Mereka
Bicara
Ekonomi
Di Masa Jokowi
Hatta
Taliwang, Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta:
Dikuasai
Asing, Aseng, dan Asong
Sekarang ini hampir
semuanya dikuasain asing dan aseng. Dari sektor ritel, properti seluruh kota
besar di Indonesia, semua dikendalikan oleh orang-orang Cina. Perbankan oleh
Cina dan Barat. Jadi mereka (asing) itu punya mesin penyedot di Indonesia ini,
atau saya sebut vacum cleaner. Mereka
kerjanya nyedot, sampai akhirnya kita pribumi hanya dapat segelintir saja
sebagai asongnya itu. Asong inilah yang membuat aturan agar asing dan aseng
menjajah kita secara ekonomi.
Jadi kalau dalam
terminologi aktivis kan ada asing, aseng, dan asong yang menyedot kita. Tapi
supaya jangan jadi salah tafsir, gak semua aseng itu jahat, yang jahat itu yang
nipu-nipu bank itu, yang main di sektor
perkebunan. Itu kerjanya nyedot terus itu. Ya aseng yang baik juga banyak. Cuma
yang jahatnya aseng ini saling terkait. Mereka saling memonopoli bisnis. Jadi
bisnis strategis itu mereka kuasai, contoh seperti aseng menguasai perusahaan
tepung. Nah, cabang-cabangnya di Jawa Barat itu aseng juga akhirnya yang
megang. Rantai-rantai itu mereka pegang, sehingga kaum pribumi kita ini tidak
kebagian hanya mendapatkan remah-remah saja.
Jadi rakyat-rakyat
kita itu hanya kerja-kerja yang kecil saja. Kita dikepung oleh jaringan aseng.
Di satu sisi juga jaringan bisnis besarnya dikuasai kelompok asing. Bahkan
makanan-makanan kecil yang dulu dijual rakyat kita seperti di kios-kios
sekarang terpelanting semua. Karena rakyat asli tidak mampu bersaing. Mereka
tergusur oleh waralaba-waralaba besar. Bahkan mereka pun sudah mulai menjual
makanan-makanan yang dijual oleh pribumi kita.
Nah di situlah
seharusnya negara, kalau negaranya masih ada, berperan melindungi. Akan tetapi
kan negara kita ini kan negara liberal, super liberal, sehingga terjadi
kesenjangan yang makin tajam antara si kaya dan si miskin. Yang kaya makin kaya
dengan mesin penyedotnya itu, dan yang miskin semakin kere.
Iya, Indonesia secara
ekonomi sudah dijajah oleh asing dan aseng. Bahkan mereka tinggal sejengkal
lagi dengan ambisinya untuk menguasai sektor politik, walaupun sebenarnya
sebelum itu pun mereka sudah lama bermain politik. Dengan uangnya mereka dengan
mudah mengontrol partai-partai politik.
Ichsanuddin
Noersy, Pengamat Ekonomi Politik:
Pembangunan
Salah Konsep
Faktor internal kita
tidak kuat dalam nilai tukar. Tiap tahun nilai tukar kita selalu berfluktuasi
yang mengakibatkan kestabilan harga terganggu.
Faktor eksternal,
gerak ekonomi yang pro Amerika dan Cina dan sekutunya masih terus berlanjut.
Amerika yang kelihatannya pulih, secara struktural rentan. Itu disangsikan oleh
ketidakstabilan yang tinggi, indikasinya bagaimana Amerika tetap meminta Cina untuk
mematuhi apa yang mereka kehendaki.
Nah berikutnya, Uni Eropa ini masih kritis,
pada saat yang sama pula Amerika juga kritis, karena ekonomi mereka
dibayang-bayangi dengan situasi ekonomi dunia yang belum jelas arahnya ke mana.
Nah dampaknya terlihat dari turunnya ekspor dan impor Indonesia, akibatnya
nilai tukar ambruk, perdagangan tidak membaik, meningkatnya utang luar negeri.
Sebetulnya, itulah
gambaran yang menunjukkan bahwa konsep pembangunan yang dipakai oleh Indonesia
itu salah. Konsep apa yang dipakai Indonesia yaitu konsep neoliberal.
Contoh neoliberal
adalah seperti menerapkan konsep kebebasan tenaga kerja, kebebasan perdagangan,
utang luar negeri yang luar biasa, swasta yang berperan habis-habisan dalam
penyediaan hajat hidup orang banyak.
Ya Pak Jokowi ini
sudah diingatkan bahwa tidak mungkin konsep neoliberal ini bisa bertopi
nawacita, malah akan semakin ugal-ugalan.
Padahal di Eropa ini
sudah ada kesadaran baru bahwa konsep neoliberal itu gagal. Akan tetapi
Indonesia ini bukannya mencermati kegagalan neoliberal itu, malah melajutkan
kegagalan tersebut.
Arim
Nasim, Pengamat Ekonomi Syariah:
Rezim
Layani Kapitalis
Jokowi bisa menjadi
presiden atau terpilih atas dukungan para kapitalis (konglomerat) sehingga
kebijakan ekonomi dan politiknya jelas bukan untuk melayani kepentingan rakyat
tapi melayani kepentingan kapitalis.
Dan sistem yang
diterapkan dan dilaksanakan semakin kapitalis dibandingkan dengan rezim-rezim
sebelumnya. Contoh yang nyata adalah penghapusan subsidi BBM, peningkatan
investasi asing, penambahan utang luar negeri, peningkatan impor. Bahkan bukan
hanya barang tapi orangnya impor dari mulai tenaga kasar seperti buruh sampai
tenaga profesional. Jadi rezim iokowi ini sepenuhnya mengabdi kepada
kepentingan asing dan kapitalis sehingga ekonomi makin tidak terkendali.
Maka tidak ada solusi
lain selain diganti, baik orangnya maupun sistemnya. Dan Islam sudah siap untuk
itu.
Said
Iqbal, Presiden Komite Serikat Pekerja Indonesia:
Buruh
Sangat Menderita
Buruh Jakarta mendesak
gubernur DKI untuk mengambil langkah-langkah menstabilkan harga daging, telur,
minyak goreng, ayam, dan bahan pokok lainnya yang mahal sekali dan memberatkan
buruh. Upah buruh DKI lebih kecil dibanding Bekasi dan Karawang. Dengan UMP DKI
Rp3,1 juta sangat mustahil buruh dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya saat Ramadhan dan Lebaran dengan harga yang mencekik leher. Di mana
dari UMP tersebut yang sudah pasti dikeluarkan untuk transport Rp700 ribu
ratusan, kontrak rumah Rp800 ribu/bulan, sisanya untuk biaya sekolah anak, air
bersih, jalan anak, pulsa, listrik, dll.
Jadi apa mungkin sisa
gaji tersebut cukup untuk biaya makan sehari-hari dengan harga bahan pokok
seperti sekarang ini? Buruh bertanya di mana gubernur Ahok? Kenapa kalau
menggusur rakyat kecil dan membuat reklamasi pantai untuk orang kaya cepat
sekali? Kebijakan upah murah yang dibarter dengan CSR menyesakkan buruh, belum
lagi saat H-7 buruh menerima THR satu bulan upah. Apakah gubernur Ahok
mengetahui hanya dalam 1 minggu THR akan habis karena harus membiayai pulang
kampung?
Paling-paling buruh
hanya mampu membeli 1 kg daging. Dan 60 persen dari total buruh DKI adalah outsourcing dan kontrak yang kebanyakan masa
kerja 1 bulan dengan hanya menerima THR 15 persen dari gajinya. Bisa dipastikan
mereka tidak bisa membeli daging, ayam, dan telur yang mahal tersebut. Buruh
meminta gubernur untuk melakukan operasi pasar, harus berani berantas mafia
pangan, jadikan DKI sebagai contoh daerah yang bisa menstabilkan harga pangan
karena APBD nya besar.
Bila Ahok tidak mampu
menstabilkan harga bahan pokok di Jakarta, jangan hanya menyalahkan pemerintah
pusat, sebaiknya Ahok membuka “topengnya" yang hanya melindungi
kepentingan para pemodal besar dan hanya memberikan “sedikit remeh temeh“
gula-gula buat rakyat kecil.
Ibu
Hayati, Masyarakat:
Sesakkan
Dada
Terakhir ke pasar,
harga-harga melambung tinggi sekali. Saya saja menjadi berpikir ulang kalau
ingin membeli daging sapi yang harganya tinggi sekali, karena kami juga punya
kebutuhan keluarga yang lain. Tentu kenaikan ini sungguh menyesakkan dada.
Tapi yang saya
bingung, hal semacam ini sepertinya terus berulang. Saya bertanya kenapa
pemerintah justru terkesan diam, ini yang berat, padahal pemerintah lah yang
seharusnya mengayomi masyarakatnya jauh dari kezaliman.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar