Tempat-tempat
yang Makruh Sebagai Tempat Shalat
Tempat-tempat tersebut
adalah:
a. Tempat yang di
dalamnya ada sesuatu yang melalaikan dan menyibukkan orang yang shalat.
Misalnya tempat-tempat yang berisi dengan permainan, rumah-rumah yang banyak
berhiaskan gambar dan berbagai lukisan, jalan-jalan yang ramai oleh manusia,
pasar-pasar yang padat pengunjung, dan lain-lain.
b. Tempat pembaringan
unta
c. Tempat di antara
tiang-tiang dan pilar-pilar masjid
d. Tempat tertentu
yang ditetapi oleh seseorang
Keempat jenis tempat
ini dimakruhkan untuk shalat di atasnya, meskipun tidak sampai pada batas
keharaman.
Dimakruhkannya shalat
di tempat yang di dalamnya ada sesuatu yang melalaikan atau menyibukkan
seseorang dari shalatnya adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dan
Bukhari dari Aisyah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berdiri melaksanakan shalat mengenakan pakaian yang bergambar, sehingga beliau
Saw. sempat melihat gambar tersebut. Tatkala beliau selesai shalatnya, beliau
Saw. berkata: “Kembalikanlah pakaian ini pada Abu Jahm bin Hudzaifah, dan
bawakanlah untukku pakaian bulu yang kasar, karena sesungguhnya pakaian ini
telah melalaikan aku dalam shalatku.”
Anbijaniyah adalah
pakaian bulu yang kasar yang tidak bergaris.
Dimakruhkannya shalat
di tempat pembaringan unta, karena ada ‘ilat
khawatir unta tersebut akan menyakiti dan menimbulkan madharat pada orang yang
shalat, karena orang yang shalat di antara unta-unta berarti telah menempatkan
dirinya ke dalam sikap was-was dan takut, sehingga bisa berpengaruh pada
kekhusyu-an dan thuma'ninah dalam
shalatnya. Dari Ibnu Mughaffal ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
“Janganlah kalian
shalat di tempat penderuman unta, karena ia diciptakan berasal dari jin.
Tidakkah kalian melihat matanya dan kegesitannya jika dia berlari? Sholatlah di
kandang kambing, karena ia menjadi tempat yang lebih dekat kepada rahmat.” (HR.
Ahmad dan Thabrani)
Sabda beliau: hibahaha: yakni kegesitan dan banyaknya gerak.
Maka 'ilat-nya adalah kekhawatiran
apabila unta itu lari, serta berbagai hal yang diakibatkannya, yang bisa jadi
mencelakai manusia.
Adapun makruhnya
shalat di antara tiang-tiang masjid adalah berdasarkan riwayat dari Abdul Hamid
bin Mahmud, bahwa ia berkata:
“Aku shalat bersama
Anas bin Malik pada hari Jum'at, lalu kami didorong ke dekat tiang-tiang. Kami
pun maju sedikit ataupun mundur. Lalu Anas berkata: “Kami memelihara diri kami
dari hal ini di masa Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Kami shalat di
belakang salah seorang penguasa, lalu orang-orang mendorong kami, sehingga kami
shalat di antara dua tiang. Tatkala kami selesai shalat, Anas bin Malik
berkata: “Kami berusaha memelihara diri kami dari hal ini…”
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya, bahwa ia
berkata:
“Kami dilarang
melakukan shalat di antara tiang-tiang, bahkan kami diusir dari situ dengan
keras.” (HR. Ibnu Khuzaimah, lbnu Majah dan Ibnu Hibban)
Hukum shalat di antara
tiang-tiang ini khusus terkait dengan shalat jamaah. Adapun dalam shalat munfarid (sendirian) maka hukumnya boleh
dilakukan di antara tiang-tiang dan tidak dimakruhkan. Dari Ibnu Umar ra., ia
berkata:
“Nabi Saw. memasuki
baitullah, kemudian (diikuti oleh) Usamah bin Zaid, Utsman bin Thalhah dan
Bilal. Beliau Saw. agak lama (berada) di dalam, lalu keluar. Aku adalah orang
yang pertama mengikuti jejaknya, lalu aku bertanya kepada Bilal: 'Di manakah
beliau shalat?' Bilal menjawab: “Di antara dua tiang yang paling depan.” (HR.
Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Mengenai (kebiasaan)
mengambil satu tempat khusus di masjid tanpa (menempati tempat lain) selainnya
untuk shalat, maka hukumnya makruh. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibl bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang seseorang menjadikan satu tempat tertentu untuk shalat sebagaimana
seekor unta menempati sesuatu untuk pembaringannya." (HR. Ibnu Abi
Syaibah)
Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan dengan redaksi,
“Rasulullah Saw.
melarang shalat dari tiga hal: patukan burung gagak, duduknya binatang buas,
seseorang mengambil satu tempat seperti unta menempati tempat pembaringannya.”
Sabda beliau patukan
burung gagak (naqrul ghurab), ini
merupakan kiasan orang yang meringankan dan terlalu cepat dalam bersujud.
Sedangkan arti dari ucapan Beliau Saw. duduknya binatang buas (fursyatus sabu' dalam riwayat Ibnu Majah dan iftirasyus sabu' dalam riwayat Ahmad) adalah
orang yang shalat dengan menempelkan kedua sikunya di atas tanah ketika
bersujud dan tidak mengangkatnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh anjing
atau serigala. Dan arti dari seseorang menempati suatu tempat: yakni seseorang
menjadikan dan menetapkan satu tempat tertentu di dalam masjid sebagai tempat
ia melakukan shalat tanpa selainnya, sebagaimana biasa dilakukan oleh unta, di
mana ia tidak menderum atau berbaring kecuali di satu penderuman, dan tidak
pernah berpindah dari tempat itu.
Larangan dalam
hadits-hadits di atas menunjukkan makruhnya perbuatan tersebut, namun tidak
sampai pada batas keharaman. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Salmah bin al-Akwa':
“Bahwasaya ia datang
ke masjid untuk melakukan sunat dhuha. Kemudian dia menuju satu tiang di depan
mushaf, dan shalat di dekatnya. Maka aku katakan kepadanya: Tidakkah engkau
shalat di sana saja, dan aku tunjukkan sebagian tempat lain di masjid tersebut.”
Ia menjawab, “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah Saw. menetapi tempat ini.”
(HR. Ibnu Majah)
Adanya keterangan
bahwa Rasulullah Saw. kadangkala menetapi suatu tempat sebagai tempat shalatnya
memalingkan larangan menempati suatu tempat tertentu ini menjadi makruh
hukumnya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar