Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 27 Maret 2013

Keberhasilan Perubahan Masyarakat

Keberhasilan Perubahan Masyarakat


{{kelanjutan dari ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Taghyir Dalam Pandangan Islam: Realitas, Asas Dan Metode

1. Realitas Taghyir (Perubahan Mendasar)

Taghyir (perubahan total dan mendasar atau perubahan yang revolusioner) yang dimaksud adalah perubahan terhadap kondisi sekarang yang rusak di negeri-negeri Islam, yaitu sistem kufur sekuler, ide-ide dan perasaan barat yang rusak, para penguasa yang kafir atau fasik yang menjadi antek-antek penjajah kafir imperialis barat.

Taghyir yang dimaksud adalah penyelamatan umat Islam dari kondisi pecah-belah berkeping-keping dan kehinaan yang dipaksakan oleh negara-negara penjajah kafir imperialis, dan dari kondisi kehilangan, kebingungan, dan ketertundukan kepada negara-negara yang rakus terhadap kaum muslimin.

Taghyir yang dimaksud adalah mengembalikan kekayaan kaum muslimin kepada kaum muslimin yang selama ini dirampas negara-negara kafir penjajah yang telah menikmati kekayaan kaum muslimin dan membiarkan kaum muslimin dalam keadaan fakir miskin dan terperosok dalam perangkap hutang kepada negara-negara barat yang rakus.

Yang dimaksud dengan taghyir juga adalah dengan bangkitnya umat Islam atas asas Islam, dan membuang semua pemikiran yang tidak Islami, yang akan dapat terlaksana dengan melenyapkan sistem kufur dan menegakkan khilafah yang memerintah dengan apa yang diturunkan Allah, yang akan menyatukan umat Islam dan negeri-negeri Islam dengan kepemimpinan khalifah yang satu dan di bawah panji Laa ilaaha Illa Allah Muhammad Rasullah, dan mengemban risalah ke seluruh dunia.

Berfikir untuk berubah (melakukan taghyir) tidak hanya ada karena adanya orang-orang yang merasakan pentingnya merubah kondisi mereka. Tetapi pemikiran ini ada selama di dunia ini ada kondisi yang menuntut perubahan. Karena itu berfikir tentang perubahan tidak dibatasi dengan perubahan kondisi seseorang atau masyarakat, bangsa atau umatnya saja, tetapi untuk mengubah yang lainnya. Karena sistem Syariah Islam mengharuskan manusia untuk memperhatikan seluruh manusia yang ada di negerinya atau bangsa dan umatnya dan juga umat yang di negeri lainnya (menerapkan politik Islam di dalam negara Khilafah dan ke luar negeri).

Meskipun keinginan untuk berubah ada pada seluruh manusia, ada kondisi dan faktor-faktor yang membuat kekuatan ingin berubah itu berbeda. Karena memang melakukan perubahan itu suatu hal yang berat dan sulit sehingga membutuhkan adanya upaya dan pengorbanan yang besar, kekuatan dan pemikiran serta ihsas (analisis fakta) yang tajam. Faktor yang mendasar dalam melakukan perubahan adalah “kesadaran berfikir (Wa’yu al-fikri)”.

Manusia tidak akan berfikir untuk berubah kecuali ketika ia menyadari ada suatu fakta yang rusak atau buruk dan kurang baik sehingga mesti diperbaiki. Agar ia menyadari, ia mesti merasakan (ihsas) terhadap fakta yang rusak tadi. Sehingga ihsas terhadap fakta merupakan syarat pokok untuk berfikir. Karena fakta rusak seperti baik, buruk, dan lain-lain berbeda dengan materi, maka untuk meng-ihsas fakta seperti ini, yaitu merasakan sesuatu itu rusak, diperlukan pemahaman awal tentang apa itu kerusakan/keburukan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah yang disebut dengan ihsasul fikri. Perbedaan ihsasul fikri pada manusia adalah perkara alami, sesuai tingkat pemikirannya. Karena itu kita mendapati 3 kelompok manusia :

*Orang yang memiliki ihsas (analisis fakta) yang tajam, ia merasakan kerusakan dengan cepat.
*Orang yang memiliki ihsas yang biasa (standar umum), ia membutuhkan kerja keras untuk bisa merasakan kerusakan.
*Orang yang memiliki ihsas yang rendah (bingung), ia sangat membutuhkan usaha yang besar untuk merasakan sesuatu.

Jadi untuk dapat berfikir melakukan perubahan, seseorang memerlukan: kesadaran, pemikiran awal (sebelumnya), ihsas (kepekaan analisis fakta), mengerti fakta baru yang bisa menggantikan fakta lama yang rusak. Semata-mata menyadari fakta yang rusak, tidak cukup membuat seseorang melakukan perubahan tapi harus dikaitkan dengan kesadaran akan fakta pengganti. Jadi bagian pertama itu adalah menyadari fakta yang rusak berikutnya merasakan kerusakan itu. Selanjutnya adalah memahami adanya fakta pengganti bagi fakta yang rusak tadi, supaya aktivitas untuk merubah ini mempunyai target dan berjalan dalam tujuan tertentu bukan semata-mata melakukan perubahan tanpa maksud dan berbuat sia-sia. Ringkasnya taghyir umat adalah dengan merubah pemikirannya bukan dimulai dengan merubah kondisi ekonomi, pendidikan, akhlak.

2. Asas Taghyir (Perubahan Mendasar)

Manusia akan bangkit karena pemikiran yang berkaitan dengan kehidupan, alam semesta, dan manusia; serta keterkaitan antara semua itu dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah dunia ini. Hal ini berarti bahwa jalan kebangkitan menuju perubahan (taghyir) itu adalah pandangan manusia terhadap manusia itu sendiri, terhadap kehidupan di sekelilingnya, dan terhadap alam semesta tempat hidup yang sangat luas ini. Dengan demikian, memungkinkan manusia untuk mengetahui jalan yang harus ditempuh ketika ia masih hidup di alam ini. Artinya, dia dapat mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini. Hal itu tidak akan terjadi pada dirinya kecuali apabila dalam dirinya terdapat pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan, dan manusia dalam rangka penetapan hakikat dirinya sebagai makhluk Allah. Inilah yang disebut dengan aqidah.

Aqidah tersebut dipahami sebagai pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia; tentang segala yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; serta tentang keterkaitan semua itu dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan keterkaitannya dengan sesuatu yang ada sesudah kehidupan dunia ini.

Oleh karena itu, aqidahlah satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemahaman yang benar tentang kehidupan dunia ini, artinya, aqidah itulah yang menentukan pandangan manusia tentang kehidupan. Dari aqidahlah, muncul aturan-aturan kehidupan manusia, serta aturan bagi tindakan dan tingkah lakunya atau apa yang dinamakan mabda’ (ideologi). Oleh karena itu, aqidah itu adalah kaidah mendasar yang menjadi landasan seluruh pemikirannya yang dapat menghantarkan kepada aktivitas taghyir yang benar.

Tinggal masalahnya apakah semua aqidah (mabda) dapat membawa kepada aktivitas taghyir yang benar? Jawabannya adalah tidak. Buktinya kita bisa menoleh kepada fakta Revolusi Perancis (berdasarkan asas mabda kapitalis) dan Revolusi Rusia (berdasarkan asas mabda Sosialis-Komunis ). Taghyir yang mereka lakukan memang terbukti mampu menyebabkan terjadinya perubahan total di tengah-tengah masyarakat dan telah menghantarkan mereka kepada kondisi yang lebih baik. Akan tetapi masyarakat yang terbentuk bukanlah masyarakat Islam seperti yang kita cita-citakan karena didasarkan pada mabda selain Islam.

3. Metode Taghyir (Perubahan Mendasar)

Secara i’tiqaadiy, setiap aktivitas yang dilakukan kaum muslimin harus terikat dengan hukum syara’. Bila tidak, kegagalan tinggal menunggu waktu saja, di samping amalnya akan sia-sia. Oleh karena itu, sumber sekaligus tolok ukur untuk menentukan jalan yang ditempuh guna mengajak umat ke arah penerapan Islam secara kaffah adalah Al-Qur’an dan As Sunnah. Langkah-langkah Rasulullah SAW merupakan penerapan dan penjelasan yang bersifat ‘amaly atas metode yang harus ditempuh. Selain metode yang dijalankan oleh Rasulullah adalah metode batil dan tertolak. Tidak patut diikuti dan pastilah akan berkonsekuensi pada kegagalan.

Merujuk kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah, jelas nampak bahwa Rasulullah melakukan perubahan total terhadap pemikiran, perasaan serta aturan yang mengatur interaksi masyarakat jahiliyah saat itu menjadi masyarakat Islam, tidak dengan jalan masuk sistem kufur parlemen. Buktinya beliau menolak dengan tegas ketika pemuka-pemuka Quraisy membujuk beliau untuk menghentikan dakwahnya dengan memberikan kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan mereka. Rasul tetap meneruskan dakwahnya dengan menggalang kekuatan di luar sistem kufur yaitu kekuatan umat (kekuatan ekstra parlemen) atau apa yang disebut at-taghyir ‘an thariq il-ummah.

Secara ringkas perjuangan syar’i tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, Rasulullah mengumpulkan orang-orang mukmin dalam halaqah secara rahasia, mengajarkan kepada mereka agama baru (Islam) dan menumbuhkan mereka dalam bentuk yang baru hingga terbentuk kepribadian Islam yaitu aqliyah (pola fikir) mereka dan nafsiah (pola jiwa) mereka. Pemahaman mereka adalah pemahaman Islam. Mereka beriman kepada tujuan penciptaan mereka. Mereka menjadi kelompok (kutlah) yang baru di masyarakat, yang khas aqidahnya, pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, perilaku-perilaku serta tujuannya.

Kedua, Rasul bersama kutlah-nya terjun dalam pertarungan keyakinan dan pemikiran ke tengah-tengah masyarakat dan masuk dalam perjuangan politik melawan penguasa dan pemimpin kafir. Di dalam perjuangan itu Rasul dan kutlah beliau menanggung kesulitan yang berat, menjelaskan kebenaran dan menyeru untuk memeluknya, menjelaskan kontradiksi aqidah-aqidah kufur dan pemikiran-pemikiran kufur dengan kebenaran dan realita. Rasulullah SAW meluruskan pemahaman-pemahaman tentang sesuatu dan pemahaman tentang kehidupan. Rasulullah membantah pemimpin-pemimpin kafir dan menyingkap hakikat mereka dan hakikat apa yang menjadi pijakan mereka. Beliau SAW menyeru kepada tafakur dan tadabur, serta mencela secara terus-terang pengangguran akal dan sikap berpegang pada kebatilan.

Ketiga, segala macam siksaan, penderitaan dan ancaman telah menimpa Nabi Saw. dan para sahabat beliau, namun semua itu tidak memalingkan mereka dari Islam. Mereka tetap mengembannya, bersabar dan terus menyebarkannya. Nabi tidak meninggalkan Islam sedikitpun. Dengan tegas beliau menolakk penyamaan dan penyetaraan Islam dengan yang lain. Beliau juga menolak dengan tegas segala macam rayuan atau ambil bagian dalam kekuasaan (kufur) atau mencapai tujuan parsial. Beliau juga menolak mengambil harta yang memungkinkan menjadi orang terkaya di antara mereka. Beliau juga menolak menyembah Allah tahun ini dan menyembah tuhan mereka tahun berikutnya.

Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kalian tidak akan menyembah yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Qs. Al-Kaafiruun [109]: 1-6).

Rasulullah bersabda:
Demi Allah seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini (dakwah) aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan urusan ini atau aku binasa di dalamnya.” (Sirah Ibnu Hisyam).

Beliau terus menjelaskan dakwahnya (Islam), menghilangkan kekufuran dan menghilangkan pemikiran-pemikiran kufur. Mengingatkan orang-orang kafir terhadap siksa yang pedih dan mencela keyakinan-keyakinan mereka.

Keempat, ketika semakin bertambah kejahatan orang kafir dan para pemimpin mereka dan mereka (orang-orang kafir) melihat bahwa Muhammad tidak pernah berputus asa dan tidak pula mundur serta tidak pula berkompromi, maka setiap kabilah menganggu kaum muslimin yang ada di tengah-tengah mereka. Mereka membunuh dan menyiksa kaum muslimin. Semua itu menimpa orang yang bersandar kepada rukun iman dan berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh. Beliau terus menjalankan dakwahnya, terus melakukan pertarungan pemikiran dan terus melakukan perjuangan politik. Beliau menganjurkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan agama mereka. Sementara beliau tetap berada di Mekkah. Beliau tidak pernah mundur dan berkompromi dan tidak pula pernah berhenti di jalan dakwah. Ketika masyarakat jumud terhadap dakwah di bawah kuatnya penindasan, Rasulullah mendatangi kabilah-kabilah yang lain menyeru mereka kepada Islam dan meminta pertolongan mereka hingga Beliau menyampaikan risalah Allah dan hingga mereka mendukung dan menolong penerapan Islam.

Kelima, aktivitas Rasul terus berlangsung dalam mencari pertolongan (thalabun nushrah) dan beliau mengulangi dan tidak membatasinya kepada kabilah tertentu saja. Beliau tidak marah kepada mereka sekalipun mereka menolak beliau dengan penolakan yang buruk dan banyak pemimpin kabilah menolak tawaran beliau. Sampai Allah mendatangkan kepada beliau masyarakat Madinah dengan masuk Islamnya sebagian besar dari mereka. Mereka tidak memerangi dakwah sebagaimana yang terjadi di Mekkah. Para pemimpin dan pembesar dua kabilah di Madinah yaitu kabilah Aus dan Khazraj masuk Islam, begitu juga sebagian besar anggota kabilah tersebut. Lalu Rasulullah meminta pertolongan mereka untuk mendirikan negara Islam di Madinah. Ketika mereka setuju Nabi berakad dengan mereka dengan Bai’at Aqabah II yaitu bai’at perang, bai’at pendirian negara Islam. Kemudian Beliau berhijrah ke Madinah dan dengan kedatangan Beliau berdirilah negara Islam.

Demikianlah proses taghyir perubahan mendasar yang dilakukan oleh Rasulullah sampai tegaknya negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Sejak itu pula beliau mengokohkan pilar-pilar negara dan memulai aktivitas jihad untuk meninggikan kalimat Allah dan untuk mengemban dakwah ke seluruh manusia.

Penutup

Jadi perubahan mendasar taghyir yang dilakukan oleh Rasullah Saw. untuk merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam adalah taghyir an tariq il-ummah (taghyir melalui jalan ummat) atau dengan kata lain taghyir ekstra parlemen bukan intra parlemen sistem kufur sebagaimana yang banyak ditempuh oleh parpol-parpol saat ini. Dan hendaklah kaum muslimin berhati-hati ketika memilih jalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah karena semua itu hanya akan menjadi amal yang sia-sia dan merupakan sesuatu yang batil dan tertolak.

Berserikat dengan para penguasa dalam aktivitas mereka dan berserikat dengan sistem kufur yang mereka terapkan adalah perbuatan mungkar. Jika hal itu diakui untuk melayani Islam dan kaum muslimin justru aktivitas tersebut merupakan upaya penyesatan. Allah Swt. berfirman:

Dan putuskanlah di antara mereka dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan waspadalah kepada mereka, mereka akan memalingkanmu dari sebagian apa-apa yang diturunkan Allah kepadamu.” (Qs. Al-Maa'idah [5]: 49).   Wallahu a’lam bishowab

Keberhasilan Perubahan Masyarakat

Kegagalan Upaya Perubahan Masyarakat

Kegagalan Upaya Perubahan Masyarakat


Pendahuluan

Sesungguhnya manusia tidak hidup untuk satu hari saja, tapi ia akan memikirkan masa yang akan datang, baik untuk jangka waktu yang dekat (pendek) atau yang jauh (panjang). Ini adalah fakta kehidupan manusia. Oleh karena itu apabila diamati tidak ada manusia yang rela dengan fakta kehidupan yang sedang ia jalani secara mutlak, bagaimanapun faktanya. Ketika fakta yang ia hadapi itu bagus, manusia punya keinginan untuk menjadikannya lebih bagus lagi. Dan ketika fakta yang ia hadapi adalah buruk, ia ingin membuatnya jadi baik. Karena itulah kita mendapati banyak manusia yang rindu pada masa lalu, dan ada pula yang menangisi masa lalu sehingga ia selalu menatap ke masa depan dan akan merindukannya.

Berfikir untuk berubah adalah suatu hal yang urgen dalan kehidupan, karena “berubah (taghyir)” itu adalah “dinamika (gerak)” dan “bergerak” artinya “hidup”. Sebaliknya “jumud” adalah “kematian”. Sehingga tidak ada penampakan kehidupan selain “tumbuh” dan “berkembang (bergerak)”. Oleh karena itu bagi setiap umat dan individu harus memiliki pemikiran untuk berubah dan melakukan perubahan. Apabila tidak, maka manusia (umat) akan mengalami kemusnahan dan kehancuran. Berserah diri terhadap fakta merupakan penyakit paling berbahaya dan musibah yang paling dahsyat.

Mencari Jalan menuju Perubahan

Di negeri ini banyak bermunculan partai-partai politik Islam. Hanya saja mereka tidak mampu menemukan jalan yang tepat menuju perubahan yang diinginkan. Padahal untuk melakukan perubahan setidaknya ada tiga kunci utama yang jika hal ini diperhatikan maka partai-partai politik tersebut pasti akan menuai keberhasilan, yaitu penguasaan yang benar terhadap kondisi masyarakat yang ingin dirubah, adanya gambaran yang jelas dan gamblang tentang kehidupan yang ingin dituju serta yang paling penting adalah mereka memiliki metode yang tepat untuk meraih perubahan tersebut.

Selain itu biasanya ketika akan berjuang melakukan perubahan mereka pasti dihadapkan pada satu pertanyaan besar yaitu dari mana kita akan mulai? Dari merubah individu ataukah masyarakat. Berdasarkan hal ini partai-partai politik dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Partai-partai yang melakukan perubahan (perbaikan) individu.
Usaha perubahan ini dilakukan oleh partai dengan memperbaiki setiap individu muslim dengan memfokuskan perhatian yang sangat besar terhadap fondasi masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman bahwa bila telah didapatkan kesempatan yang cukup untuk memperbaiki fondasi tersebut, maka kaum muslimin akan kembali mendapatkan kemuliaan seperti dahulu.

2) Partai-partai yang melakukan perubahan masyarakat.
Kelompok ini beranggapan bahwa usaha yang paling benar adalah membentuk sebuah negara yang memikul beban da’wah dan melindungi kaum muslimin dari berbagai penyakit yang mereka derita, serta mengubah masyarakat menjadi masyarakat Islam yang dengan perubahan itu pasti akan mempengaruhi individu-individunya, sekaligus memperbaiki keadaan mereka.

Dengan mengkaji unsur-unsur pembentuk masyarakat, seharusnya partai-partai tersebut bisa melihat bahwa faktanya masyarakat adalah perpaduan dari unsur manusia, pemikiran, perasaan dan aturan-aturan yang dibuatnya. Baik-buruknya masyarakat bergantung pada baik-buruknya pemikiran, perasaan dan aturan-aturannya. Sebab manusia adalah manusia; mereka senantiasa membawa pemikiran-pemikiran tertentu. Jika pemikiran-pemikiran manusia baik, akan terbentuk masyarakat yang baik pula. Sebaliknya, jika pemikiran-pemikiran manusia buruk, akan terbentuk pula masyarakat yang buruk. Ini jelas berbeda dengan unsur-unsur atau pilar-pilar pembentuk individu (aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat).

Baik-buruknya individu sangat bergantung pada baik-buruk unsur-unsur pembentuknya. Jadi, penggambaran bahwa masyarakat tersusun dari individu-individu adalah penggambaran yang keliru. Oleh karena itu, upaya memperbaiki individu yang ditujukan untuk memperbaiki masyarakat adalah upaya yang keliru. Bahkan, hasil yang dikehendaki dari upaya seperti ini secara pasti tidak akan mungkin dapat diwujudkan. Sebab, perbaikan individu dan perbaikan masyarakat memiliki metode atau cara yang berbeda, yang masing-masing tidak akan pernah memberikan hasil yang sama. Permasalahannya bukan apakah metode perbaikan ini singkat ataupun lama, tetapi karena masing-masing memiliki metode perbaikan yang berbeda, yang tidak akan mengantarkan pada hasil yang sama.

Walaupun begitu, tidak berarti bahwa perbaikan individu dapat diremehkan dan dianggap tidak begitu penting. Sebab untuk memperbaiki masyarakat, diperlukan upaya besar yang dititikberatkan pada perubahan sistem di tengah-tengah masyarakat, perubahan pemikiran dan kebudayaan yang telah mengakar di dalamnya, serta perasaan individu-individu masyarakat. Jadi, sekali lagi perbaikan masyarakat tidak ditempuh melalui perbaikan individu. Sebab cara memperbaiki individu sangat berbeda dengan cara mengubah masyarakat, sedangkan aktivitas perbaikan individu hanya diberlakukan bagi anggota-anggota gerakan maupun partai. Sedangkan partai atau organisasi sendiri seluruhnya harus berjalan dalam koridor perbaikan masyarakat!

Upaya Keliru Perbaikan Masyarakat, Sebuah Analisa

Kita tidak menutup mata bahwa ada partai-partai politik Islam yang juga sedang berjuang melakukan perbaikan masyarakat. Patut disayangkan kalau pada faktanya usaha yang telah dilakukan baru sampai pada taraf “islah”. Yaitu perubahan yang hanya menyentuh sisi-sisi tertentu saja (parsial) dari sekian banyak agenda permasalahan umat. Selain itu juga bersifat tambal sulam, maksudnya tidak sampai menemukan akar permasalahan yang sebenarnya, sehingga solusi-solusi yang diberikan malah memunculkan agenda baru yang justru semakin menyesaki layar permasalahan utama kaum muslimin.

Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena masyarakat kita termasuk parpol-parpol yang ada didominasi oleh cara pandang “realistis (pragmatis)”. Yaitu mereka menjadikan fakta sebagai “sumber berfikir (mashdar at-tafkir)”, bukan sebagai “obyek berfikir (mawdu’ at-tafkir)”. Sikap “realistis” – lebih tepatnya adalah realis, ed.- yang dimaksud di sini adalah bagaimana bersikap dan berperilaku sesuai dengan fakta. Sikap “realistis” semacam ini tidak mengandung upaya untuk mengubah realitas/fakta, tetapi malah menyesuaikan perilaku dengan realitas/fakta yang ada. Ironis memang, karena ungkapan bahwa kita harus “rela dengan fakta yang ada” telah dijadikan kaidah dasar di dalam benak masyarakat.

Mereka (masyarakat) telah menganggap bahwa sikap semacam itu adalah sebuah kemajuan. Misalnya mereka menyatakan bahwa politik Amerika sendiri dibangun di atas dasar “pragmatisme”. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan politik dengan “seni tentang kemungkinan”, yakni bagaimana berkompromi dengan fakta (bersikap pragmatis) untuk meraih sejumlah kemungkinan. Padahal, hakekat yang benar tentang politik adalah sebuah ikhtiar untuk memilih kondisi yang paling baik. Dengan kata lain, politik adalah bagaimana mengambil kemungkinan-kemungkinan yang terbaik atau ideal untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak kita capai; tanpa memandang lagi ringan, mudah, ataupun beratnya. Artinya politik adalah bagaimana kita bergumul dengan realitas/fakta untuk kemudian diubah sesuai dengan yang kita kehendaki, bukan malah rela dengan realitas/fakta yang ada seperti: hancurnya Khilafah, jauhnya upaya menegakkan kembali Daulah Islamiyah; rela dengan keterpecahbelahan; termasuk pula pemikiran keliru untuk mewarnai kebijakan dengan masuk ke parlemen (sistem kufur) sebagai jalan untuk mendapatkan kekuatan/kemampuan melakukan islah (perbaikan) di berbagai bidang dalam rangka memperbaiki kondisi masyarakat.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah islah lewat parlemen adalah metode jitu untuk melakukan perbaikan masyarakat? Tidak. Sama sekali tidak. Karena metode perbaikan lewat parlemen (taghyir intra parlemen) memiliki sejumlah kelemahan, yaitu:

*Pemecahan masalah yang dilakukan dalam parlemen adalah berdasarkan sistem kufur demokrasi.

*Karena prinsip kufur sekulerisme yang dianut oleh negara, maka mereka terjebak pada perjuangan parsial.

*Ditinjau dari hukum syara’ jelas bergabung dengan parlemen dalam sistem kufur adalah haram.

Banyak fakta yang menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan melalui parlemen tanpa mengubah sistem seperti perjuangan FIS di Aljazair adalah hal yang mustahil!

Dari sisi bentuk aktivitas yang dilakukan, kita melihat saat ini banyak juga partai-partai yang melakukan aktivitas-aktivitas sosial untuk melakukan perubahan ditengah-tengah masyarakat. Ada yang melakukan aktivitas sosial secara langsung dan ada pula yang melakukan aktivitas sosial parsial sekaligus mereka memperoleh penghasilan-penghasilan dan keuntungan-keuntungan dari bantuan-bantuan yang diberikan kepada organisasi-organisasi sosial tersebut. Kadang-kadang mereka dijadikan media untuk memperoleh penghasilan dan pendapatan. Dengan cara-cara seperti ini, sebagian besar partai dan gerakan mencoba mempengaruhi masyarakat. Bahkan aktivitas sosial tersebut dijadikan bagian dari aktivitas partai dan gerakan, seperti: membuka klinik-klinik, sekolah-sekolah, atau rumah sakit, dan lain-lain.

Jika dikaji secara mendalam maka keberadaan partai atau gerakan tersebut sangatlah berbahaya bagi usaha perbaikan masyarakat. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya yang menjadi agenda pembahasan kita adalah “kebangkitan umat”. Sebagaimana kita ketahui, umat saat ini dalam kondisi keterbelakangan, perpecahan, dan kemunduran berpikir. Kondisi semacam ini mengharuskan generasi kaum muslim, khususnya yang memiliki kesadaran dan keikhlasan, untuk mengkaji dan memahami unsur-unsur kebangkitan serta cara membangkitkan umat hingga mencapai posisi yang paling tinggi.

Sesungguhnya, umat tetap mengakui sebagian pemikiran (afkar) maupun pemahaman (mafahim) Islam dan menerapkan sebagian hukum-hukum Islam (yang kebanyakan mengenai individu pribadi) hingga sekarang ini. Mereka masih mengakui kesucian aqidah mereka. Mereka masih meyakini bahwa umat Islam pernah menjadi umat yang maju selama beberapa kurun lamanya. Mereka masih mengimani kewajiban untuk kembali kepada Allah sekaligus menyampaikan Islam kepada umat yang lain. Mereka juga masih mengimani bahwa jihad itu adalah wajib. Semua itu menunjukkan bahwa perasaan umat adalah perasaan Islam dan semangat mereka adalah semangat Islam.

Oleh karena itu, kesadaran-kesadaran untuk bangkit/berubah selalu ada di dalam jiwa umat. Ketika ada sejumlah nash dan amal yang mengobarkan ruh jamaah pada diri umat, di dalam diri mereka muncul suatu kecenderungan alami untuk membentuk suatu partai politik. Inilah realitas umat Islam sesungguhnya. Intinya, umat Islam masih memiliki sebagian pemikiran, pemahaman, dan perasaan Islam serta ruh jamaah yang telah terpatri pada diri mereka.

Realitas rusak yang telah menimpa umat Islam saat ini telah menggerakkan perasaan mereka untuk berubah/bangkit sekaligus untuk melakukan perubahan atas kondisi rusak ini. Sungguh kesadaran dan perasaan mereka untuk bangkit akan mendorong Umat untuk mencari solusi yang dituntunkan Rasulullah Saw. Ini merupakan perkara yang alami. Tentunya, solusi Islam untuk mengatasi kondisi kehidupan jahiliyah yang ada akan melahirkan sebuah aksi yang bisa membangkitkan umat.

Akan tetapi, sayang, keberadaan organisasi/partai sosial semacam ini telah mengubah segalanya hingga tidak terjadi kebangkitan/perubahan sebagaimana yang dikehendaki. Sebab, mereka telah meredam perasaan umat untuk bangkit dan menghisap seluruh potensi mereka sehingga tersedot untuk sekedar melakukan aktivitas sosial yang dipandang sebagai kewajiban umat. Atau ringkasnya mereka membuat umat kehilangan gambaran tuntunan Rasulullah saw. tentang perubahan yang ingin dituju (mewujudkan Islam Kaffah). Jadi seperti apakah seharusnya konsep perubahan masyarakat yang dicontohkan Nabi Saw.? Berikut penjelasannya. 
{{bersambung ke ARTIKEL LANJUTAN}}

Kegagalan Upaya Perubahan Masyarakat

Beriman Kepada Perkara Hal yang Ghaib

Beriman Kepada Perkara Hal yang Ghaib



al-Baqarah [2]: 3
“Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka”

Ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah:
Beriman kepada yang ghaib
Alghoibu: Segala sesuatu yang tidak terjangkau Ind
era
Secara bahasa: Segala sesuatu yang tidak nampak ind
era dan segala sesuatu yang tertutupi.

Yang punya akal itu manusia (sehingga dapat memikirkan sesuatu), padahal manusia itu tidak bsia menyimpulkan kalau sesuatu itu tidak terungkap oleh ind
era. Indera kita bagaikan jendela. Dan faktanya indera manusia itu terbatas.

Hal ini (terbatasnya ind
era manusia) ada hikmahnya, menunjukkan betapa lemahnya kita, betapa terbatasnya kita. Sehingga kita tidak perlu untuk menyombongkan diri, karena bagaimanapun kuatnya kita, bagaiamanapun pandainya kita, kita masih kecil di hadapan Allah, kita tidak kekal dan kita serba terbatas.

Ind
era manusia begitu terbatasnya, padahal perkara yang ghaib itu lebih banyak daripada yang nampak. Penganut paham materialisme adalah orang-orang yang hanya meyakini hal-hal yang nyata, dia hanya memikirkan segala sesuatu secara ilmiah dan terbatas yang bisa diindera oleh akalnya.

Iman kepada Allah, Malaikat,
Surga, Neraka, Hari Kebangkitan, Al-Qur’an

Hadits Ubaidah bin Jarroh:
Wahai Rosulull
oh apakah ada orang yang lebih baik dari kami, kami beriman dan berjihad besama engkau? Kemudian Rosululloh menjawab, “Ya”, kemudian para sahabat bertanya kembali, “siapakah mereka?” Rosululloh kemudian menjawab “Kaum sesudah kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku

Hadits dari Muadz bin Jabbal
Apakah ada kaum yang lebih besar pahalanya dari kami?, kami
beriman dan mentaati perintah Allah, kemudian Rosululloh berkata, “apa yang mencegah kamu dari itu, padahal Rosululloh ada di tengahmu. Kaum setelah ini, mereka diberi kitab (Al-Qur’an) dan mereka mengimaninya

Kalau dibandingkan
dengan para sahabat dahulu kita jauh berbeda, meski kita sama-sama Mu’min, namun dari segi kualitas sangat berbeda sekali. Pernah ada cerita, bahwasannya Handolah bercerita kepada Abu Bakar bahwasannya dia merasa telah berbuat nifaq karena dia merasa bahwa ketika di depan Rosulullah ingat akan Islam, dsb. Namun ketika bersama anak dan istri terasa lain.

Kita bisa bayangkan, mereka sholat di ka’bah, mengkaji Islam bersama Rosulull
oh Saw., jelas lain dengan kita saat ini. Kondisi kita jauh berbeda dengan kondisi para sahabat dulu, sehingga hal ini berpengaruh sekali pada output yang dihasilkan. Dari segi semangat, tsaqofah, kepribadian kita jauh beda dengan para sahabat.

Mengapa demikian?, secara umum manusia itu lebih mudah mengimani hal-hal yang nyata daripada hal yang ghaib. Ya contoh simpel saja. Di negeri bersistem kufur ini, meski mayoritas penduduknya adalah muslim, namun jangan heran korupsi nomer satu di dunia dan suap menyuap sudah menjadi hal yang sangat biasa sekali. Dalam sistem kufur, banyak orang yang lebih “mentaati” harta benda daripada Islam.

Di dunia begitu banyak hal-hal yang menggiurkan, banyak orang yang lebih tertarik mengambil sistem sesat demokrasi daripada Sistem Islam, banyak orang yang lebih memilih tetap pada kondisi
sistem kehidupan sesat seperti ini daripada memperjuangkan Islam dan melanjutkan kehidupan Islam. Maka semua ini butuh perjuangan, maka wajar kalau Allah memberikan pahala yang lebih besar kalau kita bisa menjalankannya.

Mendirikan Sholat

Untuk mengartikan sholat ini tidak hanya dari segi bahasa yang berarti Do’a, namun dia punya makna syar’
i dan kita harus mengambil makna syar’i nya. Menegakkan sholat berarti, menjaga waktu-waktu sholat, wudhu’nya, rukuknya, sujudnya dst.

Menafkahkan sebagian rizki

Ibnu Abbas menyatakan: Zakat harta mereka
Assuda’ dari Ibnu abbas & Ibnu Mas’ud : Nafkahnya seorang suami kepada istri dan anak-anaknya.
Jadi nafkah di
sini ini dalam artian umum, yaitu bisa zakat yang wajib dan yang sunnah (shodaqoh, infaq, hadiah dll)

Semua amalan kita di dunia nantinya akan dapat balasan di akherat. Dalam Islam cara memandang kehidupan sangat berbeda dengan paham sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Alqur’an tidak menjelaskan tata cara teknologi, namun menjelaskan masalah aqidah dan syari’at.

Syari’at Islam ada yang harus ditujukan untuk dilakukan oleh negara Islam/ Khilafah, seperti pelaksanaan hukum pidana, pemeliharaan urusan ummat. Padahal kita ketahui bahwasannya syari’at-syari’at itu wajib dilaksanakan. Maka sekarang ini kewajiban kita untuk mendirikan institusi negara Islam agar semua aturan Islam dapat terlaksana semuanya, tidak seperti saat ini. Dan hal ini bukan hal yang sepele dan mudah, memang untuk memperjuangkanya kita harus bersama-sama (berjamaah).

Resep mengimani hal-hal yang ghaib

Sebelumnya, kita harus memperjelas dulu hal yang ghaib ini. Tidak semua hal yang tidak kelihatan lantas kita imani. Jadi yang boleh diimani itu adalah sesuatu yang tidak keliahatan namun dia ada ditunjukkan dalam Alqur’an, kalau ternyata dia tidak ada (se
perti paham atheis materialisme, teori evolusi) kita tidak boleh mengimaninya.

Bagaimana agar keimanan kita benar?
Manusia dalam mengimani sesuatu ada dua macam:

- Mengindera langsung
- Sesuatu yang tidak terindera namun bisa dijangkau dengan akal, misalkan: jika ada jejak ban mobil pasti ada yang membuat jejak itu, ada menara berarti ada yang membuat menara itu. Ada susunan batu bata yang rapi berarti ada yang menyusun, tidak mungkin kebetulan.

Iman kepada Allah bisa dijangkau dengan akal, dibuktikan dengan adanya alam semesta ini dengan segenap pengaturannya. Namun ada sesuatu yang ghoib itu ada yang tidak bisa dijangkau dengan akal, maka butuh suatu informasi.

Kita percaya dan tidak tergantung pembawa
berita. Dan Alqur’an itu kalau kita sudah meyakini bahwasannya dia kalamullah maka kita akan yakin dengan segenap keyakinan bahwa isi alqur’an pasti benar adanya. Untuk mendapatkan keimanan yang kuat kita harus menggunakan akal sehingga benar-benar yakin sebagaimana Nab Ibrahim (jangan iman warisan).

Banyak ayat-ayat al
-Quran yang menyebutkan tentang pahala-pahala, jika seseorang melakukan kewajiban yang diperintahkan Allah maka surgalah imbalannya. Hal ini suatu penawaran dari Allah, maka kita boleh mencarinya. Apa yang ditawarkan tentunya akan kita cari, malah akan bertentangan kalau kita tidak mencarinya. Allah meridhoi kita mencari pahala, dan takut akan neraka adalah suatu hal yang diperintahkan oleh Allah.

Beriman Kepada Perkara Hal yang Ghaib

Orang Kafir yang Semakin Bertambah Kafir

Orang Kafir yang Semakin Bertambah Kafir



al-Baqarah: 6 - 7
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat besar”

Yunus: 96 - 97
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidak akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih

Dari sini dapat dilihat bahwasannya ada sekelompok orang kafir yang diberi peringatan namun mereka tetap ingkar.

Ibnu Katsir menyandarkan pada Hadits Nabi. dari Abu Hurairah r.a

Seorang mukmin, apabila berbuat suatu dosa kemudian ada noktah di dalam hatinya, apabila dia bertobat dan tidak meneruskan dan meminta keridhoan Allah kemudian hatinya dikilaukan (membasuh). Apabila menambah dosa lagi maka noktah bertambah hingga noda itu menguasai hatinya, itulah Ron. Tertutuplah hati mereka ini karena apa yang mereka usahakan” (H
R Thirmidzi, hadits hasan Shohih)

Al-A’rof: 179
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.


Hati di
sini adalah akal, karena perangkat manusia untuk memahami sesuatu adalah akal. Mereka punya akal hanya digunakan untuk memikirkan tentang memenuhi kebutuhan hidup dan bermewah-mewahan. Mereka bagaikan binatang, menggunakan inderanya hanya untuk pemenuhan hajatul uduwiyah (kebutuhan jasmani) dan ghorizah (naluri), tidak hidup dengan mengikuti petunjuk Allah Swt. dan Rasul Saw.

Orang-orang yang mengabaikan hukum Islam lebih rendah dari hewan, tidak ada hutan gundul gara-gara binatang, seanjing-anjingnya anjing tidak pernah ada kasus anjing betina mengejar anjing betina dan sebaliknya.

Sehingga kalau Allah
Swt. memberikan balasan hukuman adalah sesuatu hal yang adil, sesuai ketentuan Allah Swt..

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” maka tatakala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik
[Ash Shaff: 5]

Orang Kafir yang Semakin Bertambah Kafir

Kelompok Orang Sukses Menurut al-Qur’an

Kelompok Orang Sukses Menurut al-Qur’an


al-Baqarah [2]: 4 - 5
Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang lain telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Merekalah yang tetap mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dalam an-Nisaa’ [4]: 59
Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (AlQur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [ulil amri= Nabi Muhammad Saw. atau Khalifah dan jajarannya pemerintah yang sah menurut hukum Islam]

Iman kepada hari akhir; iman kepada neraka, surga, hari kebangkitan. Dan kehidupan dunia tidaklah kekal, kehidupan akhiratlah yang kekal. Dengan mengingat itu semua maka orang akan bersemangat dalam beramal manakala ingat akan pahala dan dosa.
Al-Baqarah [2]: 5

Pada ayat kedua telah di jelaskan bahwa Alqur’an sebagai petunjuk. Allah memberikan kepada kita semua dengan petunjuk Alqur’an. petunjuk Allah ini adalah petunjuk yang sebenarnya.

Di dunia ini ada banyak petunjuk untuk kita. Misalkan dalam hal politik, kita ada petunjuk dari Karl Marx, Alqur’an dll. Namun semua hal selain dari Alqur’an (dan apa-apa yang ditunjuk oleh al-Qur'an) hanyalah palsu saja dan menyesatkan, hanya petunjuk Allah sajalah yang benar-benar petunjuk. Dan kalau mereka mengambil (berada dalam) petunjuk itu maka mereka menang (beruntung).

Muflihuun : Orang yang diselamatkan, disukseskan. dan mereka mencari dan kemudian menjumpai apa yang mereka cari di sisi Allah, dengan keimanan dan amalan mereka. Mereka kekal di dalamnya.

Penggunaan Al adalah pengkhususan, bahwa orang-orang yang mempunyai ciri-ciri itulah (yang telah di sebutkan pada ayat sebelumnya) yang akan menang.

Dalam memandang orang sukses atau rugi harus dengan standar Islam. Kalau anda baca siroh Nabi Saw. maka akan menemui suatu kisah pada saat perang Hunain. Pada saat perang Hunain (setelah Fathul Mekkah), kaum Muslimin dapat harta ghonimah yang banyak dan dibagikan ke orang-orang yang baru masuk Islam (yang berada di Mekkah), ada kasak-kusuk antara lain: Jangan-jangan Rosulullah tidak kembali ke Madinah, dan kenapa harta Ghonimah kok diberikan ke orang Mekkah.

Kemudian, ada salah satu sahabat yang mengatakan, “Apakah kalian tidak bangga dengan membawa Rosul pulang, dibandingkan mereka yang membawa harta rampasan”. Cerita ini begitu menunjukkan bahwasannya harta adalah perkara remeh yang tidak boleh diutamakan di atas perjuangan dakwah demi kemewahan Surga.

Kelompok Orang Sukses Menurut al-Qur’an

Azab yang Merata Menimpa Semua Orang

Azab yang Merata Menimpa Semua Orang



Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi

Allah SWT berfirman:

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. al-Anfaal [8]: 25).

Makna Umum

Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung sekaligus paling menegakkan bulu roma, yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.*1) Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan siksaan (azab) yang tidak hanya menimpa orang yang zalim saja, tetapi menimpa secara umum baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu secara syar’i, wajib hukumnya bagi orang yang melihat kezaliman/kemunkaran dan mempunyai kesanggupan, untuk menghilangkan kemunkaran itu.*2) Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada yang berbuat zalim atau munkar.*3) Yang melakukan kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sini tidak dilaksanakan, maka semuanya berdosa sehingga layak menerima azab Allah yang ditimpakan secara merata baik yang berbuat munkar maupun yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.*4)

Pendapat Para Mufassir

Imam Al-Baghawi (w. 510 H) dalam dalam Ma’alim At-Tanzil (II/204) menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, adalah terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama lain. Makna ayat ialah, peliharalah dirimu dari siksaan yang menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim. Kemudian Al-Baghawi meriwayatkan pendapat para mufassir seperti Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zubair bin al-’Awwam, As-Sudi, Muqatil, Adh-Dhahhak, dan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan suatu kaum di antara shahabat Rasulullah, yang tertimpa cobaan pada Perang Jamal (36 H). Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata, ”Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran di hadapan mereka sehingga Allah meratakan azab kepada mereka yang menimpa orang zalim dan tidak zalim.” Al-Baghawi kemudian meriwayatkan hadits yang mendukung makna ayat, di antaranya, sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu, hingga masyarakat umum melihat kemunkaran di hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.” [HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, dalam Al-Awsath].*5)

Imam Ibnu Al-’Arabi (w. 543 H) dalam Ahkamul Qur`an (Juz IV/228) menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut artinya adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat Al-Hasan Al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-azab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan mereka, sehingga Allah meratakan azab kepada mereka. Kemudian beliau juga memaparkan beberapa hadits SAW yang menerangkan makna ayat di atas. Diriwayatkan, ada shahabat yang bertanya, ”Wahai Rasulullah apakah kami akan binasa, sedang di tengah kami ada orang-orang saleh?” Nabi menjawab, ”Ya, jika keburukan telah meluas.[i]” [HR. Muslim].*6)

Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) [i]Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (VI/392), menerangkan, arti fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhur al-ma’ashi), menyebarnya kemunkaran (intisyar al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemunkaran (’adam at-taghyir). Beliau meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi. Al-Qurthubi menukil ta`wil Zubair bin Al-Awwam, As-Sudi, dan Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa ayat itu secara khusus berkenaan dengan Ahl Badr (peserta Perang Badar) yang tertimpa fitnah pada Perang Jamal sehingga saling berbunuhan.*7)

Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitab tafsirnya Tafsir Baidhawi (III/46), mengartikan fitnah dalam ayat tersebut sebagai dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat adalah, peliharalah dirimu dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kamu, yaitu seperti dosa mengakui kemunkaran yang nampak di hadapan kamu, bersikap menjilat (mudahanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah), munculnya bid’ah, dan melalaikan jihad.*8)

Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini.*9) Sementara dalam kitab Tafsir Jalalain/b], As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan diri dari siksaan/azab, adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi penyebab siksa.*10)

[b]Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (hal. 230) ’ringkasan tafsir Fathul Qadir karya Asy-Syaukani’ karya Al-Asyqar, diterangkan bahwa makna ayat, peliharalah dirimu dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim, sehingga menimpa orang saleh dan tidak saleh. Menurut Asy-Syaukani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah, ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar ma’ruf nahi munkar, sehingga kerusakan menjadi luas lalu hukuman ditimpakan secara umum.*11)

Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/300), berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibar (ujian) dan mihnah (cobaan).*12) Ibnu Katsir menerangkan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Beliau selanjutnya menerangkan pendapat Az-Zubair, Al-Hasan Al-Bashri, dan As-Sudi bahwa ayat ini berkaitan dengan sebagian shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Selanjutnya, beliau menukil penafsiran Ibnu Abbas, yang dikomentarinya sebagai, ”Ini tafsir yang bagus sekali.” (hadza hasan jiddan). Kemudian Ibnu Katsir memaparkan beberapa hadits Nabi SAW yang mendukung makna ayat. Berdasarkan hadits-hadits itu, menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku umum untuk para shahabat dan selain shahabat, meskipun ayat ini berkenaan dengan shabahat.

Imam Nawawi Al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah, berhati-hatilah/waspadalah kamu terhadap fitnah, yang jika menimpa kamu, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kamu semua baik orang yang saleh maupun yang tidak saleh. Berhati-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemunkaran. Maka, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemunkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemunkaran bermaksiat karena perbuatan munkarnya, yang mendiamkan kemunkaran juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Allah telah menjadikan orang yang rela terhadap kemunkaran sama kedudukannya dengan orang yang melakukan kemunkaran. Maka keduanya disamakan dalam hukumannya. Ciri rela terhadap kemunkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Jadi, orang tidak dikatakan benci, kecuali jika ia merasa sedih seperti kesedihannya karena kehilangan harta dan anaknya. Maka siapa saja tidak seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemunkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata. Demikian menurut Imam Al-Jawi.*13)

Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada siapa saja yang berbuat zalim atau munkar. Sebab jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.

Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa. Karena frasa alladzina zhalamu (orang-orang zalim) bersifat umum, sesuai kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzina) memberikan arti umum.*14) Mengenai kemunkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, menjelaskannya bermacam-macam kemunkaran berdasarkan tempat, seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.*15) Dalam konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak, seperti kemunkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan, salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemunkaran yang dilakukan kelompok, misalkan kemungkaran segerombolan perampok, partai politik nasionalis (sekuler) yang tidak berasaskan Islam, sebagian partai politik Islam yang mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam, serta kelompok yang mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada kaidah-kaidah ideologi kapitalisme yang sekuler. Kemunkaran penguasa, misalnya menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara, menjalankan sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi.

Semua itu termasuk kemunkaran atau kezaliman yang kita diwajibkan untuk menghilangkannya sesuai kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta rela terhadap semua itu, serta tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah, karena berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak porandanya kondisi ekonomi, merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.

Jelaslah, bahwa Islam adalah dien yang lurus yang mengajarkan adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dien yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia (Qs. Ali ’Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang kemunkaran yang dilakukan di antara mereka (Qs. al-Maa'idah [5]: 79), dan berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar munkar dan nahi ma’ruf (Qs. At-Taubat [9]: 67). Wallahu a’lam []

Catatan Kaki:

1. Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat amar Ma’ruf Nahi Munkar (Al-Amru bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ’an Al-Munkar), terjemahan oleh A.H. Hasan, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI, Jakarta : Media Dakwah, 2000, hal. 112.

2. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350

3.
Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.

4. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230.

5. Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Beirut : Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993, Juz II, hal. 203; penafisiran semakna lihat ‘Ala`uddin Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta`wil fi Ma’an At-Tanzil (Tafsir Al-Khazin), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz II, hal. 22-23.

6. Imam Ibnu Arabi, Ahkamul Qur`an, Juz IV, hal. 228.

7. Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz VI, hal. 391.

8. Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil (Tafsir Baidhawi), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz III, hal. 46-47.

9. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath Al-Tanzil, Kairo : Darul Kitab Al-‘Arabi, tanpa tahun, hal. 113; Lihat juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, hal. 147.

10. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.

11. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230

12. Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 300.

13. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350.

14. Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, hal. 121; Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Damaskus : Darul Fikr, 2001, Juz I, hal. 248.

15. Lihat Imam Al-Ghazali, ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’, Ihya` Ulumiddin, terjemahan oleh Imron Abu Amar, Jakarta : Pustaka Amani, 1984, hal. 101-119.

Azab yang Merata Menimpa Semua Orang

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam