Wawancara Dengan:
Muhammad
Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Bila
Dibiarkan Terus, Rakyat Semakin Menderita
Presiden silih
berganti, mulai dari yang piawai berdiplomasi, tentara, teknokrat, kyai,
perempuan hingga Jokowi. Tapi justru di era presiden yang ketika kampanye
dikenal sangat merakyat ini ternyata juga tidak dapat membela rakyat, justru
ekonomi jadi kian tak terkendali dan semakin ngeri
di era Jokowi. Lantas apa akar masalah yang sesungguhnya? Rezim atau sistem
yang berlaku di negeri inikah penyebabnya? Temukan jawabannya dalam wawancara
wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir
indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Benarkah
ekonomi di bawah Jokowi makin tak terkendali?
Bila menyimak data
yang disajikan dari sejumlah indikator penting seperti pertumbuhan ekonomi, GDP
per kapita, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, utang luar negeri, cadangan
devisa dan lainnya, memang ekonomi di era ini terus mengalami penurunan dan cenderung
tak terkendali.
Pertumbuhan ekonomi
misalnya, yang menjadi salah satu indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi,
tahun 2015 hanya tumbuh sebesar 4,8, menurun bila dibanding tahun 2014 yang
5,0, apalagi bila dibanding tahun 2013 yang 5,6. Padahal tahun 2011 kita pernah
menikmati pertumbuhan ekonomi 6,2.
Pertumbuhan ekonomi
mencerminkan kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Ini diukur dengan cara
membandingkan, Gross National Product (GNP), tahun yang sedang berjalan dengan
tahun sebelumnya. Akibat pertumbuhan yang melambat, tingkat pengangguran di
tahun 2015 meningkat menjadi 6,2. Tahun sebelumnya sebesar 5,9.
Memang infiasi tahun
berjalan masih bisa dikendalikan. Tapi tahun 2014, akibat kebijakan Jokowi
menaikkan BBM, infiasi pernah mencapai 9,3. Tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
Ini pula yang saya kira mempengaruhi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan
tingginya tingkat pengangguran di tahun berikutnya.
Dan yang paling
mengkhawatirkan adalah rasio utang luar negeri kita terhadap GDP yang meningkat
tajam. Bila di masa SBY di tahun 2013 paling tinggi 29,1, naik dari tahun
sebelumnya 27,4 dan 25,2, dalam setahun pemerintahan Jokowi rasio utang itu
langsung naik menjadi 33.0 di tahun 2014 dan 36.0 di tahun 2015. Bank Indonesia
(BI) melaporkan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I-2016
sebesar 316 miliar dolar AS, atau tumbuh 5,7 persen secara tahunan.
Jika dihitung dengan
kurs Rp13.278,-/dolar, maka utang tersebut telah setara dengan Rp4.195 trilyun
lebih. Rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016
sebesar 36,5 persen, meningkat dari 36 persen pada akhir kuartal IV 2015. Tidak
cukup dengan utang yang sudah demikian besar, pemerintahan Jokowi-JK pada tahun
2016 kembali akan menambah utang sebesar Rp605,3 trilyun.
Apa
bahayanya dari banyaknya utang tersebut?
Pemerintahan di
manapun yang bergantung pada utang cenderung akan eksploitatif dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Semua akan diarahkan untuk bisa membayar cicilan dan bunga
utang itu. Begitu juga SDM dan SDA serta pajak yang makin mencekik, akan
dieksploitasi untuk mendapatkan utang baru dan untuk membayar utang.
Selain itu,
pemerintahan yang berdiri di atas utang tak lagi bebas atau mandiri dalam
memerintah dan dalam menentukan orientasi pembangunan. Mereka pasti harus
memperturutkan pemberi utang, termasuk dalam menentukan orang-orang yang bakal
duduk di pemerintahan. Jadi, bagi kreditur, utang adalah alat penjajahan yang
sangat efektif.
Mengapa
itu semua bisa terjadi?
Karena landasan
pembangunan negeri ini, khususnya di bidang ekonomi, adalah sistem kapitalisme
liberal. Dalam sistem ini, kita tahu, sumber pembiayaan negara yang paling
utama berasal dari pajak, juga utang. Dari situ negara membiayai belanja
negara, membiayai pembangunan termasuk untuk membayar cicilan utang. Jadi,
hakikatnya rakyatlah yang membayar utang negara.
Tambahan lagi, akibat
pendapatan pajak tahun 2015 meleset jauh dari target yang ditetapkan, anggaran
mengalami defisit. Dan untuk mengatasinya selalu ditempuh dua jurus pamungkas.
Pertama, pemerintah
mengurangi berbagai bentuk subsidi untuk rakyat, di antaranya subsidi BBM,
dengan berbagai dalih. Pengurangan subsidi ini tentu saja bakal menambah beban
rakyat. Sudahlah rakyat dipungut pajak, harus juga menanggung kenaikan harga
akibat kenaikan harga BBM setelah subsidi dicabut.
Kedua, menambah utang,
yang pada akhirnya rakyat juga yang akan menanggung beban cicilan dan bunganya.
Tahun lalu kita mengeluarkan dana Rp403,835 trilyun untuk membayar cicilan dan
bunga utang. Secara demikian, lingkaran setan alur pemerasan terhadap rakyat
ini akan terus berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif. Rakyat
akan terus dihadapkan pada dua beban sekaligus, yakni peningkatan pungutan
pajak dan pencabutan subsidi. Sementara, sekadar untuk memenuhi hajat asasinya
sendiri, rakyat sudah terseok, tertekan kesulitan ekonomi.
Untuk
mengatasi masalah ini, apakah berarti rezim Jokowi harus diturunkan?
Sistem kapitalisme
liberal dan rezim yang tunduk pada sistem yang zalim ini, yang sangat
destruktif ini, tentu saja harus segera dihentikan. Tidak ada jalan lain. Bila
dibiarkan terus, rakyat akan makin menderita, dan negara ini akan makin
terjerumus kepada jurang kebangkrutan.
Mengapa
tidak cukup hanya mengganti rezim?
Kita tidak boleh lupa,
rezim di manapun akan bekerja berdasar sistem yang dianut di sebuah negara.
Oleh karena itu, bila menginginkan perbaikan secara mendasar dan menyeluruh,
pergantian rezim saja tidak cukup.
Fakta sudah
membuktikan hal itu. Berapa kali sudah negeri ini berganti rezim, bagaimana
hasilnya? Bahkan dalam beberapa hal, seperti kesenjangan ekonomi, makin
memburuk. Bila indeks gini 15 tahunan lalu 0,31 kini meningkat menjadi 0,43.
Itu artinya yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.
Memang
seperti apa benang merahnya sistem yang berlaku di negeri ini membuat rakyat
sengsara?
Sistem kapitalisme
liberal adalah sistem yang berpihak pada pemilik modal. Apalagi dalam
kenyataannya rezim ini naik ke tampuk pemerintahan berkat dukungan para taipan,
dukungan itu tentu diberikan bukan tanpa imbalan. Oleh karena itu, dalam sistem
ini penyusunan peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah akan cenderung
dibuat demi kepentingan pemilik modal itu.
Lihatlah demi
kepentingan siapa sebenarnya RUU Tax amnesty itu dibuat. Juga siapa-siapa yang
duduk di pemerintahan, terutama di sektor ekonomi? Lihat juga siapa yang duduk
di Wantimpres. Pertimbangan apa yang kira-kira akan diberikan oleh mereka yang
aslinya adalah kaum pebisnis, bila bukan menyangkut kelangsungan bisnis mereka?
Lantas,
sistem apa sebagai gantinya agar masalah seperti ini tidak terjadi lagi?
Dengan sistem Islam
melalui penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan al khilafah. Inilah
satu-satunya sistem yang akan membawa rahmatan
Iil'alamin atau kebaikan bagi negeri ini, sekarang dan yang akan datang.
Bagaimana
sistem tersebut bisa menjamin rakyat tidak menderita seperti sekarang?
Dengan syariah Islam,
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur dengan cara
yang benar. Ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan memberikan keadilan dan
kesejahteraan serta keberkahan kepada seluruh rakyat. SDA yang melimpah itu
akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Pajak akan dipungut secara sangat
terbatas, itupun hanya bila dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dengan
kekuatan khilafah, penjajahan baru dalam segala bentuknya, termasuk melalui
pemberian utang, bisa dihentikan dengan segera. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar