KH
Mishbah Sadat (1955-2016) Pendiri dan Pengasuh Ponpes Ribath Darut Tauhid
Surabaya
H Mishbah Sadat, ulama
yang bersahaja, yang memiliki perhatian dan ihtimam
yang tinggi terhadap segala problematika keumatan, telah berpulang ke Rahmatullah (13/5/2016) saat shalat Jum’at
dalam posisi sujud. Sesaat sebelumnya masih menyampaikan khutbah Jum’at di
Masjid Nuruzzaman Kampus 8 Universitas Airlangga (Unair) jalan Airlangga
Surabaya.
Materi khutbah yang
disampaikan tentang kematian, "Kematian bukan karena sakit, kecelakaan
atau yang lain tapi karena takdir Allah SWT," ungkap Kyai Misbah di akhir
khutbah pertamanya. Kyai Mishbah pingsan berdiri dengan bertahankan kepada dua tangannya,
di atas podium. Jama’ah Jum’at terdekat kemudian membopong dan membaringkan di
mihrab belakang pengimaman. Kebetulan ada jama’ah yang dokter, memeriksa
nadinya yang sangat lemah. Khutbah kedua diganti dan dilanjutkan orang lain.
Kyai Mishbah tersadar
dari pingsannya, dan memaksakan diri ikut shalat Jum’at sebagai makmum. Dan
kemudian diketahui oleh jama’ah seusai shalat, Kyai Mishbah tidak bangun dari
sujudnya. Setelah diperiksa lagi oleh jamaah yang seorang dokter, Kyai Mishbah
dinyatakan sudah wafat, dalam usia 61 tahun. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Kejadian ini tentu
saja mengejutkan Nyai Musa'adatul Khoirot serta kedua putri dan keempat putra
Kyai Mishbah. Check up kesehatan terakhir, kondisi Buya (panggilan putra dan
para santri) tidak mengalami hal yang mengkhawatirkan, kecuali penyakit jantung
yang sudah lama tidak kambuh. Pondok Pesantren Ribath Darut Tauhid yang
berlokasi di jalan Sutorejo 204 ujung timur laut Surabaya, yang diasuh Buya,
berduka.
Shalat jenazah
dilakukan ribuan orang di masjid samping pesantren. Buya dimakamkan di makam
keluarga Kaliwaron, sedikit sebelah barat Ponpes Ribath Darut Tauhid. Pribadi
Buya telah terpatri di hati umat Islam berbagai kalangan, terlebih yang pernah
mengenal secara langsung.
Berwawasan
Harokah Global
Banyak hal yang
diceritakan oleh beberapa putra Buya antara lain Gus Alawy putra ke-2, Gus
Sholahuddin, dan Gus Miqdad terkait perhatian yang sangat besar terhadap
problematika aktual kaum Muslimin dan berperan aktif memperjuangkan solusinya,
yang disampaikan kepada Media Umat dalam dua kali kunjungannya. Ditambah dengan
kesaksian santri senior Buya yaitu Ustadz Agus dan aktivis Hizbut Tahrir yang
sering bertandang, mengaji dan mengundang Buya yaitu Ustadz Umar Syahid.
Buya sangat perhatian,
mulai problem sosial yang akhir-akhir merebak seperti minuman beralkohol dan
kejahatan seksual, problem kebangkitan kembali PKI, sampai problem politik
domestik maupun politik internasional. Semuanya tidak luput dari perhatian Buya.
Tidak jarang Buya juga mencari referensi ke toko-toko buku dan mendiskusikannya
dengan banyak ulama di seantero Jawa Timur. Ketika heboh kebangkitan PKI lalu,
Buya langsung membaca buku-buku Karl Marx, Aidit dan buku ateis 'Matine Gusti
Allah'.
Latar belakang
keilmuan Buya, sebagai masyrab (mereguk
ilmu diniyah) Buya diawali di Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo (1969-1972).
Dilanjutkan mengaji ke Ponpes Al Ishlah, Lasem, Jawa Tengah (1973-1977).
Dilanjutkan lagi menuntut ilmu selama 5 tahun (1977-1982) kepada Abuya Sayyid
Muhammad bin Alawy Al Maliky Al Hasany di Makkah Mukarramah, tidak lagi ke
Ummul Quro sesuai rencana awal Buya. Sempat tiga bulan bertandang ke Iran,
menyaksikan secara langsung saat-saat sebelum Revolusi Iran 1979.
Sebagai bentuk
pengamalan ilmunya, Buya merintis pendirian Pondok Pesantren Ribath Darut
Tauhid pada 1 Ramadhan 1402 (1982) dalam bimbingan Abuya Sayyid Muhammad. Awal
kali dengan tiga bilik panggung dari bambu sebagai tempat bermalam santri
putranya. Saat ini sudah tidak ada lagi bilik tersebut, tapi lingkungan
pesantren tetap dalam kesahajaannya.
Selama beberapa bulan
berikutnya (pertengahan 1983), ketertarikan Buya kepada harakah Islam sangatlah
besar, dimulai dari Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Yordania dan
Jamaah Tabligh di lndia. Untuk yang terakhir bahkan sudah pernah khuruj empat
bulan dan pernah bertemu dengan Amir Shaf Jamaah Tabligh Maulana In'amul Hasan.
Ketika melewati Iran pasca revolusi, Buya pernah bertemu Ayatullah Khomeini.
Hanya saja, Buya tetap teguh dengan paham ahlus Sunnah wal jamaahnya. Semua itu
dilakukan dengan hanya berbekal baju-sarung melekat di badan dan buntalan
kecil.
Buya memilih pulang ke
tanah air dengan menempuh perjalanan darat dengan banyak melintasi
negeri-negeri muslim sejak Mesir, Timur Tengah pada umumnya, Iran, Asia Selatan
sampai Indonesia. Ibarat pelancong backpacker
yang menjadi fenomena saat ini. Sepulang dari studi banding secara langsung ke
sentra-sentra harakah Islam, Buya menikah pada 14 Mei 1985 secara langsung oleh
Abuya Sayyid Muhammad di Nambangan, daerah pantai Kenjeran. Menurut Gus Alawy,
sisi lain kepribadian Buya adalah bahwa Buya tidak mau menerima bisyaroh ketika berceramah atau tablighnya,
apalagi meminta atau pasang tarif. Termasuk ketika ditawari atau diberi
sesuatu, Buya tetap menolak dengan lembutnya. Buya adalah memiliki jiwa tawakal
dan tsiqah billah yang sangat tinggi.
Selain mengasuh santri
dan santriwati, Buya juga sangat sering melakukan kunjungan ke ulama, tokoh
Ormas dan tokoh harakah untuk berbicara dari hati ke hati, menganalisis dan
memberikan solusi.
Dalam dua tahun
terakhir, Buya terlibat langsung dalam membongkar pemurtadan berkedok
sekolah-gratis-langsung-kerja di Kediri. Buya terlibat langsung dalam bekerja
sama dengan ulama daerah, bekerja sama dengan aktivis Hizbut Tahrir dan
melaporkan kepada aparat keamanan. Buya juga terlibat langsung dalam
pengentasan siswa-siswanya, satu demi satu siswa. Bahkan Buya mengawal dengan
melakukan pengawasan langsung untuk memastikan remaja yang dientaskan dari
pemurtadan tersebut sampai kembali di rumah dengan pembinaan lanjutannya.
Terkait interaksi Buya
dengan Hizbut Tahrir, yang sudah pernah Buya kenal kajiannya ketika di
Yordania, ia sangat antusias untuk perjuangan Iqamatus
syariah. Beberapa forum ataupun majelis, Buya pernah menjadi
inisiatornya. Ketika ada aktivis Hizbut Tahrir yang sowan, Buya selalu antusias
menyambut. Meskipun ketika dalam kondisi kurang sehat, Buya memaksakan untuk
menemui dan menyampaikan pandangan-pandangannya dengan penuh semangat dan
dengan gaya meledak-ledak.
Buya tidak pernah
menolak undangan agenda dakwah yang diadakan Hizbut Tahrir di Surabaya seperti
kajian di Masjid Kalijudan, tabligh akbar di Taman Bungkul atau Muktamar
Khilafah di stadion Tambaksari. Menurut Ustadz Umar Syahid, Buya pernah
memberikan apresiasinya kepada dua gerakan internasional yang dinilai Buya
besar dan militan yaitu Jamaah Tabligh dan Hizbut Tahrir.
Ketika memohon doa
restu sebelum penyelenggaraan Rapat dan Pawai Akbar (2015) di Kenjeran Park,
Buya berkomentar mirip-mirip kondisi konsolidasi umat tahun 1965-an menghadapi
PKI.
Kesan putri pertama
Buya yaitu Ustadzah Ulaita, Buya tegas dalam mendidik. Kesan staf pondok
Ustadzah Indah, sosok Buya layak diteladani. Kesan beberapa santriwati antara
lain Buya guru yang bijaksana, perilakunya lemah lembut.
Beberapa pesan Buya
yang masih terpatri dalam benak Gus Alawy, ”Islam tidak perlu dibela karena Al Islamu ya'luu walaa yu'la ‘alaih. Tapi kita
sendiri yang perlu membela Islam, supaya kita semua diberi pertolongan oleh
Allah SWT. Intanshurulloh, yanshurkum. Wa yutsabbit aqdaamakum.” Tentu menjadi pesan
untuk kita semua. Insya Allah. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar