Khilafah
Selamatkan Indonesia
Tak satupun masalah
yang kini mendera negeri Muslim terbesar di dunia ini disebabkan karena
penerapan hukum Islam. Justru sebaliknya, persoalan itu muncul karena penerapan
sistem kapitalisme-liberalisme-sekulerisme-demokrasi oleh negara.
Anehnya, begitu Islam
rnenyodorkan berbagai gagasan fundamental, justru dicap sebagai ancaman negara.
Dalihnya bermacam-macam, kebhinekaan lah, pluralitas lah, dsb. lntinya, asal
bukan Islam.
Dan telah terbukti,
sudah tujuh kali rezim berganti, negeri ini tak pernah beranjak dari
keterpurukannya. Berarti ini bukan soal rezim semata. Ada permasalahan mendasar
yang ditutup-tutupi yakni masalah ideologi. Ini menyangkut sistem. Sistem
kapitalisme-sekulerisme-liberalisme gagal membawa kebaikan.
Maka, menurut Ketua
Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman, solusi bagi negeri ini hanya satu
yakni penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.Tidak ada lain.
Ia menjelaskan, Islam
yang diterapkan dalam negara khilafah akan mampu mengatasi berbagai persoalan
yang mendera negeri ini. Negara khilafah akan menjaga agama, darah, harta,
jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk setiap jengkal wilayahnya.
"Karena itu, tak
ada satupun pelanggaran yang dilakukan terhadap agama, darah, harta, jiwa,
akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk wilayah, kecuali pasti akan
ditindak oleh khilafah," tandasnya.
Secara ekonomi,
jelasnya, Islam memiliki pengaturan terhadap kekayaan. Pertama, kekayaan milik
pribadi. Kedua, kekayaan milik umum. Ketiga, kekayaan milik negara. Seluruh
kekayaan ini, menurutnya, akan dijaga oleh negara, dan apapun bentuk
pelanggaran terhadap kekayaan ini tidak akan dibiarkan.
Ia kemudian
menjelaskan bagaimana cara khilafah menjaga kekayaan ini. Caranya adalah dengan
menerapkan sistem Islam, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang
yang lain. Di bidang ekonomi, Islam menetapkan bahwa hukum asal kekayaan adalah
milik Allah yang dikuasakan kepada manusia. Manusia mendapatkan kuasa, dengan
cara menerapkan hukum-Nya. Dari sana, lahir hukum tentang kepemilikan. Karena
itu, kepemilikan didefinisikan sebagai "izin pembuat syariat
(Allah)". Dengan izin pembuat syariat, seseorang bisa memiliki kekayaan,
baik secara pribadi, bersama-sama, maupun melalui perantara negara, jika
terkait dengan kekayaan milik negara. "Dengan cara seperti itu, maka
seluruh kekayaan kaum Muslim tidak akan bisa dimiliki oleh siapapun, kecuali
dengan izin pembuat syariat," jelasnya.
Menurutnya, dengan
cara yang sama, kekayaan milik pribadi tidak akan bisa dinasionalisasi, kecuali
dengan izin pembuat syariat. Begitu juga, kekayaan milik umum tidak akan bisa
diprivatisasi, karena tidak adanya izin dari pembuat syariat. Begitu pula, kekayaan
milik negara bisa diberikan kepada individu juga karena adanya izin dari
pembuat syariat, yang diberikan kepada khalifah, melalui mekanisme
iqtha'(pemberian), dan lain-lain.
Untuk menjaga negara
dari intervensi asing, jelas Hafidz, negara akan menutup rapat-rapat pintu
investasi asing dan utang luar negeri. Hubungan dengan luar negeri didasarkan
ketentuan syariat dan harus melalui satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.
Bersama dengan itu,
negara merombak sistem penyusunan APBN-nya. Tidak lagi berdasarkan sistem
arahan Barat tapi dengan sistem APBN khilafah. "Dengan begitu, semua celah
utang ini bisa ditutup rapat-rapat, kecuali dalam satu kondisi darurat,"
tandasnya.
Dengan sistem ekonomi
Islam ini, tandasnya, kekayaan negara tidak akan mengalir keluar sehingga
kekayaan umat ini akan terjaga. Lebih dari itu, apa yang ada di tangan asing
pun bisa dikembalikan. Bila demikian adanya, kekayaan alam milik umum ini bisa
digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
Di lain sisi, celah
intervensi asing melalui perundang-undangan pun ditutup. Soalnya, hak tabanni
hukum hanya pada khalifah dan itupun hanya mengambil hukum-hukum Allah saja.
Tidak yang lain. Majelis Umat -mirip DPR dalam sistem demokrasi- tidak berhak membuat
hukum tapi hanya berfungsi pengawasan saja.
Kepada masyarakat,
jelasnya, negara melakukan edukasi tentang Islam secara menyeluruh melalui
pendidikan dan sarana lainnya termasuk media massa. Negara membentuk masyarakat
agar menjadi orang yang bertakwa dalam arti sebenarnya.
Kondisi ketakwaan
itupun akan didukung dengan berbagai fasilitas negara bagi rakyat berupa
jaminan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan serta keamanan,
pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak akan membiarkan rakyatnya kelaparan
atau miskin sehingga harus menjual diri.
Negara juga menutup
pintu maksiat sampai sekecil-kecilnya. Bersamaan dengan itu, negara menerapkan
sistem hukum Islam secara ketat tanpa pandang bulu.
Dengan sistem
khilafah, negara akan mempunyai ketahanan ideologi yang mampu mencegah segala
bentuk neoimperialisme. Ketahanan ideologi Islam itu terwujud dalam bentuk
keterikatan negara dan masyarakat dengan ideologi Islam, yaitu akidah dan
syariah Islam. Maka, jika ada ideologi atau sistem atau peraturan atau program
atau apapun yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam, yang hendak
disusupkan atau dilaksanakan di negara khilafah, jelas ia akan tertolak dengan
sendirinya.
Menurut pengasuh
rubrik Ustadz Menjawab, Shiddiq Al Jawi, ketahanan ideologi Islam ini tidak
dimiliki oleh negara demokrasi-sekuler saat ini, karena ideologinya sama saja
dengan ideologi negara-negara Barat yang imperialis. "Kesamaan ideologi
inilah yang dapat menjelaskan mengapa neoimperialisme dari Barat dapat berjalan
mulus di lndonesia," paparnya. []
Khilafah
Fardhun Dan Wa’dullah
Khilafah Islam, secara
qath'i, pernah berdiri. Khilafah adalah
satu-satunya bentuk negara dan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi
Muhammad Saw. Nabilah yang mendirikan negara Islam yang pertama di Madinah
(awalnya sebatas Madinah), dengan bentuk dan sistemnya yang khas. Bentuk dan
sistemnya yang khas inipun kemudian diwariskan kepada para sahabat ridhwanullah
'alaihim. Inilah Negara Khilafah.
Khilafah adalah sistem
pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam. Di dalam sistem
khilafah ini, Khalifah diangkat melalui bai'at berdasarkan kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah
dan Ijmak Sahabat.
As-Syaikh Dr. Wahbah
Zuhaili mengatakan: “Mayoritas ulama Islam yaitu ulama Ahlussunnah, Murjiah,
Syiah, dan Mu'tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan Khawarij kecuali
Sekte an-Najdat berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib
atau suatu kefardhuan yang pasti. ” (Lihat: Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-lslami wa Adillatuhu, Juz
VIII/272).
Khilafah adalah wa'dullah (janji Allah). Ini seperti yang
tertuang dalam QS. an-Nur [24]: 55. Juga sabda Nabi SAW: “Kenabian ada di
tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah akan tetap ada, kemudian Dia akan
mengangkatnya jika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang
mengikuti manhaj kenabian, dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian
Dia akan mengangkatnya jika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
kekuasaan yang zalim, dan akan terus ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia
akan mengangkatnya jika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan
diktator, dan akan terus ada sesuai kehendak Allah, kemudian Dia akan
mengangkatnya jika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah
rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian,” kemudian beliau diam. " (HR.
Ahmad). []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 157, September 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar