Pembukaan kantor
cabang ULMWP di Wamena menjadi perbincangan hangat di media sosial. Termasuk
adanya skenario rencana Balkanisasi Nusantara. Secara umum netizen khawatir itu
bisa benar-benar terjadi jika tak ada tindakan antisipasi dan nyata dari
pemerintah Joko Widodo.
Beredar pula sebuah
kiriman melalui jejaring Whatsapp yang mengatasnamakan Prof Sri Edi Swasono,
guru besar UI tentang skenario pecah belah Indonesia menjadi lima negara. Meski
kemudian sang profesor mengklarifikasi bahwa itu bukan tulisannya, setidaknya
ia pun sepakat mesti ada langkah nyata mencegah Indonesia terbelah.
Skenario serupa pernah
dikeluarkan oleh lembaga think tank
Amerika Serikat Rand Corporation. Dikutip dalam buku Tangan Tangan Amerika
(Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia) terbitan 2010 karya Hendrajit,
bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand
Corporation, Indonesia harus dibagi delapan wilayah, yang mana salah satu
prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua.
Rekomendasi Rand
Corporation ihwal memecah Indonesia tersebut dikeluarkan pada tahun 1998,
ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Sebagai sesama Partai
Demokrat, Presiden Barack Obama masih cukup beralasan untuk menjadikan skenario
itu sebagai opsinya.
Dalam skenario
Balkanisasi ini ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Timor Timur
berhasil memisahkan diri pada 1999 di masa pemerintahan Habibie. Beberapa
daerah sudah sempat mengeluarkan niat pemisahan diri seperti Aceh dan
Kalimantan Timur. Namun yang paling getol menyuarakan kemerdekaan adalah Papua.
Pemerintah
Lemah
Bukan kali ini saja
pemerintah begitu lemah menghadapi gerakan separatis Papua. Banyak kalangan
mempertanyakan intelijen negara karena tidak bisa mengantisipasi pergerakan
gerakan Papua Merdeka sampai bisa mereka meresmikan kantor perwakilan ULMWP di
Wamena.
Kelemahan pemerintah
lndonesia ini kian nyata di masa reformasi. Pemerintah seperti kebingungan
menghadapi gerakan separatis. Ini bisa terjadi karena pemerintah sudah terjebak
dalam prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) -sebuah ciri khas negara
demokrasi sekuler.
Jebakan sistem sekuler
ini memungkinkan kalangan separatis bisa bergerak bebas dengan memanfaatkan isu
keadilan dan HAM. Dan isu inilah yang dimanfaatkan betul dan terus dipakai oleh
gerakan Papua Merdeka di mana-mana. Mereka mempertanyakan ketidakadilan akibat
'pendudukan' Indonesia di Papua. Mereka mengangkat isu pelanggaran HAM di
berbagai tempat di Papua yang ditujukan kepada TNI dan Polri.
Isu-isu itu sendiri
tampaknya sulit dijawab oleh pemerintah. Sebaliknya, isu-isu ini sangat enak
digoreng oleh mereka yang pro terhadap kemerdekaan Papua baik itu LSM maupun
orang-orang asing.
Buka
Celah
Pintu kemerdekaan kian
terbuka ketika rezim Jokowi justru melonggarkan pihak asing masuk ke Papua. Di
tahun pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi mengambil keputusan yang
mengkhawatirkan banyak pihak yakni memberikan kebebasan kepada para pewarta
asing untuk melakukan peliputan ke Papua. “Mulai hari ini wartawan asing
diperbolehkan dan bebas datang ke Papua sama seperti di wilayah lainnya di
Indonesia," katanya di Merauke, Ahad (10/5/15).
Sudah menjadi rahasia
umum, wartawan asing selama ini tidak murni mencari berita saja. Sebagian dari
mereka adalah bagian dari sebuah kegiatan intelijen asing dan juga bagian dari
tim propaganda sebuah kepentingan tertentu. Terbukanya mereka ke Papua bisa
membuka peluang bagi wartawan asing untuk menginternasionalisasikan kasus
sekecil apapun di Papua ke dunia internasional. Ini sangat menguntungkan
gerakan Papua Merdeka dan sangat merugikan posisi Indonesia.
Tak hanya itu,
Presiden Jokowi pun memberikan grasi kepada lima tahanan politik terkait
gerakan Papua Merdeka yang ditahan di penjara Abepura sehari sebelum ia
mengumumkan pers asing bebas masuk Papua. Menurutnya, upaya pengurangan hukuman
ini dilakukan sepenuh hati untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua.
“Kita ingin menciptakan Papua sebagai negeri yang damai," kata Presiden
Jokowi saat itu.
Jokowi menegaskan,
kelima tapol mendapatkan grasi setelah melewati kajian menyeluruh. "Bukan
dipilih. Ini melalui proses panjang (sejak) bulan Januari,” ujarnya. Selain
grasi, pemerintah menjanjikan amnesti kepada para tahanan politik.
Nasionalis
Tiarap
Anehnya, ketika
gerakan separatis Papua bermanuver, justru kelompok yang selama ini selalu
mengaku nasionalis sejati diam seribu bahasa. Tidak ada pernyataan yang
menyerang OPM atau pihak-pihak yang ada di belakangnya.
Jargon mereka yang
selama ini disuarakan dengan sangat keras 'NKRI Harga Mati' tak ada wujud
nyatanya. Papua yang ada dalam bahaya karena ada sebagian orang yang berusaha
melepaskannya dari NKRI dibiarkan saja. Mereka tidak protes terhadap tindakan
pemerintah yang lembek. Mereka tak mengecam orang-orang Papua yang ingin
merdeka.
Sikap ini sangat
bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap umat Islam yang ingin menerapkan
syariah Islam di Indonesia secara kaffah. Mereka mengecam habis-habisan dengan
mengatakan 'orang Islam tidak nasional', 'orang Islam memecah belah persatuan'
dan sebagainya. Padahal, apa yang disuarakan kaum Muslimin tak ada kaitannya
dengan pecah-belah bangsa.
Walhasil, seperti yang
pernah dikatakan oleh Mahendradatta kepada Media Umat, jangan-jangan
orang-orang yang mengaku nasionalis ini berteriak-teriak lantang hanya untuk
menghalangi bangkitnya Islam di negeri ini. Mereka diam jika orang-orang asing
yang memiiiki kepentingan mencaplok Indonesia dan mengeruk kekayaannya. []
Jokowi
Rekomendasikan Referendum Papua?
Sabtu, 27 September
2014, sebuah twip menggegerkan dunia maya. Twip dari TM2000 itu mengungkapkan
bahwa Jokowi telah menerbitkan rekomendasi referendum Papua Merdeka. Informasi
yang katanya dari intelijen itu mengutip pernyataan Prof Damien Kingsbury yang
menjadi pembicara dalam seminar bertema 'Timor Crisis’ di Melbourne, Australia
18-19 September 2014.
Profesor itu
mengatakan dirinya memiliki “Proposal Joko Widodo” tentang Referendum
Kemerdekaan Papua. Ia mengatakan, “Jika Indonesia mengalami krisis di Papua
sebagaimana di Timor Timur dulu, maka Interfet harus masuk Papua." Namun
demikian, belum bisa dikonfirmasi kebenaran proposal tersebut.
Yang jelas kebijakan
Jokowi menimbulkan blunder. Filep Karma,
tahanan politik terkemuka Papua yang dibebaskan Desember lalu setelah lebih
dari satu dekade mendekam di balik jeruji besi, bersumpah untuk memerdekakan
Papua dari Indonesia. Dia tidak percaya dengan Jokowi untuk memutuskan masa
depan Papua karena tak punya pengaruh terhadap militer Indonesia.
“Saya percaya Jokowi
sebagai (sosok) pribadi, tapi saya tidak percaya dia sebagai presiden,” kata
Karma, mengacu kepada jabatan presiden dan pengaruhnya. Alasannya, Jokowi tidak
memiliki pengaruh terhadap militer dan polisi.
Ia janji menghidupkan
kembali gerakan kemerdekaan Papua dan siap dijebloskan lagi ke penjara jika
perlu. Filep Karma sejatinya mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang ingin
membuka wilayah Papua yang miskin setelah beberapa dasawarsa dilanda konflik. Tapi
dia merasa itu belum cukup.
"Kami berada
dalam semangat tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan kami karena perjuangan
kami dapat didengar secara global, terlebih Papua telah dibuka untuk wartawan
asing,” kata Filep Karma, seperti dikutip Reuters, Selasa (1/12/2015).
Ia menyatakan dulu
kemerdekaan hanya mimpi. “Tapi sekarang, orang mengatakan bahwa itu adalah
sesuatu yang pasti,” katanya. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 169, Maret 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar