“Kami
Ingin Hidup”
Tak ada pilihan lain
bagi Muslim Rohingya kecuali meninggalkan Myanmar yang dulu bernama Burma.
Mereka menjadi sasaran kekerasan fisik berupa pemerkosaan, pembunuhan, dan
pembakaran rumah-rumah oleh etnis Budha yang mayoritas. Tak ada tempat
berlindung di negara itu karena negara ada di balik kebiadaban kaum Budha.
Muhammad Ali, remaja
yang bisa berbahasa Inggris di antara 200-an pengungsi di Langsa, Aceh,
mengisahkan kondisi yang dialaminya kepada kontributor Media Umat. "Kami
hanya ingin tetap hidup," katanya sambil meneteskan air mata.
Bersama dengan Muslim
lainnya, kisahnya, ia berhasil melarikan diri dari kejaran etnis Budha Myanmar.
Mereka naik ke atas kapal dan mengarungi lautan menuju daratan Thailand. Satu
harapan yang ingin diraih yakni keberlangsungan hidup.
Ia mengaku, tak tahu
hidup yang bagaimana yang akan dijalani kelak. ”Yang penting hidup," kata
Ali di kamp penampungan pengungsi Muslim Rohingya, Pelabuhan Kuala Langsa, Aceh
beberapa waktu lalu.
”Jumlah kami ada
ribuan yang melarikan diri dari Burma, ini hanya sebahagian saja, masih banyak
lagi orang-orang kami yang belum terselamatkan dan berada di lautan,"
lanjutnya.
Umumnya Muslim
Rohingya, lari keluar dari Myanmar melalui jalur laut, karena ini satu-satunya
jalan yang masih dianggap aman. "Kami keluar di waktu malam dari
tempat-tempat persembunyian kami, dengan kapal-kapal kecil (perahu-red) menuju
sebuah kapal kayu besar yang berlabuh jauh dari pantai.”
Bukannya selamat di
Thailand, mereka malah ditahan oleh kapal patroli Thailand selama tiga hari.
Babak baru penderitaan pun terjadi. Pembantaian etnis.
Menurut Ali, di
Thailand, mereka dipaksa berkelahi dengan warga Bangladesh oleh aparat keamanan
Thailand. ”Saat di darat kami dipaksa untuk berkelahi dengan orang Bangladesh.
Banyak dari kami yang meninggal akibat terbunuh dalam perkelahian itu."
Tak berhenti di situ.
Setelah mengalami nasib tragis tersebut, mereka dipaksa untuk meninggalkan
Thailand. Dua etnis yang berbeda pun dinaikkan ke kapal dengan kondisi
berdesak-desakan. Kapal mereka digiring kembali ke laut untuk meninggalkan
negara Gajah Putih itu. Tapi kapal itu tak mempunyai nahkoda.
Pertikaian sebelumnya
yang dipicu oleh tentara Thailand di daratan pun berlanjut di atas kapal. Tak
jarang perkelahian ini kerap berujung pada kematian. ”Kami sering sekali
bertengkar dengan Bangladesh, bahkan sampai terjadi perkelahian, hanya
gara-gara jatah makan, jatah air, atau masalah lainnya, bahkan pernah ada
seorang bayi dibuang ke laut oleh orang Bangladesh, hanya karena anak itu
menangis terus,” kata Ali.
Mereka
terkatung-katung selama kurang lebih tiga bulan di tengah lautan, tanpa
persediaan makanan dan air yang cukup. Di tengah suasana permusuhan di atas
kapal karena memperebutkan sumber daya dan adanya dendam akibat adu-domba,
mereka ditolong oleh para nelayan Aceh. Mereka pun dibawa ke Pelabuhan Kuala
Langsa. Sementara mereka bisa hidup, seperti yang mereka harapkan.
”Hidup" itulah
harapan terakhir para pengungsi Rohingya. Itu pula yang dikemukakan Abdur
Rasyid (40 tahun). Rumahnya dibakar oleh orang Budha, hingga ia harus lari
bersama tiga anaknya ke lain desa. Ia tak tahu lagi nasib istrinya. Ia mengaku
ingin tinggal di mana saja asal bisa hidup.
Juru bicara Hizbut
Tahrir lndonesia M Ismail Yusanto yang menyerahkan bantuan yang dikumpulkan
oleh HTl dalam program 'Donasi Peduli Rohingya' saat berada di Langsa
mengatakan, para pengungsi tampak mendapat perlakuan yang baik oleh pemerintah
daerah Langsa maupun pemerintah pusat melalui instansi seperti BNPB dan Depsos.
Juga dari para relawan seperti ACT, MerC, PMI, HTI dan lainnya. Pengungsi
laki-laki dan perempuan ditempatkan di tempat terpisah. Layanan makan dan
kesehatan serta pakaian terlihat cukup.
Terombang-ambing
Sementara itu, juru
bicara badang urusan pengungsi PBB UNHCR kawasan Asia Tenggara, Bernard
Kerblat, Rabu (27/5), mengungkapkan, masih ada ribuan etnis Rohingya yang
terombang-ambing di lautan. Kebanyakan dari mereka menggunakan perahu kecil dan
berdesak-desakan di dalamnya.
”Mereka kini
kekurangan air bersih, makanan, dan sarana sanitasi yang baik," tambah
Bernard.
UNHCR mencatat 3.302
etnis Rohingya kini telah diselamatkan dan ditampung oleh Pemerintah Indonesia,
Malaysia, dan Thailand.
Sayangnya, PBB sendiri
tak mengambil tindakan atas kondisi tersebut. Para pengungsi tetap dibiarkan
terombang-ambing di laut dengan kondisi minim fasilitas. Sementara
negara-negara Asean tak tergerak untuk menyelematkan nyawa ribuan orang
tersebut dan lebih senang mengadakan pertemuan demi pertemuan. Bahkan terkesan
mereka berusaha agar para pengungsi tak singgah di negaranya. []
Bhiksu
James Bond
Kebiadaban warga Budha
di Myanmar tak lepas dari propaganda sejumlah tokoh dengan dukungan junta
militer. Salah satu orang yang disebut-sebut berperan dalam memanaskan konllik
tersebut adalah Bhiksu Ashin Wirathu, 46 tahun.
BBC menyebut Bhiksu
Wirathu sebagai bhiksu Buddha paling radikal yang gemar menyebarkan kebencian
pada kaum minoritas Muslim dengan mengatakan kelompok minoritas Islam akan
menguasai negara.
Dalam laporannya, BBC
Myanmar menyebut Wirathu mulai terkenal sejak ikut gerakan nasionalis
anti-Muslim '969' pada 2001. Kelompok ini disebut ekstremis walau tak mengakui
julukan itu. Wirathu pernah dihukum penjara 25 tahun pada 2003. Namun, pada
2010, dia dibebaskan bersama tahanan politik lain.
Bhiksu itu kemudian
menggencarkan propagandanya. Ia membagikan video di internet yang menyuarakan
peringatan anti-Muslim. "Muslim menyerang gadis Myanmar tak bersalah,
memperkosa mereka." ujarnya. Secara terbuka dia menyatakan bangga disebut
pemeluk Budha radikal.
Ia merasa dirinya
mirip dengan James Bond, agen mata-mata fiksi paling terkenal di dunia. “James
Bond seorang nasionalis,“ kata Wirathu seperti yang dikutip dari laman LA
Times. Selasa, 26 Mei 2015. "Ia tidak melakukan kesenangan dalam
bertindak, Dia melakukan hal tersebut untuk negaranya.”
Wirathu pun menyerukan
pemboikotan usaha milik warga Muslim. Menurutnya, Muslim adalah 'ular' dan
'anjing gila' yang tak perlu diajak bersosialisasi. "Kebanyakan Muslim
menghancurkan negara kita, rakyat kita dan agama Budha," kata Wirathu.
Anehnya, tindakan
kejam penganut Budha ini didiamkan oleh peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San
Suu Kyi. Para analis menyatakan, Suu Kyi khawatir jika ia membela etnis
Rohingya, partainya tidak akan mendapatkan simpati kaum Budha. Tak heran, tak
pernah sekalipun Suu Kyi menyebut kata ‘Rohingya’ dalam pidatonya. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 152, Juni 2015
---
1 komentar:
Mereka Bicara Genosida Muslim Rohingya
Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI:
Relevansi Umat Butuh Khilafah
Ini bukti kesekian kali bahwa rezim-rezim sekuler, bahkan yang mengatakan rezim demokratis sekalipun seperti rezim di Burma yang dipimpin Aung San Suu Kyi pemenang nobel perdamaian tidak mampu melindungi seluruh rakyatnya khususnya kaum minoritas Muslim. Ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini mereka gembar-gemborkan bahwa demokrasi itu memberikan kesamaan hak kepada seluruh penduduknya.
Ini juga bukti bahwa betapa lemahnya umat Islam untuk melindungi saudara-saudara kita yang diperlakukan secara tidak manusiawi, diusir lalu dibantai, kemudian dihancurkan rumah dan harta miliknya. Kita tidak mampu menghadapinya, padahal umat Islam itu dari segi jumlah sangat besar yaitu lebih dari 1,6 miliar. Nah kenapa bisa begitu?
Itulah yang Hizbut Tahrir sering sampaikan bahwa umat Islam yang jumlahnya sebegitu banyak tapi tanpa persatuan begitu lemah, di situlah pentingnya kita mewujudkan persatuan yang hakiki.
Persatuan yang hakiki itu butuh dua hal yaitu kepemimpinan dan institusi politik yang memang tujuannya didirikan untuk mewujudkan persatuan itu, dan itulah khilafah.
Jadi apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, itu untuk kepentingan umat Islam, untuk tegaknya kembali kemuliaan umat Islam, dan untuk tegaknya kembali izzul Islam wa al-Muslimin.
Tanpa itu, kita akan terus mendapatkan penderitaan dan kezaliman yang korbannya umat Islam di berbagai neqara.[]
Ricky fattamazaya, Ketua Umum Gema Pembebasan:
Seruan Jihad Dari Negara
Kasus Rohingya butuh solusi yang tepat. Solusi yang tepat hari ini adalah ya, seruan jihad dari negara, apalagi Indonesia hari ini tentaranya itu ratusan ribu, mungkin kalau kirim sepertiganya selesai lah, apalagi kalau kita semua turun.
Media ini juga tidak pro terhadap Muslim, jadi pembantaian yang jumlahnya ribuan, bahkan lebih dari itu, tidak menjadi alasan untuk mereka liput. Bahkan ada upaya memelintirkan bahwa pembantaian itu bukan mereka yang lakukan, tapi dimulai oleh kaum Muslimin. Padahal ini jelas ada upaya tersistematis untuk membunuhi kaum Muslim di sana.
Iya Indonesia ini tidak punya sisi politik internasional, karena mereka gak melek politik internasional. Bahkan banyaknya kaum Muslimin di Indonesia yang tidak mempunyai sense dalam kepedulian sesama Muslim, karena ikatan nasionalisme yang mengotak-kotakan negara. []
Sumber: Tabloid Media Umat edisi 186
---
Posting Komentar