Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 30 September 2016

Kemenangan perjuangan Islam


 
 

Menggalang Kekuatan Riil

Kemenangan perjuangan Rasulullah tidak bisa dilepaskan dari usaha untuk meminta pertolongan (thalabun-nushrah) yang Beliau lakukan pada tahun ke-8 kenabian, khususnya setelah wafatnya paman Nabi Saw., Abu Thalib, dan istri tercintanya, Khadijah ra., serta semakin meningkatnya gangguan dari kaum Quraisy. Itu terjadi di penghujung fase kedua dalam thariqah (metode) dakwah Rasulullah Saw., yaitu fase interaksi dengan masyarakat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah kepada ahl al-quwwah (para pemilik kekuatan riil) ditempuh guna mendapatkan perlindungan bagi dakwah dan jalan meraih kekuasaan (istilam al-hukmi) bagi penerapan sistem Islam.

Konsolidasi dua kekuatan, yaitu kekuatan politik partai ideologi Islam beserta umat di satu sisi, dan kekuatan militer (ahl an-nushrah) di sisi lain, mutlak diperlukan untuk menjamin suksesnya peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) untuk Islam.

Ibnu Saad dalam kitabnya At-Thabaqat, sebagaimana ditulis Ahmad al-Mahmud dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan Rasulullah Saw. mendatangi tak kurang dari 15 kabilah para pemilik kekuatan riil dan pengaruh; di antaranya Kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah, Rasulullah Saw. mengajak mereka masuk Islam sekaligus konsekuensinya yaitu memberikan nushrah kepada perjuangan dakwah, memberikan kekuasaan dengan bai’at mereka dan kaumnya kepada Beliau dengan kerelaan dan kesadaran.

Kabilah-kabilah di luar Makkah biasa datang ke Pasar ‘Ukadz, maka Beliau Saw. berdakwah juga di sana. Banyak kabilah dari luar Makkah datang tiap tahun ke Makkah baik yang datang untuk berdagang maupun yang hendak melakukan ibadah di sekitar Ka’bah, maka Beliau Saw. juga berdakwah di jalan-jalan dan Mina. 

جاء في فتح الباري (ج7/ ص220): أخرج الحاكم وأبو نعيم والبيهقي عن عليِّ بن أبي طالب – رضي الله عنه قال: «لما أمر الله نبيه أن يعرض نفسه على القبائل خرج وأنا معه وأبو بكر إلى منى» وروى ابن كثير عن علي رضي الله عنه قال: «لما أمر الله نبيه أن يعرض نفسه على قبائل العرب خرج وأنا معه وأبو بكر حتى دفعنا إلى مجلس من مجالس العرب» والعرض على القبائل يعني أن يعرض النبي صلى الله عليه وآله وسلم نفسه ودعوته على رؤساء القبائل ليقدموا الحماية والسند له ولدعوته. فطلب النصرة هذا ليس مجرد رأي أو أسلوب، وإنما هو حكم شرعي أمر الله به نبيه فهو العلاج الشرعي أو الطريقة الشرعية لتحقيق هدف شرعي.

“Disebutkan di dalam Kitab Fath al-Baariy, Juz 7/220: “Imam al-Hakim, Abu Nu’aim, dan al-Baihaqiy mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., bahwasanya ia berkata, “Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah, maka Beliau dan saya, dan Abu Bakar keluar menuju Mina.”
“Imam Ibnu Katsir menuturkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwasanya ia berkata, “Ketika Allah Swt. memerintahkan Nabi-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab, maka Beliau dan saya, dan Abu Bakar keluar, hingga kami berkunjung dari satu majelis ke majelis lain dari majelis-majelisnya orang Arab.”
“Yang dimaksud dengan [“menawarkan diri kepada para kabilah”] adalah Nabi Saw. menawarkan dirinya dan dakwahnya kepada pemimpin-pemimpin kabilah, agar mereka memberikan perlindungan dan dukungan kepada Beliau dan dakwahnya. Thalabun Nushrah ini, bukanlah sekedar pendapat atau cara (uslub), akan tetapi ia adalah hukum syariat yang diperintahkan Allah Swt. kepada Nabi-Nya. Thalabun Nushrah adalah solusi syar’iy, atau metode syar’iy untuk merealisasikan tujuan-tujuan syar’iy.” (Syaikh Mahmud ’Abd al-Karim Hasan, Al-Taghyiir, hal.56)

Dari Jabir bin Abdullah berkata bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menawarkan dirinya kepada orang-orang pada musim Haji, dengan bersabda: "Adakah orang yang mau membawaku kepada kaumnya, karena orang-orang Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan firman Rabb-ku AzzaWaJalla?" (HR. Ahmad no.14659)

“(Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) mengikuti mereka di tempat mereka singgah, di pasar, di Majannah, Ukazh dan di tempat mereka singgah di Mina dengan menyerukan: “Siapa yang memberi perlindungan dan menolongku sehingga saya dapat menyampaikan risalah-risalah Rabb-ku AzzaWaJalla, dia akan mendapatkan Surga” (HR. Ahmad no.14126 dari Jabir bin Abdullah)

Diriwayatkan: “Beliaupun meminta mereka untuk membenarkan Beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya.” (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, II/36)

Riwayat dari Az-Zuhri yang dikutip oleh Ibnu Qoyyim:
وكان ممن يسمى لنا من القبائل الذين أتاهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعاهم وعرض نفسه عليهم بنو عامر بن صعصعة ومحارب بن حصفة وفزارة وغسان ومرة وحنيفة وسليم وعبس وبنو النضر وبنو البكاء وكندة وكلب والحارث بن كعب وعذرة والحضارمة فلم يستجب منهم أحد

“Dan di antara yang disebutkan kepada kami dari nama kabilah-kabilah yang didatangi Rasulullah Saw., Beliau seru mereka, dan Beliau tawarkan diri Beliau kepada mereka, adalah: Bani Amir bin Sha’sha’ah, Muharib bin Hashafah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, ‘Abas, Bani An-Nadhr, Bani Al-Baka’, Kindah, Kalb, Al-Harits bin Ka’ab, ‘Adzrah, dan Al-Hadharamah. Dan tidak satupun dari mereka yang menerima (tawaran Nabi Saw. tersebut).” (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Zad Al-Ma’ad, juz 3 hal.38)

Disebutkan di beberapa riwayat ada kabilah-kabilah tertentu yang melakukan negosiasi dari tawaran Rasulullah Saw. tersebut. Di antaranya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah berikut ini:
عن الزهري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى بني عامر بن صعصعة فدعاهم إلى الله عز وجل وعرض عليهم نفسه فقال له رجل منهم – يقال له بيحرة بن فراس – : والله لو أني أخذت هذا الفتى من قريش ، لأكلت به العرب ، ثم قال أرأيت إن نحن بايعناك على أمرك ، ثم أظهرك الله على من خالفك ، أيكون لنا الأمر من بعدك ؟ قال الأمر إلى الله يضعه حيث يشاء فقال له أفتهدف نحورنا للعرب دونك ، فإذا أظهرك الله كان الأمر لغيرنا لا حاجة لنا بأمرك ، فأبوا عليه

“Dari Az-Zuhri, bahwa Rasulullah Saw. suatu ketika mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, kemudian menyeru mereka kepada Allah Swt. dan menawarkan diri Beliau kepada mereka, lalu berkata seorang laki-laki dari mereka –dikenal dengan nama Biharah bin Firas-: “Demi Allah jika aku mengambil pemuda ini dari tangan suku Quraisy niscaya aku akan memakan (memerangi) bangsa Arab,” kemudian dia melanjutkan: “Bagaimana pendapatmu, jika kami membai’atmu atas urusanmu (yang kamu tawarkan) itu kemudian Allah Swt. memenangkanmu dari siapa-siapa yang menentangmu, apakah sepeninggalmu urusan itu (kekuasaan) menjadi milik kami?” Nabi Saw. menjawab: “Urusan itu kembali kepada Allah Swt., Dia akan memberikannya kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya.” Kemudian dia berkata: “Apakah engkau hendak mengorbankan leher-leher kami bagi suku-suku Arab demi melindungimu, tapi jika Allah memenangkanmu nanti urusan itu diberikan kepada selain kami, kami tidak butuh pada urusanmu itu,” maka mereka enggan menerima tawaran tersebut.” (Ibnu Hisyam, As-Siroh An-Nabawiyyah, juz 1 hal.424-425)

Ibnu Hisyam berkata: Rasulullah berada di tempat-tempat istirahat para kabilah Arab (pada musim haji) kemudian Beliau bersabda, “Hai Bani Fulan Aku ini adalah RasulAllah (yang diutus) kepada kalian, yang memerintahkan kalian agar kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan meninggalkan apa yang kalian sembah selain Dia. Yaitu, beragam sembahan ini. Hendaklah kalian beriman kepadaku, membenarkan aku, dan melindungi aku sehingga aku (mampu) menyampaikan dari Allah apa-apa yang aku diutus dengannya.” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/285)

Dan Ibnu Hisyam berkata lagi: Itulah yang dilakukan Rasulullah Saw. setiap kali menemui orang-orang (para kabilah arab). Ketika orang-orang berkumpul di saat musim haji, Beliau mendatangi dan menyeru mereka untuk beriman kepada Allah dan kepada Islam, serta menawarkan diri Beliau (untuk dilindungi) pada mereka dan menjelaskan (pada mereka) hal-hal yang Beliau bawa dari Allah, berupa petunjuk dan rahmat. Dan apabila Beliau mendengar seorang ternama dan terhormat datang ke Mekah, pasti Beliau mendatanginya dan menyerunya kepada Allah, dan menawarkan Islam kepada mereka.

Ibnu Hisyam berkata, bahwa Beliau mendatangi kabilah Kilab di tempat-tempat istirahat mereka, yang dikenal sebagai Bani Abdillah. Kemudian Rasulullah menyeru mereka agar beriman kepada Allah Swt. dan menawarkan diri Beliau pada mereka. Bahkan sampai berkata pada mereka, “Ya Bani Abdillah, sesungguhnya Allah azza wa jalla telah memberi kebaikan kepada nama bapak kalian.” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/286)

Meski berulang ditolak, menghadapi berbagai kesulitan, dan kesusahan, Rasulullah Saw. tetap saja mengusahakan pertolongan kekuatan riil hingga berhasil setelah sekitar 3 tahun. Rasulullah Saw. tidak berusaha menggantinya dengan metode lain. Kabilah Tsaqif di Thaif membuat kaki Beliau berdarah-darah. Satu kabilah lainnya menolak Beliau. Kabilah lainnya memberikan syarat kepada Beliau. Meski demikian, Beliau terus teguh di atas thariqah yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Beliau. Pengulangan perkara yang di dalamnya ada kesulitan merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) yang menunjukkan secara syar’i, bahwa perkara itu adalah fardhu sebagaimana yang ada dalam ketentuan ushul. (lihat: al-‘Alim ‘Atho bin Kholil, Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul, hlm.21) Thalabun-nushrah merupakan perintah Allah Swt., bukan inisiatif Rasulullah Saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan.


Jumat, 23 September 2016

Kesederhanaan Umar bin Khaththab





Kesederhanaan Umar ibn al-Khaththab ra.

Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththab ra., diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar ra. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik, Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata “Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan. Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan hidup beliau.”
'Ali kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.” Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah 'Umar. Namun, Utsman menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada 'Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, 'Umar akan murka kepada kita.”
Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi Khalifah 'Umar.
Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorangpun di antara kami,” demikian kata mereka.
Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada 'Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?” Hafshah menjawab, “Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu.”
'Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”
Setelah itu., 'Umar balik, bertanya kepada Hafshah, istri Nabi Saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah Saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya?” Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.”
'Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?" Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.” 'Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?" Hafshah menjawab lagi, "Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas, jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas tidur.”
`Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah Saw. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, akupun akan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku-yaitu Rasulullah dan Abu Bakar adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkan yang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketigapun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yang terdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.” (Sumber: Tarikh ath-Thabari, jilid I, hlm. 164)
Dari: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Selasa, 20 September 2016

Mendahulukan Orang Lain



Abu Hurairah berkata: ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku datang dalam keadaan lapar dan lemah." Maka Rasulullah SAW datang ke rumah salah seorang isterinya untuk mencari sesuatu yang dapat diberikan kepada lelaki itu. Isteri beliau menjawab: ”Demi Allah, di rumah ini tidak ada secuilpun, yang ada hanya air minum." Kemudian Rasulullah keluar mendatangi rumah isteri-isteri Beliau lainnya, untuk mencari secuil makanan, akan tetapi isteri-isteri beliau lainnya menjawab sebagaimana jawaban isterinya yang pertama. Lalu beliau bersabda kepada shahabat- shahabatnya: "Siapa yang mau menjamu lelaki ini, maka pasti Allah merahmatinya." Salah seorang Anshar berkata: "Wahai Rasulullah, akulah yang akan menjamu orang itu.” Lelaki itupun dibawa oleh orang Anshor tadi ke rumahnya.
Orang Anshor tersebut berkata kepada isterinya: "adakah makanan untuk saudara kita ini?" Isterinya menjawab : ”secuilpun kita tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya untuk anak kita." Lelaki Anshor itupun berkata lagi: “tidurkan anak kita, kemudian siapkan makanan untuk tamu kita, dan jika telah siap matikan lampu, dan aku akan berpura-pura makan bersamanya".
Tatkala tamu itu makan, lelaki Anshor itupun pura-pura makan sehingga si tamu merasa bergembira. Akhirnya suami-isteri tersebut semalam suntuk tidak makan, sebab tidak memiliki makanan selain yang telah disuguhkan kepada tamunya.
Keesokan harinya lelaki Anshor tersebut menghadap Rasulullah SAW sambil tersenyum, Rasulullah bersabda: "Allah amat mengagumi kelakuanmu dan isterimu semalam terhadap tamu kalian.” tidak lama berselang Allah menurunkan ayat (artinya) “mereka telah mendahulukan kepentingan orang lain, walaupun mereka sendiri dalam keadaan tidak punya.” (HR. Muslim)
Dari Majalah al-Wa’ie edisi 3

Sabtu, 17 September 2016

NASIHAT ABU YUSUF KEPADA HARUN AL RASYID



Di dalam suratnya Imam Abu Yusuf -pengarang kitab al Kharaj- melontarkan nasihat kepada Amirul Mukminin Harun al Rasyid, sebagai berikut:
“Wahai amirul mukminin, sesungguhnya puji syukur itu hanya pantas disampaikan kepada Allah, Maha Pencipta. Dialah yang memberikanmu kedudukan yang terhormat dan kekuasaan yang tinggi di tengah-tengah umat. Tugasmu sangat berat namun mulia. Di balik itu terdapat ganjaran yang amat besar, di samping azab siksaan yang dahsyat. Segala urusan umat ada di dalam genggaman tanganmu sebagai amanat Allah yang harus engkau jaga dengan kejujuran dan kebenaran. Engkau akan menghadapi banyak cobaan, baik itu langsung dari Allah maupun melalui umatNya. Setiap perbuatan yang dibangun bukan karena Allah, lambat atau cepat akan mengalami kehancuran. Tegakkanlah sendi-sendi kekuasaanmu atas dasar takwa kepada Allah. Jalankan seluruh pekerjaan selagi engkau memiliki kesempatan. Umat selalu menunggu hasil kerjamu. Tidak ada keberhasilan melainkan bersandar kepada Yang Maha Kuasa. Dan Allah-lah saksi utama atas segala yang engkau jalankan. Janganlah menunda-nunda pekerjaan. Apa yang dapat engkau kerjakan hari ini, jangan ditunggu hingga esok. Segeralah beramal untuk menyambut datangnya maut. Karena setiap orang pasti akan mengalaminya. Engkau dan rakyat, sama-sama mempunyai hak dan kewajiban kepada Allah. Oleh karena itu sempumakanlah hak dan kewajiban itu. Orang yang paling berbahagia di hadapan Allah adalah penguasa yang telah membahagiakan rakyatnya. Apabila seorang penguasa menyimpang dari ketentuan Allah, maka tentu umatnya akan menyimpang pula. Apabila engkau ingin mengambil suatu keputusan, janganlah disertai oleh dorongan hawa nafsu. Seandainya engkau dihadapkan pada suatu dilema antara masalah dunia dan akhirat, maka utamakanlah masalah akhirat. Takutlah kepada Allah dalam segala urusanmu, karena dengan jalan seperti itulah engkau akan memperoleh keselamatan. Wahai amirul mukminin, aku berwasiat kepadamu agar engkau selalu memelihara amanat Allah. Jika amanat itu engkau sia-siakan, akan kabur jalan kebenaran yang semestinya engkau lewati. Perbanyaklah ingat kepada Allah, hadapkanlah hatimu kepada niat yang baik, berdzikirlah dan perbanyaklah shalawat kepada Rasul. Inilah wasiat dan nasihat yang dapat kusampaikan kepadamu, dan Allah jualah yang lebih mengetahui apa yang tersimpan dalam hati para hambaNya.”
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 1

-----

Kamis, 15 September 2016

Berpolitik Wajib Islami


 

Berpolitik: Wajib Islami!

Politik Islam adalah pengaturan urusan umat dengan aturan Islam, mencakup urusan di dalam negeri maupun di luar negeri. Aktivitas politik diselenggarakan oleh negara dan rakyat. Negara merupakan institusi yang secara langsung melakukan pengaturan urusan rakyat. Sedangkan rakyat berfungsi melakukan kontrol terhadap negara. Definisi ini berlaku umum karena diambil berdasarkan fakta politik dan ditinjau dari sisi politik itu sendiri. Definisi politik, seperti halnya definisi tentang kejujuran, kekuasaan, masyarakat dan lain-lain adalah realitas empiris yang wujudnya ada di tengah-tengah kehidupan manusia. Maka pendefinisian terhadap suatu fakta yang dapat dirasakan dan dilihat oleh setiap manusia adalah gambaran obyektif tentang fakta itu sendiri.

Politik secara etimologis berasal dari kata; saasa yasuusu siyaasah, yang bermakna ri'ayah syu`uun al-ummah (pengaturan urusan rakyat). Di dalam kamus aI-Muhith disebut, “Sustu al-ra’iyah siyaasah” (saya mengatur urusan rakyat dengan sebuah peraturan), pengertiannya adalah “saya memerintah dan melarang rakyat dengan suatu aturan.” Ini mencerminkan pengaturan urusan rakyat dengan bentuk perintah dan larangan. Definisi tadi juga digali dari berbagai hadits yang mendeskripsikan tentang aktivitas para khalifah dan jajarannya, kontrol terhadap mereka, serta kepedulian terhadap kemashlahatan kaum muslimin. Sabda Rasulullah Saw. (artinya): “Tidaklah seorang hamba yang Allah telah menyerahkan kepadanya urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak mengaturnya dengan nasihat kecuali tidak akan mencium bau Surga.”
"tidaklah seorang wali (penguasa/gubernur) yang memerintah kaum muslimin, kemudian ia mati, sedangkan ia mengabaikan urusan kaum muslimin, kecuali Allah mengharamkan kepadanya Surga.”

Jadi definisi politik yang berarti pengaturan urusan rakyat sebenarnya hasil penggalian dari berbagai hadits, baik yang berhubungan dengan pengaturan pemerintahan Islam oleh penguasa, kontrol rakyat terhadap penguasa, kepedulian kaum muslimin terhadap kemashlahatan umat, serta hadits yang berhubungan dengan kewajiban untuk memberikan nasihat kepada kaum muslimin. Oleh karena itu definisi politik adalah definisi syar'iy yang digali dari dalil-dalil syara'.

Dalil-dalil syara' tadi menunjukkan bahwa politik adalah unsur terpenting dalam Islam. Peduli dan sibuk dengan aktivitas politik baik yang berhubungan dengan politik internasional (luar negeri) dan lokal (dalam negeri) merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Sibuk dengan aktivitas politik luar dan dalam negeri hukumnya fardhu seperti halnya aktivitas jihad. Sebab, pengaturan urusan umat Islam harus diselenggarakan oleh negara Islam dengan hanya merujuk pada hukum-hukum dan solusi Islam. Allah SWT berfirman (artinya): “Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Maidah: 48).

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya} tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima (hukum Islam) dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa‘: 65).

Ayat-ayat dan hadits-hadits lain menunjukkan secara gasti tentang kewajiban negara Islam untuk melakukan pengaturan urusan umat Islam dan untuk mengatur interaksi-interaksi mereka atas dasar Islam.

Umat Islam adalah institusi yang berfungsi melakukan kontrol terhadap negara Islam dalam melakukan pengaturan urusan rakyatnya. Kontrol politik terhadap negara Islam merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Nash-nash syara' telah menjelaskan hal ini. Kepedulian kaum muslimin terhadap politik dan kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik sudah dimulai sejak pertama kali diutusnya Rasulullah Saw., yaitu pada saat beliau Saw. mulai membentuk partai politik Islam (berupaya mewujudkan ideologi Islam) di kota Mekah. Lalu beliau tampil bersama-sama dengan kelompoknya (yaitu para sahabat) menyerang sistem pemerintahan jahiliyyah. Beliau menghujat dan menyerang penguasa-penguasa kota Mekah dengan serangan politik yang amat keras. Dilihat dari sisi Shira' al-fikri (serangan pemikiran) terhadap aqidah kufur di Mekah, kaum muslimin yang ada di Mekah saat itu telah mencurahkan kemampuan maksimalnya untuk merubah sistem yang rusak itu. Diturunkannya ayat-ayat yang yang menjelaskan konstelasi politik Romawi dan Persia dalam periode Makkiyah menunjukkan dengan jelas kepedulian kaum muslimin terhadap politik, serta wajibnya kaum muslimin peduli dengan politik internasional dan hubungan antar negara. Allah SWT berfirman (artinya):
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat. dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. ar-Ruum: 1-5).

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab, berkata. “Kami mendapatkan kaum musyrikin tengah berdebat dengan kamu muslimin. Saat itu mereka masih berada di Makah sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, “Romawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlul kitab, dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia). Sedangkan kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan Majusi. Kemudian Allah SWT menurunkan “Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi [QS. Ar-Ruum: 1-2].

Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di kota Makah, sebelum berdirinya Daulah Islamiyah telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik internasional serta hubungan-hubungan internasional. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. bertaruh dengan orang-orang musyrikin bahwa kelak Romawi akan dikalahkan. Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. menyetujui bahkan memerintahkan Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya (kepada orang musyrik). Berdasarkan kenyataan ini, umat tidak akan mampu memikul dakwah Islam kepada bangsa lain atau untuk mencegah makar mereka kepada kita jika umat tidak memahami politik internasional dan kondisi politik di negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, memahami politik internasional dan kondisi politik negeri-negeri Muslim hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Ini beralasan karena mengemban dakwah dan melenyapkan makar musuh kaum muslimin merupakan kewajiban yang harus ditegakkan. Dan keinginan ini tidak akan mungkin terwujud tanpa memahami politik internasional. Terdapat kaedah syara: “Tidak sempurnanya suatu kewajiban tanpa sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”

Dengan demikian sibuk dengan politik internasional hukumnya fardhu atas kaum muslimin. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata: “Ketika umat Islam diperintahkan untuk mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia maka kaum muslimin wajib mengetahui problematika global, memahami karakter-karakter negara dan rakyatnya, terus memantau aktivitas-aktivitas politik yang sedang terjadi di dunia, serta memahami uslub serta hal-hal yang berhubungan dengan garis-garis besar politik suatu negara. Oleh karena itu kaum muslimin wajib memahami konstelasi politik internasional dan konstelasi politik dunia Islam agar mereka mampu mempertahankan eksistensi negara (Islam)nya di tengah-tengah hiruk pikuknya kondisi politik internasional, yang memungkinkan mereka mengemban dakwah Islam melalui jihad [penaklukan]. Umat juga harus memahami aktivitas-aktivitas politik dan manuver-manuver yang terencana sebelum dilakukan jihad. lni merupakan fardhu kifayah bagi kaum muslimin, seperti halnya jihad. Jika tidak ada sebagian dari kaum muslimin sejumlah orang yang sibuk dengan politik internasional dan politik lokal, padahal melaksanakan hal itu termasuk kewajiban, maka berdosalah seluruh kaum muslimin. lni jika dinisbahkan kepada politik internasional”.

PEDULI TERHADAP POLITIK DALAM NEGERI

Jika perkara ini dinisbahkan kepada politik dalam negeri, maka sibuk dengan urusan kaum muslimin, dan peduli terhadap kondisi kaum muslimin -dilihat dari sisi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah Islam terhadap urusan kaum muslimin- merupakan perkara yang telah diwajibkan Allah dan melarang kaum muslimin untuk meninggalkannya. Rasulullah Saw. menekankan pentingnya kepedulian terhadap urusan kaum muslimin.

Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya melakukan kontrol terhadap penguasa Daulah Islam di dalam mengurusi urusan kaum muslimin dan kepedulian mereka terhadap urusan rakyat. Rasulullah Saw. memberikan predikat kapada seseorang yang menyampaikan kalimat haq (Islam) di hadapan penguasa yang dzalim sebagai jihad yang paling utama. Kalimat haq merupakan refleksi dari kepedulian terhadap urusan kaum muslimin. Dalam hadits dinyatakan (artinya): “Barangsiapa menyaksikan penguasa yang dzalim yang suka melanggar perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, serta bergelimang dengan dosa dan kelaliman, tidak merubahnya dengan perkataan atau perbuatan, maka Allah pasti memasukkannya kepada golongan mereka [penguasa dzalim itu].” (HR. Thabrani)
Ta'biir (pengertian) dari perkataan dan perbuatan di sini adalah peduli dengan politik dalam negeri.

Dengan demikian jelas bahwa politik merupakan fardhu kifayah atas kaum muslimin. Jika seorang penguasa tetap dalam kefasikan, kekufuran, dan kedzalimannya, maka koreksi terhadap penguasa tersebut menjadi fardhu 'ain atas kaum muslimin. Seluruh kaum muslimin berdosa bila membiarkan tingkah laku penguasa semacam itu.

Tatkala kaum muslimin menjauhi politik dan aktivitas politik untuk melawan penyelewengan dan penyimpangan para penguasanya, maka pada saat itu penguasa akan tetap leluasa mempermainkan rakyat. Ini adalah akibat umat berpaling dari aktivitas politik melawan para penguasa, umat tidak lagi peduli terhadap sepak terjang penguasa-penguasa mereka. Dengan bantuan dan makar jahat negara-negara kafir mulailah penguasa-penguasa itu merobohkan negara mereka sendiri, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, mengerat-ngeratnya menjadi lebih dari 50 negara, dilanjutkan dengan mengeksploitasi negeri-negeri mereka, lalu menyembelih dan merobek kehormatan kaum muslimin.

Puncaknya mereka berhasil menikam jantung kaum muslimin, dengan mendirikan kantor perwakilan Yahudi -yang merupakan sehina-hinanya makhluk Allah- di Wilayah Syam; Mereka berhasil menjajakan sistem politik kufur di daerah Yordania melalui penguasa-penguasa yang bertuankan Yahudi dan negara-negara Barat kafir. Bagaimana tidak! Sejak diruntuhkannya Khilafah dan diterapkannya sistem politik kufur di negeri-negeri Muslim, keberadaan Islam sebagai institusi politik telah berakhir. Kedudukannya digantikan oleh pemikiran-pemikiran politik barat yang terpancar dari ideologi Kapitalisme, yaitu sekulerisme.

Umat harus memahami bahwa pengaturan urusan mereka dengan sistem Islam tidak akan pernah terwujud tanpa keberadaan Daulah Khilafah. Pemisahan Islam dari kehidupan dan dari negara adalah liang lahat bagi Islam, sistem dan aturannya; serta menjadi penghancur umat, nilai-nilai, peradaban dan risalah Islam.

Negara Kapitalis mengadopsi ideologi sekulerisme, dan berupaya untuk menyebarkan dan menerapkan ideologi tersebut kepada umat Islam. Mereka juga berusaha menyesatkan umat dan mendeskripsikan kepada umat bahwa politik dan agama tidak akan mungkin bertemu. Politik dianggap Waqi`iyyah (tunduk dengan fakta), menerima fakta dan tidak mungkin merubah fakta. Akhirnya umat tetap berada di bawah dominasi sistem bukan-Islam dan tunduk kepada negara dzalim dan taghut.

Lebih tragis lagi umat tidak lagi mengetahui jalan menuju kebangkitan. Semua ini disebabkan karena kaum muslimin menjauhi urusan dakwah politis ideologis. Padahal umat harus menyadari konspirasi negara-negara kafir dan para penguasa yang menjadi kaki tangan negara-negara Barat dalam rangka memerangi harakah-harakah kaum muslimin yang menghantam pemikiran-pemikiran kufur, berupaya menegakkan Daulah Khilafah serta mengembalikan kejayaan Islam.

Umat Islam yang meyakini aqidah Islam sebagai sebuah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, Islam sebagai aqidah siyasah (aqidah politis), qa'idah fikriyyah, qiyadah fikriyyah (kepemimpinan ideologis), memiliki sudut pandang yang khas, harus memandang dunia secara holistik. Meskipun pada saat yang sama, dunia tengah berada di bawah dominasi politik dan ekonomi dzalim, tunduk kepada kekuatan lalim, mengerang-erang di bawah penderitaan, perbudakan, dan kehinaan. Oleh karena itu umat harus mampu membebaskan dunia dan mengentaskannya dari kesesatan dan penyesatan menuju petunjuk, cahaya Islam, dan kebahagiaan hakiki.

Jadi wajibnya memperhatikan politik dan pengaturannya harus selalu dikaitkan dengan seluruh perkara utama kaum muslimin, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dengan cara menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah Rasyidah, dan mengembalikan eksistensinya untuk kedua kalinya. Sebab, keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah akan melahirkan eksistensi umat. Sama halnya dengan ketiadaannya yang dapat meniadakan eksistensi umat.

Yang seharusnya dipikirkan oleh kita saat ini adalah mendorong kaum muslimin agar mereka menjadikan perkara-perkara tadi sebagai perkara utama mereka, perkara yang menyangkut hidup matinya mereka. Dan seluruh perkara itu tidak akan bisa mereka selesaikan kecuali dengan mewujudkan Islam dalam bentuk institusi politik untuk kedua kalinya. Meninggalkan arena politik, tabu dengan pembahasan politik, dan tidak ambil pusing dengan aktivitas politik akan mustahil bisa membangkitkan umat dan membebaskan mereka dari dominasi barat, serta penguasa-penguasa lalim yang menjadi kaki tangan Barat. Rasulullah Saw. menganggap aktivitas dakwah politik Islam sebagai persoalan utama yang berhubungan dengan keteguhan kaum muslimin di dalam perjuangan menegakkan syari'at Islam, dan kokohnya posisi kaum muslimin di dunia internasional. Oleh karena itu beliau Saw. menolak tawaran kompromi kaum kafir Quraisy.

Membiarkan penguasa dan tidak adanya dakwah politis ideologis kaum muslimin terhadap mereka, akan menyebabkan para penguasa terus menindas kaum muslimin, mengabaikan kemaslahatan mereka, mendzaliminya, membohonginya, memecah belah negeri-negeri mereka.

Jumat, 09 September 2016

HIZBUT TAHRIR: BERSENJATAKAN IDEOLOGI MELAWAN HEGEMONI


 

Tebal: 121 halaman
Judul Asli: Hizbut Tahrir
Dikeluarkan: Tahun 1405 H/ 1985 M
Penerbit: Pustaka Thariqul Izzah
Cetakan: kedua, Agustus 2000

Telaah Kitab

Menguatnya arus Islam ideologis bisa dilihat sebagai reaksi umat Islam atas hegemoni Barat di negeri-negeri Islam. Semenjak Perang Dunia I dan II, negeri-negeri yang semula hidup dalam sistem dan kultur Islam mengalami aksi pendudukan oleh Barat. Mulai dari Jazirah Arab, Afrika, hingga kawasan Asia Tenggara. Tidak sekedar mengambil alih kekuasaan, Barat juga meruntuhkan simbol kekuasaan kaum muslimin, kekhilafahan Islam Utsmaniyah terakhir. Di atas tanah-tanah serpihan Khilafah Utsmaniyah itu kemudian Barat membangun negara baru dengan para penguasa yang secara pasti adalah konstituen mereka. Pada tahap selanjutnya ikatan Islami yang semula mempersatukan umat dipatahkan dengan doktrin nasionalisme yang ditanamkan Barat. Sehingga membuat kebanyakan orang lebih loyal kepada tanah air mereka ketimbang pada agama mereka. Sementara itu syari'at Islam yang berabad-abad dijadikan sebagai satu-satunya hukum dieliminir menjadi sebatas urusan ritual ibadah dan ahwalusy-syakhsiyah (hukum-hukum keluarga).

Demi menghadapi hegemoni Barat lahirlah gerakan-gerakan Islam, baik yang menamakan diri mereka jama'ah, harakah ataupun partai, yang kesemuanya bertitik tolak dari perlawanan ideologis. Akan tetapi yang acapkali menjadi ganjalan adalah ketidakmampuan kelompok-kelompok Islam Ideologis itu untuk mengartikulasikan dan merefleksikan secara jernih platform perjuangan mereka. Yang terjadi acapkali mereka harus mensintesa Islam dengan berbagai macam ide semisal nasionalisme, sosialisme, keadilan sosial dan demokrasi lalu distempel dengan Islam. Dalam upaya melakukan transformasi sosial menuju masyarakat Islam juga terjadi kekeliruan metode, sebagian mengambil sikap non-kooperatif terhadap sistem bahkan melakukan gerakan perlawanan secara fisik, sebagian mengambil sikap lunak dengan bersikap kompromistis dengan pihak yang berseberangan dengan ideologi yang mereka emban, termasuk dengan penguasa. Ini pula yang terjadi pada jami'at al lslamiy yang terhenti pada bentuk negara Pakistan, atau Ikhwanul Muslimin di Mesir yang secara tragis dikhianati oleh pemimpin Mesir, Gamal Abdul Nasser, setelah sebelumnya menjalin kolaborasi dengannya.

Beranjak dari langkah perjuangan ideologis dan berbekal pengalaman kegagalan sejumlah pergerakan Islam, muncullah Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai politik Islam ideologis. Gerakan yang didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, seorang Qadhi pada Mahkamah Isti'naf (Mahkamah Agung) di Al-Quds (Jerusalem) pada tahun 1953 Masehi, mengidentifikasikan diri mereka sebagai partai politik Islam ideologis. HT melihat Islam bukanlah sekedar identitas kultural dan ritual, akan tetapi juga ideologi yang mencakup Siyasah wa daulah. Karenanya, sekulerisasi Islam dari kehidupan politik dan negara pada kenyataannya adalah sebuah kesalahan besar. Buah dari kesalahan itu bisa dilihat dari ketertundukkannya umat dalam kekuasaan Barat yang mengembangkan ideologi kapitalisme, termasuk di dalamnya demokrasi. Maka, salah satu dari cita-cita Hizb adalah membangkitkan umat dari kemerosotan yang demikian parah, membebaskan umat dari ide, sistem perundang-undangan dan hukum kufur, serta membebaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir.

Sebagai konsekuensi sebuah ideologi, keberadaan negara jelas wajib adanya. Dengan penjelasan yang meyakinkan Hizb menjelaskan bahwa islam memiliki konsep kehidupan bernegara yang khas, berbeda dengan sistem pemerintahan manapun termasuk dengan demokrasi. Maka dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, yang dimaksudkan sebagai sebuah pengenalan ide-ide dakwah mereka secara global, HT memuat konsep Khilafah lslamiyyah sebagai jawaban atas keraguan sebagian orang akan eksistensi negara Islam. Secara jernih HT menguraikan bahwa Daulah Islamiyyah bukan saja eksis, tapi juga khas dan wajib ditegakkan. Kekhasan negara Islam itu bisa terlihat dari empat pilar pokok negara Islam, yakni kedaulatan yang berada di tangan syara’, kekuasaan umat, kewajiban pengangkatan khalifah (kepala negara Islam) dengan metode bai`at sebagai wakil umat untuk melaksanakan undang-undang Allah, dan penyusunan serta pembentukan konstitusi negara Islam oleh khalifah. Pembahasan Daulah Islamiyyah atau Khilafah Islamiyyah, sama sekali bukan hal yang baru. Imam Al-Mawardi dalam Ahkamush Shulthoniyyah misalkan, sudah beberapa abad silam membahas hal tersebut. Akan tetapi justru disinilah letak keistimewaan Hizbut Tahrir yang berusaha konsisten mempertahankan orisinalitas Islam dengan tetap berpijak pada wacana Islam dan politik mutakhir.

Kepekaan HT terhadap bursa ide kontemporer bisa terlihat dari pembahasan tentang ideologi-ideologi di luar Islam, yakni demokrasi kapitalisme dan komunisme. Secara tajam HT mengkritik demokrasi sebagai sistem kufur karena menyingkirkan peran Tuhan sebagai pembuat aturan, dan menggantikannya dengan manusia. Sementara itu komunisme selain juga dikritik karena pengingkaran mereka terhadap adanya sang Pencipta, juga karena proses pengambilan hukum mereka yang tidak bersumber dari Allah SWT, melainkan dari dialektika materialisme dan historis materialisme. Selain itu komunisme juga dikecam karena tidak mengakui adanya kepemilikan pribadi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam buku Mengenal HT jangan harap akan didapatkan struktur kepengurusan HT karena buku ini ditujukan untuk mengenalkan pemikiran-pemikiran Islam yang dikembangkan oleh HT. Selain memuat pembahasan tentang sistem negara Islam, juga dimuat pembahasan seputar perekonomian Islam. Bila umat Islam kerapkali membayangkan ekonomi Islam berputar pada zakat dan shadaqah, HT justru memuat pemikiran ekonomi makro dalam Islam. Mulai soal status kepemilikan harta yang terbagi menjadi tiga jenis; kepemilikan pribadi, umum dan negara. Dari pembahasan ini terlihat jelas bahwa Islam demikian menekankan harmonisasi dan prinsip keadilan dalam masalah harta. Bila dalam sistem kapitalisme individu diberikan kebebasan untuk menguasai apa saja, Islam justru memberikan batasan-batasan tertentu. Harta yang menyangkut hajat hidup publik, semisal hutan, barang tambang dan sungai sama sekali harus dijauhkan dari kepemilikan individu. Keseluruhannya itu pemanfaatannya adalah harus dinikmati publik yang berada dalam pengelolaan negara. Kemudian soal perindustrian, soal standardisasi mata uang dan eksistensi serta peran kas negara baitul mal, hingga pembahasan status tanah di negeri-negeri lslam. 

Soal kelengkapan dan kedalaman pembahasan fikroh-fikroh HT memang tidak akan didapatkan dalam buku yang tebalnya hanya 119 halaman ini. Akan tetapi pembahasan-pembahasan tersebut tertuang dalam buku-buku lain yang menjadi referensi wajib bagi para anggota HT, semisal buku Nidzamul Hukmi fil Islam yang memuat pembahasan sistem negara Isalm, kemudian Nidzamul iqtishady fil islam yang membahas sistem perekonomian Islam, dsb.

Meski menamakan diri partai politik, tapi jangan harap partai ini akan ikut serta dalam pemilu. Dalam khittah perjuangan mereka, atau yang populer dengan istilah manhaj atau thariqoh, HT mengemukakan bahwa Rasulullah Saw. telah memberikan petunjuk perjuangan yang khas untuk mewujudkan Islam. Secara global dapat disebutkan ada tiga tahapan langkah perjuangan Hizb: fase pembinaan (tatsqif), fase interaksi dengan umat (tafa`ul) dan fase pengambilalihan kekuasaan (istilamul hukmi). Langkah terakhir inilah yang memunculkan benang merah bahwa partai ini memang mencanangkan aksi revolusi (taghyir) atau perubahan menyeluruh sebagai jalan transformasi menuju kehidupan Islam. Meski menghendaki proses revolusi, tapi Hizb menolak kekuatan fisik termasuk penggunaan kekuatan senjata dalam dakwah mereka.

Anda berminat untuk mengkaji dan menjadi anggota partai politik ini? Tidak susah, karena partai politik yang pernah mengadakan konferensi Khilafah di Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu, merupakan partai politik transnasional. Keanggotaan dan wilayah aktivitas mereka tidak dibatasi pada wilayah regional tertentu. Meski memang HT memfokuskan aktivitas dakwah di kawasan Timur Tengah yang dalam kalkulasi HT dinilai sebagai kawasan potensial bakal berdirinya Daulah Islamiyyah. Buku mengenal Hizbut Tahrir ini paling tidak merupakan pengantar orisinil bagi kaum muslimin untuk lebih dekat dengan HT, sekaligus menyadarkan umat akan perannya sebagai khoiru ummat yang selama ini telah hilang untuk bangkit dan meraih predikat umat terbaik di tengah-tengah peradaban manusia.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 1

Selasa, 06 September 2016

PROPAGANDA BARAT: DARI STIGMA POLITIK HINGGA HEGEMONI WACANA



Resensi Buku: Persepsi-persepsi Berbahaya untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat
Judul Asli: Mafahim Khathirah li Dharb al- Islam wa Tarkiz al-Hadharah al-Gharbiyyah
Penulis: Abdul Qadim Zallum
Dikeluarkan oleh: Hizbut Tahrir
Penerbit Pustaka Thariqul Izzah Jakarta
Cetakan I, Nopember 1999
73 Halaman

“Kebenaran adalah kesalahan yang dipropagandakan”, demikian sesumbar Adolf Hitler, Tokoh Nazi Jerman, suatu ketika. Hitler tentu tidak sedang berseloroh. Ia bukan saja serius dengan sesumbarnya, tetapi sekaligus sukses mempraktekkannya. Dengan ‘mesin’ propaganda, baik melalui berbagai media maupun tindakan langsung secara konsisten dan berulang-ulang, Hitler mampu menyulap “kesalahan-kesalahan”-nya —berupa sikap otoriter dan tindakan represif- menjadi sebuah “kebenaran”, minimal di mata para pendukungnya.

Dalam kurun selanjutnya, Barat tampaknya paling menyadari efek dahsyat dari propaganda ini. Dengan propaganda pula, Barat telah lama menebar berbagai virus pemikiran ke Dunia Islam. Akibatnya, kaum Muslim bukan saja termakan oleh propaganda pemikiran Barat sehingga memandang benar kekeliruan-kekeliruan pemikiran mereka, tetapi sekaligus telah menjadi bagian dari para propagandis pemikiran itu sendiri. Alih-alih mampu meng-counter berbagai serangan pemikiran Barat yang beracun, kaum Muslim malah larut di dalamnya. Kenyataan demikian merupakan akibat langsung dari tidak adanya kesadaran ideologis di dalam diri kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu, secara kritis, menyingkap hakikat bahaya pemikiran Barat yang selama ini telah demikian mendominasi mereka.

Buku kecil ini tampaknya akan menjadi sebuah buku yang sangat berharga bagi kaum Muslim di tengah langkanya buku-buku yang berusaha membongkar berbagai kekeliruan pemikiran Barat yang demikian gencar dipropagandakan. Secara cermat dan kritis, penulis buku ini mencoba membeberkan borok-borok sebagian pemikiran Barat yang selama ini telah dianggap sebagai kebenaran dan keniscayaan sejarah.

Ada lima jenis gagasan pemikiran Barat yang destruktif -baik hanya sekadar sebagai sebuah stigma (noda) politik yang dilekatkan kepada kaum Muslim ataupun agar dijadikan wacana yang mendominasi pemikiran mereka- yang dicoba dikritisi di dalam buku ini. Kelima jenis pemikiran tersebut adalah terorisme, dialog antar agama, sikap moderat, fundamentalisme, dan globalisasi.

Sebagai sebuah stigma politik, istilah terorisme yang dimunculkan Barat -yang mereka definisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis- lebih merupakan bentuk arogansi mereka vis a vis Dunia lslam. Penisbatan label terorisme adalah cara ampuh Barat, khususnya Amerika, dalam membungkam berbagai gerakan Islam yang dianggap mengancam kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karena itu, sebagaimana halnya HAM dan demokrasi yang mereka gembar-gemborkan, istilah terorisme dilekatkan secara sepihak dan cenderung mendua. Dalam konteks terorisme, buku ini bukan saja mengungkap fakta tentang bagaimana sikap hipokrit Barat dan Amerika dalam menyikapi berbagai tindakan kekerasan, tetapi juga memuat fakta keterlibatan Barat dan Amerika yang justru mensponsori gerakan-gerakan terorisme dalam rangka meraih target-target politik mereka.

Dalam wacana dialog antaragama, buku ini juga berhasil menyingkap bahaya laten gagasan tersebut yang jarang sekali disadari oleh kebanyakan kaum Muslim. Penyebabnya, bukan saja karena gagasan tersebut terkesan humanis dan tampak mulia, tetapi juga karena ia dipandang sebagai cara ampuh untuk meredam konflik antaragama -yang sebetulnya lebih sering dipicu oleh kalangan non-Muslim- dan mengurangi jurang perbedaan di antara masing-masing agama. Dengan itu, kaum Muslim digiring untuk menanggalkan keyakinan beragama yang dipandang “kaku”, "eksklusif”, “puritan”, “sektarian”, dan “intoleran” menuju cara beragama yang lebih “moderat”, “inklusif”, “terbuka”, “toleran”, dan “non-sektarian.” Namun demikian, dialog antaragama sebetulnya lebih merupakan cara Barat dan Amerika untuk mereduksi Islam sebagai sebuah ideologi sehingga ia terlempar ke level yang paling rendah yakni sekadar agama ritual. Dengan dialog antar-agama, Barat berupaya untuk mendudukkan Islam hanya sekadar sebagai sebuah entitas yang disejajarkan dengan agama-agama lain. Artinya, dialog antar-agama, sebagaimana diungkap buku ini, tidak lain merupakan cara halus Barat dan Amerika untuk melakukan sekularisasi Islam dalam rangka mengeliminasi sekaligus memandulkan kekuatan Islam dan kaum Muslim. Sebab, sebagian besar kalangan Barat dan Amerika sendiri -sebagaimana direpresentasikan antara lain oleh Samuel P. Huntington- pada dasarnya menyadari sepenuhnya bahwa Islam, dari sisi manapun, bukan saja bertolak-belakang secara diametral dengan peradaban mereka, tetapi juga merupakan ancaman bagi eksistensi mereka.

Oleh karena itu, yang seharusnya terjadi dan dilakukan oleh kaum Muslim bukanlah dialog antar-agama atau antar-peradaban, tetapi perang antar-pemikiran dan antar-peradaban.

Sementara itu, sikap moderat atau jalan tengah yang juga dipropagandakan oleh Barat dan Amerika, sesungguhnya merupakan gagasan absurd yang juga menyimpan racun yang mematikan. Gagasan tersebut lebih merupakan strategi halus Barat dan Amerika untuk meredam sikap “keras-kepala" kaum Muslim dalam penentangannya terhadap Barat dan Amerika. Sebab, sikap moderat atau jalan tengah yang dipropagandakan -yang merupakan jiwa dan sekaligus inti dari akidah kapitalisme-sekular- tidak lain bertujuan agar kaum Muslim bersedia untuk menanggalkan dan sekaligus meninggalkan aqidah siyasah (ideologi politik) mereka. Dengan itu diharapkan, yang tersisa di tengah-tengah kaum Muslim hanyalah Islam sebagai 'aqidah ruhiyah (keyakinan spiritual) semata. Dari sinilah kemudian, kaum Muslim “dibimbing" untuk melakukan reinterpretasi dan sekaligus rekonstruksi terhadap berbagai fikih (pemahaman) Islam tradisional yang dianggap terlalu “kaku" dan tidak sesuai dengan watak dunia modem.

Stigma lain yang dicoba dipropagandakan oleh Barat dan Amerika adalah istilah fundamentalisme. Istilah tersebut bukan saia terkesan peyoratif (miring), tetapi juga provokatif, la sengaia dipropagandakan untuk membentuk opini internasional agar dunia seluruhnya, secara bersama-sama melawan berbagai gerakan fundamentalis, khususnya gerakan Islam. Sebab, dalam pandangan mereka, fundamentalisme adalah cermin dari watak keterbelakangan, anti-dialog, kaku, kolot, anti-modernitas dan sekaligus anti-Barat.

Sedangkan dalam konteks globalisasi, target yang hendak dibidik adalah bagaimana agar dunia global senantiasa berada dalam dominasi dan hegemoni Barat sebagai pemegang kendali peradaban kapitalis-sekuler.

Walhasil, tidak berlebihan jika dikatakan buku kecil ini sesungguhnya menyimpan energi besar bagi mereka yang senantiasa concern untuk tetap melibatkan diri dalam kancah pergulatan pemikiran maupun perjuangan politik melawan hegemoni kaum kafir imperialis Barat. Dengan itu, mereka tidak saja akan menyadari secara kritis setiap propaganda pemikiran yang dilontarkan musuh-musuh tetapi juga mampu melakukan counter yang seimbang terhadap mereka. Dengan itu pula, kebenaran tidak akan lagi merupakan kesalahan yang dipropagandakan. Kebenaran akan tetap merupakan kebenaran.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Minggu, 04 September 2016

Kritik Terhadap Pluralisme



Ide Pluralisme dalam ideologi Kapitalisme lahir dari pandangan mereka terhadap masyarakat. Bahwa masyarakat itu tersusun dari individu-individu, yang memiliki bermacam-macam keyakinan, opini, kepentingan, asal-usul, dan kebutuhan.

Menurut mereka sudah menjadi keharusan apabila di tengah-tengah masyarakat dijumpai berbagai golongan yang berbeda-beda. Setiap golongan mempunyai tujuan dan targetnya tersendiri. Setiap golongan diwakili oleh partai, gerakan, atau organisasi. Dan setiap partai, gerakan, atau organisasi tersebut harus diakui keberadaannya dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam aktifitas politik. Jadi, Pluralisme dalam pandangan Kapitalisme merupakan kebalikan dari ide kelompok tunggal atau partai tunggal.

Namun demikian, Pluralisme sebenarnya kemajemukan yang harus disesuaikan sedemikian rupa dengan format sistem politik Kapitalisme. Sehingga dalam masyarakat Kapitalis tidak ada tempat bagi golongan yang tidak mempercayai ideologi Kapitalisme, atau kelompok yang berjuang untuk menghancurkan sistem Kapitalisme yang ada.

Logika kemajemukan partai sesuai dengan keyakinan tunggal atau format sistem politik tunggal, diakui pula keberadaannya oleh Islam. Tentu hal ini tidak sama dengan pengertian Pluralisme sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh orang-orang Kapitalis.

Islam memang membenarkan kemajemukan berbagai partai dan gerakan, selama mereka tetap mendasarkannya pada asas tunggal yaitu Aqidah Islamiyah. Namun, Islam tidak mentolerir keberadaan partai atau gerakan yang bertujuan merobohkan sistem politik Islam. Jadi, keberadaan partai dan gerakan apapun tetap dibenarkan selama mereka tetap berpedoman dengan pendapat-pendapat yang Islami, yaitu pendapat-pendapat yang terpancar dari Aqidah Islamiyah atau pendapat-pendapatnya dibangun di atas Aqidah Islamiyah.

Akan tetapi sekali lagi, ini bukan berarti Islam menerima ide Pluralisme secara mutlak, atau menerima Pluralisme dalam pengertiannya menurut paham Kapitalisme seperti yang dipropagandakan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat pada umumnya. Sebab, Pluralisme dalam pandangan Kapitalisme lahir dari ideologi Kapitalisme yang mendasarkannya pada aksioma pemisahan agama dari kehidupan (yang lebih populer dengan istilah sekularisme).

Pluralisme menurut pengertian ideologi Kapitalisme tersebut berarti dibolehkan berdirinya partai atau gerakan yang mengajak kepada aqidah apa saja termasuk aqidah kufur, seperti ide pemisahan agama dari kehidupan, dibolehkan juga adanya partai yang berdiri di atas asas yang diharamkan Islam, seperti partai yang berasaskan Nasionalisme dan Patriotisme. Begitu pula dibolehkan berdirinya gerakan-gerakan yang mengajak kepada apa yang diharamkan Allah, seperti kelompok-kelompok yang berperilaku seksual menyimpang (kelompok-kelompok gay dan lesbian) dan perzinaan, serta dibenarkan pula adanya kelompok-kelompok yang membela dan mempertahankan perjudian, minuman keras, aborsi, kebebasan (liberalisme) wanita dan yang sejenisnya. Semua contoh kelompok-kelompok tersebut berhak eksis di tengah-tengah masyarakat, karena merupakan satu keniscayaan akan fakta yang ada di dalam masyarakat yang majemuk.
Sebagian dari kaum muslimin yang terpengaruh ide Pluralisme malah berdalih dengan firman Allah SWT: Al-Hujurat:13.

Padahal ayat ini menunjukkan dalam masyarakat terdapat kenyataan asal usul masyarakal yang terdiri dari berbagai macam bangsa dan suku. Artinya kemajemukan yang ada dilihat dari aspek ras, suku bangsa, jenis kelamin, daerah dan sejenisnya. Bukan ditinjau dari keragaman keyakinan, tingkah laku, kecenderungan, pemikiran, kelompok, dst. yang bermuara pada kebolehan dan berhaknya masing-masing kelompok mengekspresikan keyakinan, tingkah laku, kecenderungan, pemikiran, aliran politiknya, dst. meskipun keyakinan, tingkah laku, kecenderungan, dan pemikirannya itu jelas-jelas kekufurannya. Meskipun di masa Nabi Saw., masyarakat terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan bermacam-macam agama/keyakinan (seperti yahudi, nashrani, bahkan majusi dan paganis), tetapi, format sistem politik, sosial, hukum, dan pemerintahan dilandasi oleh asas tunggal, yaitu aqidah Islamiyah. Hal ini tersurat dalam teks piagam Madinah (Watsiqoh Madinah): “Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yang berbeda dengan umat lainnya”.

Ini mengandung arti bahwa masyarakat di masa Rasulullah merujuk pada asas Aqidah Islamiyah, yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat/peradaban yang ada saat itu. Yaitu keyakinan, tingkah laku, kecenderungan dan pemikirannya didominasi oleh asas Islam. Masyarakat secara komunal tidak akan menampakkan keyakinan, tingkah laku, kecenderungan dan pemikiran yang menampakkan keyakinan, tingkah laku, kecenderungan dan pemikiran yang jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islamiyah. Walaupun ada sekelompok masyarakat Yahudi atau Nashrani misalnya di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin, namun pemikiran-pemikiran, kecenderungan, tingkah laku dan keyakinan mereka tidak sampai secara jama'iy. Sebab hanya pemikiran, kecenderungan, tingkah laku dan keyakinan Islamlah yang boleh tampak nyata di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh menerima ide Pluralisme yang dipropagandakan AS dan negara-negara Barat secara mutlak. Sebab, menerima ide Pluralisme berarti membenarkan adanya seruan-seruan kepada kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Sesungguhnya Pluralisme adalah ide yang tidak akan pernah diterima oleh seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, karena dia mengetahui berdasarkan ilmul yaqin (informasi dari wahyu yang bersifat qath'i) bahwa Allah di akhirat nanti akan menjatuhkan siksa terhadap siapa saja yang menjalankan kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 1

Sabtu, 03 September 2016

Nikmat Ideologi Islam



Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kepada kita dengan Ideologi Islam dan dengannya kita bisa menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, melarang dan menyeru dengan Islam. Umat Islam sebelum kita telah mengemban risalah kebaikan untuk seluruh manusia hingga kita dapat menempati puncak kemuliaan dan kejayaan selama berabad-abad, Negara Khilafah telah menempati posisi negara adidaya nomor satu di dunia selama hampir 14 abad.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Sayidina Muhammad Saw., para sahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti jejaknya serta meneladani jalan hidupnya sampai hari Kiamat nanti.

Saat ini kita tengah mendambakan kembalinya kehidupan Islam, dengan berdirinya negara Khilafah dan terlepasanya kita dari segala bentuk penjajahan, dominasi, dan keterbelakangan. Kita berharap agar kaum muslimin menempati posisi sebagai sumber kebijakan bagi seluruh umat manusia.

Supaya kita dapat mewujudkan semua tujuan ini, maka kita harus mempersenjatai diri dengan kesadaran terhadap ide-ide Islam, kesadaran terhadap konstelasi politik internasional, dan kesadaran tentang strategi negara-negara kapitalis yang selalu diperbaharui dan berubah-ubah bentuknya. Semua kesadaran ini harus kita miliki agar kita dapat membeberkan strategi tersebut kepada umat dan memperingatkan umat akan bahayanya. Dengan demikian, kita akan dapat menjaga keselamatan pemikiran dan perasaan umat dengan penuh amanah, serta mengawasi mereka agar dapat terus melangkah kembali menuju puncak kejayaannya.

Sesungguhnya ekonomi merupakan salah satu faktor kekuatan negara. Kekuatan militer suatu negara tidak ada artinya tanpa kekuatan ideologi. Sementara kekuatan militer suatu negara tanpa kekuatan ekonomi juga tak ada artinya. Oleh karena itu, negara-negara adidaya selalu memberi perhatian yang amat besar pada ide-ide ekonomi dan merancang berbagai strategi dan taktik untuk memperkuat perekonomiannya. Tujuannya tiada lain untuk menguasai sumber-sumber alam dan energi, selain membuka pasar bagi produk-produk mereka. Telah banyak terjadi kejahatan persekongkolan dan rencana negara-negara Barat kapitalis terhadap negeri-negeri yang memiliki sumber daya alam amat kaya dan melimpah, yang biasa disebut oleh negara-negara Barat sebagai negeri-negeri miskin (sedang membangun). Perlu diketahui hakikat sang penipu yang bernama “peradaban Barat”, yang terwujud dalam bentuk sistem kehidupan kapitalisme. Sebuah Sistem yang dikesankan indah oleh mereka yang terkecoh dan termakan propagandanya.

Keliaran, kebuasan, kezhaliman dan keserakahan eksploitasi dalam sistem kehidupan kapitalisme telah banyak terjadi, sehingga tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk menyebarluaskan dan menganut ide-ide kapitalis di bidang politik maupun ekonomi.

Negara-negara imperialis menjadikan ekonomi sebagai sebuah alat yang paling ampuh untuk menjalankan imperialisme barunya. Demikian pentingnya aspek ekonomi ini sampai-sampai Bill Clinton sendiri pernah mengatakan:
“Sesungguhnya blok-blok perdagangan kita lebih penting daripada blok-blok militer. Saat ini, posisi ekonomi di dunia telah menggantikan posisi politik. Oleh karena itu, Amerika membentuk Dewan Ekonomi Nasional yang serupa dengan Dewan Keamanan Nasional”.

Sementara itu, seorang penasihat Keamanan Nasional AS dalam sebuah pernyataannya tertanggal 21 September 1993, mengatakan: “kita harus menyebarkan Demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara keamanan kita, yaitu nilai-nilai Amerika yang luhur".

Pencabutan subsidi atas sektor-sektor publik seperti listrik, air minum, telekomunikasi, BBM, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya adalah langkah populer. Kemudian mulai melebarkan pos pendapatan melalui pajak. Pada akhirnya, yang susah masyarakat juga. Ada juga yang ngotot agar hubungan ribawi Indonesia dengan CGI, IMF, Bank Dunia ataupun lembaga-lembaga donor tidak diputus. Alasannya klasik, bahwa kita tidak mungkin memutus hubungan begitu saja, karena kita dianggap belum mampu mandiri.

Sudahkah kita sadari rencana-rencana jahat mereka ataukah masih tetap menganggap baik negara-negara Barat? Yang pasti, kaum muslimin tidak akan pernah sanggup menghadapi penindasan dan penghinaan, kecuali berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya negara Khilafah Rasyidah dengan seizin Allah.

Jumat, 02 September 2016

HIDUP MULIA ATAU HIDUP TERHINA



"Kalau Israel ingin hidup, maka ia wajib terus berperang". Itu adalah penggalan kata-kata mantan Perdana Menteri Israel, Ben Gurion. Barangkali itulah yang mendorong negara zionis semena-mena terhadap warga Palestina di daerah-daerah pendudukan yang dikuasai Israel. Itu pula yang menjadi tabiat Israel yang seringkali melakukan provokasi terhadap kaum Muslim. Namun, jauh-jauh hari Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita, perangai dan sikap provokatif bangsa Yahudi. Firman Allah Swt. (artinya): “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS. Al-Maidah [5]: 82).

Tanah Palestina, adalah tanah milik kaum Muslim. Berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah sejak 15 abad yang lalu. Pernah dirampas oleh pasukan Salib lebih dari 80 tahun. Akan tetapi berhasil direbut lagi oleh pasukan kaum Muslim, hingga datang orang-orang Yahudi. Dengan dukungan dan siasat licik imperialis Inggris dan Perancis, di atas tanah Palestina lahir negara perampas, Yahudi Israel. Dan saat ini, AS sebagai negara adidaya memainkan percaturan politik yang amat dominan di kawasan itu, untuk menjaga kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan militernya.

Umar bin Khaththab ra, Khalifah kedua dari Khulafaur Rasyidin, datang mengunjungi tanah suci ketiga, al Quds. Beliau, pada tahun 636 M, menerima kunci kota al Quds (saat itu lebih dikenal sebagai 'Illia) dari pendeta Patriarch Shafarniyus -tokoh Nashrani di kota 'Illia-. Ini adalah simbol penyerahan wilayah tersebut ke tangan kaum Muslim dan berada dalam kekuasaan Daulah Khilalah lslamiyah. Beliau, kemudian menandatangani perjanjian dengan Shafarniyus yang dikenal dengan perjanjian Umariyah atau piagam 'Illia. Isinya sebagai berikut:
“Dengan nama Allah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada penduduk 'lllia mengenai keamanan, Ia menjamin keamanan yang mencakup jiwa dan harta mereka, mencakup pula gereja dan salib-salib mereka, juga termasuk orang-orang yang sakit maupun yang sehat, dan untuk seluruh komunitasnya... Dan tidak diizinkan tinggal bersama mereka, seorangpun dari orang Yahudi”.

Maka, dari tinjauan historis keberadaan negara Yahudi Israel di atas tanah Palestina adalah tidak sah. Sebab, Yahudi telah merampas paksa tanah tersebut dari penduduknya, kaum Muslim.

Yahudi merupakan musuh, yang selalu memerangi umat Islam. Bahkan saat ini, kondisi kita -kaum muslimin- dengan Yahudi, dalam keadaan perang riil dengan mereka. mereka telah merampas tanah, menganiaya warga Palestina dengan cara membunuh, menjarah, menyiksa dan mengusir penduduknya, hingga membuldoser, atau membom rumah tinggal warga palestina. Islam telah menganggap darah dan harta orang-orang Yahudi di Palestina saat ini halal, dan tidak mempunyai nilai sama sekali. Allah Swt. berfirman:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu” (QS. Al-baqoroh: 190).

“Siapa saja yang menyerang kamu. seranglah ie. seimbang dengan serangannya terhadap kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 194)

Peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 28/09/2000, dipicu oleh kunjungan Ariel Sharon ke tempat suci kaum Muslim, berujung pada maraknya tindak kekerasan, yang memakan korban lebih dari 150 orang tewas, dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Manuver yang dilakukan Sharon hanyalah katalisator untuk memuluskan skenario AS yang telah memaksa Palestina dan Israel menyepakati perundingan damai.

Tindakan Yahudi, yang membantai ratusan kaum Muslim sejak sebulan terakhir dilakukan mereka, karena mereka paham bahwa seluruh penguasa Arab, bahkan seluruh penguasa Muslim, tidak akan berbuat apa-apa. Oleh karena itu penguasa-penguasa Arab dan penguasa-penguasa Muslim lainnya turut bertanggung jawab bersama-sama orang Yahudi atas pembantaian tersebut. Mereka berdiam diri, bersikap pengecut dan membuang pedang yang mereka miliki, serta pasrah terhadap AS. Lebih parah lagi, bersedia duduk bersama-sama dengan musuh-musuh mereka, melanjutkan perundingan damai, dan membiarkan Israel mencaplok Palestina. Israel amat faham, betapa penguasa Arab dan seluruh penguasa Muslim, tidak memiliki harga diri lagi, dan betapa mereka mau saja diajak berunding, lalu menyepakati perdamaian yang ditawarkan. Mereka terus berupaya dan berkolaborasi mewujudkan perdamaian, menekan para penguasa Arab dan penguasa Muslim, agar segera menyerahkan sebagian besar tanah Palestina, dan melupakannya!

Satu-satunya jalan menghadapi tindakan negara zionis itu adalah mengumumkan Jihad kepada kaum Muslim, terutama yang bertempat tinggal di sekitar tanah Palestina. Bila ini dilakukan, orang-orang Yahudi akan gemetar, dan sadar bahwa kepunahan mereka segera tiba.

Perundingan damai dengan Israel harus disudahi. Pintu perdamaian harus dikunci. Kesombongan dan sikap mereka yang selalu meremehkan kaum muslimin harus segera diakhiri. Segera diumumkan jihad, sampai orang-orang Yahudi yang bercokol di tanah Palestina digulung habis, dan sisanya akan kembali hidup terbina seperti dulu. Kaum Muslim, dengan kekuatan dan pertolongan Allah Swt. pasti akan dapat melakukannya. Ini karena umat Islam adalah umat yang mulia selama mereka merujuk kepada sistem hukum Islam. Dan karena Allah bersama-sama orang mukmin yang setia dan menjalankan perintah Allah Swt. Allah akan menolong hamba-hambanya, apabila mereka menolong (agama) Allah. “Janganlah kamu bersikap lemah dan minta damai. padahal kamulah yang paling tinggi. Dan Allah beserta kamu”. (QS. Muhammad [47]:35)

“jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan memperkuat kedudukanmu” (QS. Muhammad [47]: 7)

Rasulullah Saw. telah mengabarkan kehancuran orang-orang Yahudi (artinya): “Tidak akan tiba hari Kiamat, sehingga kaum Muslim memerangi kaum Yahudi. Kemudian kaum Muslim akan memerangi mereka, sampai-sampai batu dan pepohonan (bisa) berkata 'Wahai muslim, wahai Abdullah. Ini ada orang Yahudi yang bersembunyi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah (mereka). (HR. Muslim)

Tinggal kita memilih, apakah tetap hidup dengan menanggung kehinaan, menjadi obyek dan sasaran dan makar jahat orang-orang Yahudi, AS dan sekutunya. Ataukah kita meraih hidup mulia, dengan jalan jihad fi sabilillah, memerangi Yahudi dan seluruh kekuatan yang menopangnya, dan menjadi bagian dari pasukan yang memerangi Yahudi, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw. tadi.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam