Konsep Menerima Pendapat Agama Lain
Konsep Menerima Pendapat Lain
Menerima agama dan peradaban lain, dengan tujuan sekedar
untuk mengetahui pendapat mereka – tanpa usaha menghakimi mereka, serta tanpa
sanggahan dan penolakan atas pendapatnya – jelas bukan merupakan metode yang Islami. Sebaliknya, Al
Qur’an sepenuhnya menentang cara-cara seperti itu. Bila Al Qur’an menjelaskan
pemikiran dan pernyataan yang kufur, ia selalu melanjutkannya dengan pemikiran
dan pernyataan yang benar sekaligus membantah kekufuran tersebut. Ayat-ayat
berikut ini adalah sejumlah contohnya.
“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai
anak.’ Sesungguhnya kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat munkar;
hampir-hampir langit pecah karena ucapan tersebut, dan bumi terbelah, dan
gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.”
(QS Maryam: 88-92)
Demikian juga,
“Mereka berkata, ‘Kapankah janji itu akan datang, jika
kamu sekalian adalah orang-orang yang benar?’ Andaikata orang-orang kafir itu
mengetahui, waktu itu mereka tidak mampu mengelakkan api neraka dari wajah
mereka dan dari punggung mereka, sedang mereka tidak mendapat pertolongan.
Sebenarnya azab itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong, lalu
membuat mereka panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak pula
mereka diberi tangguh.” (QS Al Anbiya: 38-40)
Atau firman Allah SWT,
“Dan ketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan
beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.’ Karena itu kamu
disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” (QS Al Baqarah: 55)
Allah juga berfirman,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kepada
Al Qur’an yang diturunkan Allah.’ Mereka berkata, ‘Kami hanya beriman kepada
apa yang diturunkan kepada kami.’ Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang
diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah kitab yang hak, yang membenarkan
apa yang ada pada mereka. Katakanlah, ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi
Allah jika kamu benar orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah: 91)
Demikian pula ayat Qur’an,
“Dan mereka berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Yang demikian itu hanya angan-angan
mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu
adalah orang-orang yang benar.’ Namun barangsiapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
(QS Al Baqarah: 111-112)
“Mereka (orang kafir) berkata, ‘Allah mempunyai anak.’
Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan
Allah. Semua tunduk kepada-Nya.” (QS Al Baqarah: 116)
Demikian pula firman Allah,
“Dan mereka berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi penganut
agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Maka katakanlah,
‘Tidak, namun kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia
(Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik.” (QS Al Baqarah: 135)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya, karena Allah telah memberikan kepada orang itu kekuasaan.
Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan’
maka orang itu berkata, ‘Aku dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim
berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah
ia dari barat.’ Lalu terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang yang zhalim.” (QS Al
Baqarah: 259)
Sekalipun ayat-ayat di atas berkisah tentang syariat
kaum-kaum terdahulu, tetapi tidak lepas dari ayat-ayat berikut ini,
“Orang-orang yang mengatakan tentang saudara-saudaranya,
sedangkan mereka tidak ikut berperang, ‘Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak terbunuh.’ Maka katakanlah, ‘Tolaklah kematian itu dari
dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Ali Imran: 168)
Demikian pula,
“Yaitu orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah
telah memerintahkan kepada kami supaya kami jangan beriman kepada seorang rasul
sebelum dia mendatangkan kepada kami korban yang dimakan api.’ Katakanlah,
‘Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelum aku
(Muhammad) membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kamu
sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu memang orang-orang yang
benar.” (QS Ali Imran: 183)
Dan Allah berfirman,
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’
Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat
disebabkan apa yang telah mereka katakan. Tidak demikian, tetapi kedua tangan
Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana yang dia kehendaki.” (QS Al
Maaidah: 64)
Atau firman-Nya,
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan,
‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatupun.’
Demikian pula orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para rasul sampai
mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mengetahui sesuatu
pengetahuan sehingga dapat kamu kemukakan kepada kami?’ Kamu tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS Al
An’aam: 148)
Dan juga,
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu anak Allah’ dan
orang Nasrani berkata, ‘Al Masih itu anak Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka
dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Allah melaknat mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Dan juga
mereka mempertuhankan Al Masih putera Maryam. Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS At Taubah: 30-31)
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang
nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata,
‘Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia.’ Maka katakanlah,
‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).’ Katakanlah,
‘Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak akan membacakannya kepadamu, dan
Allah tidak pula memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal
bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka tidakkah kamu memikirkannya?’ (QS
Yunus: 15-16)
Allah juga berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang
membinasakan kita selain masa.’ Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan
mereka selain dari mengatakan, ‘Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah
orang-orang yang benar.’ Katakanlah, ‘Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian
mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan padanya.’ Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al
Jatsiyah: 24-26)
Bahkan ayat-ayat dalam Surat Al Kahfi, yang mereka gunakan
sebagai dalil pembenar dialog antar agama, juga tidak beranjak dari gaya
penuturan yang menyanggah konsep-konsep kufur. Demikian pula, dialog yang
terjadi – yang menurut pendapat mereka hanya sekedar dialog intelektual –
sesungguhnya merupakan dialog yang diarahkan untuk memberi pemahaman dan
penolakan terhadap pemikiran yang kufur. Hal ini dengan jelas dapat dilihat
dari sanggahan salah seorang dari keduanya – yang mukmin – yang menolak
pendapat kufur kawannya. Selengkapnya ayat tersebut adalah,
“Kawannya (yang mukmin) berkata, ‘Apakah kamu kafir kepada
Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?’ Tetapi aku percaya bahwa
Dia-lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan
Tuhanku. Dan mengapa kamu tatkala memasuki kebunmu tidak mengucapkan, ‘Maasya
Allah, laa quwwata illa billah’ sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu
dalam hal harta dan keturunan. Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberikan
kepadaku kebun yang lebih baik daripada kebunmu; dan mudah-mudahan Dia
mengirimkan ketentuan dari langit kepada kebunmu, sehingga kebun itu menjadi
tanah yang licin. Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali
kamu tidak akan dapat menemukannya lagi.” (QS Al Kahfi: 37-41)
Jadi, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kawan dialognya
tidak menghakiminya manakala ia berkata, “Apakah kamu kafir kepada Tuhan
yang menciptakan kamu”. Kemudian kawannya itu mengarahkannya untuk
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yaitu mengucapkan, “Maasya
Allah, laa quwwata illa billah” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini
terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Kemudian
kawannya menjelaskan tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa (Al Qadir),
Sang Pencipta yang mampu mengirimkan petir dan badai dari langit dan
mengeringkan mata airnya. Jadi, bagaimana mungkin dialog seperti itu dapat
dikatakan sebagai dialog antar agama yang tanpa batasan atau syarat-syarat
tertentu, atau dialog tanpa upaya penghakiman dan menerima pendapat kufur
sebagaimana adanya???
Sedangkan terhadap penggunaan ayat-ayat lainnya sebagai dalil
bagi dialog antar agama, seperti firman Allah,
“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.”
(QS Al Kafirun: 1-3)
Maka hal ini merupakan kesimpulan yang keliru dan keluar dari
konteks sebenarnya. Surat Al Kafirun jelas merupakan pernyataan penghakiman
kepada mereka, yaitu bahwa mereka adalah kaum kafir dan akan tetap dalam
kekafirannya. Allah SWT mengetahui bahwa mereka tidak akan pernah beriman, dan
kemudian Allah menyampaikan kepada Rasulullah SAW tentang hal ini. Selanjutnya,
Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menyampaikan hal ini kepada mereka dan
menolak tawaran untuk saling bergantian beribadah dengan cara mereka. Dengan
demikian, sebenarnya sama sekali tidak ada lagi ruang bagi dialog ketika Allah
SWT telah menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah beranjak dari kekafirannya
sampai ajal menjelang. Surat ini ditujukan kepada sekelompok orang tertentu.
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya, karena ada beberapa orang di antara
kelompok tersebut yang mati, ada pula yang tewas terbunuh, dan tak seorang pun
di antara mereka yang beriman.
Sedangkan firman Allah,
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (QS At-Taubah:
6)
Dari ayat ini, tidak ada dalil yang dapat digunakan untuk
mendukung dialog antar agama yang dilakukan dalam suasana persamaan. Ayat ini
justru memerintahkan kaum muslimin untuk mengusahakan agar kaum musyrik
berkesempatan mendengarkan firman-firman Allah, sehingga mereka bisa beriman dan ditempatkan di
tempat yang aman.
Jadi, ayat ini berbicara mengenai pemberian perlindungan bagi
kaum musyrik yang ingin tahu tentang Islam. Kepada mereka Islam dijelaskan
dengan cara tertentu, sehingga diharapkan mereka mau beriman. Tidak ada dalil
dalam ayat tersebut bagi suatu dialog yang dilakukan untuk sekedar mengetahui
pendapat mereka, serta mencari kesamaan dan persamaan di antara kedua agama
tanpa upaya menghakimi mereka. Ayat itu dengan jelas diarahkan kepada kaum
musyrik, sehingga secara eksplisit menghakimi mereka sebagai orang-orang
musyrik. Bagi mereka tidak perlu ada dialog untuk mengetahui pendapat mereka.
Yang perlu dilakukan adalah mengusahakan agar mereka mau mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an. Dengan
demikian, menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bagi dialog antar agama
merupakan sesuatu yang tidak masuk akal.
Konsep
Menerima Pendapat Agama Lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar