Paradok
Janji Jokowi
Pernahkah Anda membuka
kembali agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK yang dikenal sebagai Nawacita?
Coba search kembali di mesin pencari di
internet dan bandingkan dengan fakta yang ada saat ini.
Di butir ketujuh
agenda Jokowi tertulis dengan sangat jelas: “Mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.”
Dan ini kemudian
ditegaskan oleh Ketua Tim Sukses Jokowi-JK Tjahjo Kumolo dua tahun yang lalu.
"Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan,
infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. (Jokowi-JK) menolak bentuk utang
baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun," kata Tjahjo di
Gedung DPR/MPR, Selasa (3/6/2014).
Selanjutnya, Tjahjo
menjelaskan, pasangan Jokowi-JK akan menggenjot pembiayaan untuk
program-program pembangunan ekonomi, antara lain pembangunan jalan,
infrastruktur laut, bandara dan sebagainya dengan cara memaksimalkan penerimaan
negara.
“Penerimaan dari pajak
kita tingkatkan, mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang mencapai Rp1.800 triliun, di samping terus membuka pintu investasi lokal
maupun asing masuk ke sini,” papar Tjahjo.
Dalam janji
kampanyenya yang sudah kadung
disampaikan juga jelas-jelas menyatakan tidak akan mengimpor daging alias
menghentikan impor daging. Mantan Walikota Solo itupun dengan tegas menyatakan
tidak akan menambah utang luar negeri. Ia pun dengan entengnya mengatakan akan
menurunkan harga sembako. Termasuk mengobral janji untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dan swasembada pangan.
Namun fakta
menunjukkan yang sebaliknya alias paradok. Harga-harga kian hari kian
meningkat. Masyarakat sulit menjangkau kenaikan harga ini. Akibatnya, daya beli
masyarakat terus menurun. Ditambah lagi janji meningkatkan kesejahteraan mereka
sampai sekarang belum kesampaian.
Ironisnya dalam
kondisi demikian, pemerintah justru membuka kran impor berbagai komoditas
pertanian dengan lebih terbuka dibandingkan sebelumnya. Beras yang katanya
telah memenuhi stok nasional ternyata tidak membuat rezim Jokowi menghentikan
impor. Justru impor pun dilanjutkan.
Tak hanya beras, rezim
Jokowi pun mendatangkan bawang merah dari luar negeri. Padahal, kondisi stok
bawang merah lokal masih lumayan banyak. Ini menyebabkan para petani bawang
merah berteriak. Bagaimana tidak, bawang merah impor ini menghancurkan harga bawang
merah lokal. Dapat diduga ini bisa mengakibatkan nantinya para petani bawang
enggan menanam kembali komoditas tersebut.
Demikian pula daging
sapi. Impor daging sapi semakin gila-gilaan. Kalau sebelumnya hanya mengimpor
sapi hidup dari Australia, kini rezim Jokowi mengimpor daging sapi beku. Tidak
hanya itu, rezim inipun membuka impor daging sapi dari India. Padahal selama
ini India dikenal menjadi endemik penyakit kuku dan mulut pada sapi sehingga
Indonesia tak mengimpor daging dari sana.
Yang menarik, impor
daging sapi yang sebelumnya dilakukan oleh BUMN, kini terbuka lebar bagi
pengusaha swasta. Sayangnya, swasta yang ikut mengimpor daging sapi ini
ditunjuk oleh pemerintah, bukan lelang secara terbuka. Ini menjadikan para
pengusaha yang lain menyayangkannya. Siapa pengusaha itu? Sudah dapat diduga,
yang dekat dengan kekuasaan.
Pertumbuhan ekonomi
pun kian hari kian seret. Target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 pun berada pada
angka 5,3 persen. Sangat jauh dari optimisme Jokowi yang berjanji akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Dalam kondisi sekarang, rezim
ini beralasan ekonomi global sedang lesu dan menghibur diri bahwa pertumbuhan
Indonesia masih tergolong baik di antara negara-negara di kawasan Asia.
Tahun lalu ia pernah
menyatakan bahwa di akhir 2015 ekonomi Indonesia akan meroket. Namun
kenyataannya, bukannya meroket tapi justru menukik. Rupiah terus melemah
terhadap dolar hingga beberapa bulan lalu mencapai lebih dari Rp14.000 per
dolar Amerika. Ini adalah nilai terendah sejak krisis ekonomi 1998. Dan rezim
ini tak bisa mengembalikan ke posisi semula di mana rupiah berada pada kisaran
Rp12.000.
Berbagai proyek
pembangunan yang dicanangkan Jokowi belum menunjukkan hasil. Semua baru
pencitraan. Kereta cepat Jakarta-Bandung misalnya, sampai sekarang tak ada
kabar beritanya. Konon memang persyaratan belum dipenuhi.
Yang paling parah
adalah janji Jokowi untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu Megawatt. Sudah
hampir 2 tahun masa pemerintahannya, proyek ini belum menunjukkan hasilnya.
Kalaupun Jokowi meresmikan beberapa pembangkit yang ada, kapasitasnya sangat
kecil. Dan beberapa di antaranya adalah proyek dari rezim sebelumnya.
Demikian pula soal
utang luar negeri, Jokowi tergolong jagoan utang. Menurut pengamat ekonomi
Salamuddin Daeng, dalam RAPBN 2016, pemerintah berencana mencetak Surat Utang
Negara (SUN) senilai Rp326,27 trilyun dan pinjaman langsung luar negeri senilai
Rp72,83 trilyun. Sehingga total utang yang akan dicetak Jokowi tahun 2016
senilai Rp399,10 trilyun.
Menurutnya, sepanjang
sejarah RI, ini adalah utang dalam jumlah paling besar yang dibuat oleh
pemerintah dalam setahun. Padahal di tahun sebelumnya, Jokowi pun telah
mencatatkan kelihaiannya dalam soal utang ini karena telah utang sebesar Rp181
trilyun.
Lho, katanya nggak
mau ngutang? []
PNS
pun Mau Dipangkas
Bukti bahwa rezim
Jokowi lagi bingung mengelola keuangan negara adalah munculnya niat untuk
memangkas pegawai negeri sipil. Tak tanggung-tanggung, pemerintah akan memecat
sekitar 1 juta orang. Alasan efisiensi berada di balik rencana itu.
Rencana itu
dilontarkan oleh pejabat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PANRB). Pemangkasan jumlah PNS sebanyak 1 juta orang ini
akan dimulai 2017-2019. Itu artinya sekitar 330 ribu PNS akan dirumahkan setiap
tahunnya.
Menteri Keuangan
(Menkeu) Bambang Brodjonegoro menyatakan sedang menghitung dampak dari
pemangkasan tersebut. Ia belum bisa menyampaikan penghematan anggaran belanja
pegawai dari pemecatan 1 juta PNS tersebut.
Tak tanggung-tanggung,
PNS yang masuk radar penataan bisa 'dipecat', yakni diberhentikan sebelum masa
kerjanya berakhir alias pensiun dini. Berdasarkan catatan Kementerian PANRB
jumlah PNS di Indonesia saat ini mencapai 4,517 juta yang terdiri atas guru 32
persen, medis 0,7 persen, paramedis 6 persen, dan yang paling banyak adalah
pejabat fungsional mencapai 42 persen. “Kelompok ini 42 persen dari 4,517 juta
atau sekitar 1,9 juta (PNS fungsional) yang akan kami rapikan. Kami akan
melakukan pemetaan kompetensi kualifikasi kinerja. Ini dimasukkan ke dalam
kuadran-kuadran menjadi 4 kuadran,” terang Deputi Bidang SDM Aparatur
Kementerian PAN-RB. Setiawan Wangsaatrnadjas seperti dikutip detikFinance,
Selasa (31/5/2016).
Jumlah tersebut adalah
roadmap awal yang disusun pemerintah.
Dalam praktiknya nanti, jumlah yang ‘dipecat’ bisa lebih sedikit atau lebih
besar dari angka tersebut. “Tergantung hasil pemetaan yang kita lakukan,”
jelasnya. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar