Sumber Petaka Rohingya
Perkembangan Islam di
anak benua Asia, India, menggeser dominasi agama Hindu dan Budha yang terlebih
dahulu ada di wilayah tersebut. Penganut agama Hindu tergeser ke wilayah tengah
dan selatan India, sedangkan penganut agama Budha tergeser ke wilayah timur.
Kedua agama yang
tersisihkan oleh Islam pada masa keemasan Islam di kawasan tersebut, berusaha
terus bertahan dan mengambil kesempatan untuk kembali berkuasa sebagaimana
masa-masa sebelumnya. Ketika Islam surut akibat kemunduran dan kolonialisme
Barat, kaum Muslimin yang minoritas mulai menjadi korban diskriminasi penguasa
mayoritas non-Islam yang memiliki dendam kesumat terhadap Islam. Itulah yang
terjadi di Rohingya Myanmar.
Penderitaan
Penderitaan Muslim
Rohingya sebenarnya terjadi sejak lama. Tahun 1784, wilayah Arakan, tempat
mereka tinggal, pernah diserang kerajaan Budha. Arakan kemudian dimasukkan ke
wilayah Burma (kini Myanmar) dan masjid, madrasah dihancurkan. Ulama dan para
da’i dibunuhi.
Ketika inggris
menduduki Burma, termasuk Arakan pada tahun 1824, Inggris tetap memasukkan
wilayah Muslim ini ke Burma dan mengintegrasikannya dengan pemerintah kolonial
Inggris Hindia. Muslim dan umat Budha yang sudah berkonflik sejak lama,
dimanfaatkan oleh Inggris untuk mengadu-domba satu sama lain, sehingga Inggris
bisa dengan leluasa mendominasi keduanya. Adakalanya Inggris mempersenjatai
umat Budha untuk menyerang Muslim atau sebaliknya.
Pemisahan Burma dari
India oleh pemerintah kolonial Inggris melalui Home
Rule 1937, semakin memuluskan peluang untuk menghapuskan umat Islam
Rohingya dari tanah Burma. Mereka menjadi minoritas, karena terlepas dari
mayoritas Muslim di Bengali India (kini Bangladesh).
Ketika Inggris
meninggalkan Burma pada Perang Dunia II, tahun 1942, kaum Budha mengambil
kesempatan untuk menindas umat Islam di Rohingya. Terjadi pembantaian lebih
dari 100 ribu umat Islam oleh orang-orang Budha, dan ratusan ribu lainnya
mengungsi meninggalkan Arakan menuju Bengali.
Inggris yang kembali
ke Burma pasca Perang Dunia II kemudian melakukan dekolonialisasi, maka
berdirilah negara Burma pada 4 Januari 1948. Semua etnis yang ada di Burma
mendapatkan kemerdekaan, mereka mendapatkan status otonom dalam negara federal
yang baru dibentuk. Namun nasib kaum Muslim Rohingya diserahkan kepada
pemerintah Burma yang mayoritas Budha, sehingga walaupun mereka mayoritas di
daerah Arakan, namun mereka tidak mendapatkan posisi apapun.
Kudeta militer tahun
1962 yang melahirkan pemerintahan junta militer di Burma, memastikan penindasan
terhadap kaum Muslim Rohingya semakin menjadi. Pada tahun itu, lebih dari 300
ribu Muslim Rohingya diusir ke Bangladesh. Diskriminasi ini terjadi karena militer
didominasi oleh etnis Burma atau Bama yang merupakan etnis mayoritas dengan 68
persen dari jumlah penduduk.
Pengusiran terus
berlanjut, dikombinasi dengan konflik sosial yang direkayasa. Akibatnya tahun
1978 rezim militer mengusir lagi lebih dari setengah juta Muslim Rohingya.
Pembasmian Muslim Rohingya dilakukan secara sistematis di bawah kontrol State
Council of Burma dengan merestui the 20 year
Rohingya Extermination Plan yang dikeluarkan oleh Arakan State Council
dengan kode operasi King Dragon Operation (Nagamin). Operasi yang dimulai 6
Februari 1978 ini merupakan operasi terkejam yang pernah dilakukan di Burma
yang dimulai pembantaian terhadap perkampungan Muslim Sakkipara di Akyab
Arakan. Pemenjaraan, pembunuhan, pemerkosaan terjadi di berbagai penjuru
kampung Muslim Arakan Utara seperti di Bnthidaung dan Maungdaw.
Dalam catatan Amnesty
International, sekitar 200 ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh
akibat Operasi Nagamin oleh junta militer ini. Operasi ini ditargetkan secara
langsung kepada etnis Rohingya.
Tahun 1982, pemerintah
junta militer mengeluarkan Burma Citizenship Law of 1982. Undang-undang ini
bersifat sentimen keagamaan dan penuh diskriminasi. Rohingya dinyatakan sebagai
bukan dari warga negara asli Myanmar dan disebut sebagai pendatang. Secara sistematis,
junta militer mendiskriminasi mereka terhadap akses pendidikan, bahkan terus
berusaha menekan perkembangan populasi Muslim Rohingya.
Tahun 1988, lebih dari
150 ribu Muslim Rohingya kembali diusir. Puncaknya, junta militer mengubah
Burma menjadi Myanmar pada 18 Juni 1989, dengan tujuan untuk melindungi
multietnis yang ada di sana karena Burma adalah nama etnis mayoritas yang
datang dari Tibet padahal sudah ada etnis lain seperti etnis Shan yang mendiami
daerah itu.
Tahun 1991, lebih dari
setengah juta Muslim Rohingya harus mengungsi akibat penindasan terhadap mereka
yang tak kunjung reda. Kampanye pembasmian etnis Muslim dilancarkan dengan kode
Pyi Thaya yang dimulai pada 18 Juli 1991. Pembunuhan dan pemerkosaan, pemusnahan
tempat tinggal termasuk masjid-masjid terjadi di mana-mana. Masjid yang
dirobohkan diganti dengan pagoda-pagoda umat Budha. Gelombang pengungsi baru
ini terjadi akibat akumulasi dari kekerasan yang dialami etnis Rohingya yang
tak kunjung reda. Pada tahun 1999 tidak kurang ada 20 operasi besar yang
dilakukan junta militer terhadap Muslim Rohingya.
Tahun 2001, ratusan
masjid dirobohkan sebagai balasan atas pemusnahan patung Budha di lembah
Bamiyan oleh Taliban di Afghanistan, Pada tahun 2003, buku-buku dan rekaman
yang berisi hinaan terhadap Islam dan kaum Muslimin tersebar di seluruh Myanmar
bahkan dibagi-bagikan secara gratis, dalam rangka mendiskreditkan Muslim di
Arakan. Bahkan pada tahun 2004, Muslim Rohingya dipaksa untuk mengamalkan
ajaran Budha dan dipaksa untuk mengikuti upacara Budha.
Dalam laporan Amnesty
International bentuk-bentuk kekejaman Junta militer Myanmar terhadap Muslim
Rohingya antara lain; (1) penolakan pemberian kewarganegaraan (2) pembatasan
untuk berpindah, (3) pembatasan dalam kegiatan ekonomi (4) pembatasan dalam bidang
pendidikan (5) pembunuhan, penahanan dan penyiksaan (6) pelecehan terhadap kaum
wanita dan pembatasan pernikahan (7) kerusuhan anti Rohingya.
AkarMasalah
Setidaknya ada tiga
hal yang menjadi akar masalah Rohingya. Pertama adalah kolonialisme. Hadirnya
Inggris yang menjajah anak benua Asia yang terbentang dari India hingga Burma
(Myanmar) menjadi awal dari penderitaan Muslim di Rohingya. Ketika melakukan penjajahan,
Inggris melakukan politik adu-domba antara Muslim dengan Hindu di india, dan
antara Muslim, Kristen dan Budha di Burma. Maka, ketika Inggris memberikan
kemerdekaan kepada Burma tahun 1948, bibit-bibit adu-domba yang dilakukan oleh
lnggris telah menanamkan dendam yang mengakibatkan terjadi konflik yang
berkepanjangan bahkan sampai mengarah kepada etnic
cleansing.
Kedua adalah
nasionalisme dan kepentingan nasional (national
interest). Solidaritas sesama Muslim di dunia tidak terbangun. Kalaupun
ada sifatnya hanya artifisial. Negeri Muslim yang ada di sekitar, seperti
Bangladesh, Malaysia bahkan Indonesia seakan enggan membantu Muslim Rohingya
yang nasibnya sangat mengenaskan ini. Ini akibat dari sekat nasionalisme.
Ketiga adalah
sekulerisme. Selalu yang dikedepankan adalah masalah humanity (kemanusiaan). Tidak boleh ada solidaritas agama.
Padahal umat Budha di Myanmar kadang mendiskriminasi Muslim Rohingya karena
alasan solidaritas agama.
Maka sampai kapanpun
bila akar masalah ini tidak diselesaikan, persoalan Muslim Rohingya akan terus
berlarut. Dan pembantaian demi pembantaian terus akan mereka alami. Astaghfirullahaladzim. [] penulis: budi
mulyana, lajnah khusus intelektual dpp hti, dosen ilmu hubungan internasional
unikom, mahasiswa program doktor hubungan internasional unpad
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 152, Juni 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar