Terlindas
Neoliberalisme
Jika dulu rezim Susilo
Bambang Yudhoyono dikatakan liberal, maka penggantinya jauh lebih liberal lagi.
Rezim Jokowi ini demi mengundang investor asing langsung mengubah daftar
negatif investasi (DNI) yang sebenarnya sudah mulai direvisi oleh SBY. Dengan DNI
yang baru ini, asing kian longgar untuk berusaha di lndonesia.
Bahkan yang
mengkhawatirkan, Jokowi mengizinkan warga negara asing (WNA) untuk memiliki
properti di indonesia. Dalam waktu dekat, Jokowi bakal merevisi Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Syaratnya, permintaan
Presiden, perusahaan-perusahaan properti anggota REI mengedepankan akses
pembelian kepada warga negara Indonesia terlebih dulu. Tim Komunikasi Jokowi
waktu itu Teten Masduki menjelaskan, alasan Jokowi mengizinkan para ekspatriat
memiliki properti di Indonesia adalah untuk memberikan angin segar bagi
pengusaha properti.
Gelombang liberalisasi
ala Jokowi ini hingga kini belum menunjukkan korelasi positif terhadap
perbaikan negeri ini. Yang terjadi justru sebaliknya, Indonesia kian terjajah.
Pengamat ekonomi
politik Ichsanuddin Noersy mengatakan, ia telah mengingatkan Jokowi bahwa tidak
mungkin konsep neoliberal ini bisa bertopi Nawacita. ”Malah akan semakin
ugal-ugalan. Padahal di Eropa ini sudah ada kesadaran baru bahwa konsep
neoliberal itu gagal. Akan tetapi Indonesia ini bukannya mencermati kegagalan
neoliberal itu, malah melanjutkan kegagalan tersebut,” terangnya.
Ia menilai, konsep
pembangunan yang dipakai oleh Indonesia itu salah. ”Konsep apa yang dipakai
Indonesia yaitu konsep neoliberal," jelasnya.
Contoh neoliberal,
menurut Ichsan, seperti menerapkan konsep kebebasan tenaga kerja, kebebasan
perdagangan, utang luar negeri yang luar biasa, swasta yang berperan
habis-habisan dalam penyediaan hajat hidup orang banyak.
Kesalahan konsep ini
menurut Hatta Taliwang, Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta,
menjadikan Indonesia dikuasain asing dan aseng. Ia menggambarkan saat ini dari
sektor ritel, properti seluruh kota besar di Indonesia, semua dikendalikan oleh
orang-orang Cina. Perbankan oleh Cina dan Barat.
”Jadi mereka (asing)
itu punya mesin penyedot di Indonesia ini, atau saya sebut vacuum cleaner. Mereka kerjanya nyedot, sampai
akhirnya kita pribumi hanya dapat segelintir saja sebagai asongnya itu. Asong
inilah yang membuat aturan agar asing dan aseng menjajah kita secara ekonomi,”
tandas Hatta.
Aseng ini, katanya,
kini menguasai bisnis-bisnis strategis. Mereka saling terikat satu dengan yang
lain dalam sebuah jaringan. "Rantai-rantai itu mereka pegang, sehingga
kaum pribumi kita ini tidak kebagian hanya mendapatkan remah-remah saja," jelasnya.
Dalam kondisi seperti
itu, menurut Hatta, seharusnya negara hadir guna melindungi seluruh rakyat.
”Akan tetapi kan negara kita ini kan negara liberal, super liberal, sehingga
terjadi kesenjangan yang makin tajam antara si kaya dan si miskin. Yang kaya
makin kaya dengan mesin penyedotnya itu, dan yang miskin semakin kere,” jelasnya.
Ia memperkirakan,
aseng ini tinggal sejengkal lagi dengan ambisinya untuk menguasai sektor
politik, walaupun sebenarnya sebelum itu pun mereka sudah lama bermain politik.
Dengan uangnya mereka dengan mudah mengontrol partai-partai politik.
Tersandera
Anehnya, dalam kondisi
terpuruk seperti ini, tidak ada lagi elite politik yang berani mengkritisi
kinerja pemerintah. Ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya di mana
banyak kalangan yang muncul ke permukaan untuk mengontrol pemerintah. Sementara
saat ini hampir tidak ada lagi kecuali sebagian kecil masyarakat.
Ketua Lajnah Siyasiyah
DPP HTI Yahya Abdurrahman menjelaskan, ini bisa terjadi karena telah terjadi
transaksi politik di antara elite penguasa saat ini. Mereka saling berbagi kue
kekuasaan sehingga ada saling sandera antara satu dan yang lainnya.
Peran partai politik
sebagai pengontrol pemerintah pun tidak berjalan sebagaimana mestinya, menurut
Yahya, karena merekapun masuk dalam lingkaran bagi-bagi kekuasaan. "Ini
karena sistem demokrasi mengharuskan partai politik harus mencari modal yang besar
guna bertarung dalam sistem demokrasi. Nah,
kekuasaan itu menjadi salah satu ajang untuk mendapatkan modal tersebut,”
jelasnya.
Dan fakta menunjukkan,
lanjutnya, orang-orang kritis yang sebelumnya tampak di permukaan itu ternyata
ujung-ujungnya hanya mencari uang. Ini terbukti, begitu mereka diberi jabatan
oleh rezim yang ada, mereka langsung hilang kekritisannya alias tumpul pikirannya.
Bahkan tak jarang malah membela rezim dengan pembelaan yang konyol.
Ganti
Sistem
Juru bicara Hizbut
Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menilai, sistem kapitalisme-liberal ini
sesungguhnya tinggal menunggu kehancuran. Sebagaimana sistem komunisme,
menurutnya, kapitalisme juga akan hancur. ”Tidak masuk akal kalau kita kemudian
mempertahankan sistem ini. Bahkan di Amerika sendiri, sistem ini sudah digugat
oleh rakyatnya sendiri,” tandasnya.
Walhasil, kata ismail,
tidak ada jalan lain untuk memperbaiki kondisi Indonesia sekarang kecuali
pergantian sistem, sekaligus rezimnya. Sebagai alternatifnya, tidak ada lain
kecuali sistem Islam.
”Inilah satu-satunya
sistem yang akan membawa rahmatan Iil'alamin
atau kebaikan bagi negeri ini, sekarang dan yang akan datang,” tandas Ismail.
Ia menjelaskan, dengan
syariah Islam, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur
dengan cara yang benar. Ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan memberikan
keadilan dan kesejahteraan serta keberkahan kepada seluruh rakyat. SDA yang
melimpah itu akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Pajak akan dipungut secara
sangat terbatas, itupun hanya bila dalam keadaan yang sangat mendesak.
"Dan dengan kekuatan khilafah, penjajahan baru dalam segala bentuknya,
termasuk melalui pemberian utang, bisa dihentikan dengan segera,"
pungkasnya. []
IMF:
Neoliberalisme Telah Gagal
Akhir Mei lalu,
departemen penelitian dari Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan
laporan yang mengakui bahwa neoliberalisme telah gagal. Laporan yang berjudul,
“Neoliberalism: Oversold?" sepertinya menunjukkan tanda-tanda kematian
ideologi ini. Hal itu mulai terjadi sekitar 40 tahun terakhir.
Seperti yang di-tweet oleh Naomi Klein tentang laporan itu,
"Jadi semua milyarder yang diciptakan ideologi ini akan mengembalikan uang
mereka, bukan?"
Banyak temuan dari
laporan ini yang menyerang inti dari ideologi ini, menggaungkan apa yang telah
dikatakan oleh para kritikus dan para korban neoliberalisme dalam beberapa
dekade.
“Alih-alih memberikan
pertumbuhan," laporan itu menjelaskan bahwa kebijakan penghematan
neoliberal dan regulasi yang dipermudah untuk pergerakan modal sebenarnya telah
meningkatkan ketimpangan.
Ketimpangan ini
“mungkin itu memotong pertumbuhan itu sendiri..." Akibatnya, laporan itu
menyatakan bahwa “para pembuat kebijakan harus lebih terbuka untuk melakukan
redistribusi daripada pada saat ini."
Namun, laporan itu
meninggalkan beberapa hal penting dari sejarah neoliberalisme dan dampaknya.
Meski IMF menunjukkan
neoliberalisme telah gagal, tapi menurut mereka neoliberalisme telah bekerja
sangat baik bagi orang kaya secara global yang berjumlah 1 persen. Ini yang
selalu merupakan tujuan IMF dan Bank Dunia. Seperti yang dilaporkan oleh Oxfam pada
awal tahun ini, 1 persen orang terkaya dunia kini memiliki kekayaan yang setara
dengan kekayaan semua penduduk dunia di planet ini jika digabungkan.
Demikian pula,
wartawan investigasi Dawn Paley telah membuktikan dalam bukunya Drug War
Capitalism bahwa jauh dari kegagalan. Drug War (Perang Narkoba) telah menjadi
sukses besar bagi Washington dan perusahaan-perusahaan multinasional. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar