Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 29 Desember 2017

Nabi SAW Mendapat Pertolongan Kekuasaan Mendirikan Negara Islam



a. Bai'at Aqabah Pertama Untuk Keimanan

Ketika memasuki musim haji tahun berikutnya, maka ada dua belas orang laki-laki di antara kaum Anshar yang mereka itu menemui Rasulullah Saw. di Aqabah. Pertemuan ini merupakan Bai’at Aqabah Pertama. Mereka membai'at Rasulullah Saw. untuk mengambil ideologi Islam. Dalam bai’at ini tidak menyinggung soal perang sebagai pembelaan atas Rasulullah Saw.
Mereka yang turut dalam Bai’at Aqabah Pertama ini adalah As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik, Ubadah bin ash-Shamit, Abu al-Haitsam bin at-Taihan, Auf bin al-Harits, Mu’ad bin al-Harits, Dzakwan bin Qais, Yazid bin Tsa’labah, al-Abbas bin Ubadah, Uqbah bin Amir, Quthbah bin Amir, dan Uwaim bin Sa’id.
Ubadah bin ash-Shamit ra. menuturkan kepada kami secara rinci tentang proses Bai’at Aqabah Pertama. Ubadah bin ash-Shamit berkata: “Saya termasuk di antara orang yang turut dalam Bai'at Aqabah Pertama. Ketika itu jumlah kami dua belas orang laki-laki. Kemudian, kami membai’at Rasulullah Saw. sebagaimana bai'atnya kaum perempuan. Bai'at itu berlangsung sebelum diwajibkannya perang. Sehingga bai'at itu isinya bahwa kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kami, tidak akan melakukan kebohongan yang kami buat-buat sendiri di antara tangan dan kaki kami, dan kami tidak akan membangkang Rasulullah Saw., ketika kami diperintah berbuat baik. (Rasulullah Saw. bersabda:) Jika kalian menepati (isi bai'at) ini, maka kalian berhak mendapatkan Surga. Jika kalian melakukan satu saja di antara (larangan yang ada dalam bai’at) ini, maka urusannya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa. Sehingga, jika Allah berkehendak, maka Allah menyiksanya, dan jika Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya.”
Jika dicermati isi yang terkandung dalam Ba’at Aqabah Pertama ini, maka kelihatan sekali bahwa isinya meliputi tiga hal, yaitu:

1. Keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, dan membuang jauh-jauh sesembahan-sesembahan selain Allah.
2. Istiqamah, yakni disiplin dalam bertingkah laku.
3. Mengambil kebenaran yang keluar dari lisan Rasulullah Saw., yakni dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dengan demikian, tiga hal ini merupakan tema sentral Islam. Mengingat, dalam Bai’at Aqabah Pertama ini tidak disinggung sama sekali tentang perang sebagai pembelaan atas Rasulullah Saw. dan agamanya.

Mengirim Mush’ab bin Umair Untuk Mengemban Misi Rahasia:

Disebutkan di dalam kitab-kitab Sirah bahwa ketika orang-orang yang membai’at itu hendak kembali ke negeri mereka, maka Rasulullah Saw. mengirim Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf agar turut bersama mereka.
Rasulullah Saw. memerintahkan agar ketika sampai di Madinah, Mush’ab mengajari mereka membaca al-Qur’an, mengajari mereka tentang Islam, dan memberi mereka pemahaman tentang agama. Sehingga di Madinah, Mush'ab dipanggil al-Muqri’. Di Madinah, Mush’ab juga berperan sebagai imam ketika mereka shalat.
Sebenarnya, Mush’ab punya misi yang lain, yakni untuk mengenal dari dekat tentang masyarakat Madinah al-Munawwarah dan keberadaannya; untuk mengetahui perasaan yang sebenarnya terhadap dakwah, da’i (yang mendakwahkannya), dan perubahan apa yang kemungkinan terjadi dengan perasaan ini; untuk mengetahui mana yang teman dan mana yang lawan, mana orang-orang yang mendukung dan mana orang-orang yang menentang, dan elemen-elemen apa saja yang berpengaruh di Madinah… Agar ketika Mush’ab kembali, Mush’ab mampu memberikan kepada Rasulullah Saw. gambaran yang jelas dan benar tentang Madinah yang menjadi pusat perhatian Rasulullah Saw., sebab Rasulullah Saw. hendak menjadikan Madinah sebagai landasan untuk mendirikan Negara Islam.
Sehingga dengan gambaran yang jelas dan benar itu, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan penilaian situasi yang benar tentang Madinah, dan dengan gambaran yang jelas dan benar itu juga, maka Rasulullah Saw. akan mampu bergerak dengan cepat dan cermat ketika waktu keberangkatan Rasulullah Saw. ke Madinah telah tiba.

b. Bai'at Aqabah Kedua Untuk an-Nushrah

Mush'ab bin Umair berangkat ke Madinah al-Munawwarah bersama kafilah orang-orang Madinah yang telah membai’at Rasulullah Saw. untuk keimanan. Mush’ab tinggal di Madinah selama setahun penuh. Di Madinah Mush’ab bertindak sebagai imam shalat, menyeru orang-orang agar bersikap lemah lembut dan sabar dalam beriman, memperdalam iman ke dalam hati orang-orang yang beriman, dan menanamkan dalam diri mereka rasa cinta untuk berkorban. Mush'ab juga menjelaskan bahwa iman jika tidak dibungkus dengan kekuatan yang melindunginya, maka misi keimanan tidak akan mampu membawa pada perbaikan hidup, dan agar mereka mendapatkan kemuliaan, mereka harus melindungi iman yang telah bersarang dalam dada mereka, serta melindungi setiap orang yang menyeru kepada iman.

Setelah setahun -pada musim haji- Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah al-Mukarramah bersama beberapa penduduk Madinah al-Munawwarah yang hendak pergi ke Makkah. Suatu malam Mush’ab bin Umair menemui Rasulullah Saw. secara terpisah. Mush’ab melaporkan kepada Rasulullah Saw. semua informasi yang berhasil dia peroleh tentang Madinah dan penduduknya.
Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengetahui dengan jelas bahwa orang-orang yang beriman di antara penduduk Madinah benar-benar yakin akan wajibnya melindungi dan membela Rasulullah Saw. Sehingga, dengan informasi-informasi yang dilaporkan oleh Mush’ab kepada Rasulullah Saw. ini, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan penilaian situasi dengan detail.
Menurut penilaian beliau secara global, bahwa di Madinah al-Munawwarah akan ada tiga kelompok:

1. Orang-orang Arab di antara penduduk Madinah. Kelompok ini benar-benar solid setelah mereka saling bermusuhan, dan setelah mereka dilelahkan oleh banyak peperangan.
2. Orang-orang Yahudi. Mereka kelompok yang tidak dapat dipercaya. Jiwa mereka dipenuhi oleh kebencian terhadap agama baru, yakni Islam. Mereka berusaha menghancurkan Islam dengan cara-cara yang kotor. Sehingga tidak perlu berharap keikhlasan mereka agar loyal kepada Negara Islam.
3. Orang-orang Muhajirin yang akan datang ke Madinah al-Munawwarah. Mereka adalah kelompok yang sangat loyal terhadap Negara Islam yang akan didirikan di Madinah. Akan tetapi, kelompok ini diliputi oleh kemiskinan, sebab mereka telah meninggalkan semua harta miliknya di Makkah. Mereka berkumpul di Madinah untuk turut andil dalam membangun bangunan yang tinggi, yaitu Negara Islam di atas tanah Madinah al-Munawwarah.

Rasulullah Saw. telah memprediksikan bahwa persoalan Negara Islam yang akan didirikan di Madinah al-Munawwarah tidak akan berjalan mulus dengan adanya orang-orang Yahudi, kecuali disertai dengan kekuatan, sebab mereka kelompok yang terus-menerus digerakkan oleh kebencian. Begitu juga, Rasulullah Saw. menilai bahwa kaum kafir Quraisy tidak akan senang dengan berdirinya Negara Islam di Madinah. Padahal dalam waktu yang bersamaan Negara Islam punya target membasmi kemusyrikan dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya. Sehingga, dapat dipastikan bahwa hal ini akan membawa pada konflik bersenjata antara Negara Islam dengan kekuatan-kekuatan yang melindungi kemusyrikan.
Maka berdasarkan prediksi situasi ini, Rasulullah Saw. telah membuat keputusan penting dan bersifat rahasia. Keputusan ini meski telah jelas bagi Rasulullah Saw., namun dalam beberapa hari beliau masih belum bisa menjelaskannya, agar masalah itu tidak tersebar, dan agar tidak mempersulit dalam menjalankannya.
Keputusan ini intinya sebagai berikut:

1. Menyukseskan proses hijrah. Ini artinya mengumpulkan kekuatan yang dapat dipercaya di daerah yang akan didirikan Negara Islam.
2. Mengusahakan perbaikan kondisi internal di dalam Madinah al-Munawwarah yang terdiri dari orang-orang Arab, Anshar, Yahudi dan Muhajirin.
3. Membersihkan musuh-musuh Negara Islam sesudah persiapan untuk masalah yang penting ini telah selesai dengan sempurna.
5. Berpindahnya berbagai elemen dan kepemimpinan ke Madinah al-Munawwarah (Hijrah) secara total.

Agar proses hijrah berjalan dengan sempurna, maka harus direalisasikan keselamatan tiga hal:
a. Keselamatan ketika keluar dari Makkah al-Mukarramah.
b. Keselamatan ketika dalam perjalanan menuju Madinah al-Munawwarah.
c. Keselamatan ketika sampai di Madinah al-Munawwarah hingga benar-benar tinggal di Madinah al-Munawwarah.

1. Memindahkan Berbagai Elemen dan Membangun Kelompok-kelompok Pelindung

Misi kelompok ini adalah menyukseskan proses sampainya Rasulullah Saw. -sang pemimpin- ke Madinah al-Munawwarah, menjaga keselamatan beliau di Madinah, dan mewaspadai setiap gerakan yang berusaha menggagalkan proses hijrah. Adapun pembentukan kontruksi ini terdiri dari dua kelompok:

1. Kelompok penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan bertemu Rasulullah Saw., yakni mereka yang telah berbai’at kepada Rasulullah Saw. untuk melindungi dan menolongnya (kaum Anshar).
2. Kelompok orang-orang beriman di antara penduduk Makkah (kaum Muhajirin) yang akan pergi dari Makkah al-Mukarramah menuju Madinah al-Munawwarah.

Rasulullah Saw. harus bergerak secara rahasia, agar tidak ada musuh yang mengetahuinya, sebab jika ada yang mengetahuinya, maka akan merusak rencana-rencana yang telah beliau susun. Untuk itu, Rasulullah Saw. membuat kesepakatan dengan orang-orang mukmin di antara penduduk Madinah al-Munawwarah untuk berkumpul di Aqabah guna diambil bai’atnya.
Ketika memasuki sepertiga malam di hari kedua dari hari Tasyrik, maka keluarlah orang-orang mukmin ke tempat yang telah disepakatinya dengan sembunyi-sembunyi. Mereka menyelinap seperti menyelinapnya kucing liar, sampai akhirnya mereka pun berkumpul di Aqabah.
Mereka berjumlah tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan di antara istri mereka, yaitu Nasibah binti Ka'ab al-Maziniyah dan Asma’ binti Adi. Sedang Rasulullah Saw. hadir dengan ditemani pamannya Abbas bin Abdul Muththalib. Ketika itu Abbas menurut pandangan umum masih menganut agama kaumnya, hanya saja dia senang menghadiri urusan yang menyangkut keponakannya, dan dia sangat percaya dengan keponakannya (Muhammad).
Rasulullah Saw. melihat bahwa yang hadir banyak sekali, sehingga bukan sikap yang bijak jika Rasulullah Saw. langsung berbicara dengan semua orang yang ada, sebab ada kemungkinan di antara mereka yang hadir ada orang-orang yang tidak begitu paham dengan tujuan perkataan Rasulullah Saw., yang akhirnya justru akan merusak rencana. Begitu juga, Rasulullah Saw. harus mendengar pendapat di antara mereka yang ingin berpendapat, dan kalau itu dilakukan, maka akan memakan waktu pertemuan yang cukup lama, padahal pertemuannya harus berjalan cepat. Rasulullah Saw. menginginkan pertemuan itu selesai secepat mungkin, agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh orang-orang musyrik, sebab kalau mereka tahu, pasti mereka akan merusak apa yang telah direncanakannya.
Untuk itu, Rasulullah Saw. meminta dari mereka dua belas orang perwakilan -kepala suku- agar Rasulullah Saw. dapat berbicara dengan mereka, dan sebaliknya mereka dapat berbicara dengan Rasulullah Saw. Lalu keluarlah menghadap Rasulullah Saw. dua belas orang kepala suku.
Sembilan orang dari Khazraj, yaitu As’ad bin Zurarah, Sa’ad bin ar-Rabi’, Abdullah bin Rawwahah, Rafi’ bin Malik, al-Barra’ bin Ma’rur, Abdullah bin Amru bin Haram, Ubadah bin ash-Shamit. Sedang yang tiga orang lagi dari Aus, yaitu Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Khaitsamah dan Abu al-Haitsam bin at-Taihan.

Ketika mereka telah berkumpul, maka orang pertama yang berbicara adalah Abbas bin Abdul Muththalib. Dia berkata: “Wahai orang-orang Khazraj -bangsa Arab menyebut komunitas di antara kaum Anshar: Khazraj ini dengan sebutan singa dan serigala hitamnya Bangsa Arab- sesungguhnya Muhammad itu dari golongan kami sebagaimana yang kamu tahu. Sungguh kami dan kaum kami telah menolaknya. Padahal dia termasuk orang yang patut diteladani, orang yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, dan orang yang berpengaruh di negerinya. Dia sudah tidak mau lagi, kecuali keberpihakan kepada kalian, dan bergabung dengan kalian. Jika kalian memandang bahwa kalian mampu memenuhi apa yang diserukan kepada kalian, dan membelanya dari orang-orang yang menentangnya, maka dukunglah dia. Dan jika kalian memandang bahwa kalian pasrah dan tunduk kepadanya, setelah dia menemui kalian, maka sejak sekarang tolonglah dia memecahkan kesulitannya. Sungguh dia itu orang yang terpandang dan berpengaruh di tengah-tengah kaumnya dan juga di negerinya.” Mereka berkata: “Kami telah mendengar apa yang kamu katakan. Sekarang, bicaralah! Wahai Rasulullah Saw., lalu ambillah dari kami untukmu dan Tuhanmu apa yang kamu inginkan.” Kemudian, Rasulullah Saw. meminta mereka berbai’at untuk keimanan dan kesediaan menolong Rasulullah Saw. (an-nushrah). Dan merekapun membai’atnya.

Ubadah bin Shamit berkata:

“Rasulullah meminta kami berbai'at untuk selalu mendengarkan dan mentaati (perintahnya), baik ketika kami dalam kesulitan maupun lapang, ketika kami senang maupun benci, dan kami tidak akan mengutamakan diri kami sendiri, kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak, dan kami akan selalu berkata benar di manapun kami berada, sedikitpun kami tidak akan pernah merasa takut akan celaan orang yang suka mencela.”

Barra’ bin Ma’rur adalah orang yang paling bersemangat. Dia adalah orang pertama yang mengambil tangan Rasulullah Saw., dia berkata: “Benar, demi Dzat yang dengan haq telah mengutusmu menjadi nabi, maka kami akan benar-benar melindungimu sebagaimana kami melindungi para istri dan anak-anak kami. Untuk itu, bai'atlah kami, wahai Rasulullah, demi Allah, kami keturunan dari generasi yang senang perang, penduduk kami semuanya bersenjata, dan tradisi seperti ini telah diwariskan dari generasi ke generasi.”
Abu Haitsam bin Taihan mengikuti langkah Barra’. Dia mengambil tangan Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara kami dan orang-orang itu -yakni orang-orang Yahudi- ada ikatan perjanjian, namun kami akan memutuskan ikatan itu. Apakah kamu berkeinginan, jika kami melakukan itu, kemudian Allah memenangkan kamu, kamu akan kembali kepada kaummu dan kamu meninggalkan kami?” Mendengar itu Rasulullah Saw. pun tersenyum, lalu berkata: “Ingat baik-baik! ad-dam ad-dam, al-hadam al-hadam (darah dibalas dengan darah, dan pertumpahan darah dibalas dengan pertumpahan darah).” Ingat! Aku bagian dari hidup kalian, dan kalian bagian dari hidupku, aku akan memerangi siapa saja yang memerangi kalian, dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian.” Kemudian, orang-orang berbai’at semuanya.

(Kata al-Hadmu atau al-Hadamu bermakna Ihdaru ad-Dam (menumpahkan darah), artinya jika mereka menginginkan darah kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menginginkan darahku. Dan jika mereka menumpahkan darah kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menumpahkan darahku)

a. Berangkatnya Kelompok Pelindung Pertama

Dengan selesainya Bai’at Aqabah ini berarti Rasulullah Saw. telah membangun gelombang pertama kelompok pelindung di Madinah al-Munawwarah.

Dengan bai'at ini, cahaya mulai tampak memancar menyinari horizon politik, sehingga dengan jelas menunjukkan rencana-rencana politik Rasulullah Saw. bahwa tujuan Rasulullah Saw. hijrah dari Makkah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat baru di negeri yang aman, yang berada di bawah kontrol dan kendalinya, dengan sistem yang berasal dari Allah Swt. Itulah Negara Islam.

Kemudian Rasulullah Saw. berkata: “Sekarang, pergilah ke tempat kalian masing-masing.” Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata kepada Rasulullah Saw.: “Demi Allah, Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, jika kamu berkehendak, maka besok kami akan benar-benar menghancurkan penduduk Mina dengan pedang-pedang kami.” Rasulullah Saw. bersabda: “Kami belum mendapat perintah untuk itu. Akan tetapi, kembalilah kalian ke tempat masing-masing.” Orang-orang pun kembali ke tempat tidur mereka masing-masing, lalu mereka tidur.
Setelah pagi mulai terang, maka tokoh-tokoh terhormat kaum kafir Quraisy pergi pagi-pagi sekali guna menemui mereka. Para tokoh kaum kafir Quraisy berkata: “Wahai orang-orang Khazraj, sungguh telah sampai berita kepada kami, bahwa kalian telah datang menemui warga kami ini (Muhammad), dan kalian keluar menemuinya tanpa sepengetahuan kami, kalian membai'atnya untuk memerangi kami. Sungguh! Demi Allah, tidak satupun dari komunitas bangsa Arab yang paling kami benci meletusnya perang antara kami dan mereka daripada meletusnya perang dengan kalian!”
Mereka menemui kelompok orang-orang musyrik, namun orang-orang yang mereka temui bersumpah atas nama Allah, bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi, “Kami memang tidak mengetahuinya,” kata mereka untuk meyakinkan. Orang-orang itu benar, dan mereka sungguh-sungguh tidak mengetahuinya. Sebab, orang-orang yang beriman ketika melakukan bai’at tidak diketahui oleh mereka.

Dan agar rahasia tetap terjaga, maka kaum Anshar memerintahkan orang-orangnya di antara penduduk Madinah agar segera kembali ke Madinah al-Munawwarah begitu selesai menjalankan ibadah haji mereka. Dan sesuai perintah, merekapun segera pergi.

Akan tetapi, kaum kafir Quraisy tidak mau begitu saja berhenti menyelidiki berita tentang pertemuan penduduk Madinah dengan Rasulullah Saw. Ketika mereka telah yakin bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi, maka mereka bergerilya mencari orang-orang yang diduga turut dalam pertemuan itu. Mereka mendapatkan Sa’ad bin Ubadah dan Mundzir bin Amru di Adzakhir (tempat di dekat Makkah) dan keduanya adalah pemimpin suku.
Mundzir bin Amru mereka siksa hingga tidak berdaya, sedang Sa’ad bin Ubadah mereka bawa, dan kedua tangannya diikat ke lehernya dengan menggunakan tali kendaraannya. Kemudian mereka menyeretnya hingga mereka sampai di Makkah. Selama dalam perjalanan mereka terus-menerus memukulinya, mereka menarik rambut ubun-ubunnya, karena dia seorang yang berambut lebat. Seseorang yang turut bersama mereka menariknya, lalu berkata: “Celaka kamu! Adakah antara kamu dan salah seorang di antara kaum Quraisy punya hubungan yang baik dan bukan hanya sekedar perjanjian?” Sa’ad berkata: “Ya, demi Allah ada. Saya rekan bisnis Jubair bin Muth'im bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf, di negeriku aku selalu melindungi mereka dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim kepada mereka. Begitu juga halnya dengan Harits bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf.” Seorang berkata: “Celaka kamu! Kamu mau berlindung dengan nama dua orang itu, dengan menyebutkan bahwa antara kamu dan keduanya punya hubungan baik.”
Sa’ad meminta agar kedua nama itu dipanggil, karena Sa’ad sangat berharap perlindungan keduanya. Seorang yang kelihatannya kasihan pada Sa’ad pergi dengan terburu-buru mencari kedua orang itu. Dia menemukan dua orang itu di masjid dekat Ka’bah. Kepada keduanya dia berkata: “Seseorang dari Khazraj sekarang sedang dipukuli di suatu lembah yang luas. Dia berharap pertolongan kalian berdua. Dia menyebutkan bahwa antara dia dan kalian berdua punya hubungan baik untuk saling melindungi.” Keduanya berkata: “Siapa dia?” “Saad bin Ubadah,” jawab orang itu. Keduanya berkata: “Demi Allah, dia benar. Dia di negerinya selalu membantu bisnis kami, dan melindungi kami dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim.” Orang itu berkata: “Kalau begitu, pergilah dan selamatkan Sa'ad dari siksaan mereka.” Dengan demikian, Sa’ad pun dibebaskan.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Kamis, 28 Desember 2017

Nabi SAW Mencari Kekuasaan Dan Daerah Untuk Menegakkan Negara Islam



C. Hijrah ke Madinah al-Munawwarah

1. Terus-menerus Mencari Daerah Untuk Negara Islam

Rasulullah Saw. telah kembali dari perjalanannya yang penuh berkah -perjalanan Isra' dan Mi'raj- yang semakin memperteguh tekadnya dengan dorongan kekuatan yang baru, kekuatan yang mampu menghancurleburkan gunung yang kokoh. Sambil menunggu datangnya musim haji, di mana ketika musim haji banyak dari berbagai suku yang datang ke Mekkah, beliau sudah memulai aktivitasnya, yaitu menyeru kepada Allah.
Setelah musim haji tiba, dan para delegasi dari berbagai suku dan tokoh-tokoh mereka telah berdatangan, maka mulailah Rasulullah Saw. mendatangi mereka di tempat-tempat peristirahatannya di Mina. Beliau menawarkan agama dan ideologi kepada mereka, dan beliau meminta kepada mereka dua perkara: Pertama, beriman kepada Allah Swt. semata dan membuang yang lain di antara sesembahan-sesembahan yang palsu, serta beriman kepada Muhammad Rasulullah Saw. Kedua, melindungi Rasulullah Saw., membelanya dan menghadapi setiap orang yang memusuhinya, sehingga beliau aman di dalam menyampaikan risalah Tuhannya.

Rasulullah Saw. menemui Bani Kindah, mereka membangun tendanya di salah satu pojok di antara pojok-pojok Mina, turut bersama mereka seorang pemimpinnya yang bernama Mulaih. Rasulullah Saw. menyeru mereka agar hanya menyembah Allah, meminta mereka supaya beriman, menolong dan melindunginya, namun mereka menolak dan tidak mau memenuhi seruan Rasulullah Saw.
Kemudian beliau mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah. Beliau menyeru mereka agar hanya menyembah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi. Setelah beliau memperkenalkan dirinya kepada mereka, maka salah seorang dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas berkata: “Demi Allah, kalau aku mengikuti seruan pemuda dari suku Quraisy ini, maka kau akan benar-benar dapat menguasai Bangsa Arab.” Lalu dia berkata kepada Rasulullah Saw.: “Apa pendapatmu jika kami membai’atmu untuk membela agama yang kamu serukan, lalu Allah memenangkan kamu atas orang-orang yang menentangmu, apakah kekuasaan sesudahmu akan diberikan pada kami?” Rasulullah Saw. berkata: “Wah kalau itu urusan Allah, Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” Dia berkata pada Rasulullah Saw.: “Kalau begitu pengorbanan kami untuk Bangsa Arab selain kamu, jika Allah memenangkan kamu, maka kekuasaan untuk selain kami. Kalau begitu, kami tidak tertarik dengan urusanmu.” Dengan demikian, mereka menolak ajakan Rasulullah Saw.

Dengan demikian, Rasulullah Saw. mengumumkan bahwa beliau tidak menerima di antara barisan dakwah orang oportunis dan orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.

Ketika orang-orang kembali, maka Banu Amir kembali kepada sesepuh mereka yang umurnya sudah sangat tua, sehingga dia tidak mampu lagi menemani mereka di musim haji. Namun, biasanya setelah mereka kembali, mereka bercerita kepadanya apa saja pengalaman yang didapatinya di musim itu. Ketika mereka datang pada tahun ini, maka dia menanyakan kepada mereka pengalaman apa yang didapat mereka di musim haji ini. Mereka berkata: “Datang kepada kami seorang pemuda Quraisy, dia ialah seorang Bani Abdul Muththalib, dia mengaku bahwa dirinya seorang nabi, dan memenyeru kami agar melindunginya, menolongnya dan dengan bersamanya kami diminta pergi ke negeri kami.” Lalu orang tua itu menaruh kedua tangannya di atas kepalanya dan berkata: “Wahai Bani Amir, kenapa kalian membuat perkara baik hilang dari kalian, padahal dia tidak meminta kalian sesuatu yang sulit. Demi Dzat, yang jiwa si fulan itu berada di tangan-Nya, apa yang dikatakannya sama sekali bukanlah kebohongan yang dibuat-buat oleh keturunan Ismail, semua itu benar-benar haq, karena itu di mana kalian taruh otak kalian, padahal dia datang untuk kebaikan kalian?”

Selanjutnya beliau mendatangi Bani Hanifah di tempat persinggahan mereka. Beliau menyeru mereka agar menyembah Allah semata, dan beliau juga memperkenalkan dirinya kepada mereka, namun mereka menolaknya dengan cara kasar dan keji yang tidak pernah dilakukan oleh Bangsa Arab lainnya.

2. Memfokuskan Madinah al-Munawwarah

Akan tetapi tidak lama kemudian Rasulullah Saw. mengubah pandangan dan perhatiannya dari semua kaum, dan lalu memfokuskannya pada penduduk Madinah al-Munawwarah. Perubahan itu dilakukan karena beberapa faktor, di antaranya:

1. Sesungguhnya penduduk Madinah al-Munawwarah itu hidup bertetangga dengan penganut agama Yahudi. Sedang agama Yahudi adalah agama langit, sehingga dapat dipastikan bahwa mereka memiliki pemikiran yang terbuka akibat pengaruh tetangga yang menjadikan mereka lebih dibanding kaum yang lain dalam menerima seruan kepada Islam.

2. Sesungguhnya daerah Madinah al-Munawwarah dianggap sebagai daerah terbaik dan strategis untuk didirikan Negara Islam, yaitu negara yang berdirinya sangat serius diusahakan oleh Muhammad Saw. agar dengannya memungkinkan penerapan syari’at Islam secara menyeluruh.

Yang menjadikan Madinah sebagai daerah yang paling strategis karena Rasulullah Saw. tahu betul bahwa di Madinah tinggal dua kelompok manusia: Bangsa Arab kelompok pemuja berhala dan Kaun Yahudi kelompok ahli kitab. Dan kedua kelompok ini bersaing ketat untuk mendapatkan kendali kepemimpinan. Sehingga, apabila Rasulullah Saw. mampu menarik salah satu dari dua kelompok itu pada pihaknya dan setuju dengan ideologi yang diembannya, maka memungkinkan bagi Rasulullah Saw. menguasai situasi dan kondisi, serta mengendalikan sebagian besar persoalan.
Rasulullah Saw. telah membuat penilaian bahwa Bangsa Arab yang lebih memungkinkan ditarik ke pihaknya daripada kaum Yahudi, sebab Bangsa Arab sangat membenci kaum Yahudi yang merupakan Bani Israil, karena kaum Yahudi sangat dibenci Bangsa Arab, maka tidak mungkin kaum Yahudi mau bergabung di bawah bendera yang dipimpin salah seorang di antara Bangsa Arab.
Untuk itu, ketika beliau mendengar bahwa ada sekelompok penduduk Madinah -Suku Khazraj- yang pergi ke Aqabah, maka beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, beliau segera pergi menemui mereka, kepada mereka beliau menawarkan Islam.
Suku Khazraj dan penduduk Madinah lainnya telah mengetahui bahwa sudah dekat era diutusnya seorang nabi. Mereka memperoleh informasi ini dari orang-orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Yahudi senantiasa mengancam Bangsa Arab dengan perkataan: “Sesungguhnya seorang nabi akan diutus, dan sekarang telah dekat waktunya. Ketika nabi itu telah diutus, kami akan mengikutinya, dan kami akan membunuh kalian sebagaimana pembunuhan terhadap kaum 'Aad dan penduduk Iram.”
Oleh karena itu, ketika Rasulullah Saw. berbicara dengan kelompok di antara suku Khazraj itu, dan menyeru mereka kepada Allah, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Demi Allah, tahukah kalian! Sunggah dia ini adalah nabi, yang dengannya orang-orang Yahudi telalu mengancam kalian. Untuk itu, jangan sampai orang-orang Yahudi mendahului kalian dalam mengikutinya, sebab kalau orang-orang Yahudi berhasil mendahului kalian, maka mereka akan membunuh kalian sebagaimana pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum ‘Aad dan penduduk Iram.”
Akhirnya, mereka menerima dengan baik apa yang diserukan, mereka membenarkan dan menerima Islam yang ditawarkan kepada mereka. Mereka berkata: “Kami telah meninggalkan kaum kami. Sungguh tidak ada suatu kaum yang hidupnya diwarnai dengan permusuhan dan kejahatan seperti yang terjadi di antara mereka. Semoga dengan kehadiranmu ini Allah menyatukan mereka. Kami akan memperkenalkan dan menyeru mereka kepada perkara yang kamu serukan ini. Kami akan menawarkan agama ini kepada mereka, agar mereka menerimanya sebagaimana kami menerima agama ini dari kamu. Dan jika Allah menyatukan mereka dengan kehadiranmu, maka tidak ada seseorangpun yang lebih mulia dari kamu.”
Kemudian, mereka pun meninggalkan Rasulullah Saw. Mereka kembali ke negeri mereka dengan membawa keimanan dan kepercayaan baru. Mereka itu terdiri dari enam orang Khazraj: As’ad bin Zurarah, ‘Auf bin al-Harits, Quthbah bin Amir, Rafi’ bin Malik, Jabir bin Abdullah dan ‘Uqbah bin Amir.
Ketika mereka telah sampai di Madinah dan bertemu dengan kaumnya, maka mereka bercerita kepada kaumnya tentang Rasulullah Saw. dan mereka menyeru kaumnya kepada Islam, sehingga Islam tersebar di antara mereka. Dengan demikian, tidak ada satu rumah pun di antara rumah-rumah kaum Anshar melainkan di dalamnya diwarnai dengan sebutan Rasulullah Saw.

3. Di Sana Terdapat Faktor Militer, Di Antaranya:

Di dalam internal penduduk Madinah itu sendiri telah terjadi banyak peperangan. Sehingga, fakta inilah yang menjadikan Madinah di antara daerah yang memiliki kemampuan perang, artinya penduduk Madinah memiliki kemampuan untuk melindungi Negara Islam.

Begitu juga posisi Madinah yang terletak di antara dua tanah vulkanik, yaitu al-Wirah di sebelah Barat dan Waqim di sebelah timur, Uhud dan Sil’u di sebelah Utara dan gunung ‘Ir di sebelah Barat Daya. Sehingga dengan posisi Madinah yang demikian itu menjadikan Madinah daerah yang terjaga. Dengan demikian, sulit bagi musuh untuk menyerbu dan menerobos Madinah.

4. Di Sana Terdapat Faktor Ekonomi, Di antaranya:

Madinah negeri pertanian yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Sehingga penduduk Madinah akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri hingga semaksimal mungkin. Dengan demikian, Madinah akan mampu melawan pemboikotan, ketika suatu saat terjadi pemboikotan. Madinah akan mampu menjamin tersedianya sumber-sumber keuangan yang cukup untuk keperluan belanja Negara Islam. Madinah juga berada di jalur perdagangan antara Mekkah dan Syam. Sehingga, apabila Negara Islam didirikan di Madinah, maka Negara Islam ini akan mampu memutus jalur perdagangan kaum musyrikin Makkah, serta melakukan pemboikotan ekonomi terhadap mereka.

Dengan memutus jalur perdagangan kaum Quraisy ke Syam, maka akan berdampak juga putusnya jalur perdagangan ke Yaman, sebab para pedagang Quraisy menjual komoditas Yaman ke Syam dan sebaliknya. Sehingga, apabila salah satu dari dua daerah jalur perdagangan Syam dan Yaman terhenti, maka akan berakibat terhentinya juga atau rusaknya jalur perdagangan mereka di daerah yang lain.

Ada tiga faktor (alasan) yang menjadikan Madinah al-Munawwarah cepat dalam menerima Islam, yaitu:

a. Akidah Islam itu jelas, sesuai dengan fitrah dan tidak rumit. Inilah yang menjadikan akidah Islam mudah bersarang di hati mereka, ketika hati mereka bersih dari tujuan-tujuan yang kotor.

b. Penduduk Madinah tinggal bersama orang-orang Yahudi. Sedang orang-orang Yahudi merupakan penganut agama langit. Sehingga dapat dipastikan mereka mengenal dengan banyak ulama’ agama langit, mereka melihat perbedaan antara peribadatan agama langit dengan pemujaan mereka terhadap berhala. Akan tetapi, yang menjadikan mereka tidak masuk agama Yahudi adalah kesombongan dan arogansi orang-orang Yahudi. Sebab, mereka mengklaim bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah, sehingga agama Yahudi merupakan agama khusus bagi mereka, tidak boleh selain mereka memeluknya, apalagi orang-orang yang tergolong rakyat jelata. Dan tentu sebelumnya telah banyak penjelasan, cemoohan, dan sindiran terhadap para pemuja patung, terkait cara peribadatan mereka, dan berhala-berhala yang tidak dapat mendengar dan melihat, serta tidak dapat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan, sehingga ada keinginan yang terpendam dalam jiwa para pemuja berhala di Madinah untuk bisa keluar dari kenyataan ini. Akan tetapi, apa agama pengganti itu? Oleh karena itu, ketika sampai pada mereka ideologi Islam dan mendapatkan agama pengganti yang lebih baik dari paganisme (pemujaan berhala) dan juga agama Yahudi, maka mereka tidak menunda-nunda lagi untuk segera beriman dengannya.

c. Madinah hidup di tengah-tengah lautan darah, sebagai rekaman sejarah Madinah seratus lima puluh tahun silam. Tumpahan darah terakhir yang membasahi setiap rumah di antara rumah-rumah di Madinah adalah tumpahan darah perang Bu’ats yang mengorbankan sebagian besar para pemimpin Madinah, baik dari pihak suku Aus maupun Khazraj.
Sebenarnya, masing-masing kubu ingin -secara inklusif- mengakhiri pertumpahan darah. Akan tetapi, suku Aus menolak mengalah pada suku Khazraj, sebaliknya suku Khazraj menolak mengalah pada suku Aus. Karena di antara kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah, maka permusuhan di antara keduanya terus berlangsung.
Setelah datang dakwah Muhammad Saw., keduanya memandang bahwa Muhammad dan dakwahnya merupakan penyelamat yang dikirim oleh Allah untuk menyelamatkan Madinah dari perselisihan-perselisihan yang menjadikan Madinah sebagai lautan darah.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Persiapan Nabi SAW untuk Pembersihan Atas Institusi Politik Tandingan Negara Islam



BAB V AWAL PERGOLAKAN DAN PEMBERSIHAN INSTITUSI-INSTITUSI POLITIK TANDINGAN (KONTRA INSTITUSI-INSTITUSI POLITIK TANDINGAN)

A. Memperkirakan Situasi Dan Membuat Keputusan

Setelah Rasulullah Saw. sukses memperbaiki situasi dan kondisi internal, serta merasakan stabilitas di dalam Negara Islam, maka beliau beralih pada memperkirakan situasi eksternal terhadap Negara Islam. Persoalan pertama yang harus diketahui dalam memperkirakan situasi eksternal adalah menentukan mana kawan dan mana lawan.
Rasulullah Saw. telah memperkirakan situasi eksternal sebagai berikut:

1. Tentang siapa kawan. Sungguh jelas sekali bagi Rasulullah Saw. bahwa beliau memiliki kawan yang berkuasa namun tidak mampu berbuat banyak dengan kekuasaannya. Sebab, an-Najasyi -Raja Habasyi- yang telah mengaku beriman dengan Rasulullah Saw. tidak mampu memberikan pertolongan kepada Rasulullah Saw., mengingat jarak antara keduanya yang sangat jauh, di samping rakyatnya tidak sependapat dalam masalah keimanan terhadap Muhammad sebagai utusan Allah. Kami tahu bagaimana para jendralnya mendengus ketika dia memuji Rasulullah Saw. dan menyerunya agar beriman kepadanya. Dengan demikian, persahabatannya tidak lebih hanya sekedar persahabatan yang sifatnya pribadi, sehingga persahabatan ini tidak banyak bermanfaat.

2. Tentang siapa lawan. Rasulullah Saw. telah memastikan bahwa mereka terdiri dari:

a. Orang-orang Yahudi: Baik yang ada di Madinah al-Munawwarah maupun di sekitarnya. Karena Rasulullah Saw. telah menggantikan tongkat kepemimpinan dari mereka kepada orang lain di antara kaum muslimin, dan agama Rasulullah Saw. telah menghapus agama mereka, maka mereka akhirnya menjadi musuh, bahkan mereka adalah musuh yang sangat cerdik dan licik, sehingga untuk membersihkan musuh yang seperti itu diperlukan perencanaan dan strategi khusus, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw. terhadap mereka.
Rasulullah Saw. telah melakukan pembersihan terhadap mereka melalui beberapa tahap. Hal itu berbeda dengan ketika Rasulullah Saw. melakukan pembersihan terhadap orang-orang musyrik Arab, seperti yang akan kami lihat dalam pembahasan selanjutnya. Sungguh, Rasulullah Saw. dengan pandangan politiknya yang luas mampu membekukan permusuhan mereka terhadap Negara Islam, dan menangkis usaha-usaha kotor yang mereka lakukan. Semua itu dilakukan sambil menunggu saat yang telah dijanjikan Allah. Sebab, setiap sesuatu yang terjadi pada diri Rasulullah Saw. berjalan sesuai ketentuan Allah Swt.

b. Orang-orang musyrik: Mereka tersebar di seluruh penjuru jazirah Arab. Permusuhan mereka telah tampak sejak Rasulullah Saw. menyeru agar membuang berhala-berhala, dan selanjutnya hanya beribadah kepada Allah semata.

c. Individu-individu: Mereka tidak menggunakan pedang (kekuatan) dalam menghadapi Rasulullah Saw. Akan tetapi mereka melakukannya di belakang layar, serta menyokong siapa saja yang menghadapi Rasulullah Saw. dengan kekuatan.

d. Persia dan Romawi: Meski sebelumnya mereka tidak menampakkan permusuhannya, namun dengan terpaksa mereka harus menampakkannya, sebab mereka tidak senang ada negara baru yang kuat selain mereka, apalagi negara baru ini memimpin dengan adil dan bijaksana. Sehingga hal itu sangat membahayakan eksistensi mereka, serta terhadap sistem mereka yang zhalim dan tiran.
Sebagai wujud perasaan takut yang dirasakan Romawi terhadap kekuatan negara baru ini, hingga akhirnya membentuk koalisi-koalisi untuk menghadapi kekuatan negara baru, seperti dalam perang Mu’tah, lalu dalam perang Tabuk kemudian mereka mengkonsentrasikan kekuatan bersenjata untuk melawannya, dan akhirnya mereka bertemu di beberapa medan pertempuran.

Rasulullah Saw. benar-benar telah merasakan permusuhan mereka semua. Sehingga, terjadinya perang di antara mereka dengan kaum muslim tidak mungkin dielakkan lagi. Ketika beliau membantu menggali khandaq (parit) Madinah, beliau memukulkan cangkulnya pada batu besar, lalu keluarlah percikan api dari batu besar itu. Beliau Saw. bersabda: Negeri Persia tetap terbuka untuk kalian... Negeri Romawi tetap terbuka untuk kalian… Namun, ketika itu, orang-orang belum berpikir tentang permusuhan mereka. Akan tetapi, Rasulullah Saw. dengan kecerdasan dan ketajaman pandangan (analisa) politiknya telah menyadari semua ini sejak beliau membuat rencana mendirikan Negara Islam di Madinah al-Munawwarah. (Lihat Lampiran 3, Posisi Kabilah-kabilah Arab pada Masa Rasulullah)

Membuat Keputusan:

Berangkat dari penilaian situasi yang cermat, maka Rasulullah Saw. membuat keputusan sebagai tujuan utama yang dirahasiakan, sebab tidak mungkin Rasulullah Saw. mengumumkan keputusannya ini. Mengingat, keputusan beliau ini tergolong keputusan rahasia, seperti rahasia-rahasia militer dan politik yang tidak boleh diketahui sekalipun oleh orang-orang terdekatnya. Namun, kami mampu menyingkap keputusan ini melalui pengkajian terhadap Sirah Nabawiyah, dan melalui pengkajian terhadap gerakan (tindakan) yang dilakukan oleh Negara dengan seluruh aparatnya.
Inti dari keputusan beliau ini adalah usaha membersihkan institusi-institusi politik yang memusuhi Negara Islam satu persatu setiap tahun. Dimulai dengan pembersihan institusi-institusi politik kaum Yahudi, sebab keberadaan mereka sangat berbahaya dibanding yang lainnya.
Pembersihan atas institusi-institusi Politik kaum Yahudi ini dilakukan karena dua hal:

1. Sesungguhnya pembersihan institusi-institusi politik mereka ini termasuk bagian dari perbaikan stabilitas internal, sebab mereka hidup di tengah-tengah kaum muslim di Madinah al-Munawwarah, sehingga jika mereka tidak segera diatasi, maka kapan saja mereka akan menyalakan api fitnah di tengah-tengah mereka.

2. Sesungguhnya mereka biasa menggunakan cara-cara makar, penipuan dan konspirasi. Untuk itu, membersihkan institusi-institusi politik mereka didahulukan dari yang lainnya. Baru kemudian pembersihan institusi-institusi politik kaum musyrik, dan selanjutnya dimulai pembersihan institusi-institusi politik dua negeri besar, yaitu Persia dan Romawi.
Untuk dapat mewujudkan itu semua harus dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Pengawasan intensif terhadap gerakan-gerakan musuh. Rasulullah Saw. selalu mencari tahu tentang berita-berita mengenai keadaan musuh. Bahkan untuk tujuan ini beliau telah menyiapkan pasukan khusus. Beliau mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ubaidah bin al-Harits dengan kekuatan delapan puluh penunggang kuda, dan untuk pasukan itu beliau telah menetapkan jalur tertentu yang harus dilaluinya. Pasukan itu pun keluar hingga sampai di Tsaniyah al-Marrah, kemudian kembali lagi dan menceritakan apa saja yang dilihatnya pada Rasulullah Saw.
Beliau mengirim pasukan yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muththalib dengan kekuatan tiga puluh penunggang kuda menuju tepi pantai, dan untuk pasukan itu beliau telah menetapkan jalur tertentu yang harus dilaluinya, pasukan itu pun pergi, kemudian kembali lagi dan menceritakan apa saja yang dilihatnya pada Rasulullah Saw.
Beliau mengirim pasukan yang dipimpin oleh Sa'ad bin Abi Waqqash dengan kekuatan enam puluh penunggang kuda, pasukan ini keluar hingga sampai di al-Kharrar -bagian dari Hijaz- dan kembali lagi, lalu menceritakan apa saja yang dilihatnya pada Rasulullah Saw.
Beliau mengirim pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan kekuatan kurang lebih delapan puluh penunggang kuda, pasukan ini ditugasi mengintai gerakan-gerakan musuh... pasukan itu pun keluar, kemudian kembali lagi dan menceritakan apa saja yang dilihatnya pada Rasulullah Saw.
Tugas yang diemban oleh pasukan-pasukan tersebut dan yang sejenisnya bukan tugas perang, alasannya pasukan-pasukan tersebut tidak melakukan peperangan ketika sebagian dari mereka berhadapan dengan kekuatan kaum kafir Quraisy. Tugas mereka hanya mencari berita saja. Sehingga dengan kegiatan mencari berita secara intensif melalui mata para pasukan yang disebar oleh Rasulullah Saw. di berbagai tempat, maka Rasulullah Saw. mampu mengetahui dengan sempurna berita tentang keadaan musuhnya, dan mampu bertindak dengan benar berdasarkan petunjuk informasi-informasi berhasil beliau kumpulkan.

b. Sebanyak mungkin melakukan pemblokiran terhadap pihak-pihak musuh dengan mengadakan genjatan senjata (berdamai) bersama mereka. Dengan demikian, kekuatan musuh semakin berkurang. Sehingga, pada saatnya nanti musuh akan mudah dilenyapkan.
Rasulullah Saw. banyak melakukan gencatan senjata, di antaranya: Gencatan senjata (berdamai) dengan semua kelompok Yahudi yang ada di Madinah al-Munawwarah dan sekitarnya; berdamai dengan Bani Dhamrah ketika beliau pergi untuk perang Waddan; berdamai dengan Bani Mudlij ketika beliau keluar untuk perang al-Asyirah; berdamai dengan kaum Quraisy di al-Hudaibiyah; berdamai dengan yang lainnya.... Dan yang lainnya....

c. Melakukan berbagai konflik-konflik kecil di daerah pinggiran. Tujuan dari itu, dari satu sisi adalah untuk mengacaukan pikiran musuh. Sedang dari sisi yang lain adalah untuk unjuk diri dan sekaligus memperkuat spirit kaum muslimin. Dalam keyakinanku bahwa perang Badar meski menghasilkan hal-hal penting itu dilakukan dalam rangka ini. Begitu juga halnya perang Dzi Amr, perang adh-Dhar’, (perginya) pasukan Zaid bin Haritsah ke al-Qaradah, dan perang-perang yang lainnya.

Kalau saja Rasulullah Saw. tidak melakukan konflik-konflik kecil di daerah pinggiran yang memperlihatkan kekuatan Negara Islam di Madinah, niscaya suku-suku di Madinah menggigit dan merobek-robeknya menjadi potongan-potongan kecil. Sesungguhnya kemenangan-kemenangan yang cepat diraih dan diwujudkan kaum muslimin ini merupakan buah dari kuatnya spirit mereka, serta siapnya jiwa mereka untuk mendapatkan realitas-realitas yang pasti, yang telah dirancang oleh Rasulullah Saw. dengan cermat dan rahasia yang sangat luar biasa.
Sementara itu, Rasulullah Saw. harus memukul balik serangan-serangan yang diarahkan pada Negara Islam. Di antara serangan-serangan ini yang paling menonjol adalah serangan pada perang Uhud dan perang Ahzab.

d. Pembersihan terhadap orang-orang yang secara individu mereka berusaha menghancurkan kekuatan Negara Islam dengan berada di balik layar, yang senantiasa mereka itu menyalakan api fitnah, dengan beruntun melakukan pembunuhan secara tipudaya, atau mengeksekusi mati secara perorangan.
Berdasarkan atas hal itu, maka Rasulullah Saw. mengirim orang untuk membunuh dengan tipu daya Ka'ab bin al-Asyraf, Sallam bin Abi al-Haqiq, Khalid bin Sufyan bin Baitah, al-Aswad al-‘Unsi, Abu Sufyan bin Harb, Abu ‘Uzzah asy-Sya’ir, Ashma’ bintu Marwan Abu Ufaik dan lain-lainnya. Di antara mereka ada yang berhasil dibunuh dan ada yang tidak.

Bersamaan itu pula, Rasulullah Saw. harus benar-benar menyiapkan kekuatan persenjataan yang dapat memberikan kemenangan dalam berbagai peperangan yang terpisah, yang telah dirancang oleh Rasulullah Saw.
Persiapan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. meliputi tiga medan:

1. Kekuatan manusia (al-quwwah al-basyariyah) untuk angkatan perang. Terkait dengan medan ini, Rasulullah Saw. berusaha mewujudkan slogan “Tentara adalah rakyat itu sendiri”. Dengan demikian, Rasulullah Saw. meraih kesuksesan yang luar biasa, yang dicatat dengan tinta emas sebagai legenda sejarah. Peristiwa Perang Tabuk pantas kami ingat selalu, yaitu ketika Rasulullah Saw. menyampaikan seruan umum untuk pergi ke medan perang, maka tidak seorangpun yang membangkangnya, kecuali tiga orang saja, sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah kepada kami di dalam al-Qur’an al-Karim. Ini menunjukkan bahwa rakyat semuanya adalah tentara. Di sini kami tidak perlu menyebutkan bagaimana anak-anak berlomba untuk bergabung kepada tentara yang hendak berangkat menuju peperangan, sebab tentang mereka sudah bukan sesuatu yang asing.

2. Persiapan non materi (al-i'dad al-ma'nawi). Untuk hal ini, Rasulullah Saw. membangun tiga pilar:

a. Membangun keimanan tentara dengan persoalan yang mampu mendorong mereka berperang. Rasululah Saw. benar-benar sukses dalam menanamkan keimanan ini dalam hati. Sehingga, keimanan menjadi instrumentalia yang senantiasa didendangkan oleh getaran-getaran hati setiap orang yang beriman.
Para sahabat beriman bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan, dan beriman bahwa Islam adalah sistem (aturan) yang mampu menyelamatkan manusia dari berbagai kezhaliman yang menimpa mereka, yaitu kezhaliman politik, sosial, ekonomi, dan kezhaliman-kezhaliman lain yang mewarnai kehidupan mereka, seperti kezhaliman-kezhaliman dalam akidah dan pemikiran. Akhirnya, demi mengakhiri semua itu, mereka rela mengorbankan harta yang sangat berharga dan tidak terhitung jumlahnya.

b. Merealisasikan kemuliaan warga Negara Islam dan orang-orang yang tinggal di wilayah Negara Islam. Dengan demikian, hidup mereka bersih dari orang-orang yang teraniaya, gelandangan, kelaparan, dan orang yang telanjang. Siapa saja yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diberikan kepada para ahli warisnya. Namun, jika tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diberikan kepada Negara.
Kaum muslim memiliki kedudukan yang sama. Mereka tidak ubahnya gigi sisir, yang kuat menolong yang lemah dan yang besar melindungi yang kecil. Satu sama lain tidak ada yang lebih diistimewakan, kecuali sesuai dengan kadar keikhlasannya dan amal saleh yang dikerjakannya… Negara sangat serius dalam memberi semua kebaikan ini kepada setiap warga negaranya, sehingga di saat itu juga semua warga negara rela mengorbankan darah, harta dan anak-anaknya demi membela institusi Negara Islam yang dicintainya, dan rela mengerahkan semua kemampuannya untuk turut serta dalam memperluas wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya.

c. Meninggalkan perbuatan keji dan munkar, dan bersegera mendekat kepada Allah, sebab Allah tidak akan mengecewakan siapa saja yang mendekat kepada-Nya.

Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian, dan meneguhkan kedudukan kalian.” (TQS. Muhamad [47]: 7)

3. Persiapan senjata dan logistik perang. Terkait dengan medan ini, Rasulullah Saw. membangun industri senjata yang kuat dan canggih, agar tidak seorangpun yang dapat mengalahkannya meski dalam keadaan kritis dan sulit. Rasulullah Saw. mengirim ‘Urwah bin Mas’ud dan Ghailan bin Salamah ke Jarsy (Yordan guna mempelajarai tehnik pembuatan al-‘Arradat (alat pelontar batu), ad-Dabbabah (alat penghancur benteng), dan al-Manjanik (alat pelontar batu yang bentuknya lebih besar dari al-‘Arradat).
Ketika itu, alat-alat perang tersebut merupakan alat-alat perang yang paling besar dan kuat. Rasulullah Saw. sangat serius dalam menghimpun senjata yang efektif dan efisien guna menghadapi musuh. Sebagai wujud pengamalan firman Allah Swt.:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi” (TQS. al-Anfaal [8]: 60)

Rasulullah Saw. menggunakan ad-Dabbabah, al-‘Arradat, dan al-Manjanik ketika beliau perang di Thaif. Sedangkan kuda dianggap sebagai peralatan jihad yang sangat istimewa. Untuk itu, Rasulullah Saw. menganjurkan agar memilikinya, bahkan usaha untuk memiliki kuda merupakan usaha yang sangat utama, serta menjadikan kebaikan diikat pada rambut ubun-ubun (jambul) kuda. Rasulullah Saw. bersabda:

“Di rambut ubun-ubun (jambul) kuda diikat kebaikan hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Hambal dengan lafadz yang berbeda)

Dari sini, maka Umar membuat di setiap wilayah kekuatan cadangan terdiri dari kuda. Untuk masing-masing, seperti Basrah dan Kufah disiapkan empat ratus ekor kuda. Inilah tentara yang disiapkan oleh Rasulullah Saw. untuk dijadikan alat dalam melaksanakan rencana-rencana beliau yang sifatnya militer, dalam rangka tegaknya Negara Islam.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Rabu, 27 Desember 2017

Nabi SAW Memproklamirkan Berdirinya Negara Islam



B. Memproklamirkan Berdirinya Negara Islam Secara Politik

Setelah Rasulullah Saw. membangun pusat Negara Islam secara resmi, memperbaiki situasi dan kondisi internal, orang-orang telah banyak yang berpihak kepada Rasulullah Saw., kepemimpinan dan kekuasaan ada dalam genggamannya, dan mereka semua mentaati Rasulullah Saw., maka kami dapat mengatakan bahwa Negara Islam secara de facto telah berdiri, sehingga tidak ada keperluan lain, kecuali melakukan langkah berikut, yaitu memproklamirkan secara resmi berdirinya Negara Islam.

Para penulis Sirah menuturkan bahwa setelah Rasulullah Saw. merasa puas dengan Madinah, saudara-saudara beliau dari orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar telah berkumpul semuanya di sekitar beliau, urusan Islam telah solid, shalat telah dijalankan, zakat dan puasa telah diperintahkan, hudud telah ditegakkan, yang halal telah dihalalkan, yang haram telah diharamkan, Islam di hadapan banyak orang diposisikan pada tempat yang penting, maka mulailah Rasulullah Saw. berpikir tentang metode yang akan digunakan untuk menyeru orang-orang agar menunaikan shalat.
Orang-orang hingga saat itu datang untuk menunaikan shalat ketika tiba waktunya tanpa ada seruan sebelumnya. Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah ra. melihat Rasulullah Saw. sangat berkonsentrasi dengan permasalahannya ini. Akhirnya dia ikut berkonsentrasi sebagaimana Rasulullah Saw., ketika dia tidur di waktu malam, dia tetap dalam kondisi berpikir tentang permasalahan Rasulullah Saw. ini, kemudian dia pergi dengan tergesa-gesa menemui Rasulullah Saw., setelah bertemu berkata kepada Rasulullah Saw.:

“Wahai Rasulullah, malam ini aku bermimpi. Seseorang memakai dua pakaian berwarna hijau melintasi aku, sedang di tangannya memegang kelintingan (genta kecil), aku bertanya kepadanya: “Wahai Abdullah, apakah kamu akan menjual kelintingan ini? ” “Apa yang akan kamu perbuat dengan kelintingan ini?” dia balik bertanya. Aku berkata: “Dengannya aku akan menyeru orang agar melaksanakan shalat.” Dia berkata: “Bagaimana kalau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari itu?” “Apa itu?” tanyaku. Dia berkata: “Kamu berkata: “Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu alla Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayya ‘alash Shalah. Hayya ‘alash Shalah. Hayya ‘alal Falah, Hayya ‘alal Falah. Allahu Akbar Allahu Akbar. La Ilaha Illallah.”
Setelah dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh ia adalah mimpi yang haq, insya Allah. Berdirilah dengan Bilal, ajarkan ia pada Bilal, lalu suruhlah Bilal azan dengan kalimat itu, sebab suara Bilal lebih keras dibanding suaramu.”
Ketika Bilal azan dengan kalimat itu, Umar bin Khaththab mendengarnya ketika dia sedang di rumahnya, lalu dia pergi menemui Rasulullah Saw. sambil menarik selendangnya, setelah bertemu dia berkata: “Wahai Nabiyullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh aku benar-benar bermimpi persis seperti mimpinya.” Rasulullah Saw. bersabda: “Hanya kepada Allah segala puji atas semuanya itu.”
Akhirnya, masalah seruan shalat diputuskan dengan menggunakan azan ini.

Kami, dengan menetapkan ini semua, mengakui dan mempercayai bahwa azan merupakan seruan untuk shalat, namun kami dengan telinga yang dalam mendengar suara hatiku berkata bahwa azan memiliki makna lain dan fungsi lain di samping fungsi sebagai seruan untuk shalat, yakni azan sebagai seruan resmi yang dikeluarkan dari pusat resmi negara -masjid- dengan menggunakan media informasi yang resmi -yaitu juru azan yang telah diangkat oleh Rasulullah Saw., sebagai kepala negara- melalui berdirinya negara Allah di bumi, di bawah kepemimpinan Muhammad Rasulullah Saw.
Semua itu terjadi, setelah Rasulullah Saw. berhasil melewati setiap rintangan yang dipasang oleh para pemuja kegelapan di jalan menuju tegaknya Negara Islam. Ternyata rencana Allah di atas rencana siapapun, dan kekuatan Allah di atas kekuatan siapapun. Kalau saja Anda mau merenungkan kalimat-kalimat azan yang pertama “Allahu Akbar Allahu Akbar” maka Anda akan mengerti bahwa Allah Swt. lebih besar daripada mereka para thaghut, sehingga otomatis Allah lebih besar dalam membuat rintangan, dan Dia Maha Memenangkan semua urusan-Nya.
Asyhadu alla Ilaha Illallah” ini artinya bahwa tidak ada kedaulatan dalam negara Islam kepada selain Allah, dan tidak ada hukum selain hukum Allah:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (TQS. al-An'am [6]: 57)

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” artinya bahwa Allah Swt. telah menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, sehingga tidak ada seorangpun yang berhak merampas kepemimpinan darinya. Beliau tetap dengan kepemimpinannya hingga Allah menyempurnakan agama-Nya melalui al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan juga melalui as-Sunnah yang diilhamkan Allah kepada Rasul-Nya.
Hayya ‘alash Shalah. Hayya ‘alal Falah” artinya bahwa bersegeralah, wahai manusia, untuk bergabung di bawah bendera negara Islam yang murni karena Allah ini, dan telah menetapkan bahwa di antara tujuannya adalah memperkokoh hubungan manusia dengan Tuhannya, memperkokoh hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan ajaran Islam yang sangat tinggi.
Qad Qamatish Shalat” artinya bahwa shalat itu benar-benar telah ditegakkan dengan berdirinya negara Islam ini, dan seandainya negara Islam ini tidak berdiri, niscaya orang-orang tidak akan berani beribadah kepada Allah. “Allahu Akbar Allahu Akbar. La Ilaha Illallah” kemudian di akhir azan dipertegas kembali bahwa kedaulatan dalam Negara Islam hanya milik Allah semata, dan hukum yang ada dalam Negara Islam hanya syari'at-Nya saja.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Persiapan Nabi SAW Memproklamirkan Negara Islam



BAB IV MEMPROKLAMIRKAN BERDIRINYA NEGARA ISLAM

A. Persiapan Untuk Memproklamirkan Berdirinya Negara Islam

Setelah Rasulullah Saw. sampai di Madinah al-Munawwarah, maka beliau mulai menyiapkan berbagai persiapan untuk memproklamirkan berdirinya Negara Islam sebagai sebuah institusi politik di antara institusi-institusi politik di dunia, serta sebagai suatu kekuatan yang akan menolong dan melindungi semua orang yang berlindung dan hidup di bawah naungannya, dan sebagai sebuah kekuasaan yang akan mengawasi mereka.

1. Menyiapkan Sentral Negara yang Resmi

Rasulullah Saw. mulai membangun masjid sebagai sentral negara yang resmi. Dari sentral negara yang resmi ini diundangkan undang-undang, di dalam sentral negara yang resmi ini semua persoalan didiskusikan, dari sentral negara yang resmi ini disiarkan semua keterangan, dan di dalam sentral negara yang resmi ini diselesaikan setiap bentuk pertengkaran dan permusuhan.

2. Pengorganisasian Situasi dan Kondisi Secara Internal

Setelah Rasulullah Saw. memasuki Madinah al-Munawwarah, dan beliau sudah bertekad bulat untuk mendirikan Negara Islam di Madinah, maka beliau harus menciptakan keamanan dan stabilitas di dalam Madinah, agar beliau sendiri dan orang-orang yang ada di sekitar beliau mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk membangun Negara Islam, dan agar mereka tidak disibukkan atau dihambat oleh gangguan-gangguan internal yang menjadikan mereka lupa akan tugas membangun Negara Islam, yaitu negara yang akan menjadi pelindung yang sebenarnya bagi agama Allah.
Mengingat di Madinah terdapat kaum Anshar yang hidupnya telah dilelahkan oleh berbagai perselisihan dan pertengkaran antara Suku Aus dan Khazraj. Di samping itu di Madinah terdapat komunitas Yahudi, mereka merupakan komunitas yang tidak dapat dipercaya, sebab jiwa mereka dipenuhi oleh perasaan benci terhadap agama baru (Islam). Mereka telah dikenal berusaha menggagalkan agama baru dengan berbagai cara-cara mereka yang kotor. Di Madinah juga terdapat kaum Muhajirin, mereka datang dari Mekkah al-Mukarramah, yang demi agamanya mereka lari kepada Allah.

Rasulullah Saw. dengan pandangan politiknya yang cemerlang dan pengaturannya yang baik terhadap berbagai persoalan ternyata beliau mampu mengendalikan semua persoalan, dan mampu merajut persatuan kelompok yang ada, sehingga menjadikan mereka sangat loyal dengan kepemimpinannya.






c. Memecahkan Persoalan Orang-Orang Muhajirin

Ketika orang-orang Muhajirin meninggalkan negeri mereka Mekkah, mereka tidak membawa harta benda, sebab harta benda mereka semuanya ditinggalkan di Mekkah, maka di saat mereka telah berada di Madinah, mereka tidak memiliki rumah yang akan mereka diami, serta mereka tidak memiliki harta benda yang akan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan demikian, Rasulullah Saw. harus sesegera mungkin melakukan langkah-langkah pengaturan ekonomi, di samping pengaturan masalah politik dan sosial kemasyarakatan. Untuk itu, Rasulullah Saw. mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Anshar.
Rasulullah Saw. bersabda: “Jadikanlah kalian saudara karena Allah dua orang-dua orang.” Kemudian, beliau mengambil tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Ini saudaraku.” Dengan demikian, Rasulullah Saw. penghulu para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, utusan Tuhan semesta alam, manusia yang tiada duanya dan tiada bandingannya di antara hamba-hamba-Nya bersaudara dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Hamzah bin Abdul Muththalib singa Allah, singa Rasulullah Saw., dan sekaligus paman Rasulullah Saw. bersaudara dengan Zaid bin Haritsah budak Rasulullah Saw. sehingga pada waktu perang Uhud, ketika Hamzah memasuki medan pertempuran, dia berwasiat, jika dia mengalami peristiwa yang menghantarkannya pada kematian, maka sampaikan peristiwa ini kepada Zaid.
Ja’far bin Abi Thalib yang memiliki dua sayap burung di Surga bersaudara dengan Mu’adz bin Jabal saudara laki-lakinya Bani Salamah.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. bin Abi Quhafah bersaudara dengan Kharijah bin Zuhair.
Umar bin Khaththab bersaudara dengan ‘Itban bin Malik.
Abu Ubaidah bin Jarrah bersaudara dengan Sa’ad bin Mu’adz.
Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi’.
Zubair bin Awwam bersaudara dengan Salamah bin Salamah bin Waqsy.
Utsman bin Affan bersaudara dengan Aus bin Tsabit bin Mundzir.
Thalhah bin Ubaidillah bersaudara dengan Ka’ab bin Malik.
Su'aid bin Zaid bin Amru bin Nufail bersaudara dengan Ubay bin Ka'ab.
Mush'ab bin Umair bersaudara dengan Abu Ayyub Khalid bin Zaid.
Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bersaudara dengan ‘Abbad bin Basyar.
‘Ammar bin Yasir bersaudara dengan Hudzaifah bin al-Yaman.
Abu Dzar al-Ghifari bersaudara dengan Mundzir bin ‘Amru.
Hathib bin Abi Balta'ah bersaudara dengan ‘Uwaim bin Sa’idah.
Salman al-Farisi bersaudara dengan Abu Darda.
Bilal budak Abu Bakar bersaudara dengan Abu Ruwaihah.

Berangkat dari persaudaraan ini, maka mulailah salah seorang di antara orang-orang Anshar memberikan kepada saudaranya orang Muhajirin sebagian harta bendanya yang dapat menolong memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada perhitungan sedikitpun, dan di antara mereka mulai memberi warisan kepada yang lain, sebab di antara keduanya ada hubungan kekeluargaan yang telah diikat oleh Rasulullah Saw.
Hal yang demikian itu terus berlangsung hingga turunnya firman Allah Swt.:

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang itu termasuk golonganmu juga. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (TQS. al-Anfaal [8]: 75)

Islam telah menghapus kebiasaan waris-mewarisi berdasarkan hubungan persaudaraan yang terkait dengan Islam. Selanjutnya, Islam menetapkan waris-mewarisi berdasarkan hubungan kekerabatan yang terkait dengan nasab.
Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah selesai memperbaiki situasi dan kondisi internal, sehingga keadaan aman dan damai mewarnai seluruh wilayah Negara Islam yang sedang berkembang.

3. Mempotensikan Semua Dukungan yang Dapat Diandalkan

Setelah memperhatikan dengan seksama, maka Rasulullah Saw. mendapatkan bahwa Negara Islam yang akan beliau dirikan sangat membutuhkan setiap kekuatan yang dapat diandalkan, setiap pemikiran yang bersih dan setiap hati yang ikhlas, agar semuanya bersatu-padu saling membantu dalam membangun Negara Islam. Sebab, negara Islam yang masih muda ini memiliki tugas yang sangat besar, yaitu mengemban misi kebangkitan dan perbaikan manusia. Sedang semua itu tidak mungkin dicapai, kecuali dengan menggunakan setiap potensi manusia yang ikhlas dalam menjalankannya.
Rasulullah Saw. memohon bimbingan dan arahan kepada Tuhannya, agar kaki tidak terperosok, pikiran tidak menyimpang dari ketentuan, dan persoalannya tidak berjalan lambat. Akhirnya turun firman Allah Swt. yang memerintahkan kepada setiap orang yang telah mengatakan “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu utusan Allah” di manapun dia berada agar berhijrah ke Madinah al-Munawwarah. Allah Swt. berfirman:

Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (TQS. al-Anfaal [8]: 72)

Rasulullah Saw. mengumumkan bahwa komunitas orang-orang Islam yang ada dalam Negara Islam tidak bertanggung-jawab atas setiap orang yang tidak berhijrah dan tidak bergabung kepada mereka, setiap orang yang tidak berhijrah tidak berhak mendapatkan sesuatu di antara harta hasil rampasan perang, sebelum dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bergabung kepada komunitas orang-orang Islam yang berada dalam kekuasaan Negara Islam.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Piagam Negara Islam Kaum Anshar Bersatu Dan Bela Negara Islam



a. Memecahkan Persoalan Kaum Anshar

Islam benar-benar telah tersiar dan tersebar di tengah-tengah kaum Anshar, sehingga tidak satupun rumah di antara rumah-rumah mereka, kecuali sebagian dari keluarganya telah masuk Islam. Tidak dikecualikan dari semua itu, melainkan beberapa kelompok kecil rumah. Sebab berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan oleh Rasulullah Saw. melalui Mush’ab bin Umair dan lainnya, maka Rasulullah Saw. tahu persis siapa di antara kelompok yang ada di Madinah yang mendukung dan siapa di antara mereka yang menentang.
Sehingga Rasulullah Saw. memandang bahwa tindakan yang paling bijak adalah segera memecahkan persoalan kaum Anshar yang menjadikan mereka solid meski sebelumnya hidup mereka diwarnai dengan berbagai perselisihan dan pertengkaran, untuk itu perlu pemecahan yang mengakar, dengan membagi mereka menjadi kelompok-kelompok yang bersolidaritas tinggi, sehingga menjamin terciptanya kebaikan di tengah-tengah mereka, dan rasa bertanggung-jawab antara yang satu dengan yang lainnya.
Rasulullah Saw. melakukan itu semua dan meletakkan semuanya di depan tanggung jawab mereka, sehingga tidak ada seorangpun di antara mereka yang lepas, mereka disatukan oleh iman kepada Allah, dan mereka diikat oleh persaudaraan Islam. Tanggung jawab mereka adalah tanggung jawab bersama guna menolak serangan kaum kafir terhadap Negara Islam.

Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengatur masyarakat baru dengan aturan baru pula sesuai Islam, dan guna mengabdi terhadap kepentingan-kepentingan Negara Islam. Aturan yang baru ini berbeda dengan perbedaan yang sangat mendasar dengan aturan lama yang tegak di atas fanatisme (ashobiyah). Untuk itu, Rasulullah Saw. membuat surat perjanjian yang disetujui oleh semua pihak yang terkait. Berikut ini isi surat perjanjiannya:

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Surat perjanjian ini dari Muhammad -Nabi Saw.- antara orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka lalu menyusul mereka dan berjuang beserta mereka. Mereka semua adalah satu umat tanpa kecuali.

Orang-orang Muhajirin yang berasal dari Quraisy tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani ‘Auf tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani Sa’idah tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani Harits tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani Jusyam tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani Najjar tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani ‘Amru bin ‘Auf tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang dari kabilah Bani Aus tetap di atas keadaan mereka, adat-istiadat mereka (yang sesuai Islam), mengambil dan membayar tebusan orang-orang mereka yang mati terbunuh di antara sesama mereka, dan tiap-tiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang yang beriman.

Orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan siapa saja di antara mereka yang kesusahan memikul tanggungan hutang dan beban keluarga yang banyak, namun mereka harus menolongnya dengan cara yang baik guna membayar denda atau tebusan.

Seorang yang beriman tidak boleh bersekutu untuk menguasai seorang yang beriman yang lain, sebab orang-orang yang beriman dan bertakwa wajib atas mereka itu membasmi orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri, atau mereka wajib membasmi orang yang menginginkan kebesaran dengan cara melakukan kezhaliman, kejahatan, penyerangan, atau pengrusakan di antara orang-orang yang beriman. Mereka wajib bersatu untuk membasmi orang yang berbuat jahat itu, walaupun ia anak dari salah seorang di antara mereka sendiri.

Seorang yang beriman tidak boleh membunuh orang beriman yang lain -lantaran ia membunuh- orang kafir, dan seorang yang beriman tidak boleh menolong orang kafir (musuh) untuk mengalahkan orang yang beriman.

Jaminan Allah itu satu, sehingga mereka yang kuat wajib menolong mereka yang lemah, dan orang-orang yang beriman sebagian atas sebagian yang lain saling melindungi, tanpa ada pengecualian.

Siapapun di antara orang-orang Yahudi yang mengikuti kami, maka dia berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan, mereka tidak boleh dizhaliminya dan tidak boleh tolong-menolong untuk mengalahkannya.

Perjanjian damai orang-orang yang beriman itu satu, seorang yang beriman tidak boleh membuat perjanjian damai sendiri ketika dalam peperangan di jalan Allah, sebab mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Tiap-tiap orang yang berperang, yang dia itu berperang bersama kami, maka sebagian atas sebagian yang lain harus saling bergiliran atau saling bergantian.

Orang-orang yang beriman sebagian atas sebagian yang lain wajib membela dan menebus darah saudaranya (yang beriman) yang terbunuh karena membela agama Allah.

Orang-orang yang beriman serta bertakwa wajib atas mereka berjalan di atas petunjuk dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya.

Orang musyrik tidak boleh melindungi dan menyelamatkan harta benda kepunyaan orang Quraisy dan juga tidak boleh melindungi jiwa mereka, serta tidak boleh menghalang-halangi orang yang beriman. Sebab, siapa saja yang melakukan kejahatan membunuh seorang yang beriman dengan cukup bukti, maka ia wajib dibunuh pula, kecuali jika keluarga orang yang dibunuh rela dan mau menerima denda (tebusan). Orang-orang yang beriman seluruhnya wajib menjalankan hukuman mati itu, sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka, kecuali menjalankannya.

Orang yang beriman yang mengakui isi surat perjanjian ini dan beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka baginya haram (tidak boleh) menolong dan melindungi orang yang melakukan kejahatan, sehingga siapa saja yang menolongnya dan melindunginya, maka baginya laknat Allah dan murka-Nya di hari kiamat, dan dia tidak akan mendapatkan ampunan-Nya.

Dan apapun yang kalian perselisihkan mengenai suatu urusan, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa dan kepada Muhammad Saw.”

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam