Dewasa ini, budaya
selebritas telah melanda dunia dakwah. Sosok-sosok populer dari kalangan
selebritas kini laris dalam kajian-kajian keislaman. Meski untuk itu panitia
harus menyiapkan bayaran tak murah. Mereka rela demi kesuksesan acaranya. Demi
mendatangkan massa. Kenapa? Karena masyarakat sudah terinfeksi virus celebrity culture. Budaya ngartis.
Lihat saja, jika acara
itu pembicaranya bukan orang terkenal, minim peserta. Sebaliknya, jika
mendatangkan artis ternama, pesertanya membludak. Apakah murni untuk menyerap
ilmu Islam? Bukan. Pastinya karena senang bisa bertemu idola. Itu kebanggaan
luar biasa bagi orang kebanyakan. Bagi fans atau follower.
Nah, para
ustadz-ustadzah seleb ini ada yang lahir instan. Artinya, belum menguasai ilmu
Islam secara kaffah dan mumpuni, sudah diorbitkan ceramah sana-sini. Meski, ada
pula yang memang berlatar belakang ilmu Islam, dan kebetulan punya penampilan
lumayan. Ya, ustadz-ustadzah seleb ini biasanya memiliki tampilan fisik di atas
rata-rata. Cakep/cantik dan camera face. Pokoknya marketable alias berdaya jual
tinggi.
Ciri lainnya, punya
manajer khusus yang mengurus dakwahnya dengan embel-embel tarif, plus
permintaan eksklusif saat dakwah. Misal, minta tiket pesawat bisnislah,
penginapan hotel bintang sekian, membawa sejumlah besar tim, pakaian dari
desainer kondang, dll. Cenderung menyampaikan tema sesuai selera pasar.
Ustadz-ustadzah seleb
ini juga cenderung butuh penonton yang membludak, kostum mentereng, jika perlu
disertai nyanyi/puisi atau akting, ceramah mengutamakan entertaiment, yakni
bagaimana agar membuat jamaah tertawa dan terhibur. Mereka butuh media resmi seperti
televisi maupun media sosial untuk mendongkrak popularitas.
Mereka juga tak
keberatan menjadi bintang iklan atau mempromosikan produk-produk merek terkenal
yang cenderung mahal. Dikelilingi fans dan bukan dikerumuni orang-orang shalih.
Mereka aktif mengunggah kegiatan pribadi, yang tidak ada hubungannya dengan dakwah.
Demi menyenangkan para fans. Biar tetap eksis.
Ustadz
Sejati
Orang memang tidak
boleh bersu'udzan bahwa semua
ustadz-ustadzah seleb itu tidak ikhlas dan berdakwah demi materi atau
ketenaran. Karena, niat dan motivasi, hanya dia dan Allah SWT yang tahu. Tentu
orang berharap, para ustadz-ustadzah seleb kelak benar-benar mengubah citranya
sebagai ikon ustadz-ustadzah sejati. Yakni, dengan meninggalkan dunia
selebritas sama sekali dan mencelupkan diri dalam dunia dakwah seutuhnya.
Seratus persen. Mau jadi ustadz atau artis, pilih yang tegas.
Menjadi
ustadz-ustadzah sejati. Yakni, mereka yang berdakwah tanpa memikirkan tarif.
Bahkan diberi kesempatan berbicara saja sudah bersyukur. Ikhlas lillahi ta'ala. Tidak takut risiko,
menyampaikan dengan tegas halal dan haram. Tidak mengikuti tema sesuai selera
pasar, tapi punya target khusus untuk mengubah pemikiran dan kepribadian umat.
Tidak terlalu
memperhatikan penampilan, dalam arti tampil sederhana apa adanya dan bersahaja.
Tidak disetting dengan kostum khusus, make up dan pernak-perniknya. Tidak peduli
seberapa banyak jumlah penonton, tapi butuh pendengar yang ikhlas.
Cenderung takut
terkenal sehingga tidak begitu mementingkan eksistensi, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya. Lebih banyak ditemani orang shalih dan ikhlas. Bersikap
wara', bahkan terhadap hal-hal mubah. Sosok seperti inilah yang seharusnya
menjadi panutan. Layak dijadikan teladan dan didengar tausiyahnya.
Haus
Agama
Sejatinya, antusiasme
masyarakat terhadap ustadz-ustadzah seleb ini di satu sisi menggembirakan. Itu
pertanda tingginya animo masyarakat terhadap kajian agama. Haus ilmu. Apalagi
menghadiri kajian keislaman dewasa ini telah menjadi bagian hidup masyarakat
modern. Terutama kaum ibu.
Saat usia mulai 40
tahun ke atas, ketika anak-anak mulai besar, mereka pun aktif di majelis
taklim-majelis taklim di lingkungannya. Selain untuk aktualisasi,
bersilaturahim, juga menambah tsaqafah Islam. Sebab, konon pada usia itulah
manusia sampai pada titik, lebih memikirkan ukhrawi dibanding duniawi.
Tapi, jamaah pengajian
ini umumnya lebih rajin menghadiri kajian keislaman jika pembicaranya
ustadz-ustadzah seleb yang kerap nongol di televisi. Mereka bahkan tak hanya
berniat menyimak tausiyahnya, tapi sekaligus bertemu idola. Syukur-syukur bisa
ikut tampil di layar kaca.
Padahal, betapa
dahsyat efeknya jika jamaah ini menyimak kajian islam kaffah dari
ustadz-ustadzah yang punya kapabilitas tinggi. Di sinilah peluang dakwah bagi
para pengemban Islam ideologis. Peluang besar untuk mengubah kondisi masyarakat
agar Islami. Jangan sampai kalah semangat oleh ustadz-ustadzah seleb. Apalagi
kalah ilmu.
Panutan
Umat
Dulu, orang yang
disebut ustadz itu adalah lulusan pesantren, perguruan Islam, menguasai kitab
kuning dan sejenisnya. Bahkan dalam bahasa Persia atau Arab, ustadz itu merujuk
pada guru besar atau bahkan profesor. Artinya, memang tidak sembarang orang layak
menyandangnya. Tetapi, melalui kualifikasi yang sangat rigid.
Namun, penyematan
istilah ustadz atau ustadzah dewasa ini memang longgar. Siapa saja yang
berdakwah, menyampaikan tausiyah atau nasihat Islam, langsung disebut ustadz
atau ustadzah. Sebagai sebuah sebutan, tak masalah, asalkan memang dia
benar-benar menguasai Islam. Juga, menampilkan kepribadian yang benar-benar
Islami.
Dan terpenting,
menyadari betul tugas ustadz-ustadzah adalah mempengaruhi umat dan membentuk
opini umum agar bergaya hidup Islami. Bukan sekadar menjadi penghibur. Apalagi
turut mengenalkan gaya hidup populer yang cenderung hedonis dan mengikuti
selera pasar. Lebih parah lagi jika hanya melanggengkan eksistensi budaya
ngartis.
Maka, jangan sampai
budaya ngartis melanda pejuang Islam. Kini banyak pejuang syariah dan khilafah
yang (menuju) populer. Terlebih di era digital dan media sosial yang
memfasilitasi kepopuleran. Setiap diri bisa menjelma menjadi selebriti.
Akan banyak sorotan
terhadap segala aktivitas dan statusnya. Semoga tetap menjaga hati dan lurus
dalam dakwah. Karena, mengemban tugas dakwah berarti menempatkan diri dalam
posisi sebagai panutan umat. Tanggung jawabnya besar. Bukan hanya dirinya, tapi
atas apa yang terjadi di dalam diri umat. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 174, Mei-Juni 2016
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar