Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 31 Oktober 2017

Dilarang Puasa Sepanjang Tahun (Haram Puasa ad-Dahri)



Puasa Sepanjang Tahun (Shaum ad-Dahri)

Yang kami maksud puasa ad-dahru adalah puasa setiap hari di sepanjang tahun, kecuali pada lima hari yang diharamkan puasa, yakni dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha) dan tiga hari tasyriq, yang akan kami bahas kemudian.

Jumhur ulama membolehkan puasa ad-dahru bagi siapa saja yang kuat melakukannya dan tidak akan melalaikan kewajibannya, sehingga jika menimbulkan madharat dan menjadikannya melalaikan kewajiban maka hukumnya menjadi makruh. An-Nawawi telah menyebutkan dalam kitab al-Majmu' sebagian nama tokoh, baik dari generasi salaf ataupun khalaf yang melakukan puasa ad-dahru, di antaranya Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abu Thalhah al-Anshari, Abu Umamah dan isterinya yakni Aisyah, Said bin al-Musayyab, al-Aswad bin Yazid, Said bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf. Ahmad berkata: aku berharap melakukannya bukanlah satu masalah. As-Syafi'i dan para sahabatnya menyatakan bahwa terus-menerus berpuasa, yakni melakukan puasa ad-dahru, tidak dimakruhkan, malah sebaliknya sangat dianjurkan (mustahab), asalkan tidak menimbulkan dharar dan tidak melalaikannya dari kewajiban. Penganut Zhahiriyah, Ibnu al-Arabi dari kalangan Malikiyah, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad dalam riwayatnya yang kedua, telah memakruhkan puasa ad-dahru ini. Ibnu Hazm secara menyendiri berpendapat mengharamkan puasa ad-dahru.

Agar kita bisa mendapatkan hukum yang shahih seputar puasa ad-dahru ini, maka kita harus meneliti nash-nash berikut:

1. Dari Abdullah bin Amr, ia berkata:

“Nabi Saw. bersabda: “Benarkah engkau berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka aku menjawab: Ya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal itu maka cekunglah matamu dan lemahlah dirimu. Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.” (HR. Bukhari [1979], Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

Dalam redaksi hadits Bukhari yang kedua [1977] disebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”

2. Dari Abdullah bin Amr:

“Bahwa perkara puasaku telah diceritakan kepada Rasulullah Saw., kemudian beliau Saw. mengunjungiku. Aku menyodorkan bantal dari kulit yang isinya adalah rumput kering, tetapi beliau Saw. duduk di atas tanah, sehingga bantal itu berada di tengah-tengah antara aku dengannya, lalu beliau Saw. bertanya: “Apa tidak cukup bagimu berpuasa tiga hari dari setiap bulan?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Lima hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Tujuh hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Sembilan hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Sebelas hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Kemudian Nabi Saw. berkata: “Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam selama setengah tahun, berpuasalah engkau sehari dan berbukalah sehari.” (HR. Bukhari [1980], Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai)

Hadits ini telah kami cantumkan dalam poin 2 pembahasan: “Puasa Satu dan Dua Hari...” dari bab: “Puasa Sunat.”

Bukhari meriwayatkan hadits lain dari jalur Abdullah bin Umar [1975], dan di dalamnya disebutkan:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kekuatan. Beliau Saw. bersabda: “Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.” Aku berkata: Bagaimanakah cara puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam? Beliau Saw. bersabda: “Setengah tahun.” Maka setelah tua, Abdullah suka berkata: Andai saja dulu aku menerima rukhshah Nabi Saw.”

Muslim [2729] meriwayatkan hadits dengan redaksi:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud alaihis salam, dan inilah puasa yang paling setimbang.” Dia berkata: aku berkata: Sesungguhnya aku mampu berpuasa lebih dari itu. Rasulullah Saw. berkata: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”

3. Dari Abdullah bin Syikhir dia berkata, Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa selamanya, maka (dia dipandang) tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.” (HR. Ibnu Majah [1705], an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, sanad hadits ini shahih)

4. Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., dari Nabi Saw.:

“Barangsiapa yang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka neraka jahanam dihimpitkan baginya seperti ini, lalu beliau Saw. menghimpitkan telapak tangannya.” (HR. Ahmad [19951], Ibnu Hiban, an-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah, sanad hadits ini jayyid)

5. Dari Imran bin Hushain ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. diberitahu: Sesungguhnya si fulan tidak berbuka di siang hari sepanjang tahun kecuali malam saja. Maka Nabi Saw. bersabda: “Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.” (HR. Ibnu Hibban [3582], an-Nasai, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh ad-Dzahabi.

6. Dari Abu Amr asy-Syaibani:

“Telah sampai kabar kepada Umar bahwa seseorang berpuasa ad-dahru, lalu dia dipukulnya, dan berkata: Makanlah wahai zaman, makanlah wahai zaman.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah [2/492])

Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm, sanad hadits ini dishahihkan pula oleh Ibnu Hajar.

7. Dari Nafi:

“Bahwa Umar bin Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus sebelum beliau meninggal. Nafi berkata: Dan Abdullah bin Umar di akhir masa hidupnya suka berpuasa secara terus-menerus.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])

8. Dari Zur'ah bin Tsaub, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka dia berkata: Kami menganggap mereka yang (suka melakukannya) di antara kami sebagai orang-orang terdahulu.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])
Hadits ini dhaif.

Dalam rangkaian sanadnya terdapat Muawiyah bin Shalih, yang ditsiqahkan dan didhaifkan oleh Yahya bin Said, Yahya bin Ma’in dan Abu Ishaq al-Fazari. Di dalamnya juga ada Zur’ah bin Tsaub, ad-Dzahabi berkata dalam kitab Dzail al-Dhu'afa: dia seorang yang tidak dikenal (majhul), sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Hadits yang pertama menyebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.”

Dan lafadz yang keduanya menyebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”

Hadits kedua menyebutkan:

“Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam.”

Dalam lafadz kedua disebutkan:

“Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”

Dalam lafadz ketiga disebutkan:

“Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”

Hadits ketiga menyebutkan:

“Barangsiapa yang berpuasa selamanya, maka tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.”

Hadits keempat menyebutkan:

“Barangsiapa yang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka Neraka Jahanam dihimpitkan baginya.”

Dan hadits kelima menyebutkan:

“Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.”

Sedangkan atsar keenam menyebutkan:

“Lalu dia dipukulnya dan berkata: Makanlah wahai zaman.”

Atsar ketujuh menyebutkan:

“Bahwa Umar bin Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus... dan Abdullah bin Umar suka berpuasa secara terus-menerus.”

Pertanyaannya: apa sebenarnya yang hendak ditunjukkan oleh nash-nash ini?

Bagi seseorang yang meneliti nash-nash tersebut, dia tidak akan sulit mengistinbath hukum mengharamkan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun).
Lafadz hadits yang pertama bisa mengandung doa kejelekan dari Rasulullah Saw. bagi orang yang berpuasa ad-dahru, atau bisa juga sebagai pengingkaran (an-nafyu).
Jika kita bandingkan dengan hadits ketiga dan hadits kelima, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hadits yang pertama mengandung pengingkaran, sebagaimana hadits ketiga dan kelima yang mengandung makna pengingkaran yang sama, di mana makna pengingkaran itu terlihat ketika Rasulullah Saw. menyebut orang yang melakukan puasa ad-dahru sebagai orang yang tidak berpuasa. Ini berarti bahwa puasa ini tidak benar (ghair waqi’) dan tidak diterima (ghair maqbul). Sebab, puasa itu adalah ibadah, di mana semua ibadah itu bersifat tauqifi, sehingga akal tidak bisa turut campur menentukan dan mengatur tatacaranya (al-kaifiyat). Karena itu kita menetapkan bahwa ibadah apa saja yang dinafikan oleh syara', yakni tidak ada tuntunannya dan tidak diterima oleh syariat, maka ibadah tersebut sebagai sesuatu yang haram dan merupakan pelegislasian hukum (at-tasyri’) yang di luar syariat Allah Swt.
Ketiga hadits ini cukup menunjukkan keharaman puasa ad-dahru.

Jika kita tambahkan lagi hadits kedua ke dalamnya, yang berbunyi:

“Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam.”

Maka semakin kuatlah pendirian kita tanpa keliru lagi, bahwa puasa ad-dahru itu diingkari dan tidak diakui oleh syariat.

Kemudian jika ditambahkan lagi riwayat:

“Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”

Berarti kita telah menambah pengingkaran berkali-kali itu, dipadukan dengan larangan puasa ad-dahru. Pengingkaran berpadu dengan larangan, di mana keduanya menjadi indikasi kuat atas tegasnya larangan tersebut, sehingga puasa ad-dahru tidak diragukan lagi keharamannya.

Berdasarkan hal itu, maka jelaslah bagi kita makna hadits keempat, yakni orang yang melakukan puasa ad-dahru -yang jelas-jelas diingkari dan dilarang syariat- sebagai orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah Swt., dan terjerumus dalam jurang kemaksiatan. Dan bagi orang seperti ini, tidak ada balasan selain Neraka Jahannam.

Semua nash ini jelas memiliki dilalah yang tidak samar lagi, bahwa puasa ad-dahru itu tidak disyariatkan, tidak diterima dan tidak benar, sehingga hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan.
Untuk apa Umar ra. memukul dan memberi sanksi kepada orang-orang yang melakukannya seandainya puasa ad-dahru ini tidak diharamkan sebagaimana disebutkan dalam atsar poin 6?

Adapun atsar poin 7 yang menyebutkan bahwa Umar dan anaknya biasa terus-menerus berpuasa, tidak boleh dipahami sebagai puasa ad-dahru. Semata-mata harus diinterpretasikan bahwa Umar itu sangat sering berpuasa secara kontinyu dan terus-menerus, dan ini jelas boleh dan tidak diharamkan. Kontinyu atau terus-menerus berpuasa tidak berarti berpuasa setiap hari sepanjang tahun.
Dalam bahasa Arab, penggunaan berbagai kalimat yang zhahirnya berarti pendawaman sesuatu sesungguhnya menunjukkan makna pada umumnya dan sebagian besar saja. Dan ini banyak ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang mulia, di mana sedemikian banyaknya sehingga tidak perlu kami sebutkan contohnya di sini.

Walaupun semua nash ini tidak dinasakh dan tidak ada nash lain yang menyalahinya, jumhur ulama malah berpendapat membolehkan puasa ad-dahru dengan berbekal dalil hadits Aisyah ra.:

“Bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang yang suka berpuasa secara berturut-turut, apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan? Maka Nabi Saw. bersabda: “Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.” (HR. Muslim [2626] dan Bukhari)

Hadits ini telah kami sebutkan pada “Hukum Berpuasa Dalam Perjalanan" pada bab “Puasa di Perjalanan”, selain beberapa atsar yang menyebutkan bahwa para sahabat biasa berpuasa secara berturut-turut, yang telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam bab 4 halaman 301. Letak salahnya adalah mereka (jumhur ulama) itu telah menafsirkan sardu as-shaum (berpuasa secara berturut-turut) sebagai shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), dan mereka tidak menafsirkannya dengan al-muwashalah (terus-menerus) dan at-tatabu' (berturut-turut). Seandainya mereka menafsirkannya sebagai terus-menerus dan berturut-turut, niscaya mereka tidak akan jatuh dalam kekeliruan fatal ini.

Sedangkan atsar sahabat, pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai dalil, hingga bisa menyalahi atau mentakhsis hadits-hadits Nabi Saw. yang jelas-jelas menunjukkan keharaman. Bahkan bila kita harus menafsirkan atsar-atsar tersebut sebagai puasa ad-dahri, maka atsar tersebut harus ditolak dan tidak boleh dipertimbangkan sama sekali. Semua atsar itu tidak lebih hanya sekedar ijtihad para sahabat, yang tidak harus diikuti, terlebih lagi bila atsar-atsar itu bertentangan dengan nash-nash Kitab dan Sunnah.

Hadits Aisyah tentang Hamzah bin Amr, ini tidak menunjukkan pendapat yang mereka pegang, bahkan menunjukkan hal sebaliknya, di mana Hamzah telah mengatakan:

“Sesungguhnya aku seseorang yang suka berpuasa secara berturut-turut (kontinyu).”

Maka Nabi Saw. menjawabnya:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Redaksi kalimat seperti ini sekilas saja menunjukkan bahwa as-sardu (kontinuitas) di sini bukanlah shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), karena seandainya Hamzah melakukan puasa ad-dahru, untuk apa dia melontarkan pertanyaan seperti ini kepada Rasulullah Saw.:

“Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan?”

Jika seperti itu, dia tidak perlu melontarkan pertanyaan ini.
Dan seandainya Hamzah ini sedang melakukan puasa ad-dahru sedangkan Rasulullah Saw. mengetahui dan menyetujuinya, maka beliau Saw. tidak akan menjawabnya dengan:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Semata-mata akan menjawabnya dengan ucapan misalnya: engkau harus tetap berpuasa dalam perjalanan, atau perjalanan tidak boleh menghentikan puasamu, atau bahwasanya perjalanan itu tidak menafikan puasa ad-dahru.

Dan ketika beliau Saw. berkata kepadanya:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Ini menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut bukan tentang puasa ad-dahru (berpuasa setiap hari sepanjang tahun), tetapi tentang seseorang yang banyak berpuasa dan melakukannya secara berturut-turut, tidak lebih.

Selain itu, yang juga menunjukkan bahwa sardu as-shiyam (berturut-turut berpuasa) itu bukan berarti shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), melainkan memperbanyak berpuasa yang dilakukan secara berturut-turut saja, adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad [22096] dari jalur Usamah bin Zaid ra. dengan lafadz:

“Adalah Rasulullah Saw. biasa berpuasa di beberapa hari secara berturut-turut hingga dikatakan: Beliau Saw. tidak berbuka. Dan beliau Saw. suka berbuka pada beberapa hari hingga hampir tidak berpuasa…”

Yang sebelumnya telah kami sebutkan dalam bab “Puasa Sunat” topik “Puasa Sya'ban.”
Di dalamnya disebutkan: beliau Saw. berturut-turut berpuasa hingga dikatakan beliau Saw. tidak berbuka, dan berbuka beberapa hari...” di mana hadits ini telah menghimpun kata as-sardu (berpuasa berturut-turut) dan al-ifthar (berbuka). Seandainya as-sardu itu bermakna puasa selamanya sepanjang tahun, niscaya tidak akan ada penghimpunan dua kata tersebut dalam hadits di atas.

Dan semoga Allah Swt. merahmati Tirmidzi, di mana beliau telah memahami bahwa sardu as-shaum itu artinya at-tatabu' (berturut-turut), bukan shaum ad-dahri (berpuasa setiap hari sepanjang tahun). Karena itu kita dapati beliau menyusun satu bab yang diberi judul: bab yang menghimpun hadits tentang sardu as-shaum (puasa berturut-turut), lalu dia mencantumkan hadits berikut di bawahnya:

Dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang puasa Nabi Saw. Aisyah berkata: Beliau Saw. biasa berpuasa hingga kami mengatakan beliau sungguh-sungguh berpuasa, dan biasa berbuka hingga kami mengatakan beliau sungguh berbuka. Dan tidaklah Rasulullah Saw. berpuasa satu bulan penuh melainkan pada bulan Ramadhan.”

Kemudian Tirmidzi menyebutkan dua hadits yang di dalamnya tidak disebutkan istilah atau sesuatu yang terkait dengan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun). Ini menunjukkan bahwa beliau memahami sardu as-shaum itu sebagai banyak melakukan berpuasa saja (al-iktsar).
Karena hadits-hadits di atas saling menafsirkan satu sama lain, maka hadits-hadits kami di atas seluruhnya layak untuk menafsirkan hadits Hamzah ini, yaitu menunjukkan at-tatabu' (puasa secara berturut-turut), bukan puasa ad-dahru, karena puasa ad-dahru itu jelas-jelas dilarang.

Adapun pendapat jumhur ulama dan Syafi'i bahwa puasa ad-dahru itu dibolehkan atau sangat dianjurkan, asalkan tidak menimbulkan madharat dan tidak menyebabkan pelakunya melalaikan kewajiban, maka untuk membantahnya perlu dijelaskan: bahwa syarat seperti ini tak terbayang wujudnya, karena madharat dan melalaikan hak adalah dua perkara yang ditimbulkan dan pasti ditimbulkan dari puasa ad-dahru, di mana hadits yang pertama menyebutkan:

“Benarkah engkau berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka aku menjawab: Ya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal itu maka akan cekunglah matamu dan akan lemahlah dirimu.”

Hadits ini telah menetapkan timbulnya madharat dari puasa ad-dahru, kecuali jika jumhur ulama, Syafi’i dan para sahabatnya itu menyatakan bahwa cekungnya mata dan lemahnya diri bukan sebagai madharat? Jika kami imbuhkan ke dalam pernyataan kami ini hadits berikutnya, yang menetapkan bahwa puasa dua pertiga tahun itu tidak akan mampu dilakukan oleh seorangpun, apatah lagi dengan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun)?
Dengan demikian, kita bisa menemukan letak kekeliruan yang telah mereka lakukan. Dari Abu Qatadah ra.:

“Bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw. tentang puasa yang beliau lakukan, sehingga beliau Saw. marah. Maka Umar berkata: Aku rela. Atau dia berkata: Kami rela ber-Tuhankan Allah, beragamakan Islam. Dia berkata: dan aku tidak mengetahui selain dia telah berkata: Dan Muhammad sebagai Rasul, serta rela terhadap bai'at yang telah kami lakukan. Dia berkata: Lalu Umar berdiri atau seorang lelaki yang lain. Lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah seseorang berpuasa sepanjang masa? Maka beliau Saw. berkata: “Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.” Dia berkata: Kalau puasa dua hari dan berbuka satu hari? Beliau Saw. berkata: “Siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” (HR. Ahmad [22904])

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi dengan redaksi kalimat yang berbeda-beda.

Komentar beliau Saw. tentang puasa dua hari dan berbuka satu hari, yakni puasa dua pertiga tahun, dengan mengatakan: “siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” sebagai pertanyaan dengan maksud mengingkari atau mencela, yang jelas menunjukkan bahwa puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan oleh siapapun.

Kami memiliki dalil yang lebih kuat hujjahnya dan lebih jelas dilalahnya, yang menunjukkan bahwa puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan, yakni hadits yang sebelumnya telah kami sebutkan dalam pembahasan “puasa satu hari setelah berbuka satu hari” dari bab “puasa sunat”:

“Rasulullah Saw. diberitahu bahwa aku berucap: Demi Allah, aku akan terus berpuasa setiap hari dan akan terus bangun untuk shalat pada setiap malam selama aku hidup. Maka aku berkata kepadanya: Sungguh aku telah mengucapkan sumpah itu. Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal itu.” (HR. Bukhari [1976], Muslim dan selainnya)

Setelah semua ini begitu jelas, anehnya masih ada orang yang mengatakan bahwa puasa ad-dahru itu dibolehkan asalkan tidak menimbulkan madharat pada pelakunya?!

Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan satu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, an-Nasai, ad-Darimi, dan Ahmad, dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Tiga orang sahabat telah datang mengunjungi rumah isteri-isteri Nabi Saw., dan mereka bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika diberitahu, mereka merasa seolah-olah amal mereka sangat sedikit sekali, lalu mereka berkata: Di manakah kita dibanding Nabi Saw., padahal beliau Saw. telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan dating. Lalu salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku, sungguh akan shalat malam selamanya. Yang lain berkata: Aku akan berpuasa ad-dahru (berpuasa setiap hari sepanjang tahun) dan tidak akan berbuka. Sedangkan yang lain lagi berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw. menemui mereka, seraya bertanya: “Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, (bangun) shalat malam dan tidur, dan aku menikahi kaum wanita, sehingga barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.”

Bukankah dalam hadits ini terdapat sesuatu yang seharusnya mencegah seseorang berkata membolehkan puasa ad-dahru, terlebih lagi menganjurkannya? Apakah mereka tidak mendengar ucapan Rasulullah Saw. bagi orang yang shalat setiap malam selamanya, dan berpuasa setiap hari selamanya, serta orang yang tidak menikah selamanya:

“Sehingga barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.”

Mengenai orang yang memakruhkan puasa ad-dahru sedikit keliru, kecuali jika maksudnya adalah karahah tahrim (makruh untuk mengharamkan), bukan karahah tanzih. Pendapat yang tidak diragukan lagi kebenarannya adalah bahwa puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang masa) itu diharamkan alias tidak boleh dilakukan, dan inilah pendapat yang dilontarkan oleh Ibnu Hazm.

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dilarang Puasa Ramadhan Sebelum Ramadhan (Haram Puasa Hari Syak)



PUASA YANG DIHARAMKAN

Puasa Hari Syak

Yang dimaksud hari syak adalah hari yang masih diragukan: apakah hari tersebut hari terakhir bulan Sya’ban ataukah sudah menjadi hari pertama bulan Ramadhan?
Maka kami katakan sebagai berikut: jika saat menjelang malam pada siang hari dua puluh sembilan dari bulan Sya'ban langit tertutup awan, berkabut, atau berdebu, yang berakibat pandangan untuk melihat hilal menjadi terhalang, maka wajib bagi kaum Muslim pada saat itu untuk menyempurnakan bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Mereka tidak boleh berpuasa pada hari syak itu dengan alasan kehati-hatian, kalau-kalau sudah masuk Ramadhan.
Mereka tidak berpuasa Ramadhan kecuali setelah melihat terbitnya hilal (bulan sabit) Ramadhan.
Mengenai orang yang berpuasa sebelum hari syak, dan ingin melanjutkan puasanya lalu dia berpuasa, dengan pandangan bahwa hari itu sebagai bagian dari Sya'ban, maka tidak menjadi masalah.
Tirmidzi berkata: “Yang diamalkan oleh ahli ilmu adalah, mereka memakruhkan seseorang yang terburu-buru puasa sebelum bulan Ramadhan benar-benar masuk…”

Nash-nash syariat berikut telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terkait masalah tersebut:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw. (Abul Qasim Saw.) bersabda:

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika hilal terhalang dari (pandangan) kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari [1909], Muslim, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hiban dan ad-Darimi)

Dalam riwayat Muslim [2516] disebutkan dengan redaksi:

“Jika hilal terhalang dari kalian oleh awan, maka kira-kirakanlah menjadi tiga puluh hari.”

Dalam riwayat Bukhari yang lain [1906] disebutkan dengan redaksi:

“Jika hilal terhalang dari kalian oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya'ban) tiga puluh hari.”

Redaksi terakhir ini berasal dari jalur Ibnu Umar ra.

Kalimat yang disebutkan dalam hadits tersebut: ghubbiya 'alaikum, bisa juga dibaca ghabiya 'alaikum, artinya adalah khafiya 'alaikum (tidak nampak bagi kalian), diambil dari kata al-ghaba yakni sesuatu mirip debu di langit, sebagaimana diterangkan oleh penulis kamus Lisan al-Arab.

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan itu dengan puasa satu dan dua hari, kecuali jika puasanya itu menjadi kebiasaan salah seorang dari kalian. Dan janganlah berpuasa hingga melihatnya, kemudian berpuasalah hingga kalian melihatnya. Jika awan menghalangi kalian, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari, kemudian berbukalah kalian. Dan satu bulan itu adalah dua puluh sembilan (hari).” (HR. Abu Dawud [2327] dan al-Baihaqi)

An-Nasai [2129] dan Ahmad meriwayatkan hadits dengan redaksi:

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian dengan hilal itu terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangannya, dan janganlah sekali-kali kalian mendahului bulan tersebut.”

Abu Dawud at-Thayalisi [2671] meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian dengan hilal itu terhalang awan atau kabut, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, dan janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu hari (yang masih terhitung) bulan Sya'ban.”

3. Dari Muhammad bin Kaab al-Quradhi ra., ia berkata:

“Aku menemui Anas bin Malik di waktu ashar pada hari yang diragukan sebagai Ramadhan, dan aku ingin mengucapkan salam kepadanya. Kemudian dia meminta makanan dan memakannya, lalu aku bertanya: Apakah yang engkau lakukan ini adalah sunnah? Dia menjawab: Ya.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath [9039])

Al-Haitsami berkata: para perawi hadits ini adalah orang-orang shahih.

4. Dari Abu Huraira ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu dan dua hari, kecuali seseorang yang biasa melakukannya maka dipersilakan baginya untuk berpuasa.” (HR. Muslim [2518], Bukhari, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

5. Dari Shilah bin Zufar, ia berkata:

“Kami berada di samping Ammar bin Yasir ra., lalu dia meminta daging kambing yang dipanggang. Setelah itu dia berkata: Makanlah oleh kalian. Kemudian sebagian orang enggan dan berkata: Sesungguhnya aku (sedang) berpuasa. Maka Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak, maka sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim Saw.” (HR. al-Hakim [1/424], dan dishahihkan serta diakui oleh ad-Dzahabi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan shahih.
An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini pula.
Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini dan berkata: sanad hadits ini hasan shahih.
Ibnu Abdil Barr berkata: hadits ini menurut ahli hadits adalah hadits musnad yang marfu' yang tidak diperselisihkan lagi oleh mereka, maksud kalimat ini adalah bahwa hadits ini berstatus marfu, kepada Rasulullah Saw. dengan sebab perkataan Ammar: maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Saw. Hadits ini bukan pemahaman atau sekedar ijtihad seorang Ammar.

Hadits yang pertama memiliki dilalah yang jelas.
Hadits yang kedua dan keempat menunjukkan, selain memiliki dilalah yang ditunjukkan oleh hadits pertama, bahwa jika seseorang biasa berpuasa beberapa hari di bulan Sya’ban, dan puasanya dilakukan secara terus-menerus hingga hari terakhir bulan Syaban, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena puasa seperti itu dipandang sebagai puasa beberapa hari dari bulan Sya'ban. Puasanya itu tidak menyalahi makna dan pengertian yang dituntut oleh teks hadits tersebut, di mana hadits-hadits tersebut melarang dari puasa di akhir Sya'ban sebagai mendahului bulan Ramadhan, dalam arti bahwa hadits tersebut melarang memasukkan hari terakhir bulan Sya'ban itu ke dalam bulan Ramadhan, dan menghitungnya sebagai bagian dari Ramadhan.
Adapun puasa di hari-hari bulan Sya'ban sebagai bagian dari bulan Sya'ban, maka tidak menjadi masalah.
Mengenai hadits kelima menyebutkan bahwa puasa hari syak itu -akhir Sya’ban ketika ada sesuatu yang menghalangi pandangan mata melihat hilal- hukumnya tidak boleh alias haram.
Dengan pernyataan ini, maka pendapat yang memakruhkan puasa hari syak itu ternafikan, dan berpuasa di akhir Sya'ban lalu memasukkan hari itu sebagai bagian dari Ramadhan dalam rangka kehati-hatian maka itu adalah haram, bukan makruh saja.
Hadits ketiga menetapkan bahwa berbuka pada hari syak, itu adalah sunnah yang disyariatkan dalam Islam, sunnah dalam arti metode dan jalan yang harus diikuti.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Musa -dikatakan juga dari Abdullah bin Abi Qais menurut riwayat yang lebih shahih- dia berkata:

“Dan aku bertanya kepadanya, yakni kepada Aisyah ra., tentang hari yang diperselisihkan sebagai Ramadhan, maka Aisyah berkata: Sungguh puasa sehari bulan Sya'ban itu lebih aku sukai daripada berbuka satu hari dari bulan Ramadhan. Dia (Abdullah bin Qais) berkata: Kemudian aku keluar, lalu bertanya kepada Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Maka setiap orang dari keduanya berkata: Isteri-isteri Nabi Saw. lebih tahu tentang hal itu daripada kami.” (HR. Ahmad [25458], Said bin Mansur dan alBaihaqi)

Ini adalah ijtihad Aisyah ra., yang jelas bertentangan dengan nash-nash di atas, sehingga tidak boleh diambil.
Ijtihad ini tidak memiliki kekuatan apapun di hadapan hadits-hadits kami tersebut, yang jelas-jelas melarang puasa akhir Sya’ban dan memasukkannya ke dalam bulan Ramadhan.

Abu Hanifah dan Malik mengharamkan puasa pada hari syak sebagai bagian dari Ramadhan, dan membolehkannya bila tidak memasukkannya ke dalam Ramadhan.
Ini adalah pendapat yang shahih, sesuai dengan pengertian yang ditunjukkan oleh nash.
Jumhur ulama dan Syafi'i melarang puasa pada hari syak.
Ibnu Abdil Barr berkata: orang yang diriwayatkan memakruhkan (kariha) puasa pada hari syak adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik.

Kami telah mengetahui bahwa Ammar bin Yasir telah menyebutkan hadits kelima, yang menunjukkan pengharaman puasa pada hari syak, bukan sekedar makruh saja.
Saya katakan di sini bahwa ungkapan: “kariha fulan”, jika disebutkan oleh lisan sebagian ahli fikih, maka yang mereka maksud adalah mengharamkan (at-tahrim), bukan sekedar kemakruhan (al-karahah) menurut pengertian istilahnya, sehingga hendaknya hal ini diperhatikan benar oleh para pembaca.
Contoh lain misalnya Tirmidzi, setelah meriwayatkan hadits Ammar yang berbunyi:

“Maka sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim Saw.”

Ia berkata: “untuk mengamalkan hadits ini menurut mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi'in, dan juga yang dikatakan oleh Sufyan at-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq; mereka semua telah memakruhkan seseorang berpuasa pada hari syak tersebut. Tirmidzi menggunakan kata “mereka memakruhkan,” yang maksudnya adalah makruh untuk mengharamkan (karahah tahrim).

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Senin, 16 Oktober 2017

Cara Tayamum Dan Dalilnya



Tata Cara Tayamum

Tatacara tayamum disebutkan dalam dua himpunan hadits yang utama, yakni: himpunan hadits yang diriwayatkan dari jalur Ammar bin Yasir, dan himpunan hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Umar. Tata cara tayamum juga diriwayatkan dari jalur yang lain. Kami akan menyebutkan semuanya, dengan ijin Allah, sebagai berikut:

a. Himpunan hadits dari Ammar bin Yasir

1) Ammar bin Yasir berkata pada Umar bin Khaththab:

“Tidakkah engkau ingat bahwa kita -yakni aku dan engkau- pernah berada dalam satu perjalanan. Saat itu engkau tidak shalat, sedangkan aku saat itu berguling-guling, kemudian aku shalat. Lalu aku menceritakan hal itu pada Nabi Saw. Nabi. Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau cukup melakukan hal seperti ini.” Setelah itu Rasulullah Saw. menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, meniupnya, lalu mengusapkan keduanya ke wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2) Dari Ammar bin Yasir ra., dia berkata kepada Umar ra.:

“Rasulullah Saw. mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku terkena junub, padahal aku tidak menemukan air. Aku pun berguling-guling di tanah seperti berguling-gulingnya binatang ternak. Setelah itu aku menemui Nabi Saw. dan menceritakan hal itu padanya. Beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup melakukan hal seperti ini.” Setelah itu beliau Saw. menepukkan telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, meniupnya, lalu beliau Saw. mengusapkan keduanya ke atas punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau ke punggung tangan kiri dengan telapak tangannya itu, kemudian beliau Saw. mengusapkan keduanya pada wajahnya.” (HR. Bukhari)

3) Dalam satu hadits yang diriwayatkan Bukhari diceritakan:

“Dari Ibnu Abdirrahman bin Abza, dari ayahnya, bahwasanya dia menyaksikan Umar, lalu Ammar berkata padanya: Kami pernah berada dalam satu sariyah, lalu kami terkena junub. Dan dia berkata: Dia meniup kedua telapak tangannya.”

4) Dalam satu hadits yang diriwayatkan Bukhari diceritakan:

“Ammar berkata kepada Umar: Aku berguling-guling (di tanah), kemudian aku mendatangi Nabi Saw. Lalu beliau Saw. berkata: “Cukuplah engkau (mengusap) wajah dan kedua telapak tangan.”

5) Dalam satu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ammar, dia berkata:

“Lalu Nabi Saw. menepukkan tangannya ke tanah, kemudian beliau Saw. mengusap wajah dan kedua telapak tangannya.”

6) Dari Ammar bin Yasir ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku junub, padahal aku tidak menemukan air. Aku pun berguling-guling di tanah seperti berguling-gulingnya binatang ternak. Kemudian aku menemui Nabi Saw. dan menceritakan hal itu padanya. Beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup meletakkan tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak tangannya dan wajahnya.” (HR. Muslim, an-Nasai dan Ahmad)

7) Dalam satu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ammar:

“Lalu kami mendatangi Rasulullah Saw., kemudian kami memberitahu beliau Saw., maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya cukup bagimu melakukan seperti ini.” Beliau Saw. mengusap wajahnya dan dua telapak tangannya satu kali.”

8) Dari Ammar, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Nabi Saw. tentang tayamum, lalu beliau Saw. memerintahkan aku melakukan satu kali tepukan untuk wajah dan dua telapak tangan.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Darimi dan dia berkata: Abdullah itu shahih sanadnya.

9) Dari Ammar:

“Bahwasanya Nabi Saw. memerintahkannya bertayamum (dengan mengusap) wajah dan dua telapak tangan.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: hadits ini hasan shahih)

b. Himpunan hadits Abdullah bin Umar

1) Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Tayamum itu dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah, dan satu tepukan untuk kedua tangan hingga dua siku.” (HR. ad-Daruquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.

2) Dari Nafi, dia berkata:

“Aku pergi bersama Ibnu Umar menemui Ibnu Abbas untuk satu keperluan, lalu Ibnu Umar menyelesaikan keperluannya. Di antara ucapannya hari itu adalah: Seorang lelaki berpapasan dengan Rasulullah Saw. yang sedang berada di salah satu jalan. Waktu itu beliau Saw. baru selesai buang air besar atau buang air kecil. Lelaki tersebut mengucapkan salam kepada beliau Saw., tetapi beliau Saw. tidak membalasnya, hingga ketika lelaki tersebut hampir hilang di ujung lorong, beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke dinding dan mengusapkan keduanya ke wajahnya. Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya sekali lagi, lalu mengusap kedua lengannya. Setelah itu barulah Rasulullah Saw. menjawab salam lelaki tersebut dan berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang mencegahku menjawab salam yang engkau ucapkan melainkan aku dalam keadaan belum suci.” (HR. Abu Dawud)
Ini hadits dhaif.

3) Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Kami bertayamum bersama Nabi Saw. Kami menepukkan kedua tangan kami ke tanah yang bersih, kemudian meniup kedua tangan kami itu, lalu mengusapkannya ke wajah kami. Setelah itu kami menepukkan kedua tangan kami sekali lagi ke tanah yang bersih, lalu meniup kedua tangan kami itu, kemudian kami mengusapkan kedua tangan kami itu dari siku hingga telapak tangan di atas tempat tumbuhnya bulu rambut, baik bagian luar maupun bagian dalam.” (HR. ad-Daruquthni)
Ini hadits dhaif.

c. Jalur ketiga
Dari Abu Juhaim bin al-Harits bin al-Shimmah al-Anshari, dia berkata:

“Nabi Saw. datang dari arah telaga Jamal, lalu beliau Saw. berpapasan dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengucapkan salam pada beliau Saw. Beliau Saw. belum membalas salam, hingga menghadap ke dinding lalu mengusap wajah dan kedua tangannya, kemudian barulah beliau Saw. menjawab salam.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan Muslim)

Sembilan hadits yang berasal dari Ammar layak dijadikan sebagai hujjah, begitu pula hadits Abu Juhaim pada poin c.
Adapun hadits yang pertama dari himpunan hadits Ibnu Umar, maka di dalam sanadnya ada Ali bin Dzabyan yang dikomentari oleh Ibnu Hajar: “Dia seorang yang dhaif, didhaifkan oleh al-Qathan dan Ibnu Ma'in dan yang lainnya.” Abu Dawud berkata: “dia bukan siapa-siapa.” An-Nasai dan Abu Hatim berkata: “haditsnya ditinggalkan.” Ibnu Hibban berkata: “gugurlah jika berhujjah dengan hadits-haditsnya.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur Syababah. Abu Hatim berkata: “dia orang yang jujur, haditsnya dituliskan tetapi tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Ahmad tidak suka padanya dan menuduhnya suka menunda meriwayatkan hadits.
Sedangkan di dalam hadits kedua terdapat nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi yang didhaifkan oleh Ibnu Ma'in, Abu Hatim, Bukhari dan Ahmad. Abu Dawud berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Muhammad bin Tsabit meriwayatkan satu hadits munkar dalam perkara tayamum.”
Di dalam hadits ketiga terdapat nama Sulaiman bin Arqam, dan haditsnya ditinggalkan. Ini dikatakan oleh Abu Dawud. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma'in berkata: “Dia bukan siapa-siapa.” Bukhari berkata: “mereka meninggalkannya.”
Berdasarkan hal ini, jelas bahwa seluruh hadits Ibnu Umar ini dhaif dan tidak layak digunakan sebagai hujjah, harus ditinggalkan dan tidak diamalkan.
Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits yang mendeskripsikan tayamum itu tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Juhaim dan Ammar. Hadits-hadits yang selain dari keduanya adalah dhaif, atau diperselisihkan apakah marfu' ataukah mauquf, dan hadits-hadits tayamum yang bukan berasal dari keduanya itu biasanya tidak marfu'.”
Karena itu, kini tinggal sepuluh hadits saja, yakni sembilan hadits Ammar dan satu hadits Abu Juhaim. Kita akan mengkaji hadits-hadits ini lebih jauh, Insya Allah.

Dalam hadits yang pertama:

“Kemudian Rasulullah Saw. menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, meniupnya, lalu mengusapkan keduanya ke wajahnya dan kedua telapak tangannya.”

Dalam hadits yang kedua disebutkan:

“Kemudian beliau Saw. menepukkan telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, meniupnya, lalu beliau Saw. mengusapkan keduanya ke atas punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau ke punggung tangan kiri dengan telapak tangannya itu. Setelah itu beliau Saw. mengusapkan keduanya pada wajah nya.”

Dalam hadits yang ketiga disebutkan:

“Beliau meniup keduanya.”

Dalam hadits yang keempat disebutkan:

“Cukuplah engkau (mengusapkan) wajah dan kedua telapak tangan.”

Dalam hadits yang kelima disebutkan:

“Lalu Nabi Saw. menepukkan tangannya ke tanah, kemudian beliau Saw. mengusap wajah dan kedua telapak tangannya.”

Dalam hadits yang keenam disebutkan:

“Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak tangannya dan wajahnya.”

Dalam hadits yang ketujuh disebutkan:

“Beliau Saw. mengusap wajahnya dan dua telapak tangannya satu kali.”

Dalam hadits kedelapan disebutkan:

“Satu kali tepukan untuk wajah dan dua telapak tangan.”

Dalam hadits yang kesembilan disebutkan:

“Memerintahkannya bertayamum (dengan mengusap) wajah dan dua telapak tangan.”

Adapun hadits Abu Juhaim:

“Lalu mengusap wajah dan kedua tangannya.”

di dalamnya menggunakan lafadz: dua tangan (al-yadain), sedangkan dalam hadits-hadits lainnya menggunakan lafadz: dua telapak tangan (al-kaffain). Maka saya katakan bahwa lafadz: dua tangan (al-yadain) itu bersifat umum (general), lalu datang lafadz dua telapak tangan (al-kaffain) untuk menjelaskan bahwa maksud al-yadain itu adalah bagian tubuh yang ada di antara antara ujung jari hingga pergelangan tangan (ma baina athrafil ashabi, ila ar-rusghain).
Lafadz yang sudah dijelaskan inilah yang diamalkan, dan lafadz yang general (mujmal) dibawa pada lafadz yang sudah dijelaskan (mubayyan). Dengan demikian, jelas bahwa di antara nash-nash tersebut tidak ada kontradiksi, dan kita pun mengetahui bahwa nash-nash itu saling menafsirkan dan saling menjelaskan satu sama lain.
Nash-nash yang menyebutkan dua telapak tangan (al-kaffain) menjelaskan nash-nash yang menyebutkan dua tangan (al-yadain), sehingga yang dimaksud dengan al-yadain (dua tangan) adalah al-kaffain (dua telapak tangan) saja.
Dalam hal ini ada kemiripan dengan ayat pencurian:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (TQS. al-Maidah [5]: 38)

di mana ayat tersebut ditafsirkan oleh hadits-hadits Nabi Saw. bahwa al-yadain (dua tangan) yang harus dipotong dalam kasus pencurian itu maksudnya adalah al-kaffain (dua telapak tangan), yakni bagian tubuh yang ada di antara ujung jari sampai pergelangan tangan saja.
Tetapi ketika maksudnya mencuci bagian tubuh lebih dari pergelangan tangan dalam wudhu, maka kata al-yadain ini disebutkan secara muqayyad yang ditaqyid dengan frase ilal marafiqi (hingga dua siku). Dengan demikian, yang diwajibkan dalam tayamum itu adalah mengusap dua telapak tangan saja, yakni mengusap tangan hingga dua pergelangannya, tidak diwajibkan sama sekali mengusap lebih dari pergelangan. Inilah pengertian yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang layak digunakan sebagai hujjah.
Orang yang berpendapat seperti ini, yakni usapan itu hanya terbatas sampai dua pergelangan saja adalah Atha, Makhul, al-Auza'iy, at-Thabari, Malik, Ishaq, Ahmad, Ibnu al-Mundzir, as-Syafi’i dalam qaul qadimnya.

Sedangkan Abu Hanifah, at-Tsauri, as-Sya'biy, al-Hasan, as-Syafi’i dalam qaul jadidnya, Ali, Ibnu Umar, anak Ibnu Umar yakni Salim berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari mereka, mewajibkan mengusap kedua tangan hingga dua siku. Mereka menjadikan beberapa hadits berikut sebagai dalil:

1. Dari Jabir ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Tayamum itu satu kali tepukan untuk wajah, dan satu kali tepukan untuk dua lengan hingga dua siku.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Hakim)

2. Dari al-Asla’, dia berkata:

“Rasulullah Saw. memperlihatkan kepadaku bagaimana aku mengusap, aku pun mengusap. Dia berkata: Beliau Saw. kemudian menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu mengangkat keduanya untuk mengusap wajahnya. Setelah itu beliau Saw. menepuk lagi, lalu mengusap kedua lengannya bagian dalam dan bagian luar hingga kedua tangannya itu menyentuh dua siku.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan atThabrani)

3. Dari Aisyah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Dalam tayamum itu ada dua tepukan, satu tepukan untuk wajah, dan satu tepukan untuk kedua tangan hingga dua siku.” (HR. al-Bazzar dan Ibnu Adi)

4. Ibnu Umar dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Dalam tayamum itu ada dua tepukan, satu tepukan untuk wajah, dan satu tepukan untuk kedua tangan hingga dua siku.” (HR. ad-Daruquthni, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

Hadits ini sebelumnya telah kami sebutkan.

5. Dari Nafi, dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Saw.:

“Menepukkan kedua tangannya ke dinding dan mengusapkan keduanya pada wajahnya, kemudian menepukkan tangannya kembali, lalu mengusap kedua lengannya.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini telah kami sebutkan di atas.

Maka kami bantah mereka dengan menyatakan: semua hadits yang mereka gunakan adalah hadits dhaif, yang sama sekali tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits keempat dan kelima telah kami jelaskan kedhaifannya di atas.
Hadits pertama telah dikomentari oleh Ibnu Daqiq al-‘Ied: “Riwayat Utsman bin Muhammad ini ganjil.” Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar adalah bahwa hadits ini mauquf,” yakni ini merupakan ucapan sahabat sehingga tidak layak digunakan sebagai dalil.
Sedangkan di dalam hadits kedua terdapat nama Rabi' bin Badr yang didhaifkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar.
Hadits ketiga telah dikomentari oleh Abu Hatim: “Hadits munkar, dan al-Harisy ini adalah orang tua yang pikun yang haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.” Hadits ini didhaifkan pula oleh Abu Zur’ah dan Bukhari.
Dengan demikian, gugurlah pendapat mereka yang mewajibkan mengusap dua tangan hingga dua siku.

Az-Zuhri secara menyendiri menyatakan wajibnya mengusap hingga dua ketiak, dengan menggunakan beberapa hadits yang memerintahkan hal itu sebagai dalilnya. Ibnu Hajar mengomentari pendapat az-Zuhri ini dengan menyatakan: “Riwayat yang memerintahkan mengusap hingga ketiak, maka as-Syafi'i dan yang lainnya berkata, jika benar hal seperti itu (tayamum hingga ketiak-pen.) dilakukan berdasarkan perintah Nabi Saw., maka setiap tayamum yang benar-benar disandarkan pada Nabi Saw. setelahnya menjadi penasakhnya. Dan jika hal seperti itu dilakukan tanpa perintah Nabi Saw., maka hujjah yang meruntuhkannya adalah tayamum yang diperintahkan oleh Nabi Saw. Yang memperkuat riwayat as-Shahihain dalam membatasi usapan tayamum hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah fakta bahwa Ammar memfatwakan hal itu setelah meninggalnya Nabi Saw. Perawi hadits lebih mengetahui maksudnya daripada yang lainnya, terlebih lagi seorang sahabat yang sekaligus mujtahid.”

Pernyataan as-Syafi’i ini mengharuskan mengusap itu terbatas pada dua telapak tangan saja, karena hadits-hadits mengusap dua telapak tangan itu shahih dan diucapkan belakangan. Bahkan as-Syaukani dengan terang-terangan mengatakan: “As-Syafi'i menyatakan hadits mengusap hingga dua ketiak itu telah dinasakh.” An-Nawawi dari kalangan as-Syafi’iyah juga mengatakan: “Mengusap dua telapak tangan itu lebih kuat dalilnya dan lebih mendekati dhahir Sunnah yang shahih.”
Konklusi paling lemah darinya adalah pernyataan mengusap hingga dua siku itu semata-mata dianalogikan dengan wudhu, karena posisi tayamum sebagai pengganti wudhu. Qiyas seperti ini batil adanya, karena qiyas dalam masalah ibadah tidak bisa dibenarkan. Dan seandainya kita benar-benar menggunakan qiyas sebagaimana yang mereka nyatakan, niscaya mengharuskan kita untuk mengusap kedua kaki dalam tayamum selama alasan “pengganti wudhu” itu menjadi sebabnya. Betapa tenteramnya hati kita melihat banyak fuqaha yang tidak melakukan analogi dalam ibadah dan hanya mencukupkan diri dengan dilalah nash saja.

Pendapat yang benar tak bercela adalah bahwa hadits-hadits shahih telah menyebutkan dua telapak tangan dan tidak menyebutkan dua tangan hingga dua siku atau dua tangan hingga dua ketiak, karena itu, cukuplah bagi kita menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai sandaran. Terlebih lagi ada salah satu hadits di antaranya yang menyebutkan:

“Cukuplah engkau (mengusap) wajah dan kedua telapak tangan.”

Kata “cukup” yang ada dalam hadits tersebut, artinya secara tegas tidak mewajibkan mengusap dua lengan, kecuali jika mereka mengatakan bahwa hadits-hadits yang shahih tersebut telah dinasakh atau kalau hadits-hadits mereka lebih shahih adanya, tetapi faktanya mereka tidak menyatakan kedua hal tersebut.

1. Tayamum Itu Cukup dengan Satu Kali Tepukan

Atha, Makhul, al-Auzaiy, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan mayoritas ulama mengatakan bahwa tayamum itu cukup dengan satu kali tepukan untuk wajah dan dua telapak tangan.
Sedangkan Said bin al-Musayyab dan Ibnu Sirin mewajibkan melakukan tiga kali tepukan, satu kali tepukan untuk wajah, satu kali tepukan untuk dua telapak tangan dan satu kali tepukan untuk dua lengan.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat wajibnya dua kali tepukan, satu kali tepukan untuk wajah dan tepukan yang kedua untuk dua telapak tangan atau dua tangan hingga dua siku.

Pendapat yang benar adalah cukupnya satu kali tepukan, karena hadits-hadits yang shahih dan layak digunakan sebagai dalil tidak menyebutkan selain satu kali tepukan. Tidak ada satu hadits shahih pun menyebutkan dua kali atau tiga kali tepukan, karena itu, tidak wajib dilakukan selain satu kali tepukan, karena jumlah inilah yang disebutkan dan dituntut dalam hadits-hadits tersebut.

2. Meniup Dua Telapak Tangan Sebelum Mulai Mengusap

Di dalam hadits yang pertama disebutkan:

“Beliau Saw. meniup keduanya, lalu mengusapkannya ke wajahnya dan kedua telapak tangannya.”

Dalam hadits yang kedua disebutkan:

“Kemudian meniupnya, lalu beliau Saw. mengusapkan keduanya.”

Dalam hadits ketiga disebutkan:

“Rasulullah Saw. meniup keduanya.”

Dalam semua riwayat ini, disebutkan kata an-nafkhu, an-nafdhu dan at-taflu; ketiganya memiliki makna yang hampir sama (meniup). Tujuan ketiganya adalah meringankan kadar tanah dan debu yang melekat pada kedua tangan sebelum diusapkan. An-Nafkhu dan kata lain yang semakna, walaupun tidak disebutkan dalam nash-nash shahih, tetapi nash-nash shahih tersebut mendiamkannya alias tidak menafikannya. Perbedaan di antara dua pengertian tersebut sangat jelas. Ketika sebagian nash mendiamkan an-nafkhu (tidak menyebutkan perbuatan meniup-pen.) tidak berarti nash-nash tersebut melarangnya atau hingga tidak dilakukan sama sekali. Ringkas kata, ada nash-nash yang tidak menyebutkan an-nafkhu, tetapi ada juga nash-nash lain yang menyebutkan an-nafkhu.
Maka dalam kondisi ini, kita katakan bahwa di dalam nash-nash yang menyebutkan an-nafkhu itu ada tambahan yang bisa diamalkan. Nash-nash ini tidak bertentangan dengan nash-nash yang tidak menyebutkan an-nafkhu, sehingga bisa kita katakan bahwa nash-nash tersebut menyebutkan an-nafkhu tanpa ada yang menyelisihinya. Dengan demikian, sunah hukumnya bagi seorang Muslim meniup kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya.


Tayamum Tartib Mengusap Wajah Kemudian Tangan



4. Tata Cara Mengusap Dua Telapak Tangan

Tata caranya dijelaskan sebagai berikut:

“Kemudian beliau Saw. menepukkan telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, meniupnya, lalu beliau Saw. mengusapkan keduanya ke atas punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau punggung tangan kiri dengan telapak tangannya. Setelah itu beliau Saw. mengusapkan keduanya ke wajahnya.”

“Kemudian mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan dan punggung telapak tangannya.”

Riwayat yang pertama menyebutkan mengusap punggung telapak tangan dengan tangan kiri atau mengusap punggung telapak tangan kiri dengan telapak tangan.
Sebenarnya ungkapan seperti itu agak samar, kecuali jika lafadz au (atau) itu ditafsirkan sebagai wa (dan). Karena mengusap itu harus dilakukan pada dua telapak tangan, bukan hanya pada satu telapak tangan. Sehingga hadits ini memberi pengertian mengusap punggung dua telapak tangan, dengan terlebih dahulu mengusap telapak tangan kanan, baru kemudian telapak tangan kiri.
Ungkapan dzahra kaffihi bi syimaalihi (punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya) memberi pengertian punggung telapak tangan kanan, dan ungkapan dzahra syimalihi bi kaffihi (ke punggung tangan kiri dengan telapak tangannya) memberi pengertian mengusap punggung telapak tangan kiri.

Riwayat kedua hanya sebatas dzaahira kaffaihi (punggung dua telapak tangannya). Sedangkan kalimat sebelumnya mengusapkan yang kiri atas yang kanan, tiada lain untuk meringankan kadar debu yang menempel di bagian dalam kedua telapak tangan sebelum memulai mengusap. Ini mirip dengan meniup debu tersebut.

Kedua riwayat ini memberi pengertian bahwa mengusap dua telapak tangan itu adalah dengan cara mengusapkan bagian dalam telapak tangan kiri di atas punggung telapak tangan kanan, dan mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri. Artinya memulai dengan yang kanan, baru kemudian mengusap yang kiri.
Abu Dawud telah meriwayatkan dari Syaqiq dari Ammar bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukan hal seperti ini.” Beliau Saw. kemudian menepukkan tangannya ke atas tanah dan meniupnya, lalu menepukkan dengan tangan kirinya di atas tangan kanannya dan dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya pada dua telapak tangan. Setelah itu beliau Saw. mengusap wajahnya.”

Dua riwayat ini, bahkan seluruh riwayat yang menyebutkan mengusap dua telapak tangan, tidak menyebutkan tata cara yang lain, dalam arti, tidak menyebut permulaan mengusap apakah dimulai dari jari-jemari ataukah dari pergelangan. Karena itu seorang Muslim berhak memilih antara memulai dari ujung jari-jemari kemudian berakhir di pergelangan, atau memulai dari pergelangan dan berakhir pada ujung jari-jemari.

5. Satu Kali Usapan

Dalam tayamum, usapan yang disyariatkan adalah satu kali usapan untuk setiap telapak tangan dan wajah, tidak boleh mengulang dan berbilang. Semua hadits tidak menyebutkan berbilangnya usapan. Seandainya berbilangnya usapan itu diperintahkan, niscaya hadits-hadits tersebut akan menyebutkannya. Hadits yang ketujuh jelas menyebutkan hal itu:

“Beliau Saw. mengusap wajahnya dan dua telapak tangannya satu kali.”

Sehingga usapan tersebut hanya dilakukan satu kali, tidak boleh lebih. Selain itu, menurut asalnya memang usapan itu hanya satu kali, seperti saat mengusap dua khuff (sepatu), mengusap kepala dan mengusap belat. Usapan dilakukan secara ringan, dan bagaimanapun juga tidak perlu diulang. Orang yang menyatakan usapan itu diulang harus bisa menyodorkan dalil, padahal tidak ada dalil dalam hal ini.

6. Mengusap Wajah

Di dalam nash-nash tersebut tidak ada penyebutan tata cara khusus dalam mengusap wajah. Yang disebutkan hanya mengusap wajah secara mutlak. Karena itu yang harus dilakukan adalah mengusap seluruh wajah, tidak cukup hanya mengusap sebagian seraya membiarkan sebagian yang lain. Pernyataan ini sama dengan apa yang kami nyatakan dalam wudhu ketika membasuh wajah dan mengusap kepala. Tidak perlu mengusap bagian dalam hidung, bagian dalam mulut, bagian dalam kedua mata, apa yang ada di balik bulu janggut dan dua alis, cukup dengan mengusap bagian wajah yang nampak, berupa kulit dan bulu, tidak perlu mengusap yang tersembunyi dari wajah.




Dengan selesainya pembahasan benda yang layak digunakan untuk bertayamum, maka kita telah menghimpun seluruh unsur tata cara bertayamum. Kami katakan bahwa tata cara tayamum atau sifat tayamum itu sebagai berikut:

1. Niat.
2. Menyebut nama Allah (tasmiyah).
3. Menepukkan telapak tangan bagian dalam ke atas “benda lembut dari permukaan bumi (tanah)” sebanyak satu kali.
4. Menipiskan debu yang melekat pada dua telapak tangan dengan cara meniup, dan mengibaskan, atau dengan cara mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan pada bagian dalam telapak tangan kiri.
5. Mengusap seluruh wajah (bagian yang tampak dari wajah) dengan bagian dalam satu telapak tangan atau bagian dalam dua telapak tangan sebanyak satu kali usapan.
6. Mengusapkan bagian dalam telapak tangan kiri pada punggung telapak tangan kanan, mulai dari ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung jemari. Ini dilakukan satu kalian sapuan.
7. Mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri, mulai dari ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung jemari. Ini dilakukan satu kalian sapuan.
8. Tartib (berurutan), yang diusap terlebih dahulu adalah wajah, baru kemudian punggung dua telapak tangan.
9. Muawalat (berturut-turut).

Mengenai masalah niat, menyebut nama Allah dan muwalat, maka pendapat kami tentang tiga perkara tersebut dalam wudhu sama dengan yang kami katakan dalam masalah ini tanpa tambahan atau pengurangan, sehingga tidak perlu kami ulang. Sedangkan sisanya telah kami bahas dalam delapan poin di atas.

Beberapa perkara yang fardhu dari semua itu hanya enam perkara saja, yakni: niat, menepukkan dua telapak tangan ke tanah, mengusap seluruh wajah, mengusap punggung telapak tangan, tertib (berurutan), dan muwalat.

Perkara-perkara yang disunahkan ada tiga, yakni: menyebut nama Allah, menipiskan debu yang melekat pada dua telapak tangan, mengusap punggung telapak tangan sebelah kanan sebelum mengusap punggung telapak tangan yang sebelah kiri.


Tayamum Tidak Harus Setiap Masuk Waktu Shalat



Tayamum Batal Ketika Ada Air



Kapan Harus Tayamum



Jika Tak Ada Kedua Sarana Bersuci



Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam