Organisasi Papua
Merdeka terus meningkatkan eksistensinya. Jika dulu mereka bergerak di luar
negeri, kini mereka berani terang-terangan membuka kantor di dalam negeri.
Sayangnya, reaksi pemerintah tak memadai. Seberapa seriuskah OPM? Mengapa
mereka begitu berani? Untuk mengungkapkannya, wartawan tabloid Media Umat
mewawancarai Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman. Berikut
Petikannya.
OPM
telah membuka Kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di
Papua. Bagaimana Anda melihatnya?
Itu setidaknya
mengindikasikan empat hal. Pertama, itu
menunjukkan bahwa aksi separatisme Papua masih terus berlanjut dan makin nyata.
Kedua, tampaknya intelijen TNI dan pihak
keamanan lagi-lagi kecolongan. Mestinya, upaya peresmian itu bisa diendus
sebelum terjadi dan bisa dicegah. Lolosnya kejadian itu adalah buktinya.
Ketiga, dalam kejadian kembali terlihat sikap
pemerintah yang lunak. Kegiatan itu jelas merupakan makar, tetapi pelakunya
tidak ditindak tegas. Tindakan makar itu bahkan sudah nyata, tidak hanya
terduga. Ini berbeda dengan kasus teroris, baru terduga saja, belum nyata,
sudah dibunuh. Atau mungkin karena pelakunya bukan Muslim dan mendapat dukungan
pihak luar?
Keempat, kejadian itu mengungkap masih lemah
atau belum berhasilnya integrasi Papua.
Apakah
Anda melihat mereka ini serius ingin merdeka?
Kejadian itu hanya
bagian dari strategi umum pemisahan Papua. Secara umum strategi pemisahan Papua
itu ada tiga: Pertama, terus melakukan
perlawanan di dalam negeri melalui sayap militer OPM. Dalam hal ini sudah
banyak terjadi serangan dan penembakan. Korbannya juga sudah banyak, baik warga
sipil maupun aparat TNI dan Polri.
Kedua, melalui jalur politik dengan jalan
internasionalisasi isu Papua. Di antaranya dilakukan dengan membuka kantor
organisasi separatis Papua di luar negeri. Dan peresmian kantor ULMWP di Wamena
itu juga dimaksudkan sebagai bagian dari internasionalisasi isu Papua.
Apa
'amunisi' mereka untuk merdeka?
Pelanggaran HAM,
penindasan dan ketidakadilan yang diderita rakyat Papua. Mereka juga terus
menyuarakan bahwa integrasi Papua ke Indonesia tidak sah.
Makanya, mereka punya
strategi ketiga yakni, terus mendesakkan referendum penentuan nasib sendiri
untuk rakyat Papua. Internasionalisasi isu Papua adalah upaya untuk mendesakkan
referendum ini. Strategi referendum Papua melalui Dewan PBB itu sama seperti
strategi pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Apakah
Anda melihat ada campur tangan gereja di balik upaya melepaskan Papua dari
Indonesia?
Campur tangan gereja
sangat kentara.
Indikasinya?
Hasil sidang sinode
GKI (Gereja Kristen Indonesia) Oktober 2011 mengeluarkan pesan mendorong
"Hak Menentukan Nasib Sendiri” orang Papua. Pesan ini sejalan dengan
rekomendasi Aliansi Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World Alliance of
Reformed Churches) tahun 2004. Juga ada beberapa tokoh gereja yang secara
terang-terangan mendukung disintegrasi Papua dari indonesia.
Tentu hal itu tidak
bisa diaggap enteng, sebab dari pengalaman disintegrasi Timor Timur, gereja
bekerja sama dengan kekuatan imperialis asing dan LSM komprador untuk
memuluskan disintegrasi.
Campur
tangan asing?
Jelas. Paling tidak
ada dua kelompok. Elemen diplomatik jaringan Inggris dan elemen diplomatik
jaringan AS. Yang melibatkan elemen diplomatik jaringan inggris misainya,
dibentuk ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International
Parliament for West Papua). Keduanya bermarkas di Inggris dan diinisiasi serta
dimotori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (Free West
Papua Campaign).
Sedangkan elemen
diplomatik jaringan AS, di antaranya adanya dukungan terhadap distintegrasi
Papua oleh beberapa politisi AS bahkan senator atau mantan senator.
Benarkah
asing ingin Papua lepas dari Indonesia?
Pada 1998 muncul
rekomendasi dari Rand Corporation, lembaga kajian strategis yang sering
memberikan rekomendasi kepada Dephan AS Pentagon, bahwa Indonesia harus dibagi
dalam 8 wilayah. Salah satu prioritas adalah memerdekakan Papua. Hal itu
diungkap oleh Hendrajit dkk dalam buku Tangan-Tangan Amerika (Operasi Siluman
AS di Pelbagai Belahan Dunia), terbitan Global Future Institute pada 2010.
Rekomendasi skenario ”Balkanisasi" Indonesia yang dikeluarkan saat Bill
Clinton berkuasa itu tampaknya dijalankan meski dengan detil proses yang
dimodifikasi.
Apa
yang diinginkan inggris dan Amerika dari Papua?
Bagi Inggris atau AS
yang penting kepentingan imperialisme mereka terjamin. Jika itu lebih terjamin
dengan Papua tetap jadi bagian Indonesia, maka mereka belum akan melepaskan
Papua. Tapi Jika kepentingan mereka tidak lagi terjamin, maka mereka akan memicu
disintegrasi Papua.
Kepentingan AS di
antaranya tampak dengan eksistensi Freeport yang menyedot emas dan mineral
berharga lainnya, sementara Inggris tampak dengan eksistensi British Petroleum
yang menyedot minyak.
Mengapa
gereja ada di belakang pemisahan diri ini?
Ada dua faktor. Pertama, gereja tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan Barat. Kedua, tentu gereja
ingin Papua sepenuhnya didominasi Kristen. Dan keinginan itu berulang kali
tampak. Misalnya, dengan usulan adanya perda Injil, dan lainnya. Gereja
beranggapan jika Papua lepas akan lebih mudah bagi gereja mendominasi dan
mengkristenkan seluruh Papua. Berbeda jika Papua masih tetapi jadi bagian
Indonesia. Dominasi kristen dan kristenisasi Papua mereka anggap akan lebih
lambat.
Apakah
sikap dan tindakan pemerintah selama ini sudah memadai dalam menangani masalah
ini?
Tidak memadai sama
sekali. Bahkan ketika ULMWP buka kantor di Wamena, pemerintah malah berusaha
menutupinya dengan mengatakan tidak ada pembukaan kantor OPM. Pemerintah juga
tidak bersikap tegas kepada negara Vanuatu dan Solomon. Malah seperti yang
dikemukakan Menko Polhukam, ke depan pemerintah akan membuka hubungan dengan
negara-negara Melanesia dan meningkatkan hubungan yang sudah ada. Para pelaku
aksi makar itu juga tidak ditindak secara tegas.
Lantas
bagaimana Islam memberikan solusi terkait masalah disintegrasi Papua ini?
Penyelesaian tuntas
masalah Papua hanya bisa dilakukan melalui penerapan syariah Islam secara total
dan menyeluruh.
Terkait
perbedaan suku, ras, agama dan antar golongan di tengah masyarakat?
Islam akan
mengintegrasikan atau melebur masyarakat menjadi satu kesatuan dengan integrasi
ideologis berdasarkan ideologi Islam.
Sejarah penerapan
Islam di bawah khilafah telah membuktikan bisa melebur dan mengintegrasikan
semua warganya, dari warna kulit, suku, asal keturunan, ras, budaya, asal
daerah, tempat kelahiran dan latar belakang yang berbeda. Semua dilebur dan
diintegrasikan menjadi satu yakni masyarakat Islam.
Khilafah juga akan
menyejahterakan seluruh rakyat dan menjunjung tinggi keadilan. Kesenjangan dan
ketimpangan antar individu dan antar daerah akan segera bisa diatasi dengan
penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh itu.
Jadi intinya,
penyelesaian masalah Papua, juga daerah lain sebab masalah itu secara relatif
juga dialami daerah lain, adalah melalui penerapan syariah Islam secara total
dan menyeluruh. Hanya dengan begitu, masalah masalah itu bisa diselesaikan
dengan tuntas. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 169, Maret 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar