Dalam sistem yang
berlaku sekarang ini, ingkar janji menjadi tradisi para pemimpin terpilih.
Lantaran ”adil” tidak menjadi syarat calon pemimpin dan bila sudah terpilih
lalu ingkar janji pun tidak dikenai sanksi. Lantas bagaimana dalam sistem
pemerintahan Islam alias khilafah? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan
Media Umat Jaka Prasetya dengan Shiddiq Al Jawi, anggota DPP Hizbut Tahrir
Indonesia. Berikut petikannya.
Pendapat
Anda dengan adanya ijtima' Ulama yang menyoroti penguasa ingkar janji?
Saya respek dan
memberi apresiasi terhadap tema tersebut. Karena memang sudah seharusnya ulama
yang betul betul waratsaul anbiya' itu ya harus kritis kepada para pemimpin,
bukan malah menjadi stempel untuk melegitimasi mereka.
Hanya saja memang
pembahasan di Ijtima' Ulama MUI kemarin menurut saya tidak terlalu tajam. Hanya
disimpulkan ingkar janji bagi pemimpin adalah haram hukumnya. Sanksinya apa
tidak jelas. Memang disebut pemimpin seperti itu tidak usah dipilih lagi. Tapi
tetap tak ada sanksi yang tegas, misalnya pemakzulan (impeachment). Itu tidak
ada.
Dalam
pandangan Islam apa hukumnya penguasa ingkar janji?
Pemimpin yang ingkar
janji dalam Islam berarti telah melakukan suatu kebohongan yang merupakan dosa
besar. Dalam hadits disebut penguasa yang melakukan ghisy
(penipuan/kecurangan).
Dalam hadits shahih
riwayat Imam Muslim (no.1829), Nabi SAW bersabda, ”Seorang hamba yang dijadikan
Allah memimpin rakyat, lalu dia mati dalam keadaan berbohong kepada rakyatnya,
niscaya Allah mengharamkan Surga baginya.”
Jika penguasa dituduh
ingkar janji, maka dia dapat diadili dalam Mahkamah Mazhalim dalam negara
khilafah. Mahkamah ini akan melakukan sidang itsbat, dengan mengkaji sejumlah
bukti dan saksi, apakah perbuatan penguasa yang ingkar janji itu sudah merusak
sifat keadilan ('adaalah) atau tidak. Jika merusak sifat keadilan, maka
penguasa itu dapat dimakzulkan. Karena salah satu syarat penguasa dalam Islam
adalah harus mempunyai sifat adil ('adaalah).
Apakah
Jokowi-JK dan para penguasa sebelumnya ketika berkuasa termasuk penguasa yang
kerap ingkar janji?
Oh, jelas. Para
penguasa itu kerap ingkar janji dan juga tukang bohong. Rakyat tahu itu.
Contohnya, Jokowi ketika kampanye untuk menjadi Gubernur DKI berpidato bahwa
Jokowi dan Ahok berkomitmen memperbaiki DKI Jakarta dalam 5 tahun. Ada itu
videonya di youtube, bisa dilihat siapa saja. Faktanya, baru sekitar 2,5 tahun
jadi gubernur, Jokowi terus meninggalkan kursinya sebagai Gubernur DKI dan
mencalonkan diri menjadi presiden RI. Padahal janjinya akan komit sebagai
pemimpin DKI 5 tahun. Bukankah itu ingkar janji?
Mengapa
ingkar janji menjadi tradisi para pemimpin terpilih? Apakah mereka tidak paham
hukum Islamnya atau lantaran tidak ada sanksi dari hukum yang berlaku saat ini?
Saya pikir mereka tahu
ya kalau ingkar janji itu tidak boleh dalam Islam. Mereka tahulah yang kayak
gitu. Tapi masalahnya sistem demokrasi itu memang memberi kesempatan kepada
pemimpin yang suka ingkar janji. Jadi, menurut saya pemimpin yang suka ingkar janji
memang buah dari sistem demokrasi itu sendiri.
Kok
bisa dikatakan sebagai buah dari penerapan demokrasi?
Begini. Sistem
demokrasi yang ada, tidak memberi sanksi tegas kepada pemimpin yang ingkar
janji. Ndak ada dalam UUD atau UU apapun
yang melarang atau memberi sanksi kepada pemimpin yang ingkar janji.
Kemungkinan celah untuk pemakzulan (impeachment)
juga hampir tidak ada, kecuali melalui klausul melakukan ”perbuatan
tercela". Tentu ini sangat multitafsir dan kabur. Paling banter hanya
dikatakan bahwa pemimpin yang ingkar janji tak usah dipilih lagi kalau
mencalonkan lagi pada periode berikutnya. Karena itu saya katakan, pemimpin
yang suka ingkar janji memang dilahirkan oleh sistem demokrasi.
Sebaliknya, kalau
sistem politiknya Islam, pemimpin yang ingkar janji ibarat anak haram dari
sistem Islam. Pemimpin seperti itu, kalaupun ada dalam sistem politik Islam,
jelas akan terpental dari sistem. Ini jelas beda dengan sistem demokrasi, dalam
demokrasi pemimpin yang suka ingkar janji adalah ibarat anak kandung demokrasi.
Jadi di sini kita harus melihat juga sistemnya, bukan semata-mata pemimpinnya,
ingkar janji atau tidak.
Kalau
sistem Islam kenapa, kalau bukan sistem Islam kenapa?
Begini. Sistem Islam
adalah sistem yang baik, diatur oleh hukum yang baik, yaitu hukum Islam yang
bersumber wahyu yakni Al-Qur'an dan As Sunnah. Ibarat habitat, sistem Islam itu
habitat yang cocok untuk manusia, seperti air yang sehat dan bersih yang cocok
untuk kehidupan ikan. Beda dengan sistem demokrasi, yang hukumnya dibuat
sendiri oleh manusia, bukan hukum dari wahyu. Jadi sistem demokrasi itu sistem
rusak, ibarat air yang sudah tercemar dengan limbah-limbah berbahaya, sehingga
ikan yang hidup di dalamnya pasti rusak dan akhirnya mati, itulah sistem
demokrasi.
Demokrasi
bukan sistem Islam?
Demokrasi bukan sistem
Islam, tapi sistem kufur. Bukan berarti saya mengkafirkan pelaku sistem
demokrasi. Saya mengkafirkan sistemnya. Jadi, saya hanya meletakkan demokrasi
dalam sebuah klasifikasi bahwa demokrasi adalah sistem di luar Islam. Buktinya,
demokrasi mengajarkan hak membuat hukum (kedaulatan/sovereignty) di tangan
manusia. Padahal, dalam Islam diajarkan inil
hukmu illa lillah (menetapkan hukum hanyalah hak Allah) (TQS Al An'aam :
57). Inilah letak kekufuran demokrasi.
Adapun prinsip
demokrasi bahwa pemimpin itu pilihan rakyat, memang tidak bertentangan dengan
Islam. Tapi ujungnya, tetap tidak sesuai Islam. Yakni, ketika pemimpin sudah
terpilih, dia akan menjalankan hukum buatan rakyat. Kalau dalam Islam, setelah
terpilih, pemimpin menjalankan hukum syariat, bukan hukum buatan rakyat.
Lantas
sistem Islam dalam kehidupan bernegara dan bemasyarakat itu apa?
Sistem itu namanya
Khilafah. Buktinya bisa kita lihat secara normatif dan historis-empiris. Secara
normatif banyak hadits yang menjelaskan tentang Khilafah. Coba baca Shahih
Bukhari dalam bab Kitabul Ahkam, atau Shahih Muslim bab Kitabul Imarah. Secara
historis-empiris, khilafah telah menjadi sistem pemerintahan di tengah umat
Islam yang berumur 13 abad lebih, sejak diangkatnya Abu Bakar Shiddiq sebagai
Khalifah (634 M), hingga Khalifah terakhir di Khilafah Utsmaniyah Turki, yaitu
Sultan Abdul Majid II (1924 M).
Tapi
bukankah Wapres JK dalam pembukaan Ijtima' Ulama mewanti-wanti para ulama agar
tidak mendukung penegakan khilafah?
JK menurut saya,
(maaf) kurang memahami persoalan khilafah. Karena khilafah ini kan sebenarnya
sistem yang diperintahkan agama. itu sudah ijma' (kesepakatan) ulama sejak
dahulu. Baca itu Ensiklopedi ijma' (Maratibul Ijma’) karya Imam lbnu Hazm. Jadi
ucapan JK menurut saya tidak usah digubris lah.
Lho
mengapa tidak usah digubris, bukankah JK adalah ulil amri?
JK itu Wapres RI,
bukan Ulil Amri. Ulil Amri itu salah satu syaratnya menerapkan syariah Islam
secara kaffah (menyeluruh) untuk segala
bidang kehidupan, sesuai QS. Al Baqarah: 208. Di indonesia, penerapan syariah
Islam belum kaffah, baru parsial saja. Itu harus kita akui dengan jujur dan
objektif []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 153, Juni-Juli 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar