BAB
KELIMA KIBLAT DAN SUTRAH
Menghadap
Kiblat dalam Shalat
Termasuk perkara agama
yang pasti diketahui bahwa kaum Muslim harus menghadap ke kiblat dalam shalat
mereka. Kiblat pertama kaum Muslim adalah Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis,
selama kurang lebih satu setengah tahun. Kemudian kiblat mereka menjadi Ka’bah
di kota Makkah, dan akan terus menjadi kiblat kaum Muslim hingga akhir zaman.
Dari al-Barra, ia berkata:
“Aku shalat bersama
Rasulullah Saw. ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas
bulan, kemudian kami disuruh mengubah arah ke Ka'bah.” (HR. Muslim)
Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dengan redaksi
kalimat yang sedikit berbeda. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw. dan
para sahabatnya melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis selama enam belas
bulan, kemudian arah kiblat pun dirubah.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Bazzar dan
at-Thabrani)
Rasulullah Saw. ketika
shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis seringkali menampakkan keinginan untuk
menghadap ke arah negerinya, Makkah, dan sangat mengharap dirinya berpindah
arah dalam shalat ke sana. Setelah itu turunlah firman Allah Swt. sebagai jawaban
atas keinginannya itu:
“Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (TQS. al-Baqarah [2]:
144)
Dari al-Barra bin
‘Azib, ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan, atau
tujuh belas bulan, dan Rasulullah Saw. berhasrat menghadapkan wajahnya ke
Ka'bah. Lalu Allah menurunkan: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit.” Kemudian beliau menghadapkan wajah ke arah Ka'bah.” (HR. Bukhari)
Menghadapkan wajah ke
arah kiblat merupakan sebuah kewajiban yang tidak diragukan lagi, sehingga
tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan. Meski demikian, tidak terdapat nash
atau dalil yang menetapkan menghadap ke kiblat sebagai syarat. Dengan kata
lain, menghadap kiblat bukanlah syarat sah atau diterimanya shalat. Menghadap
kiblat semata-mata sebuah kewajiban saja, sehingga, barangsiapa yang shalat
pada selain kiblat secara sengaja tanpa adanya udzur, maka ia berdosa, akan
tetapi shalatnya tetap diterima. Sebab, seluruh dalil yang ada dan terkait
khusus dengan masalah menghadap kiblat, tidak lebih dari sekedar perintah dan
tuntutan yang pasti. Dan suatu perintah tidak serta merta menjadikannya sebagai
syarat. Terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw.
bersabda:
“Menghadaplah ke
kiblat dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari)
Hadits ini semata-mata
berisi perintah. Firman Allah Swt.:
“Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 144)
Juga semata-mata
berisi perintah. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.:
“Tatkala orang-orang
melaksanakan shalat subuh di Quba, sekonyong-konyong datang seorang laki-laki,
seraya berkata: “Sesungguhnya telah turun salah satu ayat al-Qur'an kepada
Rasulullah Saw. pada malam ini, dan Beliau Saw. diperintah untuk menghadap kiblat,
maka menghadaplah kalian ke kiblat.” Pada saat itu orang-orang menghadapkan
wajahnya ke arah Syam, lalu mereka memutar arah menghadapkan wajah ke arah
Ka'bah.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, dan an-Nasai)
Hadits inipun
semata-mata berisi perintah, sehingga tidak layak untuk menjadikannya sebagai
syarat.
Menghadap kiblat
merupakan suatu kewajiban, kecuali dalam beberapa kondisi berikut:
a. Dalam kondisi lemah
dan tidak mampu menghadap kiblat, seperti disebabkan oleh sakit yang
menjadikannya tidak mampu bergerak, sehingga ia diperbolehkan shalat sesuai
kondisinya, seperti terluka dalam peperangan di mana lukanya itu memaksanya
harus diam di tempat sehingga tidak mampu menghadap ke arah Ka'bah, atau
seperti dalam kondisi diikat (ditawan) oleh pihak lain karena sesuatu sebab dan
mengarahkannya ke pohon atau tiang dan sebagainya, bukan ke arah kiblat. Dalam
beberapa kondisi tadi, seorang mushalli
boleh shalat tanpa menghadap kiblat. Allah Swt. berfirman:
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 286)
Rasulullah Saw.
bersabda:
“...Jika aku
memerintah kalian dengan sesuatu, maka laksanakanlah semampu kalian...” (HR.
Muslim dari jalur Abu Hurairah)
b. Dalam kondisi
sangat ketakutan (karena diancam) musuh. Imam Malik meriwayatkan dari Nafi,
bahwa Abdullah bin Umar ra. jika ditanya tentang shalat khauf ia berkata:
“Jika ketakutannya
lebih dahsyat lagi, maka mereka shalat dengan cara berjalan kaki atau di atas
kendaraan mereka, dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. Malik
berkata, Nafi berkata: Aku tidak melihat Abdullah bin Umar menyebutkan hal itu
kecuali berasal dari Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari)
c. Shalat sunat di
atas binatang tunggangan dan di atas semua jenis kendaraan. Dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
seringkali shalat di atas untanya, ke manapun untanya itu menghadapkan
wajahnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Penyebutan shalat tathawwu (sunat) secara lebih tegas terdapat
dalam riwayat lain dari jalur Abu Said al-Khudri dan Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
seringkali shalat di atas untanya dalam shalat tathawwu,
ke manapun untanya itu menghadapkan wajahnya, Beliau Saw. shalat dengan
memberikan isyarat, dan Beliau menjadikan posisi sujudnya lebih rendah daripada
ruku.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Begitu pula terdapat
hadits lain dari jalur Anas bin Malik ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
seringkali shalat tathawwu’ (sunat) di
atas untanya dalam perjalanan (dengan arah) ke selain kiblat.” (HR. Ahmad)
Dari Amir bin Rabiah
ra., ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. melaksanakan shalat-shalat nafilah
di atas punggung hewan tunggangannya (dengan menghadap) ke setiap arah.” (HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir, ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
seringkali melaksanakan shalat di atas hewan tunggangannya ke manapun hewan itu
menghadapkan wajahnya. Jika Beliau ingin melaksanakan shalat fardhu maka Beliau
turun dan menghadap ke kiblat.” (HR. Bukhari)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh ad-Darimi, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dengan redaksi:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. seringkali melaksanakan shalat di atas untanya ke arah Timur
dan jika Beliau ingin melaksanakan shalat wajib maka Beliau turun dan menghadap
ke kiblat.”
Dalam tiga kondisi
ini, dibolehkan untuk tidak menghadap kiblat, dan dibolehkan menghadap ke arah
mana saja. Namun, dalam kondisi selain itu, wajib bagi seorang Muslim untuk
berupaya mengamati agar ia bisa shalat menghadap kiblat dan menghadapkan
wajahnya dalam shalat ke Ka'bah. Tidak menjadi masalah baginya jika ia kemudian
keliru dalam upayanya mencari dan menentukan arah yang benar tersebut, sehingga
ia menghadap bukan ke arah kiblat. Ini bisa terjadi pada seseorang yang sedang
melakukan perjalanan (musafir) dalam kondisi tidak mengetahui arah, atau hari
dalam keadaan sangat mendung sehingga menyulitkan seseorang untuk menentukan
arah, sehingga saat itu dia shalat dengan landasan dugaan kuatnya saja bahwa ia
sedang menghadap ke arah Ka'bah. Dia tidak harus mengulang shalatnya, jika
kemudian diketahui bahwa arahnya itu keliru, walaupun dia telah melaksanakan
shalat, baik hal itu diketahuinya sebelum ataupun setelah keluar waktu shalat.
Dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata:
“Kami shalat bersama
Rasulullah Saw. pada hari yang sangat mendung dalam suatu perjalanan ke arah
selain kiblat. Ketika Beliau Saw. selesai dari shalatnya dan bersalam, matahari
kembali terang. Maka kami berkata: 'Wahai Rasulullah, kita shalat ke arah selain
kiblat.” Beliau berkata: “Sungguh shalat kalian telah diangkat dengan hak pada
Allah azza wa jaIIa.” (HR. Thabrani)
Yang lebih tegas dari
itu adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa dia
berkata:
“Pada satu malam yang
sangat mendung kami melaksanakan shalat, dan arah kiblat tidak bisa kami
temukan. Kami menetapkan satu tanda. Ketika kami selesai, kemudian kami
memperhatikan ternyata kami telah shalat ke arah selain kiblat. Lalu kami
ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw., maka Beliau Saw. bersabda: “Kalian
telah melakukan dengan baik.” Dan Beliau Saw. tidak memerintahkan kami
mengulang shalat.” (HR. al-Baihaqi)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar