Papua memiliki
kekayaan yang luar biasa. Di sana ada tambang emas terbesar di dunia, Freeport.
Ironisnya, Papua pula yang menjadi propinsi termiskin di Indonesia versi Badan
Pusat Statistik tahun 2015.
Berdasarkan propinsi,
propinsi dengan penduduk miskin terbesar adalah Papua yakni 28,17 persen,
disusul kemudian Papua Barat 25,82 persen dan NTT 22,61 persen. Bandingkan
dengan Jakarta yang penduduk miskinnya hanya 3,93 persen.
Faktor ekonomi menjadi
salah satu pemicu disintegrasi. Sebagian masyarakat merasa tidak puas dengan
pembagian 'kue' selama ini meski Papua telah berstatus sebagai daerah Otonomi
Khusus. Trilyunan dana yang dialirkan ke Papua -yang membuat daerah lain ngiler- dianggap belum cukup oleh sebagian
kalangan. Sebagian menganggap, yang dibutuhkan Papua bukan sekadar uang tapi
memanusiakan warga Papua sama seperti bangsa Indonesia yang lain.
Mereka berpikir akan
mendapatkan lebih dari itu jika merdeka.
"Harus diakui,
pemerintah belum berhasil menyejahterakan rakyat Papua," kata juru bicara
Hizbut Tahrir Indonesia M ismail Yusanto.
Namun demikian,
menurut Ismail, faktor ekonomi bukan satu-satunya pemicu. Menurutnya, ada
faktor lain yang cukup dominan yakni dukungan dari pihak lain baik lokal maupun
internasional yang menginginkan kemerdekaan bagi Papua.
Ia menjelaskan,
gerakan separatis ini tidak berdiri sendiri tapi mempunyai link up ke pihak internasional. Ini bukan saja
terjadi di Indonesia , tapi juga di seluruh dunia. “Kalau ada gerakan separatis
pasti dia punya link up ke internasional
negara tertentu. Biasanya tokoh-tokoh penggeraknya itu di negara tertentu dari
sana mendapatkan bantuan dana dan bantuan politik,” tuturnya seraya menambahkan
Papua bisa lepas seperti cara Timor Timur merdeka.
Dukungan
Gereja
Gerakan separatis ini
kian berani dengan adanya dukungan dari gereja. Apa yang terjadi di Papua sama
persis dengan yang terjadi di Timor Timur sebelum kemerdekaan.
Dukungan bagi
kemerdekaan Papua ini diwujudkan oleh sejumlah pimpinan gereja-gereja di Papua
dalam bentuk surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden SBY pada 16 Desember
2011. Surat itu berisi antara lain penolakan terhadap Unit Percepatan
Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) serta merekomendasikan hak
rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri (the
right for self determination).
Surat itu
ditandatangani oleh Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Jemima M. Krey, S.Th,
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua Pdt Dr Benny Giay, dan Ketua Umum Badan
Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Pdt. Socratez Sofyan
Yoman, MA. Rekomendasi pimpinan gereja-gereja Papua ini sekaligus menguak
kecurigaan sementara pihak atas keterlibatan otoritas gereja di Papua dalam
perjuangan separatisme.
Dukungan serupa muncul
dari Dewan Gereja se-Dunia. Dalam pernyataannya, DGD menyiratkan rakyat Papua
berhak memutuskan ikut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau merdeka.
Menurut Dewan Gereja itu, rakyat Papua harus diberikan hak untuk menentukan
nasib mereka.
“Bukan rahasia lagi
jaringan gereja internasional mendukung Papua merdeka," kata tokoh Papua,
Fadzlan Garamatan.
Campur
Tangan Asing
Internasionalisasi
Papua tak akan berhasil tanpa dukungan pihak asing. Sejak Federal Republic of
West Papua diproklamasikan 2012, mereka terus membangun jejaring politik luar
negeri. Puncaknya ketika Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil
berpidato pada Sidang Tingkat Tinggi ke-25 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss,
Maret 2014.
Dalam pidatonya, PM
Vanuatu mendorong komunitas internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua
Barat. PM Vanuatu menilai bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969
cacat hukum dan penuh rekayasa.
Republik Federal Papua
Barat pun masuk dalam Melanesian Sparhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu.
Sebelumnya, Republik Federal Papua Barat pernah mendaftarkan keanggotaan dalam
MSG Summit di Noumea pada tahun 2013, namun lantaran tidak ada unifikasi kelompok-kelompok
perlawanan di Papua Barat, pendaftaran keanggotaan MSG tersebut ditolak.
Belakangan, dengan
dukungan pemerintah Vanuatu dan Dewan Gereja Pasifik, tiga faksi OPM berhasil
melakukan unifikasi di Port Wla dan membentuk United Liberation Movement of
West Papua (ULMWP) pada 6 Desember2014.
Secara resmi belum ada
negara yang mendukung kemerderkaan Papua. Amerika misalnya, suara dukungan
terhadap kemerdekaan Papua datang dari beberapa anggota Kongres. Demikian pula
di Australia, hanya beberapa senator yang mendukung lepasnya Papua dari Indonesia.
Negaranya sendiri mendukung Otonomi Khusus bagi Papua.
Inggris yang menjadi
pusatnya ULMWP pun tegas sikapnya. "Kami akui Papua sebagai bagian dari
Indonesia, dan kami mendukung penuh teritorial NKRI, juga kami mendukung
upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan dalam
menanggulangi masalah-masalah di Papua,” tegas Dubes Inggris Moazzam Malik di
Jayapura, Rabu (20/1/2016).
Namun tidak ada yang
tahu sikap sebenarnya dari negara-negara tersebut di balik layar.
Solusi
Islam
Masalah Papua tak akan
beres dengan penyelesaian ala sekuler kapitalistik saat ini. Menurut Ketua
Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman, masalah Papua akan tuntas dengan
penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh.
Ia menjelaskan, Islam
akan mengintegrasikan atau melebur masyarakat menjadi satu kesatuan dengan
integrasi ideologis berdasarkan ideologi Islam, suatu hal yang gagal diwujudkan
saat ini. Apalagi fakta sejarah menunjukkan, Papua adalah bagian dari Kesultanan
Tidore yang Muslim. Islam masuk ke Papua lebih dulu dibandingkan misionaris.
Saat kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, sebenarnya Papua itu adalah bagian
dari Propinsi Maluku.
Maka, upaya melepaskan
Papua dari wilayah lndonesia harus dicegah. Terkait upaya pencegahannya, Yahya
menyebut ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama,
terus menerus membongkar makar dan tipudaya negara-negara kafir imperialis
untuk memisahkan Papua. Termasuk membongkar niat busuk di baliknya untuk lebih
mengeksploitasi Papua.
Kedua, menjelaskan kepada semua pihak
khususnya rakyat Papua, bahwa memisahkan diri bukan solusi dan tidak akan
menyelesaikan masalah rakyat Papua. Justru memisahkan diri itu akan menjadi
bunuh diri politik. Ketika lepas, itu akan makin melemahkan Papua. Imperialis
akan lebih mudah dan leluasa untuk mengeruk kekayaan Papua. Rakyat akan tetap
dan terus menderita.
Ketiga, melakukan muhasabah al-hukkam, mengoreksi penguasa atas segala tindakan
dan kebijakan yang buruk bagi rakyat Papua dan juga rakyat daerah lain.
Berbagai kebijakan buruk itu berpangkal pada penerapan ideologi sekulerisme
demokrasi kapitalisme diperparah lagi dengan ketundukan dan kelemahan terhadap
intervensi asing kafir imperialis.
Keempat, terus-menerus dengan berbagai cara
dan sarana menjelaskan tentang ideologi Islam, menjelaskan penerapan syariah
Islam secara total dan menyeluruh, satu-satunya yang bisa menjadi solusi tuntas
bagi berbagai masalah yang ada. Memberikan penjelasan semua itu untuk membangun
opini publik dan kesadaran masyarakat bagi penerapan syariah Islam secara total
dan menyeluruh, di bawah sistem khilafah rasyidah. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 169, Maret 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar