Haram!
Pejabat Memburu Rente
Perseteruan antar geng
Menteri ESDM Sudirman Said dan Ketua DPR Setya Novanto dalam memburu rente
merupakan buah dari politik demokrasi sekuler, sebuah sistem politik yang
melulu dilakukan demi meraih kekuasaan dengan meminggirkan nilai-nilai agama
(Islam) dan moral. Dalam politik semacam ini, orang berkecenderungan
menghalalkan segala cara, termasuk dengan politik uang. Kalau tidak demokrasi
lantas pakai sistem pemerintahan apa? Dan bagaimana sistem tersebut mengatasi
pemburu rente? Jawabannya ada pada wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko
Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail
Yusanto. Berikut petikannya.
Bagaimana
tanggapan Anda tentang pernyataan Rizal Ramli kepada publik yang melihat
perseteruan Sudirman Said versus Setya Novanto sebagai sinetron antar geng?
Saya kira Rizal Ramli
sedang mengatakan yang sebenarnya. Sebagai seorang menteri koordinator yang
memang membidangi masalah energi dan sumber daya mineral (ESDM), dia tentu tahu
persis apa yang sedang terjadi. Apalagi sebelumnya, di era presiden Gus Dur,
sebagai Menko Ekuin, ia juga pernah bersentuhan dengan Freeport dan mengalami
hal buruk.
Jadi, pernyataannya
patut dipercaya, bahwa heboh soal Freeport antara Sudirman Said dan Setya
Novanto sesungguhnya adalah perseteruan antar geng. Bukan sekadar antar
individu. Maksudnya mungkin, perseteruan itu terjadi di antara
kelompok-kelompok pejabat tinggi yang sedang memperebutkan kepentingan
bisnisnya terkait Freeport.
Jadi, heboh itu tidak
ada hubungannya dengan usaha membela kepentingan negara. Ini penting
ditegaskan, karena muncul opini seolah-olah dari dua pihak yang tengah
berseteru itu, satu pihaknya dikesankan tengah membela kepentingan negara.
Mengapa
sinetron antar geng tersebut bisa terjadi?
Kita tahu, bagi pihak
Freeport saat ini merupakan periode yang krusial, karena bakal menentukan
apakah mereka akan mendapatkan perpanjangan kontrak atau izin usaha
pertambangan hingga 2041 seperti yang diinginkan atau tidak.
Sebagai perusahaan
pertambangan besar, yang telah menikmati begitu banyak hasil tambang Papua
selama hampir 50 tahun, tentu mereka tidak ingin kenikmatan itu segera
berakhir. Oleh karena itu, mereka akan mengupayakan dengan segala cara untuk
mendapatkan perpanjangan itu, termasuk dengan melobi sejumlah pejabat tinggi
yang dianggap bisa memuluskan keinginan mereka.
Sementara itu, akibat
politik transaksional yang berkembang pesat semenjak era reformasi, ada banyak
para pejabat negara, terutama yang datang dari latar partai politik, demi
mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan dalam pemilu, memperdagangkan kedudukan
dan kewenangannya untuk mendapatkan dana. Inilah yang disebut pejabat pemburu
rente (rent-seeker). Dan di titik inilah
dua kepentingan tadi, pejabat pemburu rente dan Freeport yang sedang mencari
jalan perpanjangan kontrak, bertemu.
Nah, dalam
perjalanannya ternyata para pejabat yang dalam menjalankan operasinya
berkomplot dengan pejabat lain itu bertabrakan dengan komplotan pejabat yang
lain. Maka terjadilah kegaduhan itu.
Karena
itu pula Freeport suka menyogok dan pejabat Indonesia suka disogok?
Iya.
Mengapa?
Karena Freeport tahu
itu cara paling gampang untuk menyelesaikan urusan di negeri ini adalah dengan
cara menyogok. Sementara para pejabat juga tahu, cara paling gampang
mendapatkan uang, ya dengan menerima sogokan.
Apa
buktinya kalau Freeport suka menyogok?
Menko Rizal Ramli
misalnya, baru lalu mengungkap, saat dia menjadi Menko Ekuin di masa Gus Dur,
ada usaha Freeport menyogok dirinya milyaran dolar. Juga ada seorang anggota
DPR, saya tak perlu sebutkan namanya, yang pernah menjadi Ketua Komisi, juga
mengungkap bagaimana Freeport pernah berusaha menyogok dirinya sebanyak Rp 25
milyar untuk mengubah aturan agar menguntungkan Freeport.
Anda
dapat info bukti lain yang belum pernah diungkap media massa?
Iya. Beberapa tahun
lalu saya berkesempatan berkunjung ke Freeport. Saya naik hingga ketinggian
4000 meter. Dalam satu acara di sana, saya jumpa dengan seorang pegawai, yang
ternyata salah satu tugasnya adalah melakukan transfer dana setiap bulan kepada
para pejabat, dari pejabat paling tinggi di negeri ini hingga pejabat paling
rendah di level kecamatan.
Mengapa
politik transaksional, pemburu rente, memperdagangkan kewenangan dapat tumbuh
subur seperti ini?
Ini buah dari politik
demokrasi sekuler, sebuah sistem politik yang melulu dilakukan demi meraih
kekuasaan dengan meminggirkan nilai-nilai agama (Islam) dan moral. Dalam
politik semacam ini, orang berkecenderungan menghalalkan segala cara, termasuk
dengan politik uang.
Nah, dalam suasana
politik semacam inilah peran para juragan (pebisnis) menjadi dominan karena
merekalah yang bisa menyediakan dana yang diperlukan oleh para politisi. Dan
tentu saja dana yang diberikan itu tidak gratis. Pasti ada imbalannya. Bisa
berupa proyek-proyek yang dibiayai anggaran pemerintah, bisa juga berupa izin
dan privilege atau hak istimewa yang
diberikan kepada para pengusaha yang telah mendukungnya.
Karena itulah para
pejabat seperti itu cenderung akan memanfaatkan kedudukan dan kewenangan yang
dia miliki itu. Di sinilah politik transaksional, pemburu rente,
memperdagangkan kewenangan tumbuh subur.
Adakah
altenatif sistem lain?
Ada. Khilafah.
Bagaimana
sistem khilafah mengatasi politik transaksional?
Pertama, khilafah
adalah sistem politik islam yang telah ditetapkan untuk menerapkan syariah
secara kaffah sehingga terwujud rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam. Dalam
sistem politik ini, takwa menjadi pilar utama. Artinya, ketundukan pada aturan,
kesediaan untuk melaksanakan amanah kekuasaan dengan sebaik-baiknya, termasuk
penolakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan Islam, didorong
semata-mata oleh takwa kepada Allah SWT. Jadi, apa yang saat ini disebut
pengawasan melekat, menjadi sifat dasar dari sistem Islam.
Kedua, dalam Islam,
struktur politik, kewenangan dan sistem khilafah yang akan dijalankan sudah
ditetapkan oleh syariah. Oleh karena itu, tidak ada hal yang bisa
”diperdagangkan". Di samping itu, meski ada momentum pemilihan yang biasa
ada intervensi pihak luar, tapi itu hanya pada pemilihan khalifah. Sementara
pejabat di bawahnya seperti para amil
(kepala daerah tingkat dua) dan wali
(kepala daerah tingkat satu) dipilih oleh khalifah. Dengan cara ini, money politics dalam pemilihan pejabat bisa
dihindari.
Ketiga, dalam sistem
khilafah terdapat larangan yang sangat jelas dan tegas bagi para pejabat
menerima suap dan hadiah yang terkait dengan kewenangannya. Lalu, ada
penghitungan kekayaan sebelum dan sesudah seorang pejabat menjabat. Bila ada
kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan
muasal hartanya itu. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 163, Desember 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar