Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 Februari 2019

Mengokohkan Tauhid Dan Meminta Ampun - TAFSIR QS Muhammad: 19



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (TQS. Muhammad [47]: 19)

Agar selamat di dunia daan akhirat, manusia harus mengetahui jalan yang harus ditempuhnya ketika menjalani kehidupan. Tatkala sudah diketahui, maka dia harus istiqamah menjalaninya. Perkara inilah di antara yang dijelaskan ayat ini.

Memahami Dan Meyakini Tauhid

Allah SWT berfirman: Fa’lam annahu laa ilaaha illaaLlaah (maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah [sesembahan, tuhan] selain Allah). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang datangnya hari Kiamat yang tiba-tiba. Tanda-tandanya telah diberitakan. Ditegaskan pula, ketika hari Kiamat datang, maka tak berguna lagi kesadaran dan penyesalan mereka.

Ayat ini kemudian menjelaskan tentang beberapa perkara yang dapat mengantarkan kebahagiaan ketika hari Kiamat datang. Perkara yang diperintahkan adalah perkara tauhid.

Khithaab (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah . Kata i'lam merupakan fi'l al-amr (kata perintah) dari kata al-’ilm. Menurut al-Raqhib al-Asfahani, pengertian al-'ilm adalah idraak al-syay‘i bi haqiiqatihi (menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya). Perkara diperintahkan untuk diketahui adalah perkara tauhid, yakni: Laa ilaaha illaal-Laah. Bahwa tidak ada ilaah yang haq kecuali Allah SWT. Dalam bahasa Arab, kata al-ilaah bermakna al-ma'buud, yang disembah dan ditaati. Dengan demikian, kalimat tauhid ini bukan sekadar meyakini keberadaan Allah SWT, namun juga meyakini bahwa hanya Allah SWT Dzat yang sah dan berhak untuk disembah dan ditaati. Tidak ada yang lainnya.

Inilah perkara yang diperintahkan kepada Rasulullah untuk diketahui. Maknanya: ”Ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang patut dan layak memiliki hak ketuhanan, dan boleh bagimu dan seluruh makhluk untuk disembah, kecuali Allah SWT yang menjadi pencipta semua makhluk dan pemilik segala sesuatu. Semua selain-Nya wajib mengakui ketuhanan-Nya.

Patut dicatat bahwa sebelum ayat ini turun, sesungguhnya pengetahuan itu telah ada pada diri beliau. Jika demikian halnya, lalu untuk apa perintah tersebut?

Menurut Fakhruddin al-Razi, ada dua makna tentangnya. Pertama, ”Tetaplah kamu berada di atas ilmu yang telah ada padamu!" Pernyataan ini sebagaimana ucapan seseorang terhadap orang yang duduk dan ingin berdiri, ”Duduklah!" Yakni, janganlah kamu berdiri. Makna ini juga dikemukakan oleh al-Zamakhsyari dan al-Syaukani. Kedua, khithab yang ditujukan kepada Nabi itu sesungguhnya ditujukan kepada kaumnya. Dua pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Khazin.

Selain itu, al-Mawardi, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi, juga mengungkap ada tiga penafsiran tentang makna ayat ini. Pertama, ketahuilah bahwa Allah SWT telah mengajari kamu bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah SWT. Kedua, apa yang telah engkau ketahui melalui bukti-bukti, maka ketahuilah pula melalui berita yang yakin. Ketiga, ingatlah bahwa tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah SWT. Kata ”Ingatlah!" diungkapkan dengan kata ”Ketahuilah!” karena terjadinya pengetahuan itu berasal dari-Nya.

Memohon Ampunan

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa [i]staghfir li dzanbika wa li al-mu‘miniin wa al-mu‘minaat (dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi [dosa] orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan). Menurut Fakhruddin al-Razi, pengertian al-ghufraan (ampunan) adalah al-satr 'alaa al-qabiih (menutupi sesuatu yang tercela). Diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, ampunan tersebut didapatkan dengan mengerjakan berbagai sebab didapatkannya maghfirah atau ampunan seperti taubat, doa meminta ampunan, kebaikan yang menghapus, meninggalkan dosa-dosa, dan ampunan dari kejahatan.

Mengenai istighfar Nabi diriwayatkan dalam banyak hadits. Di antaranya adalah doa berikut: “Ya Allah, ampuni kesalahan saya, kebodohan saya, sikap saya yang melewati batas, dan apapun yang engkau ketahui dari saya. Ya Allah, ampuni canda saya, keseriusan saya, kesalahan saya, kesengajaan saya, kesemuanya yang saya lakukan” (HR. Bukhari).

Menurut dhahirnya ayat, perintah istighfar dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi . Padahal, sebagai nabi dan rasul, beliau adalah ma'shum, terbebas dari dosa. Lalu, bagaimana memahami perintah istighfar tersebut?

Menurut Imam al-Qurthubi, hal ini mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, mohonlah ampunan kepada Allah SWT terhadap dosa yang akan menimpamu. Kedua, mohonlah ampunan kepada Allah SWT agar Dia melindungimu dari dosa-dosa.

Sedangkan menurut Fakhruddin al-Razi, yang dimaksud dengan al-dzanb (dosa) bagi Nabi adalah meninggalkan yang lebih utama. Makna ini juga dikemukakan oleh al-Syaukani. Sehingga, ayat ini bermakna: ”Mohonlah ampun dari apa yang mungkin engkau lakukan berupa meninggalkan yang lebih utama.”

Makna lainnya, adalah permohonan diberikan taufik dalam mengerjakan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.

Selain untuk dirinya, beliau juga diperintahkan pula untuk memintakan ampunan bagi orang-orang Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, karena sebab keimanan mereka, maka itu merupakan hak bagi setiap Muslim dan Muslimah. Menurut al-Khazin, ini merupakan pemuliaan dari Allah SWT kepada umat ini lantaran memerintahkan Nabi-Nya untuk memintakan ampun terhadap dosa-dosa mereka, sementara dia adalah pemberi syafaat yang dikabulkan bagi mereka.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, dalam ayat ini terkandung perintah yang halus bahwa Nabi memiliki tiga keadaan, yakni keadaan dengan Allah SWT, keadaan dengan dirinya sendiri, dan keadaan dengan orang lain. Adapun dengan Allah, maka tauhidkanlah Dia. Sedangkan dengan dirinya sendiri, maka beristighfarlah atas dosamu dan mohonlah al-ishmah (terlindung dari dosa) dari Allah. Dan kepada orang Mukmin, beristighfarlah untuk mereka dan mintakanlah ampunan bagi mereka.

Diketahui Allah SWT

Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wal-Laah ya'lamu mutaqallibakum wa matswaakum (dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal). Menurut Abdurrahman al-Sa'di, pengertian mutaqallibakum adalah perilaku dan gerakan-gerakan kamu, kepergian dan kepulangan kamu. Sedangkan matswaakum adalah yang kamu tinggal di situ. Maka Dia mengetahui kalian tatkala bergerak dan diam, lalu Dia membalasmu atas semua itu dengan balasan yang paling sempurna dan memenuhinya.

Menurut Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah Dia mengetahui tindak-tanduk kalian pada siang hari dan tempat tinggal kalian di malam hari. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Juraij dan al-Thabari.

Setelah mengutip beberapa penafsiran yang berbeda-beda, Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa pendapat yang umum adalah berlaku untuk semua. Sehingga, tidak ada yang samar bagi Allah SWT, baik berupa pergerakan Bani Adam maupun diamnya mereka. Demikian pula dengan semua makhluk-Nya. Dia Maha Mengetahui secara terperinci, baik yang pertama maupun yang terakhir. Maha Suci Allah SWT yang tidak ada tuhan (yang hak) kecuali Dia. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah diperintahkan untuk terus berada di atas ilmu dan keyakinan atas tauhid.

2. Beliau juga diperintahkan untuk beristighar dan minta ampun, baik untuk diri beliau sendiri maupun untuk kaum Muslimin.

3. Selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk beliau, maka perintah itu juga untuk umatnya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 174

Jumat, 22 Februari 2019

Bertaubat Untuk Mendapat Ampunan - TAFSIR Ali Imran: 135



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (TQS. Ali Imron [3]: 135)

Taubat adalah solusi bagi orang yang telah telanjur melakukan perbuatan dosa. Hanya saja, tidak sedikit orang yang belum memahami hakikat bertaubat dengan benar. Meskipun kalimat istighfar kerap diucapkan, tetapi perbuatan dosa masih terus saja diulangi, dengan sengaja. Ayat ini memberitakan orang-orang yang bertaubat dengan benar dan berhasil mendapat ampunan dan Surga-Nya.

Ingat Allah SWT Dan Memohon Ampun

Allah SWT berfirman: Wa al-ladziina idzaa fa'aluu faahisyah aw zhalamuu anfusahum (dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri). Huruf al-wawu di sini merupakan wa al-'athf yang menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya terdapat perintah kepada manusia agar bersegera menuju ampunan dan Surga-Nya. Ditegaskan, Surga yang seluas langit dan bumi itu disediakan bagi orang-orang muttaqin. Ayat selanjutnya lalu menjelaskan tentang gambaran sifat orang-orang muttaqin. Mereka adalah orang-orang yang menginfakkan hartanya -baik di waktu lapang maupun sempit-, yang bisa menahan amarahnya, dan pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Mereka yang memiliki sifat demikian juga dapat disebut sebagai orang-orang muhsin (yang berbuat ihsan).

Kemudian dilanjutkan ayat ini yang menjelaskan jenis lain dari orang muttaqin. Mereka adalah tawwaabiin (orang-orang yang bertaubat). Mereka adalah orang yang telah telanjur mengerjakan perbuatan al-faahisyah atau mendzalimi diri mereka sendiri. Dijelaskan al-Jazairi, al-faahisyah adalah al-fi'lah al-qabiihah al-syadiid al-qubh (perbuatan buruk yang teramat buruk), seperti zina dan perbuatan dosa besar lainnya. Dalam Al-Qur’an, beberapa perbuatan yang disebut sebagai al-faahisyah adalah zina (QS. al-Isra' [17]: 32), liwath (QS. al-A'raf [7]: 80), dan menikahi wanita yang sebelumnya menjadi istri ayahnya (QS. al-Nisa' [4]: 22).

Sedangkan pengertian zhulm al-nafsi (menganiaya diri sendiri) juga menunjuk kepada perbuatan dosa. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Syaukani, al-Biqa'i, al-Baidhawi, dan lain-lain. Sehingga, sebagaimana dijelaskan al-Alusi, ini termasuk dalam dzikr al-'aamm ba'da al-khaashsh (penyebutan yang bersifat umum setelah yang bersifat khusus [kata al-faahisyah]). Penyebutan perbuatan dosa sebagai zhulm al-nafsi amat sesuai dengan fakta. Adzab yang dijatuhkan kepada manusia sesungguhnya merupakan balasan terhadap perbuatan dosa manusia. Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan dirinya sendiri kepada siksa-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka” (TQS. Hud [11]: 101). Penyebutan para pelaku dosa sebagai orang yang menzhalimi diri mereka sendiri terdapat dalam beberapa ayat, seperti QS. al-Nisa’ [4]: 64, Ibrahim [14]: 45, Saba' [34]: 19, dan lain-lain.

Ketika mereka telah telanjur melakukan perbuatan demikian, mereka pun ingat kepada-Nya. Allah SWT berfirman: dzakaruuLlaah (mereka ingat akan Allah). Artinya, mereka ingat akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka juga ingat adzab-Nya yang pedih, rahmat-Nya yang luas, dan pintu maghfirah-Nya yang terbuka lebar.

Ingatan tersebut kemudian membuat mereka takut dan sadar, lalu mendorongnya untuk segera bertaubat kepada-Nya. Allah SWT berfirman: fa[i]staghfaruu lidzunuubihim (lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka). Pengertian al-istighfaar adalah thalab al-ghufraan (meminta ampunan). Sedangkan huruf al-lam pada lidzunuubihim bermakna la ajli (karena). Sehingga pengertian ayat ini: thalabuu al-ghufraan li ajli dzunuubihim (mereka meminta ampun karena dosa-dosa mereka). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Menurut al-Samarqandi, frasa ini bermakna al-istighfaar bi al-lisaan wa al-nadaamah bi al-qalb (permohonan ampun dengan lisan dan penyesalan dalam hati.

Kemudian ditegaskan: wa man yaghfiru al-dzunuub illaLlaah (dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?). Kalimat ini merupakan jumlah i'tiraadh (kalimat sisipan) yang berada di antara dua keadaan. Sedangkan bentuk istifhaam ayat ini bermakna al-nafii. Artinya, tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan al-Syaukani, al-Baidhawi, al-Samarqandi, dan lain-lain.

Penegasan ini memberikan faidah, bahwa tidak ada pilihan lain bagi para pelaku dosa kecuali meminta ampun kepada Allah SWT. Dijelaskan Fakhruddin al-Razi, seorang hamba tidak boleh meminta ampunan kecuali kepada-Nya. Karena Allah SWT yang berkuasa menimpakan hukuman bagi hamba di dunia dan akhirat, maka Dia pula yang berkuasa mencabut hukuman itu. Dengan demikian, tepatlah larangan meminta ampunan kecuali kepada-Nya.

Sebagai satu-satunya Pemberi ampunan, Allah SWT Maha Luas ampunan-Nya (lihat: QS. al-Najm [53]: 32). Bahkan membuka pintu ampunan bagi semua dosa (lihat: QS. al-Zumar [39]: 53). Rasulullah bersabda: “Wahai hambaku, sesungguhnya kamu pasti melakukan kesalahan siang dan malam. Tapi Aku akan senantiasa mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku” (HR. Muslim dari Abu Dzar).

Tidak Melanjutkan Perbuatan Dosa

Selanjutnya dijelaskan konsekuensi lain yang harus dilakukan bagi orang-orang yang bertaubat. Allah SWT berfirman: wa lam yushirruu 'alaa maa fa'aluu (dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu). Dijelaskan al-Jazairi, kata al-ishraar bermakna al-syadd 'alaa al-syay’ al-rabth 'alayhi (terikat kuat dengan sesuatu). Dalam konteks ayat ini, al-Thabari memaknainya sebagai al-iqaamah 'alaa al-dzanb aamid[an] wa tark al-tawbah minhu (mengerjakan dosa dengan sengaja dan meninggalkan taubat darinya). Sehingga kata lam yushirruu, sebagaimana diterangkan al-Wahidi, berarti lam yuqiimuu wa lam yaduumuu (tidak mengerjakan dan tidak meneruskan). Itu berarti, permohonan ampun mereka disertai dengan sikap berhenti dan tidak lagi meneruskan perbuatan keji dan dosa lainnya.

Bahwa dalam bertaubat harus dengan sikap meninggalkan perbuatan maksiat juga terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 279). Riba adalah mengambil pengembalian utang melebihi dari pokok harta yang diutangkan. Oleh karena itu, seseorang dapat dinyatakan telah bertaubat manakala dia telah meninggalkan riba. Sebagai buktinya, dia hanya mengambil pokok harta saja. Apabila mengambil lebih dari itu, berapapun jumlahnya, maka ia belum meninggalkan riba. Dan tentu saja, dia tidak dianggap telah bertaubat darinya.

Ditegaskan pula: wahum ya'lamuun (sedang mereka mengetahui). Mereka mengetahui pelanggarannya terhadap syara', dengan meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram. Demikian al-Jazairi dalam tafsirnya.

Selain itu, apabila berkenaan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang bersangkutan. Para pelaku dosa itu juga harus mengadakan perbuatan baik (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, al-Nisa' [4]: 146, al-Nahl [16]: 119). Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (TQS. Hud [11]: 114).

Terhadap orang-orang yang bertaubat dengan benar itu, dijanjikan ampunan dan Surga, sebagaimana ditegaskan dalam ayat selanjutnya: “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sunga-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal” (TQS. Ali Imran [3]: 136).

Berbagai bencana yang terus mendera negeri ini telah menerbitkan kesadaran bagi sebagian orang untuk bertaubat. Sayangnya, taubat itu tidak diiringi dengan perbuatan. Taubatnya penduduk negeri ini tak cukup dengan membaca istighfar beramai-ramai. Akan tetapi harus menghentikan praktik sistem kapitalisme seraya menerapkan syariah dalam kehidupan. Jika itu belum dilakukan, maka belum dianggap telah bertaubat. Sebab, menerapkan sistem kapitalisme dan mengabaikan syariah merupakan kemaksiatan besar yang harus segera diakhiri. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Solusi satu-satunya bagi orang yang telanjur berbuat dosa adalah bertaubat kepada Allah SWT.

2. Bertaubat yang benar adalah dengan: (1) Menyesali perbuatan dosa; (2) Meminta ampun kepada Allah SWT; (3) Berhenti melakukan perbuatan dosa; (4) Jika berhubungan dengan hak Bani Adam, harus diselesaikan dengan pihak yang bersangkutan.

3. Taubat bagi penduduk di negeri ini adalah mencampakkan sistem kapitalisme, seraya menerapkan syari'ah dalam kehidupan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 203

Rabu, 20 Februari 2019

Mengambil Pelajaran Dari Bintang, Matahari, Bulan, Dan Pergantian Malam Dan Siang - TAFSIR al-Furqan: 61-62



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya (61); dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (TQS. al-Furqan: 61-62)

Tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT tergelar di alam semesta. Sejauh mata memandang, di sana terlihat tanda kebesaran-Nya. Tentu itu hanya akan berguna bagi orang-orang yang menggunakan akalnya dan menjadikannya sebagai pelajaran. Jika tidak, semua tanda kebesaran Allah SWT itu akan terlewat begitu saja. Tidak berguna bagi mereka.

Bintang, Matahari, dan Bulan

Allah SWT berfirman: Tabaaraka al-ladzii ja’ala fii al-samaa‘ buruuj[an] (Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang sikap kaum musyrikin ketika mereka diperintahkan untuk bersujud kepada al-Rahman. Mereka bukan saja tidak mau, namun melecehkan perintah tersebut. Mereka mempertanyakan siapa al-Rahman dan atas dasar apa mereka harus menaati perintah bersujud tersebut. Akibatnya, adanya perintah tersebut justru semakin menjauhkan mereka dari keimanan dan kebenaran.

Ayat ini kemudian mengingatkan tentang keagungan dan kebesaran Allah SWT dengan diawali kata tabaaraka. Diterangkan al-Samarqandi, kata tabaaraka merupakan kata yang dikhususkan. Tidak bisa dikatakan yatabaaraku (dalam bentuk mudhaari'), seperti halnya tidak dikatakan yata'aali. Tidak pula dikatakan mutabaarik[un]. Menurutnya, kata tabaaraka berarti dzuu barakah, yang memiliki barakah. Sedangkan makna al-barakah adalah katsrat al-khayr (banyak kebaikan). Yang dimaksud dengannya adalah Allah SWT.

Makna lain tabaaraka adalah taqaddasa (suci). Al-Thabari berkata, "Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan al-buruuj di langit." Dengan demikian, ayat ini diawali dengan pujian Allah SWT kepada diri-Nya Dzat Yang Maha Suci.

Sedangkan al-buruuj merupakan bentuk jamak dari kata al-burj. Artinya, al-qushuur (istana, benteng). Dalam konteks ayat ini, setidaknya ada dua penafsiran tentang makna al-buruuj.

Pertama, al-kawaakib al-‘izhaam (bintang yang paling besar). Ini dikatakan oleh Mujahid, Said bin Jubair, Abu Shalih, al-Hasan, dan Qatadah. Dikatakan al-Khazin, dinamakan al-buruuj karena terangnya.

Kedua, benteng di langit untuk penjagaan. Ini dikemukan oleh Ali, Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka'ab, Ibrahim al-Nakha'i, dan Sulaiman bin Mihran al A'masy. Demikian dikatakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Fakhruddin al-Razi berkata, ”Sedangkan al-buruuj adalah tempat edar bintang yang masyhur disebut sebagai al-buruuj. Yakni, benteng tinggi. Sebab, gugusan bintang itu seperti tempat tinggal bagi penghuninya.”

Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, itulah makna menurut orang Arab. Allah SWT berfirman: Walaw kuntum fiiburuuj[in] musyayyadat[in] (walaupun kamu berada di dalam benteng yang amat kokoh, TQS. al-Nisa' [4]: 78).

Sedangkan Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang pertama, yakni bintang yang paling besar. Meskipun demikian, menurutnya dua penafsiran tersebut digabung. Yakni, gugusan bintang yang paling besar adalah benteng untuk penjagaan. Pengertian ini sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” (Terjemah Qur'an Surat al-Mulk [67]: 5).

Kemudian Allah SWT berfirman: Waja'ala fiihaa siraaj[an] (dan Dia menjadikan juga padanya matahari). Di samping gugusan bintang, di langit juga dijadikan pula al-syams (matahari). Dalam ayat ini, matahari disifati kata siraaj. Menurut al-Asfahani, al-siraaj adalah al-zaahir (yang bersinar) dengan sumbu dan minyaknya. Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut semua benda yang bercahaya.

Bahwa matahari dijadikan Allah SWT sebagai pelita yang bercahaya -selain dalam ayat ini- hal tersebut juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan menjadikan matahari sebagai pelita” (TQS. Nuh [71]: 16). Juga firman Allah SWT: “Dan Kami jadikan pelita yang amat terang” (TQS. al-Naba’ [78]: 13). Yang dimaksud dengannya adalah matahari.

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Waqamar[an] muniir[an] (dan bulan yang bercahaya). Selain matahari, al-qamar atau bulan dijadikan muniir[an]. Artinya, mudhii’ (yang bercahaya). Allah SWT juga berfirman: “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya” (TQS. Nuh [71]: 16).

Menjadikan Siang dan Malam

Kemudian Allah SWT berfirman: Wahuwa al-ladzii ja'ala al-layl wa al-nahaar khilfat[an] (dan Dia [pula] yang menjadikan malam dan siang silih berganti). Menurut Abu Ubaidah, kata khilfah berarti segala sesuatu yang terjadi setelah sesuatu. Dan masing-masing antara malam dan siang saling menggantikan. Sedangkan menurut Mujahid, al-khilfah berarti al-khilaaf. Artinya, putih dan hitam. Setelah mengutip kedua penafsiran tersebut, Imam al-Qurthubi lebih memilih pendapat yang pertama.

Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari. Mufassir tersebut berkata, ”al-Khilfah adalah dua yang saling bergantian, yang ini datang, yang lain pergi. Allah SWT menjadikan keduanya (malam dan siang) bergantian bagi hamba-hamba-Nya.”

Kemudian ditegaskan: Liman araada an yudzdzakkara (bagi orang yang ingin mengambil pelajaran). Artinya, semua itu bisa menjadi bukti kebesaran Allah SWT bagi orang-orang mau mengambil pelajaran. Tentang maksud ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Dia telah menjadikan malam dan siang serta pergantian keduanya sebagai hujjah dan tanda bagi orang-orang yang hendak mengingat urusan Allah SWT, lalu kembali kepada kebenaran.”

Diterangkan al-Qurthubi, kata yaddakkaru bermakna yatadzakkaru (mengambil pelajaran). Sehingga dia mengetahui bahwa Allah SWT tidak menjadikan semua itu sia-sia. Sebab, semuanya adalah ciptaan Allah SWT. Maka, dia pun bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya, baik yang berupa akal, pikiran, maupun pemahaman.

Makna lain yang dapat diambil dari ayat ini diterangkan oleh Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, dan al-Hasan. Mereka berkata, "Sehingga barangsiapa yang ketinggalan melakukan kebaikan di malam hari, maka hendaknya dia melakukannya di waktu siang. Dan barangsiapa ketinggalan melakukannya pada siang hari, hendaknya dia melakukannya pada malam hari." Demikian kutip al-Qurthubi dalam tafsirnya.

Penafsiran tersebut didukung hadits. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seseorang yang biasa melakukan shalat di malam hari lalu teridur, kemudian melakukannya di waktu antara terbit matahari dan shalat Zhuhur, kecuali Allah SWT telah mencatat untuknya pahala shalatnya, dan tidurnya adalah hadiah” (HR. Abu Dawud).

Kemudian ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Aw araada syukuur[an] (atau orang yang ingin bersyukur). Artinya, orang yang ingin bersyukur kepada Allah atas pergantian siang dan malam itu. Demikian menurut al-Thabari. Al-Qurthubi juga berkata, "Syukur ini karena Allah SWT telah menjadikan keduanya kuat untuk mencari penghidupan mereka."

Demikianlah. Keberadaan gugusan bintang-bintang di langit, matahari dijadikan sebagai pelita, bulan yang dijadikan bercahaya, serta pergantian siang dan malam adalah di antara tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tak hanya itu, semuanya merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia. Dan hanya akan akan disadari oleh orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran atau orang-orang yang mau bersyukur kepada-Nya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Keberadaan gugusan bintang, matahari, dan bulan di langit serta pergantian malam dan siang merupakan bukti kebesaran Allah SWT.

2. Semua itu sekaligus merupakan nikmat tak terhingga bagi manusia.

3. Semua bukti dan nikmat itu hanya berguna bagi orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran atau bersyukur kepada-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 164

Minggu, 10 Februari 2019

Merendahkan Suara Di Hadapan Rasulullah - TAFSIR al-Hujurat: 3



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Sesunggunnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( TQS. al-Hujurat [49]: 3)

Dalam bergaul dengan beliau terdapat adab yang harus dikerjakan oleh orang-orang Mukmin. Di antaranya adalah adab dalam berbicara dengan Rasulullah . Tidak boleh bersuara keras dan meninggikan suara. Apalagi suaranya melebihi suara Rasulullah . Sebaliknya, diperintahkan merendahkan suara di hadapan beliau. Inilah di antara yang dikandung ayat ini dan ayat sebelumnya.

Merendahkan Suara

Allah SWT berfirman: Inna al-ladziina yaghudhdhuuna aswaatahum 'inda Rasuulil-Laah (sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah). Dalam ayat sebelumnya, diterangkan tentang larangan meninggikan suara melebihi suara Rasulullah . Tidak boleh pula bersuara keras sebagaimana biasa dilakukan terhadap orang lainnya. Jika itu dilakukan, maka dapat menghapuskan amal-amal mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin Syamas bahwa ketika turun ayat: Laa tarfa’uu ashwaatakum fawqa shaut al-nabiy (janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, QS. al-Hujurat [14]: 2), maka Tsabit bin Qa'is duduk di jalan sambl menangis. Ketika Ashim bin Adi bin Bani al-Ajlan melewatinya, dia pun bertanya: "Mengapa engkau menangis?" Ia menjawab: ”Aku takut ayat itu turun berkenaan dengan diriku, karena aku adalah orang yang bersuara keras.” Kemudian hal itu disampaikan 'Ashim kepada Rasulullah . Lalu Rasulullah memanggil Tsabit dan bertanya, "Apakah engkau tidak ridha jika engkau hidup terpuji, mati syahid, dan masuk Syurga?" Tsabit menjawab: ”Aku ridha dengan kabar gembira Allah dan Rasul-Nya; dan tidak akan mengeraskan suaraku selama-lamanya di hadapan Rasulullah .” Lalu turunlah ayat selanjutnya (QS. al-Hujurat ayat 3).

Menurut al-Syaukani dalam tafsirnya, Fat-h al-Qadiir, makna asal kata al-ghadhah adalah al-naqsh min kulli syay‘ (mengurangi segala sesuatu). Termasuk di antaranya adalah mengurangi suara.

Sedangkan menurut Ibnu Jarir al-Thabari, makna asal kata tesebut adalah al-kaff fii liin (menahan dalam kelembutan). Di antaranya adalah kata ghadhah al-bashar. Artinya, kaffuhu 'an al-nazhar (menahannya dari pandangan). Sehingga dalam memaknai ayat ini, Ibnu Jarir berkata, "Sesungguhnya orang-orang yang menahan suara mereka di sisi Rasulullah ."

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Artinya, orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah ketika berbicara dalam rangka untuk menghormati beliau; atau ketika mereka berbicara dengan orang lain di hadapan Rasulullah untuk menghormati beliau." Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa ketika ayat tersebut turun, dia berkata, "Wahai Rasulullah , demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu kecuali seperti kepada saudara yang memegang rahasia." Maksudnya, berbicara dengan berbisik.

Hatinya Dibersihkan untuk Bertakwa

Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladziina [i]mtahanalLaah quluubahum li al-taqwaa (mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa). Frasa ini menerangkan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah .

Secara bahasa, kata al-imtihaan bermakna al-ibtilaa' (ujian). Pada awalnya, kata tersebut digunakan untuk menggambarkan pemurnian emas dari lainnya. Ini artinya, dengan adanya imtihaan (ujian), maka akan diketahui aspek yang unsur-unsur yang baik dan unsur-unsur yang buruk. Abdurrahman al-Sa‘di berkata, "Dia menguji dan mencobanya, sehingga hasilnya tampak bahwa hatinya layak untuk bertakwa.“ Kemudian mufassir tersebut berkata, "Di sini terdapat dalil bahwa Allah SWT menguji hati adalah dengan perintah, larangan, dan cobaan. Barangsiapa menetapi perintah-Nya, mengikuti ridha-Nya, bersegera untuk itu, dan mendahulukannya atas hawa nafsunya, maka Dia akan memurnikan dan membersihkannya untuk bertakwa. Hatinya pun layak untuk itu. Namun barangsiapa tidak mengerjakan seperti itu, maka Dia mengetahui bahwa orang tersebut tidak layak untuk bertakwa.”

Penafsiran imtahana lainnya adalah akhlasha (membersihkan). Al-Farra‘, sebagaimana dikutip al-Syaukani, berkata: ”Allah SWT membersihkan hati mereka untuk bertakwa, sebagaimana halnya membersihkan emas dengan api, lalu keluarlah bagian yang baik dari bagian yang buruknya." Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muqatil, Mujahid, dan Qatadah.

Dengan demikian penggalan ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah . Balasan itu adalah dibersihkan hatinya setelah lulus dari ujian Allah SWT berupa perintah dan larangan sehingga dia memang pantas menerima anugerah takwa.

Sayyid Quthb dalam tafsir Fii Zhilaal al-Qur'aan berkata, ”Ketakwaan merupakan anugerah yang amat besar. Allah SWT memilih hati untuk menerimanya setelah diuji dan dicoba, dibersihkan dan dimurnikan. Maka, ketakwaan itu diletakkan dalam hati sesudah hati siap untuk menerimanya dan telah diputuskan bahwa hati tersebut berhak menerimanya. Orang-orang yang merendahkan suaranya di dekat Rasulullah adalah termasuk di antara orang-orang yang hatinya telah diuji Allah SWT dan dipersiapkan untuk menerima anugerah tersebut. Yakni, anugerah ketakwaan yang telah diputuskan untuk diberikan kepada hati tersebut. Melalui anugerah tersebut, maka diraih pula ampunan dan pahala yang besar."

Tentang orang-orang yang diuji hatinya untuk bertakwa, Ibnu Katsir mengutip surat Umar bin al-Khaththab ra. yang diriwayatkan Imam Ahmad. Ketika itu ada sebuah surat yang datang kepada Umar dan bertanya, "Wahai Amirul Mukmin, ada seseorang yang tidak ingin berbuat maksiat dan dia sendiri tidak melakukannya. Apakah orang itu lebih utama daripada seseorang yang begitu ingin melakukan kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya?" Maka Umar ra. membalas surat itu dengan mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang begitu ingin melakukan kemaksiatan, akan tetapi tidak mengamalkannya, “Mereka itulah orang-orang yang diuji hati mereka oleh Allah SWT untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Lahum maghfirat[un] wa ajr[un] 'azhiim[un] (bagi mereka ampunan dan pahala yang besar). Ini merupakan balasan lainnya yang akan diberikan kepada orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Nabi . Balasan itu adalah maghfirah wa ajr 'azhiim.

Diterangkan al-Thabari, frasa lahum maghfirat[un] artinya, bagi mereka ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa mereka yang terdahulu. Sedangkan frasa wa ajr[un] 'azhiim[un] berarti tsawaab[un] jaziil[un] (pahala yang besar), yakni Surga.

Oleh karena itu, ayat ini memberikan janji balasan kebaikan bagi orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah . Janji ini memberikan dorongan lebih kuat untuk melaksanakan perintah tersebut setelah dalam ayat sebelumnya berisi ancaman orang yang mengerjakan sebaliknya, yakni terhapusnya amal bagi orang-orang yang bersuara keras dan melebihi suara Rasulullah .

Menarik disimak penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauzi tentang ini. Dalam kitabnya I'laam al-Muwaqqi'iin berkata, "Apabila mengeraskan suara mereka melebihi suara Rasulullah saja telah menjadi sebab bagi terhapusnya amal-amal mereka, lalu bagaimana dengan tindakan yang mengedepankan dan meninggikan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan mereka? Bukankan itu lebih pantas untuk menjadi penghapus amal-amal mereka?" Semoga kita terhindar sikap lancang terhadap Rasulullah . Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Di antara adab dengan Rasulullah adalah merendahkan suara di hadapan beliau.
2. Balasan terhadap orang yang mengerjakan adab tersebut adalah:
(1) Hatinya dibersihkan sehingga layak untuk menerima anugerah takwa.
(2) Mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 165

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam