Saat
Marhaenisme Rontok Seketika
Betapa terkejut dan
terharunya Edhy Sutanto Kusumosudjono begitu mengetahui bahwa Islam tidak hanya
mengatur ibadah mahdhah dan akhlak saja
tetapi juga mengatur politik, ekonomi, sistem pemerintahan, hubungan luar
negeri dan lainnya. ”Sampai umur 62 tahun saya tidak mengerti dan tidak
tahu," ujar lelaki kelahiran Tulungagung, 30 Maret 1952, mengenang
kejadian dua tahun lalu tatkala mengetahui bahwa ajaran Islam sekomplet itu.
Saat itu, Edhy
berkunjung ke rumah adik iparnya Dr. Sutiastuti W. yang hendak mengikuti ujian
terbuka doktor di Institut Pertanian Bogor. Di rumah sang adik di Bogor, Edhy
membaca buletin Al-Islam dan tabloid Media Umat yang menceritakan Islam peduli
pada pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang dikupas habis-habisan.
”Saya kaget campur
terharu dan bangga. Dalam batin saya: Islam seperti ini yang saya cari sebab
selama ini dalam benak saya hanya kaum Marhaenis yang memikirkan pengelolaan
alam tidak boleh diserahkan ke asing. Kok
di Islam ada juga pemikiran seperti ini," ujar peraih gelar doktor di
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang kepada Media Umat Ahad
(1/5/2016).
Marhaenis
Sejak Kecil
Maklumlah meski lahir
dari keluarga Muslim dan beragama Islam, sejak kecil alam pikir Edhy cenderung
ke Marhaenisme (derivat ideologi sosialisme yang dikembangkan Soekarno untuk
menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa). Edhy kecil
yang suka membaca melahap berbagai buku dan bacaan utamanya adalah Di Bawah
Bendera Revolusi (DBR) Jilid 1 dan 2 serta semua pidato-pidato Bung Karno
setiap tanggal 17 Agustus. Ia mendapatkan buku-buku tersebut dari orangtuanya
yang kala itu bekerja di Kantor Penerangan.
Walhasil peraih Satya
Lencana Pembangunan dari Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 pun kagum
dengan Bung Karno, pemikirannya dan perjuangannya. “Saya kagum dengan
perjuangan beliau sejak muda yang ingin memerdekakan Indonesia, sampai beliau
rela dipenjara dan diasingkan. Apalagi pidato pembelaan beliau di pengadilan
kolonial Belanda yang kita kenal semua yaitu Indonesia Menggugat. Intinya di
situ beliau tidak anti Belanda tapi anti pemikiran Belanda yang menjajah dan
memecah belah rakyat Indonesia," ujarnya.
Makanya pada 1965
sewaktu Edhy duduk di bangku SMP dan SLTA, ia langsung masuk dan aktif sebagai
anggota di organisasi yang mengusung marhaenisme yakni di Gerakan Siswa
Nasional Indonesia (GSNI) dan ketika kuliah sejak 1972 dilanjutkan sebagai
anggota Gerakan Mahasiswa Nasional lndonesia (GMNI) di Universitas Gadjah Mada
(UGM).
Saat itu, Edhy
berpendapat problematika umat dari golongan manapun juga adalah sama yaitu
ingin mengusir penjajah dan membangun persatuan bangsa (Bhineka tunggal ika)
untuk mewujudkan masyarakat adil makmur. Makanya, menurut Edhy kala itu, untuk
mewujudkannya tentu saja dengan mengikuti dan mengamalkan ajaran Bung Karno
agar terwujud cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur.
Agar Marhaenisme bisa
eksis, ia pun berupaya agar masyarakat memahami ajaran Marhaenisme dan
berpandangan sama dengan Bung Karno, ”melalui sosialisasi kepada siapa saja
yang saya jumpai pada kesempatan apapun dan ketika menjadi dosen saya sampaikan
juga kepada mahasiswa."
Hampir dalam seluruh
hidupnya Edhy memandang kalau untuk ibadah ritual dan akhlak, ya pakai Islam
tetapi untuk mengatur pemerintahan dan melawan penjajahan tentu saja pakai
Marhaenisme. Maka ketika tahu ternyata Islam mengatur juga masalah pemerintahan
dan perlawanan terhadap penjajahan iapun bertanya: ”Ngaji di mana kok ada
pemikiran Islam yang hebat?”
Dosen Fakultas
Kehutanan IPB Dr. Ir. Bachroni Said, adiknya Edhi, dengan sigap menjawab,
”Ngaji di HTI."
Adiknya dan adik
iparnya pun serentak menjawab ”ada" ketika Edhy bertanya apakah di
Semarang juga ada. Adiknya pun menulis nama Ustadz Muhammad Choirul Anam dan
nomor kontaknya.
Rontok
Seketika
Sesampainya di
Semarang, kemudian Edhy menelepon Choirul Anam, yang waktu itu sedang berada di
laboratorium MIPA Universitas Diponegoro. Lalu Edhy mendatanginya dan langsung
meminta mengaji. Choirul Anam merasa heran kok ada orang tiba-tiba telpon dan
datang mau mengaji.
Singkat cerita Choirul
Anam pun bersedia memberikan tausiyah kepada Edhy. Dengan tenang dan lancar
Choirul pun menjelaskan pengertian akidah Islam dan berbagai aturan yang
terpancar dari akidah tersebut yang meliputi seluruh bidang termasuk
pemerintahan.
”Hanya waktu 5-10
menit, habis pemikiran dan ideologi yang saya emban selama ini dan saya
bersyukur kepada Allah SWT saya dipilih oleh-Nya untuk memperoleh pencerahan
dan kebenaran Islam," ujar Edhy bersyukur.
Sejak itu, aktivitas
Edhy adalah membantu dakwah Islam. "Semangat serta tingkah laku dan
perjuangan saya pantang surut seperti semula, hanya pondasi pemikiran dan
dakwah berbeda, bukan Marhenisme lagi tapi Islam. Syukur alhamdulillah,” ujarnya dengan riang.
Pandangan hidupnya pun
berubah drastis. "Saya sekarang berpandangan paham sosialis keliru besar
sebab hanya andalkan kebenaran dari logika manusia tidak merujuk pada kebenaran
wahyu dari Allah SWT, astaghfirullah hal adzim,"
akunya.
Dan sekarang, ia
berpandangan konsepsi Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil makmur tidak
akan terwujud tanpa melaksanakan syariah Islam secara kaffah di bawah Daulah
Khilafah yang mengikuti langkah-langkah Nabi Muhammad SAW. "Itu
satu-satunya cara, tidak ada yang lain,” tegasnya.
Sebagai dosen dan
ketua harian yayasan pendidikan, maka ia pun memanfaatkan posisinya untuk
berdakwah menyampaikan kepada warga kampus. "Mahasiswa yang saya kasih
kuliah dan teman-teman kolega dosen untuk memberikan pemahaman yang benar
tentang akidah Islam dan sebagian dari mereka ada yang sudah masuk pembinaan
intensif, mereka saya fasilitasi satu ruang di rumah saya lengkap dengan
proyektornya. Sekarang sudah ada tiga angkatan. Dan bila ada even-even
pertemuan untuk Kajian Islam Peradaban dan Pertemuan Tokoh Umat teman-teman dan
mahasiswa-mahasiswa saya, insya Allah,
selalu saya libatkan,” terangnya.
Dalam waktu yang
bersamaan, teman-teman sosialis dan Marhaenis banyak yang kecewa begitu
mengetahui Edhy berganti ideologi. ”Ya pasti saya dianggap 'murtad' oleh
mereka-mereka. Dan saya tidak takut secuilpun tapi justru mereka-mereka dalam
benak saya adalah ladang ibadah saya, sehingga mereka mulai saya dekati satu
per satu agar meninggalkan ideologi yang keliru,” bebernya.
Meski sering
dikucilkan, ia tetap berupaya agar dapat mengisi forum-forum mereka. "Dan
beberapa tokoh mereka saya kirimi bukunya ustadz saya, Ustadz Choirul Anam,
yang berjudul Cinta Indonesia dan Rindu Khilafah. Mohon doanya agar forum yang
saya inginkan bisa terwujud apapun risikonya akan saya hadapi. Mumpung Allah
SWT memberikan saya kondisi sehat," pungkasnya.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 173, Mei 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar