Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah
dengan Islam adalah penguasa yang zalim dan FASIK.
Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan
negara maka harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal,
merdeka (bukan budak), adil (BUKAN FASIK) serta mampu memikul tugas-tugas dan
tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat
ini, dalam pandangan hukum Syariah, ia tak boleh menjadi kepala negara.
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena MENGINGKARI
Islam dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka itu
merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. al-An’am [6]: 57)
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Keputusan
hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam tafsir al
Baghawi dijelaskan al hukmu itu
berupa peradilan, syariat , hukum (al
qodhou), perintah (al amru) dan
larangan (an nahyu).
﴿وَأَنِ
احْكُمْ
بَيْنَهُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
وَلَا
تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ
يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ
إِلَيْكَ﴾
“Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang
telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Berhati-hatilah kamu terhadap mereka yang hendak memalingkan kamu dari sebagian
wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 49)
}وإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلاً & وَلَوْلاَ أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً{
“Dan
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau
sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan
kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong
sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 73-74)
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang
yang fasik.” (QS. al-Baqarah [2]: 99)
Mengenai hukum apa yang wajib diterapkan oleh negara?
Pendapat Ahlus Sunnah jelas, yaitu hukum Syariah. Alasannya, karena Ahlus
Sunnah berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada Syariah, bukan
akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:
اَلْحَسَنُ
مَا
حَسَّنَهُ
الشَّرْعُ
وَالْقَبِيْحُ
مَا
قَبَّحَهُ
الشَّرْعُ
“Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh Syariah,
sedangkan buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh Syariah.” (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu I’tiqaduhu wa la
Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50)
Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Adhuddin
al-Iji (w. 757 H) jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan
celaan, serta pahala dan dosa, hanya Syariah yang bisa menentukan, bukan akal.
(Al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam,
hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa
saja memutuskan baik dan buruk.
Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan
hukum dengan bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan
praktik Ahlus Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut
Ahlus Sunnah.
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya
dirinya [313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasul-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. (4) An Nisaa': 64)
[313] Dipahami dari ayat-ayat sebelumnya bahwa ‘menganiaya dirinya’ ialah:
berhakim kepada selain Nabi Muhammad Saw.
Allah SWT menyatakan bahwa konsekuensi
iman adalah taat Syariah:
(فَلاَ
وَرَبِّكَ
لاَ
يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا
شَجَرَ
بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ
يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا
مِمَّا
قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap
perkara yang mereka perselisihkan. (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada
saat menafsirkan QS. An Nisaa': 65, menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan
mengatasnamakan diri-Nya sendiri Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya
seseorang belumlah beriman secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasulullah
SAW. dalam seluruh urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan
merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik lahir maupun batin. Oleh karena
itu, Allah SWT berfirman: tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa
qadlaita wa yusallimuu tasliimaa: yakni, jika mereka telah berhakim
kepadamu (Muhammad SAW), mereka wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang
diambil Nabi SAW) di dalam batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati
perasaan ragu di dalam diri mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu
mengikutinya (keputusan Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian,
mereka berserah diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri
yang bersifat utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan
sedikitpun, dan tanpa ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam
hadits shahih, Nabi SAW bersabda “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sesungguhnya seseorang di antara kalian belumlah beriman hingga hawa nafsunya
tunduk dengan apa yang aku bawa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Quran
Al-‘Adziim, Juz 2/349)
وَ
مَا
اخْتَلَفْتُمْ
فِيْهِ مِنْ
شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إلَى اللهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka
putusannya (terserah) kepada Allah." (QS. [42] Asy-Syuura: 10)
Ibnu Katsir: “Yaitu, Dia-lah Hakim yang memutuskannya,
melalui Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz
25, hal. 235)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-nisa [4]: 59)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini
menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhukum merujuk kepada Al Quran dan
as-Sunnah dan merujuk pada selain keduanya dalam perkara yang diperselisihkan
maka ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346)
Dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ayat
ini menjadi dalil orang-orang yang tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah dan hukum yang berasal dari Nabi Saw. bukanlah
orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa
ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa mukmin (khalifah) yang
selalu berpegang teguh kepada Syariat Allah Swt. Sebab, tidak ada ketaatan
kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah Swt. (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285)