Oleh: Moni Mutia Liza,
Mahasiswi FKIP Fisika Unsyiah
Sudah 70 tahun Aceh
merdeka, jauh dari konflik dan pembangunan mulai dibenahi serta bertaburnya
investor asing di provinsi yang kaya sumber daya alam ini, namun tak membuat
masyarakat Aceh sejahtera. Melimpahnya SDA seperti pertambangan emas di
provinsi ini antara lain Woyla, Seunagan, Aceh Barat, Pisang Mas di Beutong,
Payakolak, Takengon Aceh Tengah, batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh
Barat, batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar, di Tapaktuan. Bahkan saat ini
para peneliti sedang meneliti kandungan emas di Kecamatan Ketol. Penelitian itu
dilakukan oleh perusahaan tambang nasional dan asing. Selain Ketol, kandungan
emas itu diperkirakan juga terdapat di Kecamatan Linge.
Selain itu, Aceh juga
memiliki potensi minyak hidrokarbon di timur laut Simeulue, diperkirakan
mencapai 320 miliar barrel, jauh di atas cadangan minyak Arab Saudi yang hanya
memiliki volume 264 miliar barrel. Terdapat pula potensi tenaga panas bumi di
Jaboi, Sabang, serta emas, tembaga, timah, kromium dan marmer di Pidie. Perut
bumi Aceh juga menyimpan tembaga alam seperti Native Cupper, Cu, Chalcopirit,
Bornit, Chalcosit, Covellit dan biji tembaga berkadar tinggi lainnya, (The Aceh
Traffic portal). Sumber Kekayaan hutan, laut, perternakan, pertanian di Aceh
juga mengalahkan sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan dan Papua.
Namun kekayaan yang
melimpah ini dijarah oleh investor asing atas nama UU liberalisasi migas dan UU
kepemilikan individu. Bukankah ini bentuk penjajahan?
Aceh pasca tsunami
ibarat gadis cantik yang masih perawan. Pesonanya menarik perhatian perusahaan
lokal dan dunia untuk segera melamar dan meminangnya.
Tsunami membuka jalan
kepada investor Asia dan internasional untuk mengeruk SDA di Aceh. Bantuan dari
berbagai perusahaan dunia membuat luluh hati masyarakat Aceh yang sangat kental
dengan pandangan bahwa para bule adalah musuh masyarakat Aceh. Setelah kucuran
dana mengalir dari kantong perusahaan asing dan janji-janji manis melalui
bantuan rumah, bangunan sekolah, rumah sakit dan bantuan berupa uang pasca
tsunami ternyata berlanjut pada pembangunan perusahaan asing di provinsi Aceh
bahkan memperpanjang kontrak kerja mereka untuk mengeruk SDA di Aceh.
Masyarakat Aceh sendiri sudah menganggap bahwa perusahaan asing tersebut tamu
mulia, sehingga bagi masyarakat Aceh tak masalah bila perusahaan asing tersebut
berlama-lama di Aceh menggotong kekayaan alam di bumi para ulama tersebut.
Pemerintah Indonesia
dan Acehpun tak bisa berbuat banyak saat perusahaan asing mendesak agar SDA
dapat dikelola oleh perusahaan swasta, bukan negara. Semua ini disebabkan
diterapkannya sistem perekonomian kapitalisme di Indonesia yang mengharuskan
prinsip take and give alias tidak ada
makan gratis. Solidaritas atas nama kemanusiaan dijadikan modal untuk menjajah
negeri yang kaya sumber daya alam. Pada akhirnya keuntungan besar berpihak pada
kaum perusahaan Asia dan dunia, sedangkan masyarakat dan lingkungan semakin rusak.
Hal ini dapat dibuktikan bahwa kabar gembira akan berkurangnya tingkat
pengangguran di wilayah yang terdapat perusahaan swasta adalah kebohongan yang
menyakitkan. Terbukti adanya perusahaan swasta misalnya PT. Arun, PT. PIM, PT.
AAF, Lafarge Semen Andalas, Exxon Mobil, CALTEX tidak mampu mengurangi tingkat
penggangguran di Aceh yang kian membludak. Berdasarkan Badan Pusat Statistik
(BPS) Aceh Rabu kemarin (6/5/2015) di Banda Aceh, tercatat meningkat pada 2015
yaitu sebesar 28 ribu orang. Selain itu, tingkat buta huruf juga menanjak.
Misalnya di Nagan Raya yang terdapat perusahaan listrik tenaga UAP ternyata
masyarakat di Nagan Raya jauh dari pendidikan. Berdasarkan data yang dirilis
BPS Nagan Raya tahun 2013, menyatakan bahwa masyarakat buta huruf di kabupaten
Setempat mencapai tiga ribu lebih.
Meskipun demikian,
tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan tersebut juga melakukan pembangunan,
baik berupa jalan dan fasilitas lainnya dengan tujuan untuk memuluskan
kepentingan mereka dalam mengekspor kekayaan alam ke negaranya dan melunakkan
hati masyarakat agar mau menerima kehadiran mereka dan membentuk pemahaman
masyarakat bahwa kehadiran perusahaan swasta tersebut akan membuat masyarakat
hidup sejahtera. Padahal, hakikatnya pengeluaran dana ketika pembangunan
fasilitas kepada masyarakat tidaklah sebanding dengan kekayaan yang mereka raih
dari hasil SDA yang mereka keruk.
Hadirnya investor
asing tersebut tidak lain menjajah perekonomian masyarakat Aceh atau dapat
disebut penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Menghancurkan tatanan sosial
dan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan nuansa Islam. Pergaulan seks
bebaspun bertambah seiring bertambahnya investor asing di tanah Aceh. Ditambah
dengan sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan di Aceh membuat seks bebas
menjadi legal atas nama HAM.
Ketidakmandirian
pemerintah Indonesia termasuk Aceh dalam mengelola SDA dan distribusi kekayaan
yang tidak merata menandakan Indonesia dan Aceh tidak merdeka. Pasalnya banyak
kebijakan pemerintah ditalarbelakangi oleh pesanan kaum kapitalis.
Ironis, Indonesia dan
Aceh yang kaya SDA namun terus dalam kategori negara berkembang. Beginilah
gambaran negara yang tidak merdeka. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar