Dengan disponsori
Amerika dan Rusia, gencatan senjata sementara berlaku di Suriah. Genjata
senjata yang didukung Dewan Keamanan PBB ini, mulai berlaku Sabtu dini hari
(27/2/2016) waktu setempat. Rezim Bashar menyetujui gencatan senjata ini dengan
syarat pengecualian terhadap ISIS dan Jabhah an-Nusrah.
Sementara itu,
sebagian pihak oposisi menyetujui gencatan senjata ini. Komisi Tinggi untuk
Negoisasi -oposisi Suriah yang bergerak dalam politik- mengumumkan setuju dan
berkomitmen dengan gencatan senjata tersebut. Termasuk menyetujui pengecualian
terhadap ISIS, Jabhah an-Nusrah dan cabang Al-Qaidah.
”Komisi melihat
gencatan senjata sementara selama dua pekan menjadi kesempatan untuk
membuktikan keseriusan pihak lain berkomitmen dengan kesepakatan," kata
pernyataan Komisi Tinggi untuk Negoisasi Suriah yang dipimpin mantan PM Suriah
Riyad Hijab, seperti dilansir AI-Jazeera, Rabu (24/02/2016). Sikap ini diambil
setelah menggelar pertemuan di Saudi menyikapi gencatan senjata tersebut.
Namun baru dua hari
berjalan, gencatan senjata ini terancam menghadapi kegagalan. Pasalnya, rezim
Suriah dan Rusia tetap saja membombardir bukan hanya kelompok yang mereka
tuding teroris, tapi juga basis pemberontak yang sering disebut moderat.
Menurut kepala
delegasi oposisi Suriah untuk negosiasi damai, Asaad al-Zoubi, hal ini
dikarenakan masih terus dilakukannya serangan terhadap basis pemberontak
moderat oleh pemerintah Suriah dan juga Rusia. Ia menyebut, pihaknya sudah
menduga bahwa gencatan senjata ini tidak akan berlangsung lama. “Gencatan
senjata yang mulai berlaku awal pada hari Sabtu telah runtuh sebelum
dimulai," ucapnya, seperti dilansir Al Arabiya pada Senin (29/2/2016).
Sejak awal banyak
pihak yang memperkirakan, gencatan senjata ini upaya Amerika dan Rusia untuk
mempertahankan rezim Bashar Assad. Sampai negara-negara itu mendapatkan
penggantinya yang tetap bisa dikontrol. Perjanjian ini cukup menjadi penekan
bagi kelompok-kelompok oposisi untuk bergabung dengan koalisi internasional
pimpinan Amerika Serikat. Dengan syarat menerima sepenuhnya cara-cara Amerika
untuk menyelesaikan persoalan Suriah.
Hal ini tampak dari
persyaratannya yang mengecualikan ISIS dan Jabhah an-Nushrah. Tidak hanya itu,
siapa saja yang tidak setuju terhadap rekonsiliasi dengan rezim diktator dicap
sebagai teroris, yang artinya sah untuk diperangi dan dibombardir. Hal ini juga
berlaku bagi mayoritas rakyat Suriah yang tidak setuju akan dicap sebagai
pendukung teroris. Tidaklah mengherankan kalau selama ini Amerika, Rusia dan
rezim buas Bashar menjatuhkan bom-bom mereka membunuhi rakyat sipil.
Terorisme
Sebagai Sandaran
Memerangi teroris,
inilah alasan yang kerap dipakai Amerika dan sekutunya untuk mempertahankan
penjajahan, sekaligus melegalkan pembantaian terhadap umat Islam. Sederhananya,
tuding saja satu kelompok teroris, pendukungnya teroris, maka mereka berhak diperlakukan
apapun. Membunuh, membantai, bahkan dengan cara-cara yang sangat keji sekalipun
seolah menjadi sah.
Hal yang sama
digunakan Amerika terhadap umat Islam Suriah. Dengan cap memerangi teroris
Amerika dan Suriah membombardir penduduk Suriah. Meskipun tampak saling
berseberangan, sesungguhnya semua tindakan Rusia di bawah koordinasi Amerika.
Serangan Rusia terhadap Suriah, tidak bisa dilepaskan dari pertemuan penting
Obama dan Putin di New York (29/9/2015). Meskipun secara permukaan kedua belah
pihak membahas soal Ukraina, namun keputusan yang penting justru terkait dengan
Suriah.
Dalam konferensi
persnya saat itu, Putin menyatakan pertemuan itu konstruktif dan serius. Saat
itu ia mengumumkan adanya kemungkinan serangan udara Rusia di Suriah untuk
melawan dan memerangi terorisme. Menteri luar negeri Amerika John Kerry
mengumumkan, negaranya dan Rusia sepakat atas “beberapa doktrin asasi"
tentang Suriah. Termasuk melakukan koordinasi dengan Rusia untuk menghindari
terjadinya kemungkinan konflik apapun selama operasi di Suriah. (Russia today,
AFR Reurers,AP, 30/9/2015)
Tidak lama setelah
pertemuan itu, pada siang (30/9/2015), Rusia memasuki Suriah dengan rudal-rudal
dan pesawatnya. Rusia secara terbuka menggunakan kekuatan militernya. Sejalan
dengan Amerika, negara yang menjadi musuh umat Islam inipun menggunakan alasan
memerangi teroris. Rusia memperluas makna teroris, terhadap siapapun yang
melakukan perlawanan senjata terhadap rezim Bashar, Sekarang ini Amerika lebih
memperluas lagi tuduhan teroris bagi siapapun, yang tidak mendukung
rekonsiliasi dicap teroris.
Terkait masalah ini,
Hizbut Tahrir dengan tegas mengecam kejahatan Amerika dan Rusia di balik
gencatan senjata ini. Dalam selebarannya (15 Jumadul Ula 1437 H/24 Februari
2016) Hizbut Tahrir mengingatkan kaum MusIimin bahwa Amerika dan Rusialah yang
merajut benang-benang kejahatan terhadap warga Syam (Suriah), bahkan seluruh
kaum Muslimin.
”Mereka adalah musuh
Islam dan kaum Muslim. Namun yang lebih aneh dan mengherankan, ikut bergabung
pula orang-orang atas nama oposisi rezim dan atas nama warga Syam, bahkan
dengan nama-nama Islami, lalu mereka bersegera menyetujui gencatan senjata yang
menyedihkan dan menghinakan itu melalui persetujuan dari Hijab dan selain
Hijab!" tegas Hizbut Tahrir dalam pernyataan persnya.
Hizbut Tahrir juga
mengingatkan, gencatan senjata tidak lain untuk melindungi rezim Bashar sampai
batas waktunya. Amerika tidak ingin Bashar tumbang sebelum Amerika menemukan
pengganti khianat semisal Bashar. Pengganti yang bisa melayani kepentingan-kepentingan
Amerika dan menjaga pengaruh Amerika seperti yang dilakukan Bashar. Karena itu
Amerika memperpanjang rezim Bashar dengan sarana-sarana busuk dan dengan
dukungan antek-anteknya, dengan tipu daya dan penyesatan. []
Timeline Penyelesaian Suriah ala Amerika
Skenario terbaik
pemerintahan Obama untuk transisi politik di Suriah bukanlah meramalkan Bashar
Al Assad akan mengundurkan diri sebagai pemimpin negara itu sebelum Maret 2017
-lebih lama dari masa jabatan Presiden Barack Obama setidaknya dua bulan- menurut
sebuah dokumen yang diperoleh The Associated Press Suriah, sesuai dengan
strategi itu, akan mengadakan pemilihan presiden dan parlemen baru pada bulan
Agustus 2017 sekitar 19 bulan dari sekarang. Untuk sementara, Suriah akan
diperintah oleh badan transisi. Namun, prioritas utama sekarang adalah membasmi
Daesh (ISIS) dari markasnya di Suriah utara.
Utusan khusus PBB
untuk Suriah, Staffan de Mistura, telah menetapkan tanggal 25 Januari untuk
memulai pembicaraan bagi perdamaian antara pemerintah dan oposisi di Jenewa.
Ini termasuk reformasi politik besar, pencalonan legislatif sementara dan
konferensi donor internasional untuk membiayai masa transisi dan rekonstruksi
Suriah.
Pada bulan Maret 2017,
timeline itu berbunyi: “Asad melepaskan jabatan presiden dan orang dalam
lingkarannya harus hengkang.” Dokumen itu menggunakan ejaan nama yang disukai
oleh pemerintah AS, Al Assad. Pemerintah baru Suriah akan mengambil kekuasaan
penuh dari badan transisi setelah pemilihan parlemen dan presiden pada bulan
Agustus 2017. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 169, Maret 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar