Do’a Bisa Mengubah Takdir
Dalil-Dalil
yang Menunjukkan Bahwa Do’a Dapat Mengubah Takdir
Firman Allah Swt., artinya:
“Katakanlah: "Tuhanku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada
do’a kalian.” [QS. Al Furqaan: 77]
“Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu.” [QS. Ghaafir: 60]
“Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan
dan siapa pula yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum
(kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang
lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” [QS. An Naml: 63]
Dalil dari hadits, di
antaranya sabda Rasulullah Saw., artinya:
“Tidak ada yang bisa menolak takdir,
melainkan do’a dan tidak ada yang menambah umur, melainkan perbuatan baik.” [HR.
At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dalam bukunya Al Mustadrak (1/493).
Al Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Imam Ath Thahawi meriwayatkan dalam Al
Mu’jam Al Kabir (6/308)]
Diriwayatkan dari Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, artinya:
“Jangan pernah berputus asa dalam berdo’a,
karena tidak ada seorangpun yang celaka disebabkan do’a.” [HR. Al Hakim
dalam Al Mustadrak (1/493). Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban
dalam buku Shahihnya (2398)]
Aisyah ra. meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah
Saw., artinya:
“Kehati-hatian tidak akan bisa
menyelamatkan dari takdir, sedangkan do’a bisa merubah takdir, baik yang telah turun maupun yang belum. Sungguh musibah
turun lalu disambut dengan do’a, sehingga musibah dan do’a saling berperang
sampai hari Kiamat.” [HR.
Hakim dalam Al Mustadrak dan dishahihkan olehnya (1/492), Imam Adz
Dzahabi menyetujuinya]
Pendapat yang mengatakan bahwa do’a bisa mengubah takdir juga berpegang
pada kenyataan bahwa do’a merupakan faktor internal dalam takdir, bukan faktor
eksternal yang mempengaruhi takdir. Karena do’a termasuk salah satu yang telah
ditetapkan dalam takdir. Allah Swt. telah mengetahui ilmu segala sesuatu dan
telah menentukan bagian masing-masing. Tidak mungkin Dia merubah sedikitpun
dari takdir-Nya. Oleh karena itu do’a merupakan bagian dalam takdir. Apabila
do’a telah ditetapkan menjadi sebab terjadinya sesuatu, maka niscaya seseorang
itu akan berdo’a dan menjadikannya sebab bagi apa yang telah ditentukan oleh
Allah. Jadi, do’a adalah sebab untuk mendatangkan manfaat (berubahnya kondisi menjadi lebih baik) sebagaimana ia adalah sebab untuk menolak
musibah. Apabila do’a lebih kuat daripada musibah, maka do’a akan menolaknya;
namun apabila musibah lebih kuat, maka do’a tidak bisa menolaknya, mungkin
hanya meringankan atau menguranginya saja. Tidak ada usaha atau sebab-sebab
lain yang lebih bermanfaat
dan lebih bisa menyampaikan kepada tujuan selain do’a. [Ad Du’a wa Manzilatuhu min al
Aqidah al Islamiyah,
karya Abu Abdurrahman Al Arusi]
Demikianlah, bila musuh datang, maka bisa
diusir dengan do’a, perbuatan baik dan jihad. Jika hawa dingin menyerang, maka
bisa diusir dengan selimut, berada di tempat yang hangat, perbuatan-perbuatan
baik dan do’a. [Ibid]
Ancaman berat yang telah ditetapkan oleh Allah
bagi orang yang menyombongkan diri dan tidak mau berdo’a, menunjukkan
pentingnya do’a dan kedudukannya yang agung. Tidak mungkin ada ancaman bagi
orang yang meninggalkan suatu perbuatan, kecuali perbuatan itu memiliki
kedudukan tersendiri di sisi-Nya. Ibnu Al Qayyim berkata dalam bukunya Al
Jawab Al Kafi, “Do’a adalah obat yang paling bermanfat. Do’a adalah lawan
dari bencana. Do’a akan menolak bencana, mengobatinya, mencegahnya dan
menghilangkannya atau meringankannya jika turun.” Kemudian lanjutnya, “Do’a
terhadap musibah memiliki tiga kedudukan:
Pertama: do’a lebih kuat dari musibah, maka do’a akan
menolaknya.
Kedua: do’a lebih lemah dari musibah, sehingga
musibah menang dan menimpa seseorang. Maka di sini do’a akan meringankan
musibah yang turun.
Ketiga: do’a dan musibah seimbang, sehingga
masing-masing mencegah pemiliknya.
Setelah itu beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
Di tempat yang lain beliau berkata, “Kedudukan do’a seperti senjata. Senjata
akan efektif, bukan karena ketajamannya saja. Ketika sebuah senjata tidak ada
celanya, lengan yang memegangnya adalah lengan yang kuat kemudian tidak ada
tameng yang menghalanginya, maka ia akan mendatangkan bencana kepada musuh.
Namun jika salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka pengaruhnya
akan berkurang. Demikian pula halnya dengan orang yang berdo’a, apabila dirinya
bukan orang yang baik, tidak bisa menggabungkan antara hati dan lisannya dalam
berdo’a atau ada penghalang yang menghalangi do’anya dari jawaban, maka do’anya
tidak bisa memberikan hasil”. [Al Jawab al Kafi, karya Ibnu Al Qayim]
Kesimpulannya, pendapat yang mengatakan bahwa
do’a tidak ada faedahnya, tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa
menolak bahaya adalah pendapat yang salah. Ayat Al Qur’an dan Sunnah menegaskan
kesalahan pendapat ini. Orang yang tidak meyakini faedah do’a, berarti ia telah
mendustakan Al Qur’an dan Sunnah. Orang yang menganggap dirinya tidak butuh
kepada do’a, maka dia telah dusta dan durhaka. Pendapat seperti ini sama saja
dengan orang yang yang mengatakan: “Tidak ada gunanya iman dan ibadah, karena
Allah telah menetapkan pahala dan siksa bagi setiap orang”. Sungguh orang bodoh
seperti ini tidak tahu bahwa keselamatan dunia dan akhirat telah disusun oleh
Allah melalui usaha dan sebab-sebab.
Orang yang berpendapat bahwa apa yang telah
ditetapkan (telah terjadi) tidak bisa dirubah dengan do’a (sehingga masa depan lebih baik),
seharusnya tidak perlu makan atau minum, jika merasa lapar atau haus. Tidak perlu
berobat, jika sakit dan tidak perlu menghadapi orang-orang kafir dengan
senjata, sambil mengatakan: “Semua ini telah ditetapkan oleh Allah Swt.”
Namun orang islam dan orang
yang berakal tidak akan mengatakan hal seperti ini. [Fatawa Al Izz bin Abdussalam]
Keutamaan
Do’a
Do’a adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa melalui perantara nama-nama dan sifat-sifat-Nya, untuk mendatangkan
perkara yang diinginkan dan dicintai atau menolak perkara yang dibenci dan
ditakuti. Do’a adalah salah satu ibadah yang paling mulia. [Min Sunanil Huda Raf’ul Yadaini
bi ad Du’a, karya Abu Bakar Al Jazairi]
Allah telah memerintahkan untuk berdo’a,
seperti dalam firman-Nya, artinya:
“Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [QS. Al A’raaf: 55]
Berdo’alah dengan merendahkan diri, tenang,
suara yang lembut dan hati yang khusyu’. Suara yang keras, seruan-seruan dan
teriakan dalam do’a tidak sesuai dengan etika berdo’a. [Tafsir
Ibnu Katsir]
Dalam firman-Nya yang lain Allah berkata, artinya:
"Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu,” [QS. Ghaafir: 60]
ini adalah kemurahan Allah dan karunia-Nya.
Dia telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdo’a kepada-Nya dan Dia
menjamin akan mengabulkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri,
“Wahai Dia yang paling mencintai hamba-Nya yang paling banyak permintaannya!
Wahai Dia yang paling membenci hamba-Nya yang tidak mau meminta kepada-Nya!
Tidak ada seorangpun berbuat demikian selain Engkau, Wahai, Tuhanku!” [Tasir Ibnu Katsir]
Allah memuji dengan do’a kepada
hamba-hamba-Nya yang shalih, seperti dalam firman-Nya, artinya:
“Dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” [QS. Al Anbiyaa`: 90]
Yaitu berharap pahala yang ada di sisi-Nya dan
cemas terhadap siksa-Nya.
Firman-Nya yang lain, artinya:
“Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” Khusyu’ adalah rasa takut dalam hati yang
tidak pernah terpisahkan. [Tafsir Ibnu Katsir]
Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya
Tuhanku! Janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah
Pewaris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do'anya dan Kami anugerahkan
kepadanya, Yahya, lalu Kami jadikan isterinya dapat mengandung.” [QS. Al Anbiyaa`: 89]
Maksudnya Zakariya menyeru dengan suara yang
lembut agar tidak terdengar oleh kaumnya, sedangkan perkataan-Nya, “Dan
Engkaulah Pewaris Yang Paling Baik.” Adalah do’a sanjungan yang sesuai
dengan permintaan, karena isterinya seorang wanita yang mandul yang akhirnya
bisa melahirkan. [Tafsir Ibnu Katsir]
Firman Allah lainnya, artinya:
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: "bahwasannya aku ini adalah orang
yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” [QS. Al Qamar: 10]
Yakni aku adalah seorang yang lemah, maka
selamatkanlah agama-Mu. [Tafsir
Ibnu Katsir]
Dalam kisah Nabi Ayub as., Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku!
Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang.” [QS. Al Anbiyaa`: 83]
Sebagaimana dikatakan dalam ayat yang lain, artinya:
“Lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya.” [QS. Al Anbiyaa`: 84]
Seorang hamba yang
mengangkat kedua tangannya kepada Allah meminta segala keperluannya, maka dia
telah meyakini hal-hal berikut: Adanya Allah Yang Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha
Baik, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Mulia. Allah mendengar panggilan dan
menjawab do’a. Allah Maha Kaya dan Memberi kekayaan. Memberi di waktu siang dan malam tanpa
mengurangi sedikitpun apa yang ada pada-Nya. Selain itu hamba yang berdo’a juga
meyakini bahwa selain Allah tidak mendengar panggilan, tidak menjawab do’a,
tidak mengetahui keadaan orang yang berdo’a dan tidak mampu memberikan apa yang
diminta. Oleh karena itu ia hanya meminta kepada Allah.
Do’a Bisa
Mengubah Takdir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar