Puasa Sepanjang Tahun (Shaum ad-Dahri)
Yang kami maksud puasa
ad-dahru adalah puasa setiap hari di sepanjang tahun, kecuali pada lima hari
yang diharamkan puasa, yakni dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha) dan tiga
hari tasyriq, yang akan kami bahas kemudian.
Jumhur ulama
membolehkan puasa ad-dahru bagi siapa saja yang kuat melakukannya dan tidak
akan melalaikan kewajibannya, sehingga jika menimbulkan madharat dan menjadikannya melalaikan kewajiban maka hukumnya
menjadi makruh. An-Nawawi telah menyebutkan dalam kitab al-Majmu' sebagian nama tokoh, baik dari generasi salaf ataupun khalaf yang melakukan puasa ad-dahru, di
antaranya Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abu Thalhah al-Anshari, Abu
Umamah dan isterinya yakni Aisyah, Said bin al-Musayyab, al-Aswad bin Yazid,
Said bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf. Ahmad berkata: aku berharap
melakukannya bukanlah satu masalah. As-Syafi'i dan para sahabatnya menyatakan
bahwa terus-menerus berpuasa, yakni melakukan puasa ad-dahru, tidak
dimakruhkan, malah sebaliknya sangat dianjurkan (mustahab), asalkan tidak
menimbulkan dharar dan tidak
melalaikannya dari kewajiban. Penganut Zhahiriyah, Ibnu al-Arabi dari kalangan
Malikiyah, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad dalam riwayatnya yang kedua, telah
memakruhkan puasa ad-dahru ini. Ibnu Hazm secara menyendiri berpendapat
mengharamkan puasa ad-dahru.
Agar kita bisa
mendapatkan hukum yang shahih seputar
puasa ad-dahru ini, maka kita harus meneliti nash-nash berikut:
1. Dari Abdullah bin Amr, ia berkata:
“Nabi Saw. bersabda:
“Benarkah engkau berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka
aku menjawab: Ya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal
itu maka cekunglah matamu dan lemahlah dirimu. Tidak dipandang berpuasa orang
yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.” (HR. Bukhari [1979], Muslim,
an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)
Dalam redaksi hadits
Bukhari yang kedua [1977] disebutkan:
“Tidak dipandang
berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”
2. Dari Abdullah bin Amr:
“Bahwa perkara puasaku
telah diceritakan kepada Rasulullah Saw., kemudian beliau Saw. mengunjungiku.
Aku menyodorkan bantal dari kulit yang isinya adalah rumput kering, tetapi
beliau Saw. duduk di atas tanah, sehingga bantal itu berada di tengah-tengah antara
aku dengannya, lalu beliau Saw. bertanya: “Apa tidak cukup bagimu berpuasa tiga
hari dari setiap bulan?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw.
bertanya: “Lima hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya:
“Tujuh hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya:
“Sembilan hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya:
“Sebelas hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Kemudian Nabi Saw. berkata:
“Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis
salam selama setengah tahun, berpuasalah engkau sehari dan berbukalah
sehari.” (HR. Bukhari [1980], Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai)
Hadits ini telah kami
cantumkan dalam poin 2 pembahasan: “Puasa Satu dan Dua Hari...” dari bab:
“Puasa Sunat.”
Bukhari meriwayatkan
hadits lain dari jalur Abdullah bin Umar [1975], dan di dalamnya disebutkan:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kekuatan. Beliau Saw. bersabda: “Maka
lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.” Aku
berkata: Bagaimanakah cara puasa Nabiyullah
Dawud alaihis salam? Beliau Saw.
bersabda: “Setengah tahun.” Maka setelah tua, Abdullah suka berkata: Andai saja
dulu aku menerima rukhshah Nabi Saw.”
Muslim [2729]
meriwayatkan hadits dengan redaksi:
“Berpuasalah sehari
dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud alaihis
salam, dan inilah puasa yang paling setimbang.” Dia berkata: aku
berkata: Sesungguhnya aku mampu berpuasa lebih dari itu. Rasulullah Saw.
berkata: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”
3. Dari Abdullah bin Syikhir dia berkata, Nabi
Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
berpuasa selamanya, maka (dia dipandang) tidak berpuasa dan tidak pula
berbuka.” (HR. Ibnu Majah [1705], an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hiban, Ibnu
Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, sanad hadits ini shahih)
4. Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., dari Nabi
Saw.:
“Barangsiapa yang
puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka neraka jahanam
dihimpitkan baginya seperti ini, lalu beliau Saw. menghimpitkan telapak
tangannya.” (HR. Ahmad [19951], Ibnu Hiban, an-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah, sanad
hadits ini jayyid)
5. Dari Imran bin Hushain ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
diberitahu: Sesungguhnya si fulan tidak berbuka di siang hari sepanjang tahun
kecuali malam saja. Maka Nabi Saw. bersabda: “Dia tidak berpuasa dan juga tidak
berbuka.” (HR. Ibnu Hibban [3582], an-Nasai, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh
ad-Dzahabi.
6. Dari Abu Amr asy-Syaibani:
“Telah sampai kabar
kepada Umar bahwa seseorang berpuasa ad-dahru, lalu dia dipukulnya, dan
berkata: Makanlah wahai zaman, makanlah wahai zaman.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
[2/492])
Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm, sanad hadits ini dishahihkan pula oleh Ibnu Hajar.
7. Dari Nafi:
“Bahwa Umar bin
Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus sebelum beliau meninggal.
Nafi berkata: Dan Abdullah bin Umar di akhir masa hidupnya suka berpuasa secara
terus-menerus.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])
8. Dari Zur'ah bin
Tsaub, dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Abdullah bin Umar tentang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun),
maka dia berkata: Kami menganggap mereka yang (suka melakukannya) di antara
kami sebagai orang-orang terdahulu.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])
Hadits ini dhaif.
Dalam rangkaian sanadnya terdapat Muawiyah bin Shalih, yang ditsiqahkan dan didhaifkan
oleh Yahya bin Said, Yahya bin Ma’in dan Abu Ishaq al-Fazari. Di dalamnya juga
ada Zur’ah bin Tsaub, ad-Dzahabi berkata dalam kitab Dzail al-Dhu'afa: dia seorang yang tidak dikenal (majhul),
sehingga hadits ini harus ditinggalkan.
Hadits yang pertama
menyebutkan:
“Tidak dipandang
berpuasa orang yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.”
Dan lafadz yang
keduanya menyebutkan:
“Tidak dipandang
berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”
Hadits kedua
menyebutkan:
“Tidak ada puasa
melebihi puasa Dawud alaihis salam.”
Dalam lafadz kedua
disebutkan:
“Maka lakukanlah puasa
Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”
Dalam lafadz ketiga
disebutkan:
“Tidak ada puasa yang
lebih utama dari itu.”
Hadits ketiga
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
berpuasa selamanya, maka tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.”
Hadits keempat
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka Neraka Jahanam
dihimpitkan baginya.”
Dan hadits kelima
menyebutkan:
“Dia tidak berpuasa
dan juga tidak berbuka.”
Sedangkan atsar keenam
menyebutkan:
“Lalu dia dipukulnya
dan berkata: Makanlah wahai zaman.”
Atsar ketujuh
menyebutkan:
“Bahwa Umar bin
Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus... dan Abdullah bin Umar
suka berpuasa secara terus-menerus.”
Pertanyaannya: apa
sebenarnya yang hendak ditunjukkan oleh nash-nash ini?
Bagi seseorang yang
meneliti nash-nash tersebut, dia tidak akan sulit mengistinbath hukum mengharamkan puasa ad-dahru (puasa setiap hari
sepanjang tahun).
Lafadz hadits yang
pertama bisa mengandung doa kejelekan dari Rasulullah Saw. bagi orang yang
berpuasa ad-dahru, atau bisa juga sebagai pengingkaran (an-nafyu).
Jika kita bandingkan
dengan hadits ketiga dan hadits kelima, maka kita bisa menyimpulkan bahwa
hadits yang pertama mengandung pengingkaran, sebagaimana hadits ketiga dan
kelima yang mengandung makna pengingkaran yang sama, di mana makna pengingkaran
itu terlihat ketika Rasulullah Saw. menyebut orang yang melakukan puasa
ad-dahru sebagai orang yang tidak berpuasa. Ini berarti bahwa puasa ini tidak
benar (ghair waqi’) dan tidak diterima (ghair maqbul). Sebab, puasa itu adalah ibadah,
di mana semua ibadah itu bersifat tauqifi, sehingga akal tidak bisa turut
campur menentukan dan mengatur tatacaranya (al-kaifiyat). Karena itu kita
menetapkan bahwa ibadah apa saja yang dinafikan oleh syara', yakni tidak ada tuntunannya dan tidak diterima oleh
syariat, maka ibadah tersebut sebagai sesuatu yang haram dan merupakan
pelegislasian hukum (at-tasyri’) yang di luar syariat Allah Swt.
Ketiga hadits ini
cukup menunjukkan keharaman puasa ad-dahru.
Jika kita tambahkan
lagi hadits kedua ke dalamnya, yang berbunyi:
“Tidak ada puasa
melebihi puasa Dawud alaihis salam.”
Maka semakin kuatlah
pendirian kita tanpa keliru lagi, bahwa puasa ad-dahru itu diingkari dan tidak
diakui oleh syariat.
Kemudian jika
ditambahkan lagi riwayat:
“Maka lakukanlah puasa
Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”
Berarti kita telah
menambah pengingkaran berkali-kali itu, dipadukan dengan larangan puasa
ad-dahru. Pengingkaran berpadu dengan larangan, di mana keduanya menjadi
indikasi kuat atas tegasnya larangan tersebut, sehingga puasa ad-dahru tidak
diragukan lagi keharamannya.
Berdasarkan hal itu,
maka jelaslah bagi kita makna hadits keempat, yakni orang yang melakukan puasa
ad-dahru -yang jelas-jelas diingkari dan dilarang syariat- sebagai orang yang
keluar dari ketaatan kepada Allah Swt., dan terjerumus dalam jurang kemaksiatan.
Dan bagi orang seperti ini, tidak ada balasan selain Neraka Jahannam.
Semua nash ini jelas
memiliki dilalah yang tidak samar lagi,
bahwa puasa ad-dahru itu
tidak disyariatkan, tidak diterima dan tidak benar, sehingga hukumnya haram dan
tidak boleh dilakukan.
Untuk apa Umar ra.
memukul dan memberi sanksi kepada orang-orang yang melakukannya seandainya
puasa ad-dahru ini tidak diharamkan sebagaimana disebutkan dalam atsar poin 6?
Adapun atsar poin 7
yang menyebutkan bahwa Umar dan anaknya biasa terus-menerus berpuasa, tidak
boleh dipahami sebagai puasa ad-dahru. Semata-mata harus diinterpretasikan
bahwa Umar itu sangat sering berpuasa secara kontinyu dan terus-menerus, dan
ini jelas boleh dan tidak diharamkan. Kontinyu atau terus-menerus berpuasa
tidak berarti berpuasa setiap hari sepanjang tahun.
Dalam bahasa Arab,
penggunaan berbagai kalimat yang zhahirnya
berarti pendawaman sesuatu sesungguhnya
menunjukkan makna pada umumnya dan sebagian besar saja. Dan ini banyak
ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang mulia, di mana sedemikian banyaknya
sehingga tidak perlu kami sebutkan contohnya di sini.
Walaupun semua nash
ini tidak dinasakh dan tidak ada nash
lain yang menyalahinya, jumhur ulama malah berpendapat membolehkan puasa
ad-dahru dengan berbekal dalil hadits Aisyah ra.:
“Bahwa Hamzah bin Amr
al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang
yang suka berpuasa secara berturut-turut, apakah aku harus berpuasa dalam
perjalanan? Maka Nabi Saw. bersabda: “Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan
berbukalah engkau jika menghendaki.” (HR. Muslim [2626] dan Bukhari)
Hadits ini telah kami
sebutkan pada “Hukum Berpuasa Dalam Perjalanan" pada bab “Puasa di
Perjalanan”, selain beberapa atsar yang menyebutkan bahwa para sahabat biasa
berpuasa secara berturut-turut, yang telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
bab 4 halaman 301. Letak salahnya adalah mereka (jumhur ulama) itu telah
menafsirkan sardu as-shaum (berpuasa
secara berturut-turut) sebagai shaum ad-dahri
(puasa setiap hari sepanjang tahun), dan mereka tidak menafsirkannya dengan al-muwashalah (terus-menerus) dan at-tatabu' (berturut-turut). Seandainya mereka
menafsirkannya sebagai terus-menerus dan berturut-turut, niscaya mereka tidak
akan jatuh dalam kekeliruan fatal ini.
Sedangkan atsar
sahabat, pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai dalil, hingga bisa
menyalahi atau mentakhsis hadits-hadits
Nabi Saw. yang jelas-jelas menunjukkan keharaman. Bahkan bila kita harus
menafsirkan atsar-atsar tersebut sebagai puasa ad-dahri, maka atsar tersebut
harus ditolak dan tidak boleh dipertimbangkan sama sekali. Semua atsar itu
tidak lebih hanya sekedar ijtihad para sahabat, yang tidak harus diikuti,
terlebih lagi bila atsar-atsar itu bertentangan dengan nash-nash Kitab dan
Sunnah.
Hadits Aisyah tentang
Hamzah bin Amr, ini tidak menunjukkan pendapat yang mereka pegang, bahkan
menunjukkan hal sebaliknya, di mana Hamzah telah mengatakan:
“Sesungguhnya aku
seseorang yang suka berpuasa secara berturut-turut (kontinyu).”
Maka Nabi Saw.
menjawabnya:
“Berpuasalah engkau
jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”
Redaksi kalimat
seperti ini sekilas saja menunjukkan bahwa as-sardu
(kontinuitas) di sini bukanlah shaum ad-dahri
(puasa setiap hari sepanjang tahun), karena seandainya Hamzah melakukan puasa
ad-dahru, untuk apa dia melontarkan pertanyaan seperti ini kepada Rasulullah
Saw.:
“Apakah aku harus
berpuasa dalam perjalanan?”
Jika seperti itu, dia
tidak perlu melontarkan pertanyaan ini.
Dan seandainya Hamzah
ini sedang melakukan puasa ad-dahru sedangkan Rasulullah Saw. mengetahui dan
menyetujuinya, maka beliau Saw. tidak akan menjawabnya dengan:
“Berpuasalah engkau
jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”
Semata-mata akan
menjawabnya dengan ucapan misalnya: engkau harus tetap berpuasa dalam
perjalanan, atau perjalanan tidak boleh menghentikan puasamu, atau bahwasanya
perjalanan itu tidak menafikan puasa ad-dahru.
Dan ketika beliau Saw.
berkata kepadanya:
“Berpuasalah engkau
jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”
Ini menunjukkan bahwa
pertanyaan tersebut bukan tentang puasa ad-dahru (berpuasa setiap hari
sepanjang tahun), tetapi tentang seseorang yang banyak berpuasa dan
melakukannya secara berturut-turut, tidak lebih.
Selain itu, yang juga
menunjukkan bahwa sardu as-shiyam
(berturut-turut berpuasa) itu bukan berarti shaum
ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), melainkan memperbanyak
berpuasa yang dilakukan secara berturut-turut saja, adalah hadits yang
diriwayatkan Ahmad [22096] dari jalur Usamah bin Zaid ra. dengan lafadz:
“Adalah Rasulullah
Saw. biasa berpuasa di beberapa hari secara berturut-turut hingga dikatakan:
Beliau Saw. tidak berbuka. Dan beliau Saw. suka berbuka pada beberapa hari
hingga hampir tidak berpuasa…”
Yang sebelumnya telah
kami sebutkan dalam bab “Puasa Sunat” topik “Puasa Sya'ban.”
Di dalamnya
disebutkan: beliau Saw. berturut-turut berpuasa hingga dikatakan beliau Saw.
tidak berbuka, dan berbuka beberapa hari...” di mana hadits ini telah
menghimpun kata as-sardu (berpuasa
berturut-turut) dan al-ifthar (berbuka).
Seandainya as-sardu itu bermakna puasa
selamanya sepanjang tahun, niscaya tidak akan ada penghimpunan dua kata
tersebut dalam hadits di atas.
Dan semoga Allah Swt.
merahmati Tirmidzi, di mana beliau telah memahami bahwa sardu as-shaum itu artinya at-tatabu'
(berturut-turut), bukan shaum ad-dahri
(berpuasa setiap hari sepanjang tahun). Karena itu kita dapati beliau menyusun
satu bab yang diberi judul: bab yang menghimpun hadits tentang sardu as-shaum (puasa berturut-turut), lalu
dia mencantumkan hadits berikut di bawahnya:
Dari Abdullah bin
Syaqiq, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah tentang puasa Nabi Saw. Aisyah berkata: Beliau Saw. biasa berpuasa
hingga kami mengatakan beliau sungguh-sungguh berpuasa, dan biasa berbuka
hingga kami mengatakan beliau sungguh berbuka. Dan tidaklah Rasulullah Saw.
berpuasa satu bulan penuh melainkan pada bulan Ramadhan.”
Kemudian Tirmidzi
menyebutkan dua hadits yang di dalamnya tidak disebutkan istilah atau sesuatu
yang terkait dengan puasa ad-dahru
(puasa setiap hari sepanjang tahun). Ini menunjukkan bahwa beliau memahami sardu as-shaum itu sebagai banyak melakukan
berpuasa saja (al-iktsar).
Karena hadits-hadits
di atas saling menafsirkan satu sama lain, maka hadits-hadits kami di atas
seluruhnya layak untuk menafsirkan hadits Hamzah ini, yaitu menunjukkan at-tatabu' (puasa secara berturut-turut),
bukan puasa ad-dahru, karena puasa ad-dahru itu jelas-jelas dilarang.
Adapun pendapat jumhur
ulama dan Syafi'i bahwa puasa ad-dahru
itu dibolehkan atau sangat dianjurkan, asalkan tidak menimbulkan madharat dan tidak menyebabkan pelakunya
melalaikan kewajiban, maka untuk membantahnya perlu dijelaskan: bahwa syarat
seperti ini tak terbayang wujudnya, karena madharat
dan melalaikan hak adalah dua perkara yang ditimbulkan dan pasti ditimbulkan
dari puasa ad-dahru, di mana hadits yang
pertama menyebutkan:
“Benarkah engkau
berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka aku menjawab: Ya.
Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal itu maka akan
cekunglah matamu dan akan lemahlah dirimu.”
Hadits ini telah
menetapkan timbulnya madharat dari puasa
ad-dahru, kecuali jika jumhur ulama, Syafi’i dan para sahabatnya itu menyatakan
bahwa cekungnya mata dan lemahnya diri bukan sebagai madharat? Jika kami imbuhkan ke dalam pernyataan kami ini hadits
berikutnya, yang menetapkan bahwa puasa dua pertiga tahun itu tidak akan mampu
dilakukan oleh seorangpun, apatah lagi dengan puasa ad-dahru (puasa setiap hari
sepanjang tahun)?
Dengan demikian, kita
bisa menemukan letak kekeliruan yang telah mereka lakukan. Dari Abu Qatadah
ra.:
“Bahwa seorang lelaki
bertanya kepada Nabi Saw. tentang puasa yang beliau lakukan, sehingga beliau
Saw. marah. Maka Umar berkata: Aku rela. Atau dia berkata: Kami rela
ber-Tuhankan Allah, beragamakan Islam. Dia berkata: dan aku tidak mengetahui
selain dia telah berkata: Dan Muhammad sebagai Rasul, serta rela terhadap
bai'at yang telah kami lakukan. Dia berkata: Lalu Umar berdiri atau seorang
lelaki yang lain. Lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah seseorang
berpuasa sepanjang masa? Maka beliau Saw. berkata: “Dia tidak berpuasa dan juga
tidak berbuka.” Dia berkata: Kalau puasa dua hari dan berbuka satu hari? Beliau
Saw. berkata: “Siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” (HR. Ahmad [22904])
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi
dengan redaksi kalimat yang berbeda-beda.
Komentar beliau Saw.
tentang puasa dua hari dan berbuka satu hari, yakni puasa dua pertiga tahun,
dengan mengatakan: “siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” sebagai
pertanyaan dengan maksud mengingkari atau mencela, yang jelas menunjukkan bahwa
puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan oleh siapapun.
Kami memiliki dalil
yang lebih kuat hujjahnya dan lebih
jelas dilalahnya, yang menunjukkan bahwa
puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan, yakni hadits yang sebelumnya
telah kami sebutkan dalam pembahasan “puasa satu hari setelah berbuka satu
hari” dari bab “puasa sunat”:
“Rasulullah Saw.
diberitahu bahwa aku berucap: Demi Allah, aku akan terus berpuasa setiap hari
dan akan terus bangun untuk shalat pada setiap malam selama aku hidup. Maka aku
berkata kepadanya: Sungguh aku telah mengucapkan sumpah itu. Beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal itu.” (HR. Bukhari [1976],
Muslim dan selainnya)
Setelah semua ini
begitu jelas, anehnya masih ada orang yang mengatakan bahwa puasa ad-dahru itu
dibolehkan asalkan tidak menimbulkan madharat
pada pelakunya?!
Dalam kesempatan ini
saya ingin mengemukakan satu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim,
an-Nasai, ad-Darimi, dan Ahmad, dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Tiga orang sahabat
telah datang mengunjungi rumah isteri-isteri Nabi Saw., dan mereka bertanya
tentang ibadah Nabi saw. Ketika diberitahu, mereka merasa seolah-olah amal
mereka sangat sedikit sekali, lalu mereka berkata: Di manakah kita dibanding
Nabi Saw., padahal beliau Saw. telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang
akan dating. Lalu salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku, sungguh akan
shalat malam selamanya. Yang lain berkata: Aku akan berpuasa ad-dahru (berpuasa
setiap hari sepanjang tahun) dan tidak akan berbuka. Sedangkan yang lain lagi
berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian
datanglah Rasulullah Saw. menemui mereka, seraya bertanya: “Kaliankah yang
mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku
berpuasa dan berbuka, (bangun) shalat malam dan tidur, dan aku menikahi kaum
wanita, sehingga barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan
golonganku.”
Bukankah dalam hadits
ini terdapat sesuatu yang seharusnya mencegah seseorang berkata membolehkan
puasa ad-dahru, terlebih lagi menganjurkannya? Apakah mereka tidak mendengar
ucapan Rasulullah Saw. bagi orang yang shalat setiap malam
selamanya, dan berpuasa setiap hari selamanya, serta orang yang tidak menikah
selamanya:
“Sehingga barangsiapa
yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.”
Mengenai orang yang
memakruhkan puasa ad-dahru sedikit keliru, kecuali jika maksudnya adalah karahah tahrim (makruh untuk mengharamkan),
bukan karahah tanzih. Pendapat yang
tidak diragukan lagi kebenarannya adalah bahwa puasa ad-dahru (puasa setiap
hari sepanjang masa) itu diharamkan alias tidak boleh dilakukan, dan inilah
pendapat yang dilontarkan oleh Ibnu Hazm.
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)