Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 31 Juli 2017

Dzikir Ketika Adzan Do’a Setelah Adzan



Yang Dilafalkan Ketika dan Setelah Dikumandangkannya Adzan

Bagi seorang Muslim, ketika mendengar adzan disunahkan untuk mengucapkan semisal yang diucapkan muadzin, kecuali ketika muadzin melantunkan “mari kita melaksanakan shalat,” dan “mari kita meraih kebahagiaan”, maka hendaknya ia mengatakan “tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., bahwa ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Jika muadzin mengatakan: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, maka salah seorang dari kalian mengucapkan: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, maka ia berkata: Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka ia berkata: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Marilah melaksanakan shalat, maka ia berkata: Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Marilah kita meraih kebahagiaan, maka ia berkata: Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, maka ia berkata: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Kemudian (jika muadzin) berkata: Tidak ada tuhan selain Allah, maka ia berkata: Tidak ada tuhan selain Allah. (Semua itu) bersumber dari hatinya, maka ia masuk Surga.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin.” (HR. Bukhari, Ahmad, Malik dan Abu Dawud)

Tatkala muadzin selesai mengumandangkan adzan, maka disunahkan seorang Muslim mengucapkan doa berikut:

1. “Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam kepada Rasulullah”; atau shalawat dalam bentuk apapun.

2. Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna, dan shalat yang akan ditegakkan ini, maka berikanlah kepada Muhammad al-wasilah (suatu tempat di Surga) dan keutamaan, dan tempatkanlah ia pada kedudukan yang terhormat yang telah Engkau janjikan.

3. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya yang berhak disembah, yang tidak ada sekutu pada-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, aku rela bertuhankan Allah, ber-Rasulkan Muhammad, dan beragamakan Islam.

4. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu keselamatan di dunia dan di akhirat.

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Dari Abdullah bin Amru ra., bahwa ia mendengar Nabi Saw. bersabda:

“Jika kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan, maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah untukku al-wasilah, karena sesungguhnya al-wasilah itu adalah satu tempat di Surga yang tidak diperuntukkan kecuali untuk salah seorang dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap orang itu adalah aku. Maka barangsiapa yang memintakan al-wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafaat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

2. Dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:


“Barangsiapa yang mengucapkan ketika dia mendengar adzan: “Ya Allah, tuhan pemilik seruan yang sempurna, dan shalat yang akan ditegakkan ini, maka berikanlah kepada Muhammad al-wasilah (suatu tempat di Surga) dan keutamaan, dan tempatkanlah ia pada kedudukan yang terhormat yang telah engkau janjikan”; maka dia berhak memperoleh syafa'atku pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

3. Dari Sa'ad bin Abi Waqash ra. dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:


“Barangsiapa yang mengucapkan ketika dia mendengar muadzin mengumandangkan adzan: “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya yang berhak disembah yang tidak ada sekutu padanya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, aku rela bertuhankan Allah, ber-Rasulkan Muhammad, dan beragamakan Islam”, maka diampuni dosanya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Khusus setelah adzan maghrib, seorang Muslim disunahkan untuk menambah doa tadi dengan ucapan berikut: “Ya Allah, sesungguhnya ini menjadi awal malam-Mu dan penghujung hari-Mu, dan suara-suara orang yang memohon pada-Mu, maka ampunilah aku.” Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra., bahwa ia berkata:


“Rasulullah Saw. mengajariku agar mengucapkan (doa) ketika mendengar adzan maghrib: “Ya Allah, sesungguhnya ini menjadi awal malam-Mu dan penghujung hari-Mu dan suara-suara orang yang memohon pada-Mu, maka ampunilah aku.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim)

4. Disunahkan pula untuk memperbanyak doa setelah adzan dan sebelum iqamat, karena doa pada waktu tersebut menjadi doa yang mustajab alias tidak ditolak. Dari Anas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Doa di antara adzan dan iqamat itu tidak ditolak. Mereka bertanya: “Lalu doa apakah yang harus kami ucapkan wahai Rasulullah?” Beliau Saw. bersabda: “Mintalah kepada Allah keselamatan di dunia dan akhirat.” (HR. Tirmidzi)

Ahmad meriwayatkan dengan redaksi:

“Doa di antara adzan dan iqamat itu tidak ditolak.”

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Syariat Bagi Muadzin Adzan



Hal Ihwal Muadzin

Bagi muadzin disunahkan untuk mengumandangkan adzan sambil berdiri, karena posisi seperti ini lebih bagus untuk menyuarakan suara dengan lebih keras. Ini sebelum ditemukannya pengeras suara. Tetapi, menetapi sunnah ini lebih utama dan lebih baik lagi. Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai Bilal, berdirilah dan panggillah (orang-orang untuk melaksanakan) shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana disunahkan pula baginya untuk menghadap kiblat, kecuali ketika mengumandangkan hayya ‘alas shalat dan hayya 'alal falah. Kedua kalimat itu diserukan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:

“Aku melihat Bilal keluar menuju Lembah Bath-ha, lalu dia mengumandangkan adzan. Ketika sampai pada kalimat “marilah kita shalat, marilah meraih kebahagiaan” dia menolehkan lehernya ke kanan dan ke kiri, dan dia memutar (tubuhnya)...” (HR. Abu Dawud)

Tentu saja Bilal melakukan hal itu berdasarkan persetujuan dari Rasulullah Saw. Ini semua jika adzan dikumandangkan tanpa ada alat pengeras suara. Namun, jika disertai alat pengeras suara maka hal ini tidak menjadi sebuah keharusan. Selain itu, tidak menjadi masalah jika seorang muadzin melekatkan jari-jemarinya pada kedua telinganya selama dia mengumandangkan adzan. Hal ini bisa membantunya untuk lebih memperindah suara adzan yang sedang dikumandangkannya. Dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:

“Aku melihat Bilal beradzan sambil menoleh, dan aku melihat mulutnya ke sana dan ke sini, yakni ke kanan dan ke kiri, dan jari-jemarinya berada di kedua telinganya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Disunahkan pula bagi muadzin untuk mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, karena adzan termasuk bagian dari dzikir, dan bersuci disunahkan ketika berdzikir. Al-Muhajir bin Qunfudz telah meriwayatkan:

“Bahwasanya ia menemui Rasulullah Saw. dan pada saat itu beliau Saw. sedang buang air kecil. Dia mengucapkan salam kepadanya tetapi Rasulullah Saw. tidak membalasnya hingga beliau berwudhu. Kemudian beliau Saw. mengungkapkan alasan kepadanya seraya berkata: “Aku tidak suka mengingat Allah Swt. kecuali aku dalam keadaan suci.” (HR. Abu Dawud)

Diutamakan agar suara muadzin itu bagus, merdu dan kuat. Telah diterangkan dalam hadits Abdullah bin Zaid yang kami sebutkan sebelumnya pada pembahasan “fardlu adzan dan lafadz-lafadznya”:

“Maka berdirilah kamu bersama Bilal, dan diktekan kepadanya apa yang engkau dapatkan dalam mimpimu. Maka beradzanlah Bilal dengannya, karena sesungguhnya ia lebih kuat dan merdu suaranya daripada engkau.”

Dalam hadits al-Barra bin Azib yang kami sebutkan dalam pembahasan keutamaan adzan: Bahwasanya Nabi Allah Saw. telah berkata:

”...Dan muadzin itu baginya diberikan ampunan sekeras suaranya, dan dibenarkan oleh orang yang mendengarnya yang berasal dari tanah kering dan basah, dan baginya semisal pahala orang yang shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan Nasai)

Setiap laki-laki Muslim bisa mengumandangkan adzan, walaupun dia seorang fasik, bodoh, ataupun buta. Dari Malik bin al-Huwairits ra., ia berkata:

“Kami mendatangi Rasulullah Saw., dan kami adalah anak-anak muda yang berdekatan. Lalu kami melaksanakan shalat bersamanya selama dua puluh malam. Ia berkata: Adalah Rasulullah Saw. seorang yang pengasih dan lembut hati, beliau menyangka bahwasanya kami telah menyulitkan keluarga kami. Beliau kemudian bertanya kepada kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan di keluarga kami. Kemudian kami beritahukan kepada beliau. Setelah itu beliau Saw. berkata: “Pulanglah kalian kepada keluarga kalian dan dirikanlah shalat di antara mereka. Ajarilah mereka, serta perintahlah mereka (shalat) jika telah tiba waktu shalat. Dan hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan. Kemudian salah seorang yang paling tua di antara kalian hendaknya mengimami kalian.” (HR. Ahmad)

Perkataan beliau Saw.: “dan hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan”, ini menjadi dalil tidak adanya syarat tertentu pada muadzin selain ia adalah salah seorang dari mereka, yakni seorang Muslim. Rasulullah Saw. memiliki seorang muadzin yang buta, yakni Ibnu Ummi Maktum.

Adzan itu hukumnya fardhu bagi kaum lelaki, tidak bagi kaum wanita, sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan “hukum adzan.” Adzan juga sah dilakukan oleh seorang anak kecil yang mampu dan memiliki suara yang kuat, karena anak kecil seperti ini termasuk ke dalam ungkapkan “salah seorang dari kalian.”

Disunahkan pula untuk mentartilkan kalimat adzan, dalam arti agar huruf-huruf mad dibaca panjang dalam proporsi yang bisa menambah keindahan adzan, di mana huruf alif, wawu dan ya dibaca mad, tidak huruf selainnya. Dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk mentartilkan adzan dan memendekkan iqamat.” (HR. Daruquthni)

Perlu diketahui pula bahwa membaguskan adzan tidak harus berlebihan hingga bisa merubah adzan seperti nyanyian atau lagu, sehingga jika adzan sudah sampai pada batasan ini (menyanyikan atau melagukan), maka hal ini terlarang. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Adalah Rasulullah Saw. mendapati seorang muadzin yang melagukan adzan seperti nyanyian. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya adzan itu haruslah sederhana dan berwibawa, jika adzanmu seperti itu (maka adzanlah), jika tidak, maka janganlah engkau adzan.” (HR. Daruquthni)

Adzan Dikumandangkan Awal Waktu

Adzan tidak boleh dikumandangkan lebih awal dari waktu shalat kecuali dalam dua keadaan. Pertama: adzan untuk shalat Jum’at; boleh menyerukan adzan awal sebelum masuk waktu, dan Anda sekalian akan mendapati pembahasan ini lebih rinci pada topik “adzan pada hari Jum'at” bab “shalat-shalat fardhu selain shalat lima waktu.”
Kedua: adalah adzan mendahulukan adzan agar orang yang bertahajud bisa menyelesaikan shalatnya dan membangunkan orang yang tidur, sekaligus mengingatkan orang yang lalai untuk segera makan sahur.

Dalil mengumandangkan adzan mesti di awal waktu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurrah ra., ia berkata:

“Bilal mengumandangkan adzan jika matahari tergelincir dengan tepat, kemudian tidak beriqamat hingga Nabi Saw. keluar. Ia berkata, jika Nabi Saw. keluar, Bilal akan beriqamat ketika dia melihatnya.” (HR. Ahmad)

Adapun dalil adanya pengecualian adzan shalat fajar di bulan Ramadhan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi Saw., bahwa ia berkata:

“Janganlah salah seorang atau seseorang dari kalian merasa terhalang oleh adzan Bilal dari makan sahur, karena sesungguhnya ia mengumandangkan adzan atau memanggil ketika hari masih malam, agar orang yang sedang shalat di antara kalian segera kembali, atau yang sedang tidur segera bangun.” (HR. Bukhari)

Dalam keadaan ini wajib untuk mengeraskan adzan kedua ketika masuk waktu shalat subuh. Di antara dua adzan tersebut terdapat jeda waktu yang sekedar cukup untuk makan, atau yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan seseorang untuk menunaikan hajatnya dan berwudhu, yang kalau ditaksir dengan hitungan jam modern memerlukan waktu sekitar sepuluh menit atau seperempat jam. Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika Bilal mengumandangkan adzan maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Aisyah berkata: Dan di antara keduanya tidak ada perbedaan kecuali yang ini turun dan yang ini naik.” (HR. an-Nasai)

Wallahu a’lam.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sabtu, 29 Juli 2017

Dalil Adab Di Masjid



Pergi ke Masjid

Siapa saja yang mendengar iqamah di masjid, atau mengetahui adanya iqamah, maka dianjurkan untuk pergi ke masjid dengan tenang, dan tidak tergesa-gesa ketika berjalan. Perlu diketahui bahwa selama seseorang berangkat ke masjid maka sesungguhnya dia dalam keadaan shalat, yakni dihukumi sebagai seorang mushalli (orang yang shalat), sehingga apa yang dianjurkan bagi seorang mushalli dianjurkan pula baginya. Di antaranya adalah berangkat dengan tenang, penuh ketundukan, dan tidak tergesa-gesa. Apa yang didapatinya dari shalat jamaah, maka hendaknya ia shalat bersama mereka, dan apa yang luput dari shalat jamaah, maka hendaklah ia menyempurnakannya seorang diri. Dari Abu Qatadah ra. ia berkata:

“Suatu ketika kami shalat bersama Nabi Saw., lalu terdengarlah suara ribut orang-orang di belakang. Usai shalat, beliau Saw. bertanya: “Ada apa dengan kalian?” Mereka berkata: “Kami tergesa-gesa untuk shalat.” Beliau berkata: “Janganlah kalian melakukan itu lagi. Jika kalian mendatangi shalat maka hendaklah kalian bersikap tenang. Apa yang kalian dapatkan dalam shalat jamaah maka lakukanlah, dan apa yang luput tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Jika kalian mendengar iqamah maka pergilah untuk shalat, dan kalian harus berangkat dengan tenang, perlahan, dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan maka shalatlah, dan apa yang luput tertinggal dari kalian maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika iqamah untuk shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian mendatanginya secara bergegas tergesa-gesa. Hendaklah kalian mendatanginya dalam keadaan tenang. Apa yang kalian dapatkan dalam shalat jamaah maka lakukanlah, dan apa yang luput tertinggal maka sempurnakanlah, karena sesungguhnya salah seorang dari kalian jika berangkat menuju shalat maka ia sedang dalam shalat. ” (HR. Muslim)

Adab di Masjid

Masjid adalah rumah Allah ‘azza wa jalla, karena itu, orang yang mengunjunginya harus bersikap sopan di dalamnya dan memelihara sejumlah adab yang ditetapkan syariat. Salah satu adabnya adalah berhias dalam pakaian, bagus penampilan, memakai wewangian, dan menjauhi memakai sesuatu yang bisa menimbulkan bau dan mengganggu orang yang shalat. Allah Swt. berfirman:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (TQS. al-A'raf [7]: 31)

Dari Jabir bin Abdullah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang memakan bawang putih ini.” Beliau berkata sekali lagi: “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kucai, maka janganlah dia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya para malaikat merasa terganggu dengan apa yang bisa mengganggu anak Adam.” (HR. Muslim)

Disunahkan masuk masjid dimulai dengan kaki kanan, dan keluar darinya dimulai dengan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa beliau Saw. seringkali berkata:

“Termasuk sunah jika engkau masuk ke dalam masjid, engkau memulainya dengan kaki kanan. Dan jika engkau keluar dari masjid maka hendaklah engkau memulainya dengan kaki kiri.” (HR. al-Hakim)

Ketika masuk, hendaknya Anda mengucapkan: “Dengan menyebut nama Allah, shalawat dan salam tercurah bagi Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”
Dan jika Anda menambahnya dengan ucapan: “Aku berlindung kepada Allah Yang Agung, dan kepada wajah-Nya Yang Mulia, serta kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan setan yang terkutuk”, maka itu lebih baik lagi.
Lalu Anda ucapkan ketika keluar: “Ya Allah, curahkanlah shalawat serta salam kepada Rasulullah. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta karunia dari-Mu.”
Dan jika Anda tambahkan: “Ya Allah, lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk”, atau “Ya Allah, selamatkanlah aku dari godaan setan yang terkutuk”, maka itu lebih baik lagi.

Dari Abu Humaid atau Abu Usaid, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah: Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu. Dan jika keluar maka ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta karunia dari-Mu.” (HR. Muslim)

Ad-Darimi meriwayatkan dengan redaksi:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka bershalawatlah untuk Nabi, kemudian ucapkanlah:…

Ibnu Majah dari jalur Abu Hurairah meriwayatkan hal serupa, sehingga ada tambahan ucapan salam untuk Nabi. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka bershalawatlah untuk Nabi, dan ucapkanlah: Ya Allah, selamatkanlah aku dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. al-Hakim)

Sehingga ada tambahan shalawat untuk Rasulullah Saw.

Abdullah bin Amr bin Ash meriwayatkan dari Nabi Saw.:

“Bahwasanya beliau Saw. jika memasuki masjid mengucapkan: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah Yang Agung, dan kepada wajah-Nya (Dzat-Nya) Yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang azali, dari godaan setan yang terkutuk.” Ia bertanya: Apakah itu cukup? Aku menjawab: Ya. Ia berkata: Jika ia mengucapkan itu, setan berkata: “Ia terlindung dariku sepanjang hari.” (HR. Abu Dawud)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka bersalamlah untuk Nabi Saw., dan ucapkanlah: “Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” Dan jika ia keluar (masjid) maka bersalamlah untuk Nabi Saw., dan ucapkanlah: “Ya Allah, lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. Ibnu Majah)

Ibnu Hibban meriwayatkan dengan redaksi:


“Ya Allah, selamatkanlah aku.”

sebagai pengganti:

“Ya Allah, lindungilah aku.”

Disunahkan pula untuk merendahkan suara di dalam masjid. Maka seorang Muslim tidak boleh meninggikan suaranya, baik dalam ucapan, do'a, ataupun bacaan al-Qur'an, walaupun hal itu dilakukan ketika dia sedang melaksanakan shalat secara sendirian. Hal ini tiada lain agar tidak mengganggu orang selainnya yang sedang shalat. Dari al-Bayyadhi:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. keluar menemui orang-orang, dan pada waktu itu mereka sedang melaksanakan shalat, sedangkan suara-suara bacaan (al-Qur'an) mereka begitu keras. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang yang shalat itu sedang bermunajat (bercakap-cakap) dengan Tuhannya, maka seharusnya dia memperhatikan apa yang dipercakapkannya itu dengan-Nya, dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaan al-Qur'an atas sebagian yang lain.” (HR. Malik dan Ahmad)

Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. beri’tikaf di dalam masjid. Beliau Saw. mendengar orang-orang mengeraskan bacaan al-Qur'an, lalu beliau Saw. menyingkap tirai dan berkata: “Ingatlah, sesungguhnya setiap diri kalian sedang bermunajat dengan Tuhannya, maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain, dan janganlah saling mengeraskan bacaan al-Qur'an sebagian kalian atas sebagian yang lain, -atau dia berkata- bacaan shalat.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah)

Adapun jika di dalam masjid tersebut tidak ada orang yang sedang shalat, atau orang-orang yang sedang shalat itu jauh posisinya, maka tidak apa-apa baginya untuk mengeraskan suaranya. Dari Ka’ab:

“Bahwasanya ia meminta Abu Hadrad melunasi hutangnya di dalam masjid, suara keduanya begitu keras hingga terdengar oleh Rasulullah Saw., padahal beliau Saw. berada di rumah (yang terletak di samping masjid). Lalu beliau keluar menemui keduanya, hingga tersingkap tirai kamarnya, kemudian beliau memanggil: “Wahai Ka'ab.” Ia berkata: ”Ya wahai Rasulullah.” Beliau Saw. berkata: “Tangguhkanlah dari sebagian hutangmu ini.” Beliau Saw. memberi isyarat kepadanya, yakni setengahnya. Ka’ab berkata: “Sungguh aku telah melakukannya wahai Rasulullah.” Beliau Saw. bersabda: “Maka berdirilah dan tunaikanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suara keduanya begitu keras di dalam masjid, dan Rasulullah Saw. tidak mengingkari perbuatan keduanya itu.

Menjalinkan atau menyilangkan jari-jemari pun dimakruhkan di dalam masjid, berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah berkata:

“Rasulullah Saw. menemuiku di dalam masjid, dan aku menjalinkan jari-jemariku. Lalu beliau Saw. berkata: “Wahai Ka’ab, jika engkau di dalam masjid maka janganlah engkau menjalinkan jari-jemarimu, karena engkau dalam keadaan shalat selama engkau sedang menunggu shalat.” (HR. Ahmad)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Abul Qasim Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berwudhu di rumahnya, kemudian mendatangi masjid, maka dia dalam keadaan shalat hingga ia pulang, maka janganlah dia melakukan begini begini. Dan beliau menjalinkan jari-jemarinya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah)

Begitu juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berada di dalam masjid, maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya, karena perbuatan seperti itu berasal dari setan. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian terus-menerus dalam keadaan shalat selama ia berada di dalam masjid hingga ia keluar darinya.” (HR. Ahmad)

Dimakruhkan menjadikan masjid sebagai tempat jual-beli, sama dimakruhkan pula mengadakan berbagai halqah (kumpulan melingkar) di dalam masjid pada hari Jum’at sebelum shalat. Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya:

“Bahwasanya Nabi Saw. melarang berkumpul melingkar pada hari Jumat sebelum shalat, dan melarang jual-beli di dalam masjid.” (HR. an-Nasai)

Diharamkan membuang dahak di lantai masjid maupun dindingnya. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Orang yang membuang dahak di dalam masjid itu sungguh telah melakukan kesalahan, dan kaffarahnya adalah ia harus mengubur dahaknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Abu Dawud)

Adapun selain itu, yang tidak dianggap sebagai membuat keributan, dan yang tidak mengandung pelecehan terhadap masjid yang bisa menyalahi kewajiban untuk menghormati masjid dan memperhatikan adab-adabnya, maka tidak menjadi masalah.

Telah diriwayatkan berbagai perbuatan dan perkara yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. beserta para sahabatnya di dalam masjid sebagai dalil atas kebolehannya, yang kami ringkas sebagai berikut: tidur, makan, bersedekah kepada orang lain, meminta pelunasan hutang, permainan yang dibolehkan, dan mengobati orang sakit dan luka. Berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya:

a. Dari Ubadah bin Tamim dari pamannya:

“Bahwasanya dia melihat Rasulullah Saw. berbaring di dalam masjid, meletakkan salah satu kaki di atas kakinya yang lain.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Muslim)

b. Dari Sahal bin Sa'ad, ia berkata:

“Rasulullah Saw. datang berkunjung ke rumah Fathimah, dan beliau tidak mendapati Ali di rumah itu, lalu beliau bertanya: “Di manakah anak pamanmu?” Fathimah menjawab: “Antara aku dan dia terjadi pertengkaran, lalu dia marah kepadaku dan pergi keluar, dia tidak tidur siang di sisiku.” Beliau Saw. berkata kepada seseorang: “Carilah di mana dia.” Kemudian orang itu datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, ia berada di dalam masjid sedang tidur.” Lalu Rasulullah Saw. datang ke masjid, sedangkan Ali dalam posisi berbaring, dan selendangnya jatuh dari bahunya sehingga dia terkena debu. Rasulullah Saw. mengusapnya, seraya berkata: “Berdirilah wahai Abu Thurab, berdirilah wahai Abu Thurab.” (HR. Bukhari)

c. Dari Abdullah bin al-Haris az-Zabidi, ia berkata:

“Kami suka makan roti dan daging di dalam masjid di masa Rasululah Saw.” (HR. Ibnu Majah)

d. Dari Abdurrahman bin Abu Bakar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Apakah di antara kalian ada seseorang yang memberi makan orang miskin pada hari ini?” Abu Bakar ra. berkata: “Aku memasuki masjid, dan aku mendapati seorang peminta-minta yang sedang meminta sesuatu, lalu aku dapati sepotong roti di tangan Abdurrahman, kemudian aku mengambil roti itu dan memberikannya kepada sang peminta-minta.” (HR. Abu Dawud)

e. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Saw., dan beliau sedang duduk di masjid bersama para sahabatnya. Lalu mereka berkata: “Wahai Abul Qasim, putuskanlah hukuman untuk seorang laki-laki dan perempuan yang berzina untuk masing-masing mereka.” (HR. Abu Dawud)

Sebelumnya telah disebutkan kisah Ka'ab yang meminta pelunasan hutang dari Ibnu Abi Hadrad, dan Rasulullah Saw. memberikan keputusan atas perkara itu.

f. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. memasuki masjid, dan (pada waktu itu) orang-orang Habsyah sedang bermain (yaitu mempertunjukkan keahlian bela diri, pen.), kemudian Umar mencela mereka. Maka Nabi Saw. berkata: ”Biarkanlah mereka wahai Umar, karena sesungguhnya mereka itu adalah keturunan arfidah.” (HR. Ahmad)

Yang dimaksud dengan ucapan beliau: keturunan arfidah adalah, bahwasanya permainan itu menjadi adat kebiasaan orang-orang Habsyi.

g. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Sa'ad terkena luka dalam Perang Ahzab pada urat tangannya, lalu beliau Saw. membuat kemah di masjid agar beliau mudah menjenguknya dari dekat...” (HR. Bukhari)

Seandainya kita mengetahui bahwa masjid adalah tempat tinggal orang-orang fakir dari kalangan kaum Muslim, yakni mereka yang disebut ahlus suffah, niscaya kita memahami bahwa berbagai aktivitas yang biasa dilakukan di rumah-rumah yang terkait dengan kehidupan, adalah boleh hukumnya dilakukan di masjid.
Seandainya kita ingat, bahwa Rasulullah Saw. -dan beliau adalah pemimpin negara- telah menjadikan masjid sebagai tempat (pusat) pemerintahan yang digunakannya untuk mengatur urusan negaranya, baik berupa mengutus sariyah (ekspedisi militer), pengiriman delegasi, menahan tawanan, menerima delegasi-delegasi, membagikan harta, menginstruksikan berbagai tugas kepada para gubernur, para amil dan para karyawannya, dan mendidik hukum-hukum agama pada kaum Muslim, maka kita akan memahami bahwa seluruh aktivitas kaum Muslim, baik rakyat ataupun penguasa, boleh dilakukan di dalam masjid. Oleh karena itu, amat keliru orang yang membatasi masjid hanya untuk sekedar melaksanakan shalat dan berbagai aktivitas yang terkait dengan ibadah ritual saja.

Apa yang ada di dalam masjid dan apa yang dilakukan oleh kaum Muslim di masjid pada masa sekarang ini, berupa membangun masjid dengan megah, lalu memenuhinya dengan perhiasan, menggantung ayat-ayat al-Qur’an dan menuliskannya pada dinding, meninggikan mimbar dan mihrab, sehingga tampak seperti istana yang megah dan auditorium yang indah dengan berbagai hiasan dan pernak-perniknya, maka hal ini telah menyalahi Sunnah, atau bahkan bisa sampai pada status haram, karena (jika) berbagai perkara seperti itu telah menggangu orang-orang yang shalat, menyibukkan dan melalaikan mereka dari shalat dan kekhusyu’an yang seharusnya ada dalam shalat.

Ibnu Abbas telah meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Aku tidak diperintah untuk mengokohkan masjid. Ibnu Abbas berkata: “Niscaya kalian akan menghiasinya, sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat ibadah mereka.” (HR. Abu Dauwd)

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hari Kiamat tidak akan terjadi hingga orang-orang bermegah-megah di dalam masjid.” (HR. Ahmad dan Darimi)

Ummu Utsman binti Sufyan meriwayatkan, bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya tidak boleh ada sesuatu di dalam al-bait ini yang bisa melalaikan/mengganggu orang yang shalat.” (HR. Ahmad)

Dan al-bait di sini maksudnya adalah Masjidil Haram.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Menjamak Dua Shalat


Menjamak Di Antara Dua Shalat

Jamak tidak dilakukan kecuali antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya saja. Jadi, tidak sah menjamak shalat antara subuh dengan dhuhur, atau antara ashar dengan maghrib, juga tidak antara isya dengan subuh. Hal ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam agama. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar jika beliau berada dalam perjalanan, dan menjamak antara maghrib dengan isya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar, dan antara shalat maghrib dengan isya dalam safar (perjalanan).” (HR. Ahmad)

Hadits-hadits dalam masalah ini sangat banyak, sehingga tidak perlu disebutkan seluruhnya.

Menjamak antara dua shalat merupakan kondisi pengecualian, karena menurut hukum asalnya, setiap shalat itu memiliki waktu tertentu yang tidak boleh dilampaui. Kondisi pengecualian ini disyariatkan ketika ada ‘udzur. Jika tidak ada ‘udzur maka tidak dibolehkan sama sekali menjamak shalat. Kami telah menyebutkan dalam pasal “shalat: hukum dan waktu-waktunya” mengenai waktu-waktu shalat ini, dan wajib untuk menetapinya.

Amat keliru orang yang membolehkan menjamak shalat tanpa ada ‘udzur dengan beralasan pada hadits Ibnu Abbas ra.:

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. delapan rakaat seluruhnya, dan tujuh rakaat seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. mengimami kami shalat di Madinah delapan dan tujuh, yakni dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya.”

Dalam riwayat lain diceritakan dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. shalat dengan menjamak dhuhur dan ashar di Madinah, tidak dalam kondisi ketakutan dan (dalam) perjalanan. Abu Zubair berkata: lalu aku bertanya kepada Said: “Mengapa Rasulullah Saw. melakukan hal itu?” Dia berkata: aku telah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka dia menjawab: Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan seorangpun di antara umatnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya di Madinah, tidak dalam kondisi ketakutan dan tidak ada hujan. Maka ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Apa yang beliau Saw. inginkan dari hal itu?” Dia menjawab: “Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan umatnya.”

Dalam riwayat Muslim lainnya dari jalur Ibnu Abbas disebutkan:

“Rasulullah Saw. menjamak shalat dhuhur dan ashar, menjamak maghrib dan isya, tidak dalam kondisi ketakutan dan tidak dalam perjalanan.” (HR. Muslim)

Sebagian orang menggunakan hadits ini dengan beberapa jalurnya sebagai dalil bolehnya menjamak shalat secara mutlak, dan mereka tidak membatasinya dengan ‘udzur apapun.

Yang benar adalah bahwa hadits ini -dengan berbagai jalurnya- tidak menunjukkan pada pendapat yang mereka pegang itu. Sebab, kalau seperti itu maka akan ada pernyataan tidak ada kewajiban menetapi waktu-waktu shalat, atau akan ada pernyataan bahwa menetapi waktu-waktu shalat itu hukumnya sunah saja, sehingga pendapat seperti ini menyalahi dan jauh dari kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (TQS. an-Nisa [4]: 103)

Yang benar adalah bahwa Rasulullah Saw. telah menghimpun shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah itu sebagai jamak shuwariy saja. Artinya, beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur hingga ke akhir waktu, lalu beliau melaksanakan shalat dhuhur itu (di akhir waktu tersebut), dan beliau menyegerakan shalat ashar di awal waktu dan melaksanakan shalat itu di awal waktu tersebut, sehingga tampak dua shalat ini seolah-olah dijamak secara berbarengan. Begitu pula beliau melakukan dua shalat maghrib dan isya.
Jamak shuwariy itu boleh saja dilakukan, tentu saja tanpa ada ‘udzur sekalipun. Ketika Rasulullah Saw. melaksanakan shalat di awal waktunya, kemudian para sahabat melihatnya shalat menyalahi kebiasaannya dengan tujuh dan delapan rakaat, mereka menyebut perbuatan tersebut sebagai menjamak (mengumpulkan), dan fakta yang sebenarnya memang mengumpulkan, tetapi mereka menyangka bahwa beliau telah mengeluarkan shalat dhuhur dari waktunya dan memasukkannya dalam waktu shalat ashar. Beliau melakukan hal serupa dengan shalat maghrib.
Shalat jamak itu adalah mengeluarkan salah satu shalat dari waktunya dan memasukkannya ke dalam waktu shalat yang lain. Para sahabat tidak menaruh perhatian pada jamak shuwariy ini, artinya, tetap melaksanakan setiap shalat pada waktunya tetapi dengan mendekatkan salah satu shalat pada yang lainnya, yaitu dengan melaksanakan shalat yang satu di akhir waktunya dan yang lain di awal waktunya secara berdekatan, sehingga terjadi jamak shalat -yaitu jamak shuwariy-. Yaitu beliau Saw. mengambil bentuk atau rupa seperti shalat jamak. Inilah pendapat yang harus dipegang, jika tidak, maka penetapan waktu-waktu shalat menjadi batal atau menjadi sesuatu yang sunah saja. Dan seperti yang kami katakan, tentu hal ini menyalahi dan jauh dari kebenaran.
Untuk lebih meyakinkan, kami akan menyebutkan dua hadits yang menunjukkan hal ini. Pertama adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata:

“Aku shalat jamak bersama Rasulullah Saw. di Madinah delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat. Beliau Saw. mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, dan beliau (juga) mengakhirkan maghrib dan menyegerakan isya.” (HR. an-Nasai)

Dan kedua, adalah hadits yang diriwayatkan Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, ia berkata:

Aku shalat jamak bersama Rasulullah Saw. delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat. Aku bertanya: “Wahai Abu Sya’tsa: aku mengira beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan menyegerakan shalat ashar, dan mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Aku juga menyangka seperti itu.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Abbas sendiri yang meriwayatkan hadits di atas melalui beberapa jalur ini menyatakan: “beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan menyegerakan shalat ashar, dan beliau Saw. mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya.” Ibnu Abbas ra. tidak menyalahi dirinya sendiri, dan mengamalkan dua dalil itu lebih baik daripada mengabaikan salah satunya. Dengan mengamalkan dua dalil ini kami memiliki pemahaman seperti yang telah kami katakan tadi, yaitu bahwa Rasulullah Saw. telah menjamak dua shalat di sini sebagai jamak shuwariy, yakni beliau Saw. telah melaksanakan dua shalat dalam bentuk atau rupa jamak. Pemahaman seperti inilah yang seharusnya dipegang, dan yang selainnya harus ditinggalkan.

Kami telah mengatakan di awal pembahasan bahwa menjamak dua shalat itu merupakan kondisi pengecualian, dan kami katakan bahwa kondisi ini disyariatkan ketika ada ‘udzur. Dan ‘udzur yang membolehkan seseorang menjamak shalat adalah karena safar (bepergian), hujan, ketakutan, sakit, tua, dan sebagainya. Apabila shalat tidak dijamak, berbagai peristiwa tadi bisa menimbulkan kesulitan dan kesusahan. Padahal syariat itu menghilangkan kesulitan dari kaum Muslim, sehingga jika ada salah satu 'udzur yang kami sebutkan tadi, maka antara dua shalat boleh dijamak, yaitu boleh menjamak shalat dhuhur dengan shalat ashar, shalat maghrib dengan shalat isya, baik dengan jamak taqdim ataupun jamak ta'khir, di mana dua shalat dilaksanakan dalam waktu salah satunya, baik waktu tersebut waktu shalat yang pertama dari keduanya ataupun waktu shalat yang kedua dari keduanya. Dua perkara ini boleh dilakukan. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dengan ashar dalam perjalanannya ke Tabuk.” (HR. Malik)

Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika mempercepat perjalanannya, maka beliau menjamak antara maghrib dengan isya.” (HR. Malik, Muslim dan Bukhari)

Dari Abdullah bin Mas'ud ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjamak antara dua shalat dalam perjalanan.” (HR. al-Bazzar, Abu Ya'la dan at-Thabrani)

Al-Bazzar meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Said ra.

Dan dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menjamak dalam Perang Tabuk antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya. Dia berkata: maka aku bertanya: “Apa yang mendorong beliau melakukan hal itu?” Dia berkata: maka Muadz menjawab: “Beliau tidak ingin menyusahkan umatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Sebelumnya telah disebutkan hadits Ibnu Abbas ra. dengan berbagai jalurnya, di dalamnya dikatakan:

“Rasulullah Saw. menjamak shalat dhuhur dan ashar di Madinah dalam kondisi tidak dalam ketakutan dan tidak dalam perjalanan.”

“Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah tanpa ada ketakutan dan tidak ada hujan.”

Dalam hadits ini Ibnu Abbas ingin menjelaskan bahwa ketakutan, hujan, safar, merupakan ‘udzur yang menjadikan seseorang boleh menjamak shalat. Dia telah menafikan keberadaan ‘udzur-‘udzur tadi ketika Rasulullah Saw. seolah menjamak shalat dengan jamak shuwariy tersebut di Madinah. Seandainya semua hal tadi bukan ‘udzur, maka tidak akan dikatakannya dalam hadits ini. ‘Udzur-‘udzur ini masuk dalam kategori kesusahan dan kesulitan, dan hadits tersebut menyebutkan,

“Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan seorangpun dari umatnya.”

Kondisi tua renta termasuk dalam kategori ini, sama seperti hal-hal lain yang bisa menyebabkan timbulnya kesusahan (al-haraj) bagi mushalli jika dia shalat tanpa menjamak. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menjamak antara shalat al-aula dan shalat ashar, antara maghrib dan isya. Lalu ditanyakan pada beliau tentang hal itu, maka beliau Saw. menjawab: “Aku berbuat seperti ini agar umatku tidak merasa susah.” (HR. Thabrani)

Jadi, pada prinsipnya, jamak itu boleh dilakukan jika mushalli tertimpa ‘udzur yang bisa menimbulkan kesusahan baginya jika dia tidak menjamak antara dua shalat. Dan ini tanpa ragu lagi merupakan prinsip yang luas. Kesusahan (al-haraj) menjadi ‘illat menjamak shalat. Tatkala ada kesusahan maka menjamak shalat menjadi boleh.

Bagi orang yang berhaji disunahkan untuk menjamak antara dhuhur dengan ashar dengan jamak taqdim di Arafah pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan antara maghrib dan isya dengan jamak ta'khir di Muzdalifah, di mana hukumnya sama saja baik yang berhaji itu dari kalangan penduduk Makkah maupun yang bersafar.
Rasulullah Saw. telah menjamak antara dhuhur dengan ashar di Arafah, dan antara maghrib dengan isya di Muzdalifah, dan beliau Saw. menjadi imam bagi seluruh jamaah haji, baik dari kalangan penduduk Makkah ataupun yang selainnya. Penduduk Makkah tidak dikecualikan dalam hal menjamak shalat.
Ini menunjukkan bolehnya menjamak shalat bagi seluruh jamaah haji, baik yang musafir ataupun yang tidak pada musim haji di Arafah dan di Muzdalifah. Dari Ja’far bin Muhammad, ia berkata:

“Kami mengunjungi Jabir bin Abdillah...lalu aku berkata: ceritakanlah kepadaku tentang haji Rasulullah Saw. Maka ia berkata: …sesungguhnya Rasulullah Saw. tinggal atau tidak berangkat haji selama sembilan tahun, kemudian pada tahun kesepuluh diumumkan pada orang-orang bahwa Rasulullah Saw. akan berangkat haji... lalu Rasulullah Saw. melewati Muzdalifah hingga tiba di dekat Arafah, dan beliau mendapati tenda telah didirikan untuknya di Namirah. Beliau Saw. singgah di sana, hingga ketika matahari terbenam. Beliau Saw. minta dibawakan al-qushwa, dan beliau menaikinya. Kemudian beliau tiba di tengah lembah dan beliau berkhutbah di hadapan orang-orang, ...Setelah itu dikumandangkan adzan dan iqamat, lalu beliau Saw. shalat dhuhur. Kemudian dikumandangkan iqamat dan beliau Saw. shalat ashar. Beliau tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya. Setelah itu beliau berjalan naik tunggangannya hingga tiba di tempat wuquf.” (HR. Muslim)

Ahmad dan an-Nasai meriwayatkan hadits ini juga. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat hingga tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat maghrib dan isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat, dan tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. an-Nasai)

Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya. Aku berkata kepadanya: shalat. Maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah beliau Saw. turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Kemudian dikumandangkan iqamat shalat, lalu beliau Saw. shalat Maghrib. Semua orang menderumkan (memberhentikan dan mengikat) untanya pada tempatnya. Iqamat shalat dikumandangkan, dan beliau Saw. shalat (isya). Beliau Saw. tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Ucapannya dalam hadits yang pertama: dhuribat lahu bi namirah, yakni dibuatlah untuknya tenda di suatu tempat di dekat Arafah, yang disebut Namirah.
Dan ucapannya dalam hadits yang pertama: bil qushwa, yakni unta Rasulullah Saw.
Ucapannya dalam hadits yang ketiga: maka aku berkata kepadanya: shalat, lalu beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan”, artinya bahwa Usamah bin Zaid mengingatkan Rasulullah Saw. tentang tibanya waktu shalat maghrib, tetapi Rasulullah Saw. memberitahukannya bahwa shalat maghrib akan dilakukan kemudian. Beliau tidak shalat maghrib pada waktunya karena beliau Saw. ingin mengakhirkannya dan melaksanakannya pada waktu shalat isya dengan jamak ta'khir.


Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Cara Jamak Shalat



Tatacara Jamak Di Antara Dua Shalat

Menjamak di antara dua shalat tidak memerlukan pengucapan niat terlebih dahulu. Seorang Muslim dianggap sah apabila dia telah melaksanakan shalat dhuhur tanpa berniat menjamaknya dengan shalat ashar, lalu dia berdiri dan melaksanakan shalat ashar dengan menjamaknya bersama shalat dhuhur, baik shalat ashar itu dilakukan dengan segera ataupun tidak (yakni dengan sedikit dimundurkan), baik disela dengan perbuatan yang lain atau tidak. Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya. Aku berkata kepadanya: shalat, maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah, beliau Saw. turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Setelah itu dikumandangkan iqamat shalat. Beliau Saw. shalat maghrib. Orang-orang menderumkan untanya pada tempatnya, lalu iqamat shalat dikumandangkan dan beliau Saw. shalat (isya), dan beliau Saw. tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seluruh sahabat Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat maghrib, kemudian mereka pergi menuju hewan tunggangannya untuk melihat kondisinya. Mereka menderumkan unta-unta tersebut pada tempatnya, dan ketika mereka mendengar iqamat shalat isya, maka mereka pergi melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah bersama Rasulullah Saw. Hadits ini menunjukkan tidak adanya niat menjamak pada sahabat Rasulullah saw. Jika mereka berniat menjamak, maka mereka tidak akan pergi ke tempat unta-unta mereka dan rumah-rumah mereka. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjamak di antara dua shalat secara tarakhi (tidak secara langsung atau tidak bersegera), sama seperti menunjukkan bolehnya melakukan beberapa perbuatan antara dua shalat tersebut.

Tatkala menjamak dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan adzan satu kali dan iqamat dua kali. Apabila adzan dikumandangkan sebanyak dua kali, itu juga tidak apa-apa. Akan tetapi saya tidak sependapat dengan sebagian orang yang mengatakan bolehnya iqamat satu kali untuk dua shalat. Dalil yang pertama adalah apa yang disebutkan dalam hadits pada pembahasan sebelumnya:

“Kemudian adzan dan iqamat dikumandangkan, lalu beliau shalat dhuhur. Setelah itu iqamat dikumandangkan (lagi), dan beliau Saw. shalat ashar.”

Disebutkan pula dalam hadits pada pembahasan sebelumnya:

“Dan beliau Saw. shalat maghrib dan isya di sana dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat.”

Mengenai dalil bolehnya dua kali adzan adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid, ia berkata:

“Abdullah ra. berhaji. Kami tiba di Muzdalifah ketika adzan untuk shalat isya dikumandangkan, atau di satu tempat dekat Muzdalifah. Lalu dia memerintahkan seseorang, maka (orang itu pun) mengumandangkan adzan dan iqamat. Kemudian ia shalat maghrib dan shalat dua rakaat setelahnya. Setelah itu dia memanggil orang menghidangkan makan malam. Dia pun makan malam. Setelah itu dia memerintahkan seseorang yang nampaknya seorang laki-laki (dan orang itu pun) lalu mengumandangkan adzan dan iqamat. Amr berkata: aku tidak mengetahui keraguan itu kecuali dari Zuhair. Kemudian dia shalat isya dua rakaat. Ketika terbit fajar ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw. tidak shalat pada saat ini kecuali shalat ini, di tempat ini, dan di hari ini.” Abdullah berkata: “Keduanya adalah dua shalat yang diganti dari waktunya, yakni shalat maghrib setelah orang-orang datang di Muzdalifah, dan shalat fajar ketika fajar telah terbit.” Ia berkata: Aku melihat Nabi Saw. melakukannya.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Perbuatan tersebut -walaupun berasal dari sahabat yakni Abdullah bin Mas’ud- tetapi para sahabat yang bersamanya menyetujui apa yang dilakukannya itu, dan ini merupakan ijma dari mereka tentang bolehnya dua kali adzan. Terlebih lagi ada tambahan bahwa Abdullah bin Mas’ud telah melihat Nabi Saw. melakukannya.

Adapun dalil dari mereka yang membolehkan satu iqamat untuk dua shalat adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.:

“Bahwa dia melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. di Jama’ dengan satu kali iqamat.” (HR. an-Nasai, Bukhari, Abu Dawud dan Muslim)

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan redaksi:

“Bahwa Nabi Saw. menjamak shalat antara maghrib dan isya di Jama’. Beliau shalat maghrib tiga rakaat dan isya dua rakaat dengan satu iqamat.”

Ucapan di Jama’ artinya di Muzdalifah. Jama’ adalah salah satu nama dari Muzdalifah. Hadits ini walaupun shahih tetapi menyalahi hadits-hadits lain yang shahih dan jumlahnya lebih banyak, yang menunjukkan bahwa di Muzdalifah itu dikumandangkan dua iqamat. Peristiwa dalam hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, sehingga dalam hal ini harus dilakukan tarjih atas salah satunya. Dan saya merajihkan (menguatkan) hadits-hadits yang menyatakan dengan dua iqamat. Ibnu Umar sendiri telah meriwayatkan:

“Nabi Saw. menjamak antara maghrib dan isya di Jama', di mana untuk setiap shalat tersebut ada satu iqamat. Beliau tidak melakukan shalat nafilah di antara keduanya, dan tidak pada akhir setiap shalatnya.” (HR. Bukhari dan an-Nasai)

Riwayat ini menyalahi riwayat yang pertama tadi, dan menunjukkan disyariatkannya dua iqamat.

Jika si mushalli telah menyelesaikan dua shalat tersebut dalam waktu yang pertama dari keduanya kemudian ‘udzurnya hilang, seperti dia shalat jamak karena ada hujan, kemudian awan mulai sirna dan langit terang, maka shalatnya itu tetap sah dan jamaknya juga tetap sah, serta tidak perlu mengulangi lagi shalatnya (i’adah), asalkan shalatnya itu telah selesai dilaksanakan dan ‘udzurnya memang ada. Shalatnya tetap sah dan diterima, dan keabsahannya tidak dipengaruhi oleh hilangnya ‘udzur setelahnya.

Termasuk sunah dalam menjamak shalat karena adanya ‘udzur safar, di mana seorang musafir jika tiba waktu dhuhur -sebelum dia melanjutkan perjalanannya- dianjurkan dia menjamak shalat dhuhur dan ashar dengan jamak taqdim. Begitu juga terkait dengan shalat maghrib dan isya.
Apabila dia telah melakukan perjalanan kemudian tiba waktu shalat dhuhur, maka sunahnya adalah dia melanjutkan perjalanan hingga tiba waktu ashar, dan dia singgah di suatu tempat untuk melaksanakan dua shalat tersebut secara jamak ta’khir. Hal yang sama juga dilakukan terkait shalat maghrib dan isya. Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Nabi Saw. jika berada dalam perjalanan, lalu matahari tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau shalat dhuhur dan ashar seluruhnya. Dan jika beliau telah berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menjamak keduanya di awal waktu ashar. Dan beliau melakukan hal serupa untuk shalat maghrib dan isya.” (HR. at-Thabrani)

Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur Muadz bin Jabal.

Dari Anas ra.:

“Jika beliau (Saw.) bergegas dalam melakukan perjalanan, maka beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke awal waktu shalat ashar, dan menjamak di antara keduanya, dan mengakhirkan maghrib hingga menjamaknya dengan shalat isya ketika syafaq mulai hilang.” (HR. Muslim)

Seorang musafir bisa mengqashar shalat, sekaligus menjamak antara dua shalat, selama sifat musafir cocok dengannya, baik dia singgah di suatu tempat lalu bermukim di sana beberapa saat, atau dia berada di atas hewan tunggangan, mobil atau pesawatnya, baik mukimnya di perjalanan tersebut dalam jangka waktu lama atau sebentar. Rasulullah Saw. telah melakukan perjalanan ke Tabuk, dan bermukim di sana selama dua puluh hari. Di sana beliau mengqashar shalat. Abu Dawud telah menceritakan hal itu melalui Jabir. Rasulullah Saw. melakukan perjalanan ke Makkah, dan bermukim di sana selama sembilan belas hari dengan mengqashar shalat. Hal ini diceritakan oleh Bukhari dan Tirmidzi yang berasal dari hadits Ibnu Abbas. Dan tentu saja, jika shalatnya itu diqashar maka sekaligus juga telah dijamak. Dari Muadz bin Jabal ra.:

“Bahwa mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. pada Perang Tabuk, dan Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dan ashar; maghrib dan isya. Ia berkata: maka beliau Saw. mengakhirkan shalat pada suatu hari, kemudian keluar dan shalat dhuhur dan ashar seluruhnya, kemudian masuk dan keluar dan melaksanakan shalat maghrib dan isya seluruhnya...” (HR. Malik, al-Baihaqi, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah)

Arah istidlal hadits ini adalah bahwa Rasulullah Saw. bermukim dan singgah di Tabuk, dan beliau tidak berada di atas tunggangannya, tetapi beliau Saw. berada di kemahnya. Beliau keluar-masuk di dalamnya, walaupun begitu beliau Saw. tetap menjamak di antara dua shalat.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Jumat, 28 Juli 2017

Dalil Cara Shalat Ketika Sakit



3. Shalat Orang yang Sakit

Sakit merupakan cobaan dari Allah Swt. kepada para hamba-Nya. Dengan sakit, Allah Swt. memberi pahala bagi orang-orang yang sabar, dan menyiksa orang-orang yang durhaka. Termasuk karunia Allah Swt. kepada hamba-Nya yang sabar, bahwa dia boleh meninggalkan segala sesuatu yang (biasa dan harus dilaksanakan pada waktu sehat tetapi) terhalang oleh penyakit tersebut, di antaranya adalah shalat dalam bentuk dan tatacaranya semula, di mana apabila berdiri, ruku’, sujud dan duduk dalam shalat (dengan bentuk dan tatacara yang normal) itu terhalang oleh penyakit tersebut, maka si sakit cukup melaksanakan shalat dengan berbaring saja, atau dengan isyarat saja. Walaupun begitu dia tetap memperoleh pahala, sama seperti melaksanakan shalat dengan bentuk asalnya dalam kondisi sehat. Dari Abdullah bin Umar ra. dari Nabi Saw.:

“Tidaklah salah seorang dari manusia tertimpa cobaan (penyakit) dalam tubuhnya kecuali Allah azza wa jalla memerintahkan para malaikat yang menjaganya, di mana Dia berkata: “Tuliskanlah untuk hamba-Ku setiap hari dan setiap malam kebaikan yang biasa dilakukan selama dia dalam keadaan sakit (yang) Aku ujikan kepadanya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Al-Watsaq di sini maksudnya adalah al-maradh (sakit).

Dari Abu Musa ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika seorang hamba tertimpa sakit atau melakukan safar, maka dituliskan baginya pahala semisal apa yang dilakukannya ketika mukim dan dalam kondisi sehat.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Abu Dawud)

Berdasarkan hal ini maka orang yang tidak sanggup melaksanakan shalat secara berdiri, atau bila shalat dengan berdiri dia akan tertimpa kesulitan, maka dia boleh shalat dengan duduk, dan jika dia merasa sakit bila sujud di atas tanah atau kesulitan melakukannya, maka dia boleh menjadikannya lebih rendah dari ruku’ tanpa perlu meletakkan bantal atau kayu agar kepalanya bisa ditempelkan di atasnya. Bahkan dalam kondisi ini, isyarat dan merendahkan sujud telah cukup baginya. Dan jika tidak sanggup duduk maka dia boleh shalat dengan berbaring pada tubuh bagian kanannya, sedangkan wajahnya menghadap kiblat. Dari Jabir ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjenguk seseorang yang sakit, lalu beliau Saw. melihatnya shalat (sujud) di atas sebuah bantal. Maka beliau Saw. melemparkannya, dan dia (orang itu) mengambil kayu dan sujud di atasnya. Beliau Saw. melemparkannya lagi dan berkata: “Jika engkau mampu sujud di atas tanah (maka lakukanlah), jika tidak, maka cukup dengan memberikan isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari ruku'mu.” (HR. al-Bazzar dan al-Baihaqi)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mampu dari kalian untuk bersujud maka bersujudlah, dan yang tidak mampu maka janganlah dia mengangkat sesuatu ke atas dahinya sebagai alas ketika dia bersujud, akan tetapi ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya saja.” (HR. Thabrani)

Dari Imran bin Hushain ra., ia berkata:

“Aku terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi Saw. tentang shalat, maka beliau berkata: “Shalatlah engkau dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan (berbaring) pada sisi (tubuh)nya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Tatkala kami menyatakan dia melaksanakan shalat pada sisi tubuh yang sebelah kanan, itu karena Rasulullah Saw. menyukai tayammun (memprioritaskan sebelah kanan) dalam segala perkara yang dilakukannya, dan shalat yang dilakukan pada sisi tubuh sebelah kanan itu lebih utama, walaupun shalat pada sisi tubuh sebelah kiri juga boleh-boleh saja, karena dalam teks-teks hadits tersebut tidak ada yang membatasi shalat tersebut harus dilakukan pada sisi yang sebelah kanan.

Apabila imam jamaah sedang sakit dan dia terpaksa shalat dengan duduk, maka seluruh makmum yang shalat di belakangnya harus shalat dengan duduk, serupa dengannya, walaupun mereka tidak dalam kondisi sakit. Ini merupakan kondisi khusus yang disyariatkan dalam hal bentuk shalat orang yang sakit bagi orang-orang sehat. Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menunggang kuda, lalu beliau Saw. terlempar dari kuda. Sisi sebelah kanannya bengkak, maka beliau melaksanakan shalat dengan cara duduk, dan kami yang ada di belakangnya (shalat) dengan cara duduk. Ketika menoleh, beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.” (HR. Bukhari, Malik, an-Nasai, Ahmad dan al-Baihaqi)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat di rumahnya dan beliau dalam keadaan sakit ringan, maka beliau Saw. shalat dengan cara duduk. Orang-orang yang berada di belakangnya shalat dengan cara berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk. Usai (shalat) beliau berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia ruku' maka kalian harus ruku' dan jika dia bangkit maka kalian harus bangkit, dan jika dia shalat dengan cara duduk maka kalian shalat dengan cara duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Untuk lebih jelasnya Anda bisa menelaah pembahasan “imam melakukan shalat dengan cara duduk” dalam bab terakhir “kepemimpinan imam dalam shalat.”

Kita kembali pada pokok pembahasan. Kami nyatakan: seandainya seseorang yang sakit memulai shalatnya dan dia sanggup serta mampu, maka dia shalat dengan berdiri. Jika kemudian dia merasa lemah untuk berdiri di tengah-tengah shalatnya untuk kedua kalinya dalam rakaat yang kedua, maka dia tinggal menambahkan pada apa yang telah dilaluinya dengan duduk pada rakaat yang berikutnya.
Dan sebaliknya, jika dia merasa memasuki shalat dalam keadaan tidak mampu lalu dia duduk pada awal shalatnya, tetapi kemudian dia mendapati dalam dirinya tekad dan kekuatan, maka dia boleh berdiri pada rakaat berikutnya. Begitu seterusnya, dia tinggal melakukan gerakan atau posisi yang bisa dilakukannya, dan apa yang tidak bisa, maka dia tinggal melakukannya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.

Perlu diketahui bahwa ‘udzur yang membolehkan seseorang melakukan apa yang dijelaskan di atas adalah karena sakit, atau adanya kesulitan, atau ketakutan akan bahaya atau rasa takut jika sakitnya akan bertambah parah. Harus diperhatikan pula bahwa jika penyakit tersebut terkategorikan penyakit yang ringan, seperti pilek, batuk, sedikit pusing, atau sakit mata, dan sebagainya, maka seorang Muslim diperintahkan untuk melakukan shalatnya sesuai dengan bentuk asalnya secara sempurna, karena dia mampu melakukannya. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika aku memerintahkanmu satu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Orang yang terkena penyakit ringan seperti yang disebutkan di atas, tidak ragu lagi, penyakit-penyakit tersebut tidak menjadi 'udzur baginya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam