Mengqadha
Shalat yang Luput
Jika shalat telah
keluar dari waktunya, maka shalat tersebut dipandang luput. Luputnya shalat ini
bisa karena lupa atau tertidur, atau bisa jadi karena sengaja melalaikannya.
Jika shalat telah luput karena tertidur atau lupa, maka wajib melaksanakannya sesuai
contoh berikut ini:
1) Shalat orang yang
tertidur atau lupa dilaksanakan secara langsung ketika dia bangun atau ketika
dia ingat. ltulah waktu shalatnya, yang tidak boleh lagi diakhirkan. Dari Anas
bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian tertidur atau lupa dari shalat, maka sholatlah ketika dia ingat,
karena Allah Swt. berfirman: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (HR.
Muslim dan Ahmad)
2) Jika seorang Muslim
hendak melaksanakan shalat yang terlupa dan telah luput karena suatu kesibukan
atau tertidur di satu waktu shalat wajib yang belum sempat dia laksanakan
kemudian, maka hendaklah dia mendahulukan shalat yang luput, kemudian dia laksanakan
shalat wajibnya. Jabir bin Abdillah ra. telah meriwayatkan:
“Bahwasanya Umar bin
Khattab pada Perang Khandaq tetah mencaci orang kafir Quraisy dan berkata:
“Wahai Rasulullah, aku tidak sempat shalat Ashar hingga matahari hampir
terbenam.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Demi Allah, akupun tidak sempat
shalat.” Lalu kami singgah di Bath-ha, kemudian Rasulullah Saw. berwudhu dan
kami pun berwudhu. Kemudian Rasulullah Saw. shalat ashar setelah matahari
terbenam, dan sesudahnya lalu beliau shalat maghrib.” (HR. Muslim)
Shalat yang luput
karena tertidur atau lupa atau kesibukan ini jika dilaksanakan berdasarkan
contoh di atas maka pelakunya tidak terkena dosa, karena dengan melaksanakan
shalat seperti itu sang pelaku telah berkafarat
dari shalatnya yang luput. Anas ra. telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw.
bersabda:
“Barangsiapa yang lupa
melaksanakan shalat, maka hendaklah dia shalat ketika ingat, tidak ada kafarat
atas hal itu kecuali dengan melakukannya. Qatadah berkata “dan dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku”. (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Namun, jika dia
kehilangan shalat karena sengaja melalaikannya tanpa udzur syar’iy, maka dia
telah menanggung dosa yang sangat besar. Saat itu dia harus bertaubat dengan
taubat yang sebenarnya. Shalat yang luput tidak ada kafarat atasnya, karena
kafarat diperuntukkan hanya untuk shalat yang luput dengan sebab syar'iy,
seperti tertidur, lupa atau alpa, bukan yang lain. Jika orang yang melalaikan
ini mengqadha shalat yang luput tersebut, maka dosa yang harus dia tanggung
tidak akan gugur darinya. Saya berharap dia bisa memanfaatkan qadha tersebut,
dan mudah-mudahan hal itu menunjukkan pada keseriusan taubatnya.
Dan apabila qadha-nya
seorang Muslim atas shalat-shalatnya yang luput karena ditinggalkan secara
sengaja itu tidak menggugurkan dosanya, maka apatah lagi dengan qadha yang
dilakukan orang lain ketika si pelaku telah wafat sedangkan dia harus
menanggung dosa dari shalat yang ditinggalkannya. Artinya, qadha yang dilakukan
orang lain tidak akan menggugurkan dosa darinya. Dengan demikian, maka shalat
yang diterima adalah shalat yang dilakukan oleh orang yang terkena kewajibannya
dan dilaksanakan pada waktunya. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(TQS. an-Nisa [4]: 103)
Tidak pernah ada
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan agar seorang Muslim
mengqadha shalat yang luput dari seseorang yang lain, dan tidak ada cerita
bahwa seseorang telah mengqadha shalat yang luput seorang Muslim yang lain itu
kemudian Rasulullah Saw. mengakui perbuatannya tersebut. ingatlah, bahwa ibadah
itu bersifat tauqifiy, sehingga tidak
sah dilakukan qiyas di dalamnya, kecuali
jika ada 'ilat yang benar-benar
disebutkan dalam nash.
Adapun tentang tata
cara shalat yang luput adalah sebagai berikut: barangsiapa yang melaksanakan
shalat yang luput itu, hendaknya dia melaksanakan shalat tersebut sesuai
keadaan sebenarnya dan menurut bentuknya sebagaimana shalat yang dilaksanakan
pada waktunya. Hendaklah dia melaksanakan shalat itu apa adanya, dari sisi jahr ataupun sirr-nya,
iqamat dan jamaahnya. Seandainya dia kehilangan shalat subuh, maka hendaklah
dia melaksanakannya di waktu siang setelah matahari terbit, di mana
disyariatkan baginya untuk beriqamat,
kemudian melaksanakan shalat tersebut secara jahr
dan dalam satu jamaah. Jika dia kehilangan shalat ashar dan ingat kembali pada
waktu malam maka hendaklah dia melaksanakan shalat tersebut dengan cara sirriyah, dan melaksanakan shalatnya dalam
satu jamaah. Dari Abu Qatadah ra. yang bercerita tentang tertidurnya mereka
dari shalat fajar, dia berkata:
“…kemudian Bilal
mengumandangkan adzan untuk shalat, lalu Rasulullah Saw. shalat dua rakaat,
kemudian shalat al-ghadat. Beliau melakukannya sebagaimana beliau lakukan
(seperti biasa) setiap hari.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan
dua rakaat di sini adalah dua rakat shalat sunat sebelum shalat fajar, dan yang
dimaksud dengan al-ghadat di sini adalah shalat fajar.
Dari Abu Said ra., ia
berkata:
“Kami tertahan pada
Perang Khandaq dari beberapa shalat hingga terlewatlah sebagian waktu setelah
maghrib, dan ini sebelum turun firman Allah Swt. seputar perang, ketika
berperang telah dicukupkan dari kami. Hal ini ketika sudah turun firman-Nya:
“Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan adalah Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” Nabi Saw. memerintahkan Bilal, maka Bilal beriqamat shalat dhuhur, kemudian beliau Saw.
shalat dhuhur sebagaimana shalat pada waktunya. Setelah itu Bilal beriqamat untuk shalat Ashar, lalu Nabi
melaksanakan shalat ashar sebagaimana shalat pada waktunya. Dan Bilal kemudian
beriqamat untuk shalat maghrib dan Nabi
Saw. melaksanakan shalat maghrib sebagaimana shalat pada waktunya." (HR.
Ahmad, anNasai dan Ibnu Khuzaimah)
Dalam kondisi ini
adzan disyariatkan ketika jamaah penduduk kota disibukkan dari adzan pada
waktunya, seperti terjadinya peperangan. Seperti kejadian yang menimpa
Rasulullah Saw. dan jamaah kaum Muslim di kota Madinah pada Perang Khandak,
atau penduduk negeri disibukkan dari adzan sebagai akibat terjadinya bencana
gempa bumi yang dahsyat atau badai topan misalnya, maka hendaklah
dikumandangkan adzan ketika akan menegakkan shalat yang luput. Namun, jika
jamaah telah beradzan di suatu negeri, sedang orang yang kehilangan shalat akan
melaksanakan shalat pada selain waktunya maka tidak diperlukan lagi adzan,
cukup dengan iqamat saja.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar