berhijrah ke Madinah dan
menjadi kepala negara di sana, lalu Beliau segera setelah itu mempersiapkan dan
membangun kekuatan militer.
Diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasul Saw. pernah bersabda:
“Serulah mereka masuk Islam; jika mereka setuju, terimalah
dan lindungilah mereka,
فَإِنْ
هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ
وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ
Jika mereka menolak (yaitu tetap kafir), bebankan jizyah pada
mereka. Jika mereka setuju, terimalah dan lindungilah mereka. Namun, jika
mereka menolak, memohonlah kepada Allah dan perangilah mereka.” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw. bersabda:
الْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ
تَعَالَىٰ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ
جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ
“Jihad itu tetap berlangsung sejak Allah Swt.
mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Kewajiban jihad ini
tidak akan gugur oleh kezaliman pemimpin yang zalim, dan tidak pula oleh
keadilan pemimpin yang adil.” (HR. Abu Dawud)
Beliau mengorganisasi banyak peperangan, baik yang dipimpin
langsung oleh Beliau maupun para Sahabatnya. Menurut catatan Khaththab, perang (ghazwah) yang dipimpin sendiri oleh
Rasulullah sebanyak 28 kali (Mahmud Syith Khaththab, Ar-Rasûl al-Qâid, Dar al-Fikr (2002), hlm.420), sementara detasemen (saraya)
dan perang yang dipimpin oleh sahabat sebanyak 15 kali (Mahmud Syith Khaththab,
Ar-Rasûl al-Qâid, Dar al-Fikr (2002), hlm.322). Dengan demikian selama
kepemimpinan Beliau di Madinah, rata-rata dalam setahun ada 4 kali pengerahan
pasukan.
Metode penegakan Islam tuntunan Rasulullah Saw. tersebut
secara rasional akan mengantarkan perjuangan penegakan Khilafah pada titik
keberhasilannya. Pasalnya, proses pembinaan dan penyadaran umat akan mewujudkan
kesadaran bahwa menegakkan syariah dan Khilafah merupakan kewajiban asasi bagi
tiap Muslim, dan bahwa berdiam diri terhadap akidah dan sistem kufur adalah
kemaksiatan. Kesadaran inilah yang akan mendorong umat untuk berjuang
menegakkan syariah dan Khilafah secara sungguh-sungguh dan konsisten. Kesadaran
tersebut juga akan melahirkan dukungan dari elemen umat Muslim yang saat ini
secara riil memiliki kekuasaan dan kekuatan. Tanpa adanya kesadaran dan
dukungan seperti ini, maka Khilafah tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Namun, tentu tidak sekadar alasan rasional tersebut. Yang
lebih penting, ketiga tahapan dalam metode tersebut merupakan metode syar’i dalam penegakan Khilafah yang
mengharuskan setiap Muslim terikat padanya.
Setelah Nabi Saw. wafat, Islam sebagai tuntunan hidup telah
diwariskan oleh Nabi kepada para sahabat dan umat Islam dengan gamblang (muhajjat al-baidha’). Nabi pun telah
menjelaskan, baik secara lisan maupun praktis, mekanisme pengangkatan Khalifah,
melalui bai’at. Para sahabat pun memahami dengan tepat mekanisme ini. Karena
itu, setelah Nabi Saw. mereka segera memilih dan membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Muslim setelah wafatnya Abu Bakar.
Mereka segera membai’at ‘Umar bin al-Khatthab, dan begitu seterusnya.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa Islam mempunyai
metode baku dalam meraih kekuasaan (istilam
al-hukm). Islam juga mempunyai metode baku dalam mengangkat pemimpin (nashb al-imam). Islam telah menetapkan thalab an-nushrah sebagai metode baku dalam
meraih kekuasaan, bukan yang lain.
Dengan penerapan Islam secara kaffah,
insyaAllah keagungan Islam akan tampak
dalam penerapannya di dalam negeri dan juga akan tampak dari meluasnya Islam ke
seluruh penjuru dunia, untuk menebar rahmat-Nya.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Daftar Bacaan
- Ahmad Mahmud, ad-Da’wah ila al-Islam terjemahan
- Hizbut-Tahrir.or.id
- Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah terjemahan
- Mediaumat.com
BUKU Kewajiban Syariah Islam
BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam
BUKLET Ulama Dan Hizbut Tahrir KUMPULAN TESTIMONI
Beberapa buku yang telah diterbitkan oleh Hizbut
Tahrir
- Kitab Nizhâm al-Islâm (Peraturan Hidup Dalam Islam)
- Kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam)
- Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam)
- Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ‘î fî al-Islâm (Sistem Pergaulan Pria-Wanita Dalam Islam)
- Kitab At-Takattul al-Hizbî (Pembentukan Partai Politik)
- Kitab Mafâhm Hizbut Tahrîr (Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir)
- Kitab Ad-Dawlah al-Islamiyyah (Daulah Islam)
- Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Kepribadian Islam, tiga jilid)
- Kitab Mafâhîm Siyâsah li Hizbut Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)
- Kitab Nadharât Siyâsiyah li Hizbut Tahrir (Beberapa Pandangan Politik Menurut Hizbut Tahrir)
- Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Undang-Undang Dasar Negara Islam)
- Kitab Al-Khilâfah (Khilafah)
- Kitab Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Dekonstruksi Khilafah: Skenario di Balik Runtuhnya Khilafah Islam)
- Kitab Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Peradilan Islam)
- Kitab Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-Hukum Pembuktian Dalam Pengadilan)
- Kitab Naqd al-Isytirâkiyyah al-Marksiyah (Kritik Atas Sosialisme-Marxis)
- Kitab At-Tafkîr (Nalar Islam: Membangun Daya Pikir)
- Kitab Al-Fikr al-Islâmî (Bunga Rampai Pemikiran Islam)
- Kitab Naqd an-Nadhariyah al-Iltizâmi fî Qawânîn al-Gharbiyyah (Kritik Atas Teori Stipulasi Dalam Undang-Undang Barat)
- Kitab Nidâ’ Hâr (Seruan Hangat Dari Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam)
- Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdhiyyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam)
- Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Dalam Negara Khilafah)