Shalat
Wajib dan Waktu-Waktunya
Allah Swt. telah
mewajibkan shalat lima kali kepada kaum Muslim dalam sehari semalam, yaitu
shalat fajar atau shalat subuh atau shalat al-ghadat
yang berjumlah dua rakaat, shalat dhuhur berjumlah empat rakaat, shalat ashar
atau shalat wustha berjumlah empat rakaat, shalat maghrib berjumlah tiga
rakaat, shalat isya atau shalat al-‘atamah
berjumlah empat rakaat. Dari Muadz ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengutusku seraya berkata: 'Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari
ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan
selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah. Jika mereka memenuhi
ajakan itu, maka ajarkanlah kepada mereka bahwasanya Allah Swt. telah
mewajibkan atas mereka lima kali shalat dalam sehari semalam…” (HR. Muslim)
Syariat telah
menentukan waktu untuk setiap shalat yang lima waktu ini. Jabir bin Abdullah
ra. telah meriwayatkan:
“Bahwasanya Nabi Saw.
didatangi Jibril, dia berkata: 'Berdirilah dan shalatlah'. Maka beliau shalat
dhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian didatangi lagi pada waktu ashar,
dia berkata: 'Berdirilah dan shalatlah. Maka beliau shalat ashar ketika bayangan
segala benda sudah sama panjangnya. Kemudian didatangi lagi pada waktu maghrib.
Dia berkata: ‘Berdirilah dan shalatlah', maka beliau shalat ketika matahari
terbenam. Kemudian didatangi lagi pada waktu isya, dia berkata: 'Berdirilah dan
shalatlah’, maka beliau Saw. shalat ketika syafaq
(warna merah ketika matahari terbenam) telah hilang. Lalu didatangi lagi pada
waktu fajar, dia berkata: ‘Berdirilah dan shalatlah', maka beliau shalat ketika
fajar muncul, atau dia berkata ketika fajar mulai terang memancar. Besoknya
didatangi lagi untuk shalat dhuhur, dia berkata, 'Berdirilah dan sholatlah'.
Beliau shalat dhuhur ketika bayangan sesuatu menjadi semisalnya. Kemudian
didatangi lagi untuk shalat ashar, dia berkata 'Berdirilah dan shalatlah'.
Beliau shalat ketika bayangan segala sesuatu dua kali bendanya. Setelah itu
didatangi lagi untuk shalat maghrib, yakni ketika matahari terbenam pada satu
waktu yang sama yang tidak bergeser dari sebelumnya. Kemudian didatangi lagi
untuk shalat isya ketika pertengahan malam telah lewat, atau dia berkata;
sepertiga malam, maka beliau Saw. shalat isya. Lalu didatangi lagi untuk shalat
fajar ketika fajar telah berwarna sangat kuning, dia berkata: “Berdirilah dan
shalatlah'. Beliau Saw. shalat fajar, kemudian dia berkata: “Di antara dua
inilah waktu shalat.'” (HR. Ahmad dan an-Nasai)
Bukhari berkata
“Inilah hadits paling shahih tentang waktu-waktu shalat.”
Dari Abdullah bin Amru
ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. berkata:
“Waktu dhuhur adalah
saat selama waktu ashar belum datang, dan waktu ashar adalah selama matahari
belum menguning, dan waktu maghrib adalah selama syafaq
belum hilang, dan waktu isya hingga pertengahan malam, dan fajar adalah selama
matahari belum terbit." (HR. Muslim, Ahmad, dan an-Nasai)
Dengan memperhatikan
dua hadits ini maka jelas bahwa waktu shalat di atas adalah waktu-waktu pilihan
yang bisa dipilih (al-mukhtarah), bukan
waktu-waktu yang boleh (al-ja'izah),
yakni waktu-waktu yang dianjurkan bagi kaum Muslim untuk melaksanakan shalat
pada saat itu, yakni waktu-waktu yang biasa digunakan Rasulullah Saw.
melaksanakan shalat yang difardhukan. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw. tidak
pernah shalat pada bagian terakhir waktu shalat hingga Allah Swt.
mewafatkannya.” (HR. al-Hakim)
Adapun tambahan dari
waktu-waktu tersebut yang terdapat dalam nash-nash lain yang akan disebutkan
kemudian, adalah waktu-waktu di mana kaum Muslim boleh melaksanakan shalat saat
itu. Inilah yang disebut waktu jawaz
(boleh), waktu dharurat atau waktu karahah (yang dimakruhkan). Kami akan
memaparkan satu per satu waktu-waktu shalat dari shalat fardhu yang lima
berikut ini:
1 .
Waktu Shalat Dhuhur
Waktu shalat dhuhur
dimulai sejak tergelincirnya matahari, dan berakhir ketika panjang bayangan
sesuatu sama dengan aslinya, yakni ketika dimulainya waktu shalat ashar,
sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir sebelumnya. Shalat dhuhur memiliki
satu waktu, yang seluruhnya adalah waktu ikhtiyar,
sehingga shalat dhuhur bisa dilaksanakan di saat manapun sepanjang waktu ini
tanpa ada pengutamaan periode waktu tertentu atas periode waktu lainnya. Shalat
dhuhur adalah shalat yang pertama dari lima waktu shalat fardhu yang dilakukan
Rasulullah Saw. dengan diimami Jibril as. di Makkah, berdasarkan dilalah hadits Jabir, dan berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Nafi bin Jubair ataupun selainnya:
“Ketika Nabi Saw. tiba
pada waktu subuh dari malam di-isra-kannya, di mana beliau tidak dijaga
seorangpun kecuali oleh Jibril. Lalu Jibril turun ketika matahari tergelincir,
karena itulah waktu ini dinamai yang pertama (al-ula).
Beliau berdiri dan berseru pada para sahabatnya: “Shalat (akan didirikan)
secara berjamaah’. Merekapun berkumpul, kemudian Jibril mengimami Nabi
melaksanakan shalat, dan Rasulullah Saw. mengimami orang-orang shalat. Beliau
memanjangkan dua rakaat yang pertama, kemudian memendekkan dua rakaat sisanya.
Lalu Jibril bersalam pada Nabi Saw., dan Nabi bersalam pada orang-orang.
Setelah itu Jibril turun lagi di waktu ashar, dan melakukan hal serupa...” (HR.
Abdur Razaq)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Nafi bin Jubair bin Muth’im dari Ibnu Abbas, dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jibril mengimamiku di
samping Baitullah sebanyak dua kali. Dia mengimamiku shalat dhuhur ketika
matahari tergelincir dan ketika bayangan matahari seukuran dengan syirak, dan mengimamiku shalat ashar ketika
bayangan sesuatu semisal dengan bendanya, dan mengimamiku shalat maghrib ketika
orang puasa berbuka, dan mengimamiku shalat isya ketika syafaq (warna merah) telah hilang, dan mengimamiku shalat fajar
ketika makan dan minum diharamkan bagi orang yang berpuasa...” (HR. Abu Dawud,
lbnu al-Mundzir, Tirmidzi, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah)
Dalam hadits ini
beliau Saw. memulai dengan shalat dhuhur. Syirak
itu adalah salah satu tali ikatan alas kaki yang ada di bagian atasnya.
Ungkapan ini menjelaskan ukuran minimal bayangan ketika tergelincirnya
matahari.
Tatkala shalat dhuhur
dilaksanakan tepat di tengah hari, maka shalat dhuhur itu berada pada waktu
siang hari terik di negeri yang panas. Hal ini sedikit memberatkan bagi orang
yang shalat. Karenanya, untuk menghilangkan kesulitan tersebut, serta karena waktu
shalat dhuhur ini seluruhnya adalah waktu ikhtiyar,
maka disunahkan untuk mengakhirkan shalat dhuhur pada hari-hari yang panas
hingga panasnya mulai hilang. Inilah yang disebut dengan ibrad (mengundurkan waktu dhuhur hingga hari
agak sedikit sejuk). Dalam hal ini tidak ada perbedaan, baik bagi orang yang
shalat secara munfarid ataupun secara
berjamaah, mereka yang berada di masjid ataupun di luar masjid. Hukum sunah ini
bersifat umum untuk semua kondisi tadi. Dari Anas ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika hari sangat panas, Beliau Saw. mengundurkan shalat (dhuhur), dan jika
hari itu sangat dingin maka beliau menyegarakan (shalat).” (HR. an-Nasai, lbnu
Abdil Barr)
Dari Abu Dzar ra., ia
berkata:
“Muadzin Rasulullah
Saw. mengumandangkan adzan shalat dhuhur, maka Nabi Saw. bersabda: 'Undurkan
hingga hari sejuk', atau berkata: ‘Tunggulah-tunggulah', dan berkata:
‘Sesungguhnya panas yang sangat terik itu termasuk uap neraka jahanam, sehingga
jika hari terlalu panas maka undurkanlah shalat hingga hari sedikit sejuk.”
(HR. Muslim)
Bukhari, Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang sedikit
berbeda.
2.
Waktu Shalat Ashar, yakni Shalat al-Wustha
Waktu shalat ashar
dimulai ketika panjang bayangan segala sesuatu serupa dengan benda aslinya, dan
berakhir dengan terbenamnya matahari. Kami katakan berakhir dengan terbenamnya
matahari, bukan dengan menguningnya matahari, sebagaimana dikatakan dalam hadits
Muslim di atas. Dan tidak berakhir ketika bayangan segala sesuatu menjadi dua
kali benda aslinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ahmad di atas. Sebab,
dua hadits ini -sebagaimana telah kami sebutkan- hanya menentukan waktu shalat
ashar sebagai waktu ikhtiyar saja, tanpa
keseluruhan waktu shalatnya, sebagaimana diterangkan dalam nash-nash yang lain.
Shalat ashar memiliki waktu ikhtiyar,
yang berakhir ketika matahari menguning, dan memiliki waktu dharurat atau waktu jawaz, yang dimulai ketika matahari menguning hingga terbenam di
ufuk Barat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“…Dan barangsiapa
mendapati satu rakaat dari shalat ashar sebelum matahari terbenam maka dia
telah mendapati shalat ashar.” (HR. Muslim)
Waktu yang paling
utama untuk shalat ashar terletak antara awal waktu hingga bulatan matahari
mulai menguning, inilah waktu ikhtiyar.
Ini adalah waktu yang digunakan Jibril melaksanakan dua kali shalat, mengimami
Rasulullah Saw. Kemudian diikuti oleh waktu jawaz,
yang berlangsung hingga terbenamnya matahari, dan ini disebut waktu dharurat atau waktu karahah. Yang kami maksud dengan terbenam adalah hilangnya
bulatan matahari secara keseluruhan. Artinya, waktu ashar berlangsung hingga
bulatan matahari hilang seluruhnya.
Shalat ashar dinamai
juga shalat al-wustha karena keutamaannya, dan inilah shalat al-wustha menurut
pendapat yang paling rajih dan paling shahih. Dari Ali ra., bahwa ia berkata:
“Ketika Perang Ahzab,
Rasulullah Saw. bersabda: ‘Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah-rumah mereka
dengan api neraka, sebagaimana mereka telah menahan kami dan menyibukkan kami
dari shalat al-wustha hingga matahari terbenam.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Dalam hadits Muslim
ada penegasan bahwa shalat al-wustha itu adalah shalat ashar, dalam dua
haditsnya: dari Ali ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Mereka menyibukkan
kami dari shalat al-wustha, yakni shalat ashar…”
Dari Abdullah bin
Mas'ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Mereka menyibukkan
kami dari shalat al-wustha, yakni shalat ashar…"
Begitu pula ada
penegasan bahwa shalat al-wustha itu adalah shalat ashar, dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Ali ra.:
“Kami bersama Nabi
Saw. pada Perang Khandaq, lalu beliau Saw. bersabda: ‘Semoga Allah memenuhi
kuburan dan rumah-rumah mereka dengan api neraka, sebagaimana mereka telah
menyibukkan kami dari shalat al-wustha hingga matahari terbenam, yaitu shalat
ashar.”
Ada juga penegasan
bahwa shalat al-wustha itu adalah shalat ashar, dalam hadits Ibnu al-Mundzir,
Abdur Razaq, Baihaqi, dari Ali ra.:
“Ketika Perang Ahzab,
kami shalat ashar antara maghrib dan isya. Lalu Nabi Saw. bersabda: ‘Mereka
telah menyibukkan kami dari shalat al-wustha, yakni shalat ashar, maka semoga
Allah Swt. memenuhi kuburan dan perut-perut mereka dengan api neraka.”
Dari Abdullah bin
Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Shalat al-wustha
adalah shalat ashar." (HR. Tirmidzi)
Ahmad dan Baihaqi
meriwayatkan hadits ini dari jalur Samurah. Allah Swt. secara khusus telah
menyebut istilah al-wustha ini dalam firman-Nya:
“Peliharalah semua
shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 238)
Rasulullah Saw. secara
khusus juga menyebutkan kelebihan dan keutamaannya, Beliau Saw. bersabda:
“Yang kehilangan
shalat ashar seolah-olah keluarga dan hartanya telah dirampas dari dirinya.”
(HR. Muslim dari jalur lbnu Umar)
Abu Bashrah al-Ghifari
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengimami kami shalat ashar di Mukhamash, seraya berkata: ‘Sesungguhnya shalat
ini telah disodorkan pada orang-orang sebelum kalian, lalu mereka
mengabaikannya. Barangsiapa yang memelihara shalat ini maka baginya pahala dua
kali lipat. Dan tidak ada shalat setelahnya hingga terbit as-syahid, dan
as-syahid itu adalah bintang.” (HR. Muslim, an-Nasai dan Ahmad)
3.
Waktu Shalat Maghrib
Dalam hadits Jabir
sebelumnya yang membahas tentang waktu-waktu shalat telah disebutkan bahwa
maghrib itu memiliki satu waktu saja, di mana Jibril melaksanakan shalat di
dalamnya pada dua hari berturut-turut, yaitu “ketika matahari terbenam”. Hal
serupa disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya Jibril
telah mendatangi Nabi Saw. dan mengimami shalat-shalat wajib dalam dua waktu,
kecuali shalat maghrib.” (HR. al-Hakim)
Tetapi dalam hadits
Abdullah bin Amru sebelumnya tentang waktu-waktu shalat disebutkan “dan waktu
maghrib adalah selama syafaq belum
hilang”, maka perlu
kami katakan bahwa hadits Jabir ini menentukan waktu ikhtiyar shalat maghrib sebagaimana hal serupa ditunjukkan pula
oleh hadits Ibnu Abbas, yakni ketika terbenamnya matahari secara langsung.
Adapun hadits Abdullah bin Amru itu menentukan seluruh waktu shalat maghrib, di
mana waktu maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari hingga hilangnya syafaq merah. Hingga batas akhir inilah waktu
shalat maghrib ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Uqbah bin Amir ra.,
bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Umatku senantiasa
berada dalam kebaikan, atau pada fitrah, selama mereka tidak mengakhirkan waktu
maghrib hingga bermunculan bintang-bintang.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim
dan Baihaqi)
lbnu Majah dan
al-Hakim meriwayatkan hadits ini dari jalur al-Abbas bin Abdul Muthallib ra.
Hadits tersebut menetapkan bahwa kemunculan bintang-bintang merupakan akhir
waktu maghrib. Bermunculannya bintang-bintang itu artinya menyebarnya kegelapan
setelah hilangnya syafaq merah, yang
kemudian diikuti dengan tampaknya seluruh bintang-bintang sehingga
bintang-bintang tersebut saling bermunculan karena sedemikian banyaknya.
Buraidah ra. meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya seorang
laki-laki telah bertanya kepada Nabi Saw. tentang waktu shalat. Beliau Saw.
berkata padanya: ‘Sholatlah bersama kami dua saat ini, yakni dua hari ini… -dan
dalam hadits tersebut disebutkan- …kemudian beliau memerintahkannya -yakni Bilal-
kemudian Bilal mengumandangkan iqamat shalat maghrib ketika matahari terbenam…
dan beliau shalat maghrib sebelum syafaq
hilang…lalu berkata: ‘Di manakah orang yang menanyakan waktu shalat tadi?' Maka
laki-laki itu berkata: ‘Aku wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Waktu shalat
kalian adalah waktu antara dari apa yang kalian lihat.” (HR. Muslim)
Maka Rasulullah Saw.
shalat maghrib -suatu hari- ketika matahari terbenam, dan shalat maghrib lagi
di hari lain sebelum syafaq hilang, dan
menjadikannya sebagai waktu shalat maghrib. Inilah teks hadits yang dilalahnya qath'iy.
Disunahkan untuk
menyegerakan shalat maghrib, dan melaksanakannya di awal waktu sebelum
benar-benar gelap dan tersebarnya bintang-bintang di langit. Hal ini
berdasarkan hadits Jabir dan hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan di awal
pembahasan. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Salamah bin al-Akwa
ra.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. shalat maghrib jika matahari terbenam dan bersembunyi di balik tabir.”
(HR. Muslim dan Bukhari)
4.
Waktu Shalat Isya
Waktu shalat isya
dimulai sejak hilangnya syafaq merah
hingga fajar shadiq menyingsing. Dengan kata lain, waktu shalat isya dimulai
ketika bulan telah jatuh, yakni hilangnya bulan pada sepertiga bulan Hijriyah.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Nu’man bin Basyir ra., ia berkata:
“Sesungguhnya aku
adalah orang yang paling mengetahui tentang waktu shalat ini, yakni shalat isya
yang terakhir,” di mana Rasulullah Saw. shalat isya ketika bulan pada sepertiga
bulan Hijriyah telah jatuh.” (HR. al-Hakim, Ahmad, lbnu Hibban)
Waktu isya berakhir
dengan munculnya fajar mustathir, yakni
menyebar melintang di ufuk yang berbeda dengan fajar mustathil yang nampak memanjang ke atas. Yang pertama disebut
fajar shadiq untuk membedakannya dari fajar kadzib.
Dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah mengelabuhi
kalian dari sahur kalian adzan Bilal dan juga putihnya ufuk yang berbentuk
diagonal seperti ini, hingga fajar itu menyebar melintang seperti ini…” (HR.
Muslim)
Karena shalat fajar
(subuh) itu dilaksanakan setelah shalat isya, maka waktu shalat isya
berlangsung hingga shalat fajar, bukan hingga sepertiga atau setengah malam
saja sebagaimana dipahami dari hadits Jabir sebelumnya tentang waktu-waktu
shalat. Kami telah katakan mengenai kekhususan shalat ashar dan kekhususan
shalat maghrib pada poin 2 dan 3, di mana pembatasan yang disebutkan dalam
hadits Jabir tersebut semata-mata untuk waktu ikhtiyar,
tidak ditambah dengan waktu dharurat.
Karena itu pula perlu kami katakan bahwa hadits tersebut juga memuat kekhususan
shalat isya.
Pembatasan dengan
sepertiga malam atau pertengahan malam ini semata-mata pembatasan waktu ikhtiyar, yakni waktu yang paling utama saja.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah ra. dengan sanad yang shahih dia
berkata:
“Pada suatu malam,
Nabi Saw. mengakhirkan shalat hingga sebagian besar malam telah berlalu dan
hingga penghuni masjid sudah tidur. Kemudian beliau Saw. keluar dan shalat,
lalu berkata: 'Sesungguhnya ini adalah waktunya, seandainya tidak memberatkan
atas umatku.”
Telah disebutkan dalam
hadits Aisyah “hingga sebagian besar malam telah berlalu”, ini menunjukkan
bahwa waktu isya itu melewati pertengahan malam. Dari Abu Qatadah ra., dalam
satu hadits yang panjang, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Ketahuilah,
sesungguhnya tidur itu bukan termasuk keteledoran, di mana keteledoran itu
sebenarnya dikenakan pada orang yang belum melaksanakan shalat hingga datang
waktu shalat yang lain.” (HR. Muslim)
Seandainya tidak ada
hadits-hadits yang menunjukkan akhir waktu shalat fajar dengan terbitnya
matahari, niscaya hadits ini layak digunakan sebagai dalil bahwa shalat fajar
itu berlangsung hingga shalat dhuhur tiba, dan shalat isya sah dilakukan hingga
tiba waktu shalat fajar.
Waktu ikhtiyar shalat isya berakhir hingga
pertengahan malam, atau lewat pertengahan malam sedikit, sehingga setelahnya
dimulai waktu jawaz hingga datang waktu
shalat fajar. Dari Abdullah bin Amru ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang waktu shalat, beliau Saw. berkata: ‘… waktu shalat isya itu
hingga pertengahan malam.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)
Diutamakan
mengakhirkan isya hingga waktu antara sepertiga malam dengan pertengahan malam,
baik secara munfarid ataupun berjamaah, kecuali jika timbul kesulitan maka
hendaknya dilaksanakan di awal waktu. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Seandainya tidak
memberatkan atas umatku niscaya aku mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga
atau pertengahan malam.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Dikategorikan sebagai
kesulitan adalah kelemahan orang yang lemah dan penyakit orang yang sakit,
serta yang semisal dengan keduanya. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abu Said ra., bahwa ia berkata:
“Kami bersama
Rasulullah Saw. melaksanakan shalat al-‘atamah, dan beliau tidak keluar hingga
waktu berlalu sampai sekitar pertengahan malam, maka beliau Saw. berkata:
‘Ambillah tempat duduk kalian'. Kami pun mencari tempat duduk kami. Beliau Saw.
bersabda: 'Sesungguhnya orang-orang telah shalat dan berada di tempat tidur
mereka, dan sesungguhnya kalian tetap dalam keadaan shalat selama menunggu
shalat. Seandainya tidak ada kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang
sakit, niscaya aku akan mengakhirkan shalat ini hingga pertengahan malam.” (HR.
Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai)
Yang dimaksud dengan
shalat al-'atamah dalam hadits ini adalah shalat isya. Yang paling utama adalah
menyebutnya sebagai shalat isya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Umar ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah sekali-kali
orang-orang Arab mengalahkanmu tentang nama shalat kalian ini, yaitu shalat
isya, karena shalat ini dalam Kitabullah disebut isya, dan saat itu mereka
sedang memerah unta hingga benar-benar gelap.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad,
Abu Dawud dan an-Nasai)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits ini juga dari jalur Abu Hurairah ra. dengan redaksi:
“Janganlah sekali-kali
kalian dikalahkan oleh orang-orang Arab badwi tentang nama shalat kalian ini.
Ketahuilah, nama shalat ini adalah isya, di mana (saat itu) mereka sedang
memerah unta.”
Dan orang-orang Arab
biasa mengakhirkan memerah susu hingga malam benar-benar sangat gelap, yakni
al-‘atamah, sehingga mereka menyebut shalat isya ini dengan istilah shalat
al-‘atamah dengan alasan tadi.
5.
Waktu Shalat Fajar
Waktu shalat fajar
atau shalat subuh atau shalat al-ghadat
dimulai ketika fajar shadiq hilang hingga terbitnya matahari, yakni hingga
munculnya bagian awal matahari. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mendapatkan shalat subuh satu rakaat sebelum terbit matahari maka dia telah
mendapatkan shalat subuh…" (HR. Muslim)
Seorang Muslim bisa
memilih antara taghlis (di waktu pagi
masih gelap), yakni menyegerakan shalat subuh di awal waktunya, dengan isfar (di waktu pagi sudah terang) yakni
mengakhirkannya hingga sedikit menjelang akhir waktunya. Dari Anas ra., ia
berkata:
“Nabi Saw. ditanya
tentang waktu shalat al-ghadat, maka
beliau shalat ketika terbit fajar di suatu waktu dan ketika matahari akan mulai
muncul di saat kemudian. Kemudian bersabda: “Di manakah orang yang menanyakan
waktu shalat al-ghadat tadi? Waktu
shalat al-ghadat itu antara dua waktu
ini.” (HR. al-Bazzar)
Tetapi bersegera itu
sedikit lebih utama. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Mereka,
perempuan-perempuan mukminah itu ikut melaksanakan shalat fajar bersama Nabi
Saw. dengan menyelubungi badan-badan mereka dengan kain. Kemudian mereka pulang
ke rumah-rumah mereka ketika shalat telah selesai mereka laksanakan, di mana
mereka tidak mengenal satu sama lain disebabkan hari masih gelap.” (HR.
Bukhari, Ahmad dan Muslim)
Dari Abu Mas’ud
al-Anshari ra., bahwasanya Rasulullah Saw.:
“…Melaksanakan shalat
subuh pada satu kali dengan bersegera di waktu hari masih gelap (taghlis), kemudian shalat subuh di kali lain
ketika matahari sebentar lagi akan muncul (isfar),
kemudian shalat subuh yang beliau laksanakan setelah itu adalah dengan taghlis hingga beliau wafat, dan tidak pernah
melakukan lagi isfar” (HR. Abu Dawud)
lbnu Hibban, lbnu
Khuzaimah dan al-Baihaqi meriwayatkan satu bagian hadits ini dalam satu redaksi
hadits yang cukup panjang.
Dengan demikian, taghlis (bersegera melaksanakan shalat subuh
di awal waktu) itu lebih utama, khususnya di malam-malam di musim dingin yang
cukup panjang, yang digunakan orang untuk menunaikan kebutuhan tidurnya. Adapun
di malam-malam musim panas, seandainya shalat subuh ini dilaksanakan dengan isfar maka itu lebih baik, karena malamnya
cukup pendek dan orang-orang sedang tidur, sehingga sebaiknya imam sedikit
mengulur agar orang-orang mendapati shalat berjamaah. Sementara itu, yang
disebutkan dalam beberapa hadits yang memerintahkan untuk isfar, di mana disebutkan isfar itu lebih besar pahalanya, maka hal itu
bisa dipalingkan pada makna lain selain mengakhirkan, yakni membuktikan dan
memastikan terbitnya fajar.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar