Serangan
Paris, Muluskan Solusi Suriah ala Barat
Serangan angkatan
udara Prancis minggu malam (15/11/2015), dua hari setelah “serangan” Paris,
makin menguatkan dugaan ada kemungkinan skenario yang mirip dengan “serangan”
terhadap WTC di New York. Saat itu, Amerika Serikat menjadikan serangan WTC
untuk memperkuat kebijakan luar negerinya, atas nama perang melawan terorisme
menduduki Afghanistan dan mengintervensi negara lain.
Serangan Paris inipun
digunakan negara-negara Barat termasuk Prancis untuk memperkuat legitimasi
membombardir Suriah dengan alasan perang melawan ISIS. Serangan terhadap Suriah
dianggap serangan balasan terhadap lSIS yang (katanya) menewaskan 132 orang di
Paris. Seperti yang disampaikan Menlu Prancis di sela-sela pertemuan G20 di
Turki, serangan ke Kota Raqqa yang diklaim sebagai basis ISIS adalah sesuatu
yang lumrah.
”Mengingat Prancis
tidak hanya diancam, tapi juga diserang Daesh (akronim untuk ISIS), lumrah
baginya (Prancis) untuk melangkah maju. Dalam konteks pertahanan diri, perlu
bagi Prancis untuk mengambil aksi. Kami telah melakukannya pada masa lalu, dan
kami melakukannya hari ini lantaran Raqqa adalah pusat komando Daesh. Kami
tidak bisa berdiam diri saat diserang, seperti yang Anda lihat dalam tragedi di
Paris,” ujar Fabius kepada BBC London (16/11/2015).
Dalam serangan ini,
angkatan udara Prancis mengerahkan 12 pesawat termasuk 10 pesawat tempur.
Dilaporkan pihak Perancis, serangan ini menyasar sejumlah target seperti pusat
komando, depot amunisi, dan kamp pelatihan milisi. Gempuran ini seperti yang
disebut Kementerian Pertahanan Prancis merupakan yang terbesar sejak Prancis
memperpanjang masa pengeboman dengan alasan memerangi kelompok eksterimis pada
September yang lalu.
Tentu bukanlah suatu
kebetulan, kalau serangan Paris yang terjadi pada Jum’at malam (13/11/2015),
bersamaan dengan dua hajatan besar Barat, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20
di Antalya Turki dan pertemuan menlu dari 12 negara di Wina untuk menyelesaikan
konflik di Suriah. Perang melawan terorisme pun menjadi menguat dalam dua
pertemuanini.
“Serangan mematikan”
di Paris digunakan kembali untuk menyerukan agar dunia bersatu melawan
terorisme. Dalam KTT G-2O Presiden Amerika Obama, Presiden Rusia Vladimir
Putin, pemimpin dunia lainnya mendeklarasikan kecaman bersama terhadap aksi
terorisme.
Obama mengutuk semua
aksi kejahatan, termasuk bom bunuh diri ganda yang terjadi bulan lalu di
Ankara, Turki, dan bersumpah melipatgandakan seluruh upaya untuk menghancurkan
jaringan ISIS. "Bersama Prancis, kami berdiri dalam solidaritas untuk
memburu para pelaku kejahatan ini dan membawa mereka ke pengadilan," ujar
Obama seusai bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Presiden Turki yang
menjadi tuan rumah juga menyatakan pernyataan yang sama. "Semua pemimpin
mengutuk serangan di Paris. Saya yakin sikap kita terhadap terorisme
internasional akan terjawab di KTT G-20 ini,” ujar Erdogan. ”Karena semuanya
bersatu, dan aksi teror ini bukan hanya ditujukan kepada Prancis, melainkan
juga seluruh umat manusia,” tambahnya.
Sementara Presiden
Rusia Vladimir Putin yang sejak akhir September telah memulai operasi militer
membombardir Suriah mengatakan dunia hanya memiliki satu cara mengatasi teror
global yang terjadi saat ini. "Semua komunitas internasional harus bersatu,”
tegasPutin.
Serangan Paris juga
membayangi pertemuan 19 negara di Wina. Pertemuan untuk mengakhiri perang di
Suriah ini dirancang mencari jalan menuju genjatan senjata dan transisi
politik. Seperti yang dilansir VOA (17/11), dalam pertemuan ini Menteri Luar
Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan serangan di Paris membuat semakin
perlu bagi masyarakat internasional untuk menemukan pendekatan bersama di
Suriah dan terorisme. Para Menteri Luar Negeri Jerman, Yordania dan Arab Saudi
mengemukakan perasaan yang sama dengan Fabius.
Muluskan
Jalan
Serangan Paris,
sepertinya, akan digunakan Barat untuk memuluskan jalan mereka untuk perang di
Suriah. Dalam pertemuan di Wina, ibukota Austria, yang dihadiri belasan negara
di bawah pimpinan Amerika mendorong agar pihak oposisi dan rezim Suriah bicara
bersama di meja perundingan. Kemudian dirancang sebuah proses politik yang
diklaim melibatkan semua pihak, membuat konstitusi baru dan mengadakan pemilu
untuk membentuk pemerintahan baru Suriah.
Barat sendiri telah
membatasi pemerintahan baru di Suriah adalah pemerintahan yang sekuler,
demokratik, dan mengusung pluralisme. Untuk itu Barat menekankan keharusan
melawan faksi-faksi yang menolak solusi Barat ini, dengan tudingan faksi
teroris dan menolak solusi damai. Tujuan ini seperti yang diungkap oleh Menlu
AS John Kerry pada Kamis (22/10/2015) yang menyatakan negara-negara Quartet
Internasional sepakat Suriah yang bersatu akan di bawah sistem pluralistik
demokrasi sekuler.
Senada dengan itu,
dalam proposal yang disetujui 19 negara dalam pertemuan di Wina, Sabtu
(14/11/2015), dengan tegas disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan perundingan
di Suriah harus menghasilkan pemerintahan transisi yang ”kredibel, inklusif,
dan non-sektarian.” Pemerintahan ini akan menetapkan jadwal pembentukan
konstitusi baru dan pelaksanaan pemilu yang dipantau oleh PBB. Belasan negara
itu juga menyepakati mekanisme pelaksanaan gencatan senjata yang dikendalikan
PBB.
Untuk itu adalah
penting bagi Barat untuk melumpuhkan kelompok-kelompok yang tidak sejalan
dengan jalan Barat ini. Yaitu kelompok yang sadar bahwa solusi ala Amerika
haruslah ditolak, karena hanya akan sekadar mengganti rezim Suriah dengan
boneka baru Barat yang tidak membawa perubahan yang berarti. Tuntutan kelompok
Islam selama ini adalah jelas, bukan demokrasi, tapi Khilafah Islam yang
menerapkan syariah Islam.
Untuk itu Barat
seperti biasa menggunakan isu terorisme guna memuluskan jalannya. Menuding
pihak yang tidak sejalan dengannya sebagai teroris. Dalam konteks Suriah, Barat
menggunakan genderang perang melawan ISIS. Dan dengan alasan memerangi
terorisme ISIS ini mereka membombardir wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok
mujahidin anti Assad yang menentang Barat, meskipun diketahui daerah itu
bukankah wilayah yang dikuasai ISIS.
Walhasil, apa yang
dimaksud oleh Barat sebagai perang melawan terorisme tidak lain adalah upaya
memuluskan langkah-langkah politik mereka di Suriah untuk mengaborsi perjuangan
Islam di bumi Syam itu. []
Membongkar
Kemunafikan Barat
Reaksi Barat terhadap
“serangan” Paris, di sisi lain, semakin membongkar kemunafikan Barat. Barat
yang diikuti oleh pemimpin-pemimpin bonekanya di berbagai kawasan dunia,
beramai-ramai mengecam serangan Paris yang (katanya) menewaskan 132 orang.
Sementara, mereka diam saat Bashar Assad yang diperkuat koalisi Iblis yang
dipimpin Amerika membombardir penduduk Suriah yang membunuh ratusan ribu orang.
Merekapun tidak bereaksi saat penjajah Yahudi membunuhi rakyat Palestina hingga
saat ini.
Bila dibandingkan,
jumlah korban di Paris tidaklah sebanding dengan nyawa kaum Muslim yang tewas
di Suriah, Irak, Palestina, dan negeri Muslim lainnya karena senjata Barat.
Setiap hari ada nyawa melayang, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia di
negeri Islam karena kebiadaban tentara Salib ini.
Mereka diam seribu
bahasa. Media Barat seakan buta. Inilah standar ganda dan kelicikan Barat. []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 162, Nopember-Desember 2015
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar