Sutrah
Bagi Orang Shalat
Yang kami maksud
dengan sutrah adalah sesuatu yang diletakkan si mushalli
di depannya. Bisa berupa tongkat, kayu, atau ina-in,
dan sebagainya, yang dimaksudkan untuk membatasi tempat shalatnya, sehingga
tidak ada seorangpun yang bisa menyertainya dan memungkinkan baginya untuk bisa
melaksanakan shalat dengan thuma'ninah
tanpa dilewati oleh manusia atau hewan yang bisa memutuskan atau mengganggu
shalatnya itu.
Menjadikan sesuatu
sebagai sutrah di dalam shalat itu hukumnya sunat. Dari Sabrah bin Ma'had ra.,
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian melaksanakan shalat, maka hendaklah dia menetapkan sutrah untuk
shalatnya, walaupun dengan satu anak panah.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Rasulullah
Saw., apabila keluar pada hari raya, Beliau memerintahkan (pada pelayannya)
untuk membawa tombak, lalu diletakkan di depannya. Dan Beliau Saw. shalat ke
arah (tombak) itu, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Beliau Saw.
seringkali melakukan hal itu dalam perjalanan, kemudian dicontoh oleh para
umara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar:
“Bahwa Nabi Saw.
shalat ke arah hewan tunggangannya (untanya).” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu
Khuzaimah dan ad-Darimi)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Sesungguhnya Nabi
Saw. shalat ke arah untanya.”
Hadits ini merupakan
penjelasan atas riwayat yang pertama.
Dari ketiga hadits ini
bisa disimpulkan, bahwa Rasulullah Saw. menjadikan sesuatu sebagai sutrah, dan
Beliau Saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menetapkan sutrah. Karena
itu, menjadikan sesuatu sebagai sutrah itu hukumnya sunat, bukan mubah. Hukum
sutrah ini sunat, bukan wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
“Bahwa Rasulullah Saw.
shalat di tanah lapang, dan di depannya tidak ada sesuatupun.” (HR. Ahmad)
Lalu, di manakah si mushalli meletakkan sutrahnya?
Yang paling utama
adalah meletakkan sutrah itu di depannya dengan sedikit bergeser ke kanan atau
ke kiri, tidak boleh tepat di arah yang menjadi kiblatnya. Dari al-Miqdad bin
al-Aswad ra., ia berkata:
“Aku tidak melihat
Rasulullah Saw. shalat ke arah tiang, kayu atau pohon, kecuali menjadikannya
berada di sebelah kanannya atau sebelah kirinya, dan Beliau tidak lurus
mengarah ke situ.” (HR. Ahmad)
Disunahkan untuk
berdiri di dekat sutrahnya, dan jangan menjauhkannya, sehingga terlalu lebar
dari yang diperlukannya untuk bersujud. Sebab, sutrah itu diletakkan tidak lain
dalam rangka menetapkan satu area tertentu sebagai tempat shalat. Oleh karena
itu, tempat tersebut tidak perlu terlalu luas dan melebihi kadar yang
dibutuhkannya. Dari Sahl bin Abi Hatsmah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap ke sutrah, maka
hendaklah dia mendekat ke sutrah itu, agar setan tidak memutuskan shalatnya.”
(HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Al-Hakim dan Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Jika salah seorang
dari kalian shalat maka hendaklah dia shalat menghadap sutrah, dan mendekat ke
sutrah itu, sehingga setan tidak akan memutuskan shalatnya.”
Setan di sini
maksudnya adalah setiap yang lewat di depan si mushalli,
bisa berupa manusia atau hewan yang lewat, tepat di tempat shalatnya.
Penjelasan lebih gamblang akan kami paparkan nanti.
Tatkala berdiri tegak
di area shalat, hendaknya jarak sutrah dari pijakan kedua kaki tidak lebih dari
tiga hasta atau dua meter. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
“Kemudian Beliau
shalat -yakni Nabi Saw.- dan antara dirinya dengan dinding itu jauhnya sekitar
tiga hasta.” (HR. an-Nasai)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Kemudian Beliau Saw.
shalat, dan antara dirinya dengan kiblat itu sejauh tiga hasta.”
Seandainya dia
menjadikan panjang area shalatnya itu setengahnya saja dari ukuran tadi, maka
dia telah mendapatkan sunah juga. Dari Sahl bin Sa'ad as-Sa'idiy, ia berkata:
“Adalah jarak antara
tempat shalat Rasulullah Saw. dan dinding itu, kira-kira cukup untuk berlalunya
kambing.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ibnu Hibban)
Rasulullah Saw. telah
menjadikan dinding itu sebagai sutrahnya, dan rentang area tempat shalat Beliau
Saw. tidak lebih dari satu meter, yakni sekedar jarak yang diperlukan kambing
untuk lewat.
Sutrah
Imam
Jika sekelompok orang
shalat secara berjamaah dan imam menjadikan sesuatu sebagai sutrahnya, maka
sutrah itu berlaku untuk seluruh orang yang mengikutinya (para makmum),
sehingga mereka tidak harus membuat sutrah selainnya. Apabila imam telah
menjaga tempat shalatnya dan dia tidak membiarkan orang atau hewan melewati
ruang yang ada di antara dirinya dengan sutrahnya, hal itu telah cukup bagi
jamaah yang lainnya, sehingga mereka tidak perlu melakukan sesuatupun
setelahnya. Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya:
“Kami singgah bersama
Rasulullah Saw. di jalan sebuah gunung di daerah Adzakhir (suatu tempat di
antara dua tanah suci), kemudian tibalah waktunya shalat, Beliau Saw. shalat
menghadap dinding. Lalu Beliau Saw. menjadikannya sebagai qiblat, sedangkan
kami berada di belakangnya. Kemudian datang seekor binatang ternak dan lewat di
depan Beliau Saw. Beliau Saw. terus menerus menahannya, hingga perutnya
menempel di dinding dan hewan itu kemudian lewat di belakangnya, atau
sebagaimana yang dikatakan Musaddad.” (HR. Abu Dawud)
Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
sedang shalat, lalu lewat seekor kambing di depannya. Beliau Saw. menahannya ke
kiblat hingga Beliau Saw. menempelkan perutnya dengan kiblat.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang shahih)
Adzakhir adalah sebuah
tempat yang terletak di antara Makkah dan Madinah.
Dari Ibnu Abbas ra.,
ia berkata:
“Aku bersama Fadhl
datang, sementara kami berdua berada di atas keledai. Rasulullah Saw. sedang
shalat mengimami orang-orang di Arafah, lalu kami melewati sebagian shaf. Kami
pun turun dan meninggalkan keledai itu merumput, lalu kami masuk dalam shaf. Rasulullah
Saw. tidak mengatakan apapun kepadaku tentang hal itu.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Hadits yang pertama
dan hadits yang kedua menunjukkan bahwa menolak sesuatu yang ada di depannya
itu adalah wajib bagi imam ketika dia telah menjadikan sesuatu sebagai sutrah.
Sudah cukup jelas
bahwa lewatnya sesuatu di belakang sutrah tidak menjadi masalah, baik bagi
pihak yang lewat ataupun bagi si mushalli
yang dilewati. Si mushalli tidak perlu
melakukan tindakan apapun untuk menghalanginya. Jika lewat di belakang sutrah
tetap menjadi masalah, maka tentu menjadikan sesuatu sebagai sutrah tidak
diperlukan lagi. Dari Abu Juhaifah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
mengimami mereka shalat di Bath-ha, dan di depan Beliau Saw. ada ‘anazah. Beliau shalat dhuhur dua rakaat dan
shalat ashar dua rakaat, kemudian lewatlah perempuan dan keledai di depan
Beliau Saw.” (HR. Bukhari)
‘Anazah adalah tongkat yang di bagian ujungnya
ada besi yang ditancapkan sebagai sutrah.
Sejumlah ahli fikih
mengalami kesulitan memahami hadits Abi Juhaifah ini, mereka menyangka bahwa
wanita dan himar itu lewat di antara Rasulullah Saw. dan sutrahnya. Mereka
menyangka bahwa lewatnya wanita dan himar itu tepat di depan sutrahnya bukan di
belakangnya, sehingga mereka menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa
lewatnya wanita dan himar di depan orang yang shalat itu tidak memutuskan
shalatnya. Yang benar adalah bahwa lewatnya wanita dan himar di dalam hadits
ini terjadi di belakang sutrah, bukan di depannya. Bunyi redaksi dalam hadits
ini: “kemudian lewatlah perempuan dan keledai di depan Beliau Saw.”, tidak
selaras dengan pemahaman mereka, karena dengan melihat dilalah riwayat lain dari jalur Abu Juhaifah sendiri yang
diriwayatkan Ibnu Hibban dan an-Nasai,
“Bahwa Rasulullah Saw.
keluar dengan jubah yang berwarna merah, lalu sebuah tongkat berujung besi
ditancapkan. Kemudian Beliau Saw. shalat ke arahnya, dan lewatlah anjing,
perempuan dan himar di belakang tongkat itu.”
Dalam satu riwayat
dari jalur yang sama, yang ditakhrij
oleh Muslim dan Abu Dawud:
“Rasulullah Saw.
keluar pada tengah hari ke Bath-ha, lalu Beliau Saw. berwudhu. Setelah itu
Beliau Saw. shalat dhuhur dua rakaat dan shalat ashar dua rakaat, di depan
Beliau Saw. ada tongkat berujung besi, dan di belakang tongkat itu kemudian
lewatlah perempuan dan himar."
Maka kedua riwayat ini
telah menjelaskan, bahwa lewatnya mereka itu terjadi di belakang sutrah, bukan
di depan sutrah.
Menahan
Orang yang Lewat Ketika Sutrah Telah Diletakkan
Jika si mushalli (orang yang shalat) itu belum
memiliki sutrah, tidak wajib baginya untuk menahan sesuatu yang lewat di
depannya. Juga tidak wajib baginya untuk menahan sesuatu, walaupun dia telah
menetapkan sutrah, selama sesuatu itu lewat di belakang sutrahnya. lni berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian telah meletakkan sesuatu di depannya, semisal palang kendaraan,
maka hendaklah dia shalat, dan janganlah dia menghiraukan orang yang lewat di
belakang palang itu.“ (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Mu'akhiratur rahli artinya kayu yang ada di
ujung pelana, yang diletakkan di atas punggung unta agar bisa dinaiki dan
dijadikan tempat bersandar oleh penunggangnya.
Apabila dia telah
meletakkan sutrah, lalu ada seseorang yang lewat melanggarnya, maka wajib
baginya untuk menahan orang tersebut walaupun harus sampai berkelahi dengannya.
Abu Said al-Khudri ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian shalat maka janganlah dia membiarkan sesuatu lewat di depannya, dan
hendaklah dia menahannya sebisa mungkin. Jika (yang lewat itu) tidak mau, maka
hendaklah dia melawannya, karena dia (yang lewat) itu adalah setan.” (HR. Muslim)
Imam Bukhari
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Jika salah seorang
dari kalian shalat menghadap sesuatu yang digunakannya sebagai sutrah dari
orang-orang, kemudian seseorang ini lewat di depannya, maka hendaklah dia
menahannya. Jika orang itu enggan, maka hendaklah dia melawannya, karena
sesungguhnya dia itu setan.”
Hadits yang kedua
telah membatasi menahan orang yang lewat tersebut dengan diletakkannya sutrah.
Konsekuensinya adalah bahwa lewatnya seseorang di depan sutrah itu diharamkan,
baik lewatnya itu ketika si mushalli
sedang shalat fardhu ataupun shalat nafilah,
shalat jamaah ataupun shalat munfarid.
Dari Abu Juhaim ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Seandainya orang yang
lewat di depan orang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya
berhenti menunggu selama empat puluh itu lebih baik baginya daripada harus
lewat di depannya. Abu an-Nadhr berkata: Aku tidak tahu apakah Rasulullah Saw. mengatakan
empat puluh hari, bulan atau tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini
terdapat dilalah yang kuat atas haramnya
melewati orang shalat, dan dilalah
kemutlakan shalat yang dilakukan tanpa adanya taqyid
(pembatasan) apapun. Dari Yazid bin Nimran, ia berkata:
“Aku bertemu dengan
seorang laki-laki yang lumpuh di Tabuk, maka akupun menanyainya. Dia berkata:
Aku lewat di depan Rasulullah Saw. di atas keledai, lalu beliau Saw. bersabda:
“Dia telah memutuskan shalat kami, semoga Allah Swt. memutuskan jejaknya, maka
akupun menjadi lumpuh.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dari jalur Said bin Ghazwan dari ayahnya dengan redaksi kalimat yang
sedikit berbeda. Seandainya lewatnya lelaki ini -dan dia berada di atas himarnya di depan Rasulullah Saw. ketika
Beliau Saw. sedang shalat itu bukan perbuatan yang diharamkan, tidak mungkin
Rasulullah Saw. mendoakannya dengan doa yang sangat keras, yang menjadikannya
bisa lumpuh seperti itu.
Lain lagi di Masjidil
Haram. Lewat di depan orang-orang yang sedang shalat di sana diperbolehkan.
Seorang Muslim di sana bisa shalat menghadap ke Ka'bah, dan orang-orang yang
berthawaf bisa lewat di depannya, baik
laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tanpa menjadi dosa bagi orang
yang berthawaf dan juga tanpa menjadi
dosa bagi orang yang shalat karena tidak menahannya. Allah Swt. niscaya lebih
mengasihi hamba-Nya dengan tidak menyulitkan kaum Muslim dalam melaksanakan
ibadah-ibadah mereka di Baitul Haram karena campur-baurnya mereka dan sangat
berdesakannya manusia di sana. Seandainya tidak begitu, niscaya orang-orang
sulit untuk shalat di tengah-tengah Masjidil Haram, di mana orang-orang yang
berthawaf di seputar Ka'bah
terus-menerus berthawaf tanpa putus
sepanjang siang dan malam. Dari Katsir bin Katsir dari ayahnya dari kakeknya,
dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. berthawaf di Baitullah
sebanyak tujuh putaran, kemudian Beliau shalat dua rakaat dengan bersepatu di
pinggir maqam, dan tidak ada seorangpun (yang menjadi sutrah) antara Beliau
dengan orang-orang yang berthawaf."
(HR. an-Nasai, Ibnu Hibban dan at-Thahawi)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits ini dan berkata: “Ini khusus di Makkah saja”, dan Bukhari
meriwayatkan hadits ini dalam kitab Tarikh-nya dengan lafadz: “Aku melihat Nabi
Saw. shalat di pinggirnya ( yakni pada akhir thawafnya),
dan orang-orang lewat di depan Beliau Saw." Abdurrazaq meriwayatkan hadits
ini dengan lafadz:
“Aku melihat Nabi Saw.
shalat di Masjidil Haram, dan orang-orang berthawaf
di Baitullah di antara Beliau Saw. dengan kiblat, di depan Beliau Saw., dan
tidak ada sutrah antara Beliau Saw. dengan mereka."
Dilalah hadits dalam hal ini begitu jelas.
Sesuatu
yang Lewat yang Bisa Memutuskan Shalat
Yang bisa memutuskan
shalat adalah lewatnya seorang wanita yang telah haid, anjing hitam, dan
keledai, di depan si mushalli, jika dia
tidak menjadikan sesuatu sebagai sutrahnya; atau telah menjadikan sesuatu
sebagai sutrah dan lewatnya orang tersebut di antara si mushalli dengan sutrahnya. Kami katakan wanita yang haid, untuk
membedakannya dengan anak perempuan yang masih kecil yang belum baligh, karena
bagaimanapun juga anak perempuan yang masih kecil tidak akan memutuskan shalat.
Kami tidak bermaksud menyebutkan wanita yang haid itu adalah wanita yang sedang
haid ketika dia lewat di depan si mushalli
sebagaimana hal itu dipersangkakan oleh sebagian ahli fikih. Dan kami katakan
anjing hitam untuk membedakannya dari anjing-anjing yang berwarna lainnya,
sehingga anjing yang putih, merah, atau kuning tidak memutuskan shalat.
Sedangkan keledai, bisa memutuskan shalat secara umum, baik keledai jantan
ataupun betina. Dari Abu Dzar ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka dia dipandang
telah membuat sutrah, apabila di depannya ada sesuatu seperti palang kendaraan.
Jika di depannya tidak ada palang kendaraan, maka shalatnya bisa diputuskan
oleh keledai, wanita dan anjing hitam.” Aku berkata, “Wahai Abu Dzar, mengapa
anjing hitam dibedakan dari anjing merah atau kuning?” Dia berkata: “Wahai anak
saudaraku, aku bertanya kepada Rasulullah Saw. sebagaimana engkau tanyakan itu
kepadaku, maka Beliau Saw. berkata: “Anjing hitam itu adalah setan.” (HR.
Muslim)
Ahmad, Abu Dawud,
al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan
redaksi. Ucapan “akhiratur rahli” atau
dalam beberapa riwayat yang lain “mu'akhiratur
rahli” maksudnya adalah kayu yang ada di ujung pelana yang diletakkan di
atas punggung unta agar bisa dinaiki dan dijadikan tempat bersandar oleh
penunggangnya. Dan ucapannya: “anjing hitam itu adalah setan” bukan berarti
bahwa anjing hitam itu berasal dari bangsa jin. Sebenarnya, anjing hitam itu
disifati dengan keburukan, sebagaimana setan yang memiliki sifat buruk. Dalam
sebuah hadits telah disebutkan bahwa setan itu memiliki karakter suka berbuat
buruk, sehingga anjing tersebut bukan berarti berasal dari kalangan setan
dengan sebenarnya. Dari Abu Said al-Khudri ia berkata:
“Ketika kami berjalan
bersama Rasulullah Saw. di ‘Arj, sekonyong-konyong datang seorang penyair
menyenandungkan syairnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah setan,
tahanlah setan. Sungguh perut seseorang jika dipenuhi dengan nanah itu lebih
baik baginya daripada dipenuhi dengan syair.” (HR. Muslim dan Ahmad)
‘Arj adalah sebuah
desa yang berjarak sekitar tujuh puluh delapan mil dari Madinah.
Itulah nash yang
diriwayatkan Muslim dan selainnya dari jalur Abu Dzar, yang memberi pengertian
bahwa lewatnya ketiga hal tadi di depan si mushalli
yang tidak membuat sutrah bisa memutuskan shalatnya. Dari Ibnu Abbas ra. dari
Nabi Saw., Beliau bersabda:
“Adalah bisa
memutuskan shalat: wanita yang telah haid dan anjing.” (HR. Abu Dawud, Ahmad,
dan Ibnu Hibban)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Adalah bisa
memutuskan shalat: anjing hitam dan wanita yang telah haid.”
Hadits ini secara qath'iy telah menyebutkan secara khusus wanita
yang telah haid saja, sehingga wanita yang belum haid alias anak perempuan yang
masih kecil tidak termasuk ke dalamnya. Dari Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia
berkata:
“Adalah kami sedang
shalat dan hewan-hewan tunggangan lewat di depan kami, lalu kami menceritakan
hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Beliau berkata: “Seperti palang kendaraan,
misalnya, hendaknya ditempatkan di depan salah seorang dari kalian, sehingga sesuatu
yang lewat di depannya tidak akan mengganggunya.” Ibnu Numair berkata: Orang
yang lewat di depannya tidak akan mengganggunya.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu
Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Pemahaman yang bisa
diambil dari hadits di atas adalah bahwa yang lewat di depan sutrah dari ketiga
jenis yang disebutkan dalam hadits itu bisa memutuskan shalat. Namun, jika
lewat di belakang sutrah, hal itu tidak akan memutuskan shalat.
Realita diputuskannya
shalat oleh ketiga jenis ini, para ahli fikih telah berbeda pendapat dalam
menentukan pengertian terputusnya shalat itu. Di antara mereka ada yang
menafsirkan terputusnya shalat itu sebagai batalnya shalat dan wajibnya
mengulang shalat itu; sebagian yang lain menafsirkan terputusnya shalat itu
sebagai timbulnya kekurangan dalam shalat tanpa membatalkannya, dan mereka
inilah yang memiliki pendapat yang lebih kuat (rajih). Bahasa Arab memiliki
makna yang pertama, juga memiliki makna yang kedua. Allah Swt. berfirman:
“Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan
mereka melukai (jari) tangannya." (TQS. Yusuf [12]: 31)
Kata qaththa’na dalam ayat ini tidak diartikan
sebagai 'memotong', tetapi diartikan 'melukai' saja.
Al-Qath ’u juga bisa memiliki arti memotong,
sebagaimana disebutkan dalam ayat:
“Potonglah tangan
keduanya.” (TQS. al-Maidah [5]: 38)
Bisa juga memiliki
arti mengakibatkan berkurangnya sesuatu atau luka, yaitu seperti pada:
“Mereka melukai (jari)
tangannya." (TQS. Yusuf [12]: 31)
Berarti, harus ada
indikasi (qarinah) yang menetapkan mana
di antara dua arti ini (yang bisa digunakan) untuk memahami putusnya shalat
dengan sebab lewatnya tiga hal di atas.
Saya telah menyebutkan
satu hadits yang diriwayatkan Yazid bin Nimran dalam pembahasan “menahan orang
yang lewat ketika sutrah sudah ditetapkan”, yang menjadi qarinah bahwa “memutuskan shalat' di sini
bermakna ‘mengurangi’ saja, bukan ‘membatalkan’, yaitu ucapan Rasulullah Saw.:
“dia telah memutuskan shalat kami, semoga Allah Swt. memutuskan jejaknya."
Dalam hadits ini Rasulullah Saw. tidak menyertakan ucapannya dengan perintah
mengulang shalat yang diputus itu kepada para sahabatnya, sehingga, tidak
adanya perintah untuk mengulang shalat di dalam hadits ini menjadi petunjuk
bahwa “memutuskan shalat” itu berarti “mengurangi atau mengakibatkan timbulnya
kekurangan.” Jika artinya membatalkan, niscaya Nabi Saw. telah memerintahkan
para sahabatnya untuk mengulang shalatnya. Ketika tidak ada perintah untuk
mengulang, maka hal itu sudah jelas. Dengan demikian, yang dimaksud “memutuskan
shalat” di sini adalah ‘mengurangi’ saja.
Hadits ini layak
menjadi qarinah untuk mengalihkan kata al-qath'u dari makna ”memotong” pada makna
”mengurangi”. Dan makna inilah yang dipahami oleh para sahabat ra. ketika
memaknai kata “al-qath’u” yang
disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Telah diriwayatkan bahwa Umar ra.
berkata: “Seandainya si mushalli
mengetahui bagaimana berkurangnya shalat yang dilakukannya akibat lewatnya
sesuatu di depannya, niscaya dia tidak akan shalat kecuali dengan menghadap
sesuatu yang dijadikannya sebagai sutrah (penghalang) dari orang-orang.” (HR.
Abu Na'im)
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas'ud, dia berkata: “Sesungguhnya lewatnya sesuatu di depan orang
yang shalat telah mengurangi setengah dari shalatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Shalat Ke Arah Orang yang Sedang Tidur atau Binatang
Ternak
Di arah kiblat mushalli boleh saja ada orang yang tidur, baik
laki-laki ataupun perempuan, atau hewan
tunggangan, tetapi si mushalli tidak
boleh menjadikannya sebagai sutrah untuk shalatnya itu. Pernyataan ini tidak
bertentangan dengan pernyataan tentang keharaman lewatnya seorang wanita dan
wanita tersebut bisa memutuskan shalat, begitu juga keharaman lewatnya seorang
laki-laki. Sebab, yang diharamkan itu adalah lewatnya laki-laki atau perempuan
tadi. Namun, jika keduanya tidur di hadapan si mushalli
dan keduanya melintang di arah kiblat, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab,
ini merupakan perkara yang berbeda. Ibnu Umar ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melintangkan untanya, dan beliau Saw. shalat ke arahnya...” (HR. Bukhari)
Dari Aisyah, istri
Nabi Saw., ia berkata:
“Sungguh, pada satu
malam Rasulullah Saw. melakukan shalat, dan aku melintang di antara Beliau
dengan kiblat, di atas alas tidur keluarganya.” (HR. Bukhari)
Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Dan sungguh, aku
melihat Rasulullah Saw. shalat, sementara aku berada di atas tempat tidur,
berbaring melintang di antara Beliau dan kiblat. Kemudian aku berhajat sesuatu,
dan aku enggan untuk duduk. Aku sedikit menyusahkan Rasulullah Saw., lalu aku
menyelinap di antara dua kakinya.” (HR. Muslim)
Dalam dua riwayat yang
shahih ini diceritakan bahwa Aisyah tidur melintang, dan Rasulullah Saw. shalat
ke arahnya. Ini menunjukkan bolehnya hal itu. Tentu saja kejadiannya berlainan
dengan lewatnya seorang wanita yang telah disebutkan keharamannya, dan lewatnya
wanita tersebut bisa memutuskan shalat.
Lewatnya seorang
wanita di depan si mushalli bisa
memutuskan shalatnya. Akan tetapi, shalatnya ke arah si wanita dalam keadaan
tidur atau berbaring, maka hal itu boleh-boleh saja. Kiranya jelas, bahwa
shalat menghadap ke arah wanita yang tertidur, hal itu terjadi ketika wanita
tersebut termasuk salah seorang mahram, bukan wanita asing, karena jika tidak
demikian, tentu bisa menimbulkan fitnah dan menyibukkan hati si mushalli, Kedua hal ini (yakni timbulnya
fitnah dan tersibukkannya hati) telah jelas larangannya.
Sekarang tinggal
masalah berdirinya si mushalli, yang
melakukan shalat di atas sajadah kecil yang berukuran sesuai dengan yang
diperlukan orang shalat untuk melakukan shalatnya, yang diberi nama sajadah
shalat. Sajadah seperti ini telah dikenal dalam tradisi, di mana si mushalli berdiri di salah satu ujungnya dan
bersujud di ujung yang lainnya. Karena itu, saya melihat bahwa orang yang
shalat di atas sajadah tidak perlu lagi menjadikan sesuatu sebagai sutrah dalam
shalatnya. Ujung sajadah tempat dia bersujud merupakan ujung tempat sujudnya,
dan tidak menjadi masalah jika ada yang lewat, baik orang ataupun hewan di
belakang sajadahnya. Jadi, sajadahnya berposisi sebagai tempat shalat yang
memiliki sutrah, sehingga orang-orang diharamkan untuk lewat di atas
sajadahnya. Bila hal itu terjadi, berarti mereka telah lewat di antara mushalli
dengan sutrahnya. Namun, jika mereka lewat di luar ujung sajadah, maka tidak
menjadi masalah, baik bagi orang yang lewat ataupun bagi si mushalli, sehingga orang yang lewat tidak
berdosa, dan si mushalli pun tidak perlu
menahannya.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar