Menutup
Aurat
Menutup aurat
merupakan syarat sah dan diterimanya shalat. Allah ‘azza wa jalla tidak menerima shalat seorang Muslim yang
dilakukan dalam keadaan membuka auratnya, baik ia laki-laki ataupun perempuan,
baik kondisinya shalat di depan manusia ataupun menyendiri. Dengan demikian,
maka si mushalli harus menutup auratnya
dalam shalat. Allah Swt. berfirman:
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.” (TQS. al-A'raf [7]: 31)
Ibnu Abbas ra.
menyebutkan sebab turunnya ayat ini. Ia berkata:
“Adalah wanita jika
bertawaf mengelilingi Baitullah, ia
mengeluarkan dadanya dan aurat yang ada padanya, lalu Allah ta'ala menurunkan ayat: Pakailah pakaianmu
yang indah di setiap (memasuki) masjid…” (HR. Baihaqi)
Zinah (pakaian yang indah) yang diperintahkan
dalam ayat ini adalah pakaian dan (sesuatu yang digunakan) untuk menutup aurat.
Ibnu Umar ra. dari Nabi Saw., Beliau Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian melakukan shalat maka hendaklah ia memakai izar (kain penutup setengah bagian tubuhnya dari bawah), dan
memakai baju.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad, al-Baihaqi, dan at-Thahawi)
Dari Aisyah ra. dari
Nabi Saw., Beliau Saw. bersabda:
“Allah tidak menerima
shalat seseorang yang telah haid kecuali dengan memakai khimar (kain penutup
kepala).” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Muhammad bin Sirin
meriwayatkan:
“Bahwa Aisyah ra.
berkunjung ke Shafiyah, ibunda salah seorang (bernama) Thalhah dari beberapa
Thalhah, lalu beliau melihat anak-anak Ummu Shafiyah sedang shalat tanpa
menggunakan penutup kepala padahal mereka telah haid. Lalu Aisyah berkata:
“Pembantu wanita di antara mereka tidak boleh shalat kecuali dengan
(menggunakan) khimar. Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah berkunjung ke rumahku
dan pada saat itu di rumahku ada seorang pembantu wanita, lalu beliau
melemparkan sarungnya kepadaku seraya bersabda: Pisahkanlah antara pembantu
wanita ini dengan remaja wanita yang ada di ruangan Ummi Salamah, karena aku
tidak melihat pembantu wanita ini kecuali ia telah haid, atau aku tidak melihat
keduanya melainkan keduanya itu telah mengalami haid.” (HR. Ahmad)
Ucapan Aisyah: mereka sedang shalat tanpa menggunakan khimar,
yakni sedang shalat tanpa menggunakan tutup kepala. Al-Haqwa: yakni sarung. Dan dari Abu Qatadah ra. ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Allah tidak menerima
shalat seorang wanita hingga ia menyembunyikan perhiasannya dan (tidak
menerima) shalat seorang jariyah yang
telah baligh hingga ia memakai tutup kepala.” (HR. Thabrani)
Dari Ummu Salamah ra.:
“Sesungguhnya Ummu
Salamah telah bertanya kepada Nabi Saw.: ‘Apakah seorang wanita boleh shalat
hanya dengan mengenakan blus dan penutup kepala tanpa memakai kain sarung
(penutup setengah bagian tubuhnya ke bawah)?' Beliau Saw. bersabda: “(Boleh)
jika blusnya menjulur sehingga bisa menutupi punggung kedua kakinya.” (HR. Abu
Dawud dan al-Hakim)
Nash-nash ini
menjelaskan bahwa ketika melaksanakan shalat, seorang wanita harus menutupi
seluruh tubuhnya, mulai dari kepala hingga dua kakinya dengan adanya ungkapan
al-khimar (kain penutup kepala) dalam hadits Ibnu Majah dan hadits Ahmad, hatta takhtamira (hingga ia memakai tutup
kepala) dalam hadits at-Thabrani, dan ungkapan dhuhuru
qadamaiha (punggung kedua kakinya) dalam hadits Abu Dawud dan al-Hakim.
Tidak ada bagian yang dikecualikan dari menutup aurat, kecuali muka dan dua
telapak tangan saja, berdasarkan pada firman Allah Swt.:
“Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (TQS.
an-Nur [24]: 31)
Maka firman Allah
Swt.: “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” menjadi satu pengecualian,
yang telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Aisyah, dan Abdullah bin Umar ra.
sebagai wajah dan dua telapak tangan.
Dalam menutup aurat
disyaratkan agar memakai pakaian yang tebal, yang menutupi warna kulit yang ada
di balik kain tersebut, sehingga tidak dibolehkan memakai pakaian yang tipis
dan transparan. Dari Usamah bin Zaid ra. ia berkata:
“…Rasulullah Saw.
bertanya kepadaku: “Mengapa engkau tidak memakai kain tipis yang biasa dipakai
oleh bangsa Qibthi?” Aku berkata: ‘Aku gunakan untuk menutupi tubuh isteriku.’
Beliau Saw. bersabda: “Suruhlah isterimu agar di baliknya dia memakai pakaian dalam,
karena aku khawatir dia akan menceritakan bentuk tubuhnya.” (HR. Ahmad)
Adapun aurat laki-laki
adalah bagian tubuh (yang terletak) antara pusar hingga dua lutut. Pusar dan
dua lutut itu sendiri bukan termasuk aurat, akan tetapi sikap yang lebih
hati-hati adalah menutup pusar. Ini karena sedemikian kecilnya pusar ketika
seseorang melihatnya, sehingga bisa saja mengalihkan pandangannya pada sesuatu
yang ada di bawahnya yang bisa menyebabkannya jatuh pada sesuatu yang
diharamkan. Dari Abu Ayub ra. ia berkata:
“Aku mendengar Nabi
Saw. bersabda: “Apa yang ada di atas dua lutut adalah termasuk aurat, dan apa
yang ada di bawah pusar adalah termasuk aurat.” (HR. ad-Daruquthni)
Dan dari Amr bin
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian menikahkan hamba laki-lakinya kepada hamba perempuannya atau
buruhnya maka janganlah si hamba perempuan ini melihat sesuatu yang termasuk
aurat laki-laki itu, karena apa yang ada di bawah pusar hingga lututnya (hamba
laki-laki) termasuk aurat.” (HR. ad-Daruquthni)
Mengenai dua paha,
maka keduanya termasuk aurat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muhammad bin
Jahsy, ia berkata:
“Nabi Saw. dan aku
melewati Ma'mar, sedangkan kedua paha Ma’mar terbuka. Maka Beliau Saw.
bersabda: “Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu, karena kedua paha itu adalah
aurat.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Dari Jarhad:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melihatnya, sedangkan pahanya terbuka di masjid dan dia sedang memakai
selendang. Lalu Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya paha itu termasuk aurat.”
(HR. al-Hakim dan beliau menshahihkannya)
Imam Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dan meng-hasan-kannya. Dan Ahmad meriwayatkan hadits
ini pula dengan redaksi yang hampir sama. Dari Ibnu Abbas ra. bahwsanya Nabi
Saw. bersabda: “Paha itu adalah aurat.” (HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi). Imam
Bukhari menyebutkan hadits ini secara mu’allaq,
yakni tanpa sanad.
Adapun dalil yang
digunakan sebagai argumentasi oleh sebagian mereka yang mengatakan bahwa paha
bukanlah aurat, dan aurat menurut mereka hanyalah kemaluan dan lubang dubur
saja, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari jalur Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
pernah duduk dan pahanya dalam keadaan terbuka. Kemudian Abu Bakar meminta
idzin, Nabi mengizinkan sedang ia tetap dalam keadaan (seperti) itu. Kemudian
Umar meminta izin, Nabi mengizinkan, dan ia tetap dalam keadaannya itu. Kemudian
Utsman meminta izin, lalu Nabi menurunkan pakaiannya. Maka tatkala mereka telah
pergi, aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar minta izin, lalu
keduanya engkau izinkan, sedangkan engkau tetap dalam keadaanmu, tetapi tatkala
Utsman meminta izin, engkau malah menurunkan pakaianmu.' Nabi menjawab: “Ya
Aisyah, apakah aku tidak malu terhadap seorang laki-laki yang demi Allah
sesungguhnya malaikat pun malu kepadanya.” (HR. Ahmad)
Untuk membantahnya
kami katakan bahwa ini adalah perbuatan Nabi Saw., sedangkan hadits-hadits
sebelumnya adalah perkataan dan perintah Nabi Saw., di mana perkataan dan
perintah itu lebih kuat daripada beristidlal
pada perbuatan. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. sedang berbaring di rumahku dalam keadaan membuka kedua pahanya atau kedua
betisnya, lalu Abu Bakar meminta izin...”
Dalam redaksi ini ada
keraguan antara dua paha dan dua betis, dan dua betis itu bukanlah termasuk
aurat. Dengan mencermati kondisi tersebut menjadikan hadits ini menjadi hadits muhtamal, sehingga dengan adanya ihtimal (probabilitas) maka gugurlah istidlal (penarikan kesimpulan). Hadits yang
senada dengan ini berjumlah sedikit, terutama apa yang diriwayatkan oleh Anas
ra. bahwa Rasulullah Saw. berangkat ke medan Perang Khaibar, hingga dia
berkata:
“…Lalu jatuhlah kain
dari dua paha Nabi Saw., hingga sungguh aku melihat putihnya dua paha
Nabiyullah Saw.” (HR. Ahmad)
Imam Bukhari
meriwayatkan hadits ini dengan ungkapkan: “husira
al-izar”, dan hadits ini menceritakan perbuatan Nabi Saw., bukan
perkataan dan perintah, sehingga hadits-hadits sebelumnya menjadi dalil yang
lebih kuat untuk dijadikan sandaran.
Dari aspek kedua bisa
ditarik kesimpulan bahwa jika perintah Rasulullah Saw. bertolak belakang dengan
perbuatannya, maka perbuatan Rasulullah Saw. ini dipahami sebagai suatu
kekhususan untuk Beliau Saw., dan ucapan beliau tetap diberlakukan dan wajib
diikuti sebagaimana terjadi dalam kasus ini. Sehingga kesimpulannya adalah
menjadi suatu kewajiban atas mushalli
(orang yang shalat) untuk menutup (aurat) yang ada di antara pusar hingga dua
lututnya ketika dia melaksanakan shalat, jika dia laki-laki, dan menutup
seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, jika dia perempuan.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar