Menteri-menteri yang
terkait dengan barang kebutuhan pokok rakyat terus mondar-mandir ke Istana
Negara. Wajah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan Thomas
Lembong, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Menteri Koperasi dan UKM
Puspayoga terkadang terlihat serius sehingga tak mau melayani wawancara
wartawan.
Yah, pemerintah lagi bingung menghadapi
lonjakan harga kebutuhan pokok yang melejit cukup tinggi. Kenaikan itu sendiri
tidak biasa. Mengapa? Karena biasanya baru ada kenaikan harga kebutuhan pokok
bila dekat-dekat Lebaran. Tapi kali ini, Ramadhan belum tiba tapi harga sudah
merangkak naik.
Padahal permintaan
terhadap sembilan bahan pokok (sembako) dan kebutuhan lainnya tergolong tetap
alias stagnan, belum ada lonjakan yang tinggi. Namun kenapa, kenaikan harganya
begitu tinggi.
Yang paling terlihat
adalah harga daging sapi. Harga daging ini tiba-tiba menembus Rp130.000 per kg.
Para pedagang di pasar pun mengeluh, terlebih lagi konsumen. Demikian juga
daging serta telur ayam. Kenaikan juga pada bawang merah, cabai, wortel, minyak
goreng, dan gula pasir.
Dalam kondisi seperti
ini, Jokowi menginstruksikan agar para menterinya segera mengambil kebijakan
untuk menurunkan harga-harga itu. Khusus untuk daging, Jokowi bahkan mematok
harga daging harus sampai Rp80.000 per kg. Inilah mengapa mereka bolak-balik ke
istana.
Pemerintah mengakui
ada mafia yang memainkan harga pangan di pasar. Selain itu, menurut pemerintah,
rantai distribusi dinilai terlalu panjang. Para menteri dititahkan Jokowi
mencari solusi soal ini. "Harapannya adalah bagaimana harga di tingkat
petani bisa menguntungkan. Kemudian di tingkat pengusaha juga menguntungkan,
tetapi konsumennya tersenyum. Memang butuh waktu tidak bisa selesai hanya
sehari dua hari. Ini butuh waktu karena persoalan puluhan tahun yang harus kita
selesaikan," kata Mentan.
Maka langkah yang
terlihat di lapangan adalah operasi pasar. Pemerintah katanya menggelar operasi
pasar di 4.000 titik di seluruh Indonesia pada Ahad (12/6/2016). Harapannya,
dengan operasi pasar itu akan membanjiri pasar dengan produk/komoditas sejenis agar
harga produk/komoditas bisa turun. Berhasilkah? Belum.
Di samping itu,
pemerintah membuka kran impor baik daging sapi, beras, dan bawang merah. Ini
jadi masalah sendiri karena justru menghancurkan harga di tingkat produsen.
Yang diuntungkan malah para importir yang notabene pengusaha besar. Siapa
mereka? Mereka yang dekat kekuasaan.
Pengamat ekonomi dari
INDEF Enny Sri Hartati menilai pemerintah tak memiliki konsep yang jelas dalam
mengelola negara. Kenaikan harga pangan, menurutnya, bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba tapi sudah berlangsung tiap tahun. Tidak ada antisipasi.
Tak mengherankan,
pemerintah terlihat seperti menggunakan jurus mabuk ketika menghadapi
permasalahan baru. Apatah lagi, sebelum kampanye, Jokowi sudah kadung janji macam-macam. Janji tidak akan
impor daging. Tidak akan menambah utang luar negeri. Akan meningkatkan daya
saing produk dalam negeri. Akan menurunkan harga sembako. Dan sebagainya.
Pengamat ekonomi
politik Salamuddin Daeng menilai, satu pilar ekonomi pemerintahan Jokowi sudah
roboh, yakni sumber pembiayaan negara dan pemerintahan. Penyebabnya adalah
penerimaan negara dari pajak dan non pajak yang jatuh semakin dalam
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. APBN gagal mencapai target. Pajak seret,
sementara sumber daya alam sudah ada di tangan asing.
Sektor keuangan secara
keseluruhan pada era pemerintahan Jokowi menghadapi masalah yang sangat serius.
Mengapa? Ini dikarenakan utang pemerintah dan swasta yang semakin besar baik
dari dalam negeri maupun luar negeri.
Walhasil, saat ini
rakyat dibebani kenaikan harga yang tinggi, termasuk kenaikan tarif listrik 140
persen bagi pelanggan rumah tangga 900 VA pada 1 Juli 2016, dan dibebani beban
utang yang berkepanjangan. Ketika utang negara naik, bukankah nanti rakyat yang
akan membayarnya?
Dan kenaikan
harga-harga ini biasanya akan berdampak panjang. Sangat sulit untuk turun lagi.
Inilah yang akan mengakibatkan beban rakyat bertambah. Tidak hanya pada masa
sekarang tapi juga berikutnya dengan beban utang yang harus dibayar penduduk
negeri.
Berpangkal
pada Liberalisme
Situasi ekonomi
Indonesia tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi liberal. Neoliberalisme
yang diambil sebagai prinsip kebijakan negara dalam mengatur urusan masyarakat
ini hanya menguntungkan pihak tertentu yakni para pemilik modal alias kapitalis
saja. Dan itu jumlahnya sangat sedikit.
Sementara rakyat hanya
menjadi pelengkap penderita. Rakyat menjadi obyek eksploitasi mereka. Mereka
ibarat tikus yang sengsara di lumbung padi. Tak bisa hidup enak di tengah
jumlah makanan yang berlimpah.
Ini terjadi karena
sang pengatur rumah justru memberikannya kepada tamu asing dan sekelompok orang
tertentu yang sudah membiayai dirinya untuk sampai kepada kekuasaan. Siapa
mereka? Mereka adalah Asing dan Aseng, sementara para penguasa itu adalah
Asong, yang menjual kekuasaannya kepada asing dan aseng tersebut.
Padahal, sistem
neoliberalisme ini sendiri adalah sistem yang batil. Di Barat sistem ini
terbukti kerusakannya. Sekarang mulai digugat oleh rakyat mereka sendiri.
Beberapa negara Barat sudah menyatakan bangkrut akibat kapitalisme-liberalisme
ini. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengeluarkan pernyataan
bahwa liberalisme telah gagal.
Tapi anehnya,
Indonesia justru memegang erat sistem bukan-Islam ini dan membelanya
mati-matian. Maka, mempertahankan sistem ini sudah pasti dapat dibaca arahnya.
Kehancuran ekonomi! Ngeri! Kalau sudah
begitu, Barat -sebagai pengarahnya- pasti akan lepas tangan.
Oleh karena itu, sikap
yang cerdas adalah meninggalkan sistem ini dan membuangnya jauh-jauh. Bukankah
ada sistem yang lebih baik? Ya, itulah sistem Islam. Dengan itu, negeri ini
akan mendapat keberkahan dari Allah SWT. Bukankah itu yang kita harapkan? []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar